ANTI-HERO [SELESAI]

By kuasa_rasa

1.1K 643 69

!!BELUM DIREVISI!! "Berhenti berlaga paling kuat. Pada dasarnya, manusia itu saling membutuhkan satu sama lai... More

01
02
03
04
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

05

79 52 10
By kuasa_rasa

Gue pulang bukan cuma buat dengerin
keluh kesah mereka.
-Vania-

《SCHOOL LIFE》

Vania menguap lebar.

Sepuluh menit sudah dia menunggu Kevin di dekat pintu utama asrama mereka. Dari raut wajahnya, dia terlihat sudah sangat bosan.

Senyumnya langsung merekah saat melihat sosok Kevin keluar dan berdiri di depannya.

Vania menyodorkan tas miliknya.

Kevin memandang Vania bingung.

"Bawa. Biar sekalian."

Kevin mendelik. Dia membawa tas Vania, menggendongnya bersama tas miliknya.

Kevin meringis.

"Lo bawa apaan sih? Berat banget."

"Batu." Sahut Vania.

Vania langsung meninggalkan Kevin.

Kevin menggerutu kesal.

"Kalo bukan cewek, udah jadi perkedel lo."

《SCHOOL LIFE》

Risa memperhatikan mereka semua yang keluar dari pintu asrama dengan gembira.

Berbeda dengan Risa yang dirundung rasa cemas, rasanya ada hal yang menakutkan saat mendengar kata 'pulang ke rumah'.

Tempat dimana keluarganya berada.

Ponsel yang berada dalam genggamannya berdering, sebuah panggilan masuk. Bukan cepat menerima, Risa malah memandang benda pipih itu dengan sangat gelisah.

Tidak lama, panggilan terputus sendiri.

Ting!

Sebuah pesan langsung masuk.

Risa membukanya.

Papa
Jawab telepon Papa.

Panggilan kembali masuk.

Risa menelan ludah kasar. Dengan tangan yang bergetar hebat, Risa menerimanya.

Ragu-ragu Risa mendekatkan ponsel ke sebelah telinganya. Dia menggigit kuku-
kuku cemas. Dia semakin merasa gelisah.

"Hallo? Risa? Kamu ada di sana?"

Hening.

Lidah Risa terasa membeku.

"Papa dengar nilai kamu turun. Benar?"

Dada Risa mulai terasa sesak.

Tidak ada yang bisa dia sembunyikan.

Di seberang, Papa Risa menghela nafas berat sebelum melanjutkan ucapannya.

"Kenapa bisa turun?!"

Risa tersentak.

Perlahan, air matanya mulai meleleh.

"Kamu mau mempermalukan Papa?"

Risa menggeleng tegas.

Bertingkah seolah keberadaan Papanya benar-benar berada di hadapannya.

"Sekarang Papa ada di Singapura. Kamu ke rumah, pulang. Ada Mama dan Adik kamu."

Air mata Risa keluar semakin deras.

"Papa tutup."

Bip.

Panggilan diputuskan dari seberang.

Risa bersandar pada tembok, badannya terasa sangat lemas. Tubuhnya perlahan merosot ke bawah dan terduduk di lantai dengan posisi memeluk lutut.

Ponselnya terjun bebas dari tangannya.

Tangisnya kembali pecah.

Mengisi ruang kosong di kesunyian sore.

"Mereka bukan keluarga gue." Lirih Risa.

...

Luna menekan bel rumah sederhana itu. Pintu terbuka dan seorang gadis remaja berkacamata bulat muncul dari sana.

Gadis itu mengernyit melihat Luna.

"Lo nggak balik? Ngapain ke rumah gue?"

Luna cengengesan.

"Ribut sama Mama lo lagi?"

Luna menggeleng tegas.

"Nggak kok. Kita baik-baik aja."

Gadis itu menghela nafas berat.

"Gak tega gue lihat lo jadi gelandangan. Masuk, Nenek gue baru aja beres masak."

Luna tersenyum lebar.

"You are my hero. Thank!"

...

Mama dan Papa Kiki mengelus puncak rambut anak tunggal mereka lembut,
sangat penuh dengan kasih sayang.

Kiki memberengut.

"Nggak apa-apa. Kamu udah usaha, Ki."

"Ini udah bagus. Kamu nggak usah usaha terlalu keras, ya. Harus banyak istirahat."

Kiki mengangguk mengerti.

Dia memandang kertas lembar jawaban.

Dia masih saja merasa belum cukup.

Nilainya belum juga bisa sempurna.

Kiki tidak mudah puas.

Tidak suka nilai yang cacat.

Dia ingin membuat Mama Papa senang.

Dan, terus mendukungnya.

"Gue harus lebih giat belajar." Gumamnya.

...

Plak!

Fatih langsung jatuh tersungkur.

Dia meringis, menyentuh sebelah pipinya yang terasa panas karena tamparan tadi.

"KENAPA MASIH KURANG?!"

Fatih menunduk dalam.

Hatinya terasa nyeri saat mendengar sang Mama berteriak tanpa kelembutan apapun. Jiwanya bergetar, menjerit penuh ketakutan.

"Mama nggak mau tahu, ulangan yang lain harus mendapatkan nilai sempurna. Ngerti!"

Fatih kembali tersentak.

Mama Fatih merobek lembar jawaban.

Membuangnya ke tempat sampah.

Lalu meninggalkan Fatih sendiri.

Fatih bersandar lemah di depan lemari.

Dia meringis, menyentuh sudut bibirnya yang sedikit robek. Namun, rasa sakitnya tidak akan pernah sebanding dengan apa yang telah diterima oleh hati dan jiwanya.

Lelah.

Fatih sudah sangat lelah hidup.

Tidak ada yang mendukungnya.

Semuanya seakan terus menuntutnya.

Nilai sempurna.

Fatih tersiksa karena itu.

Berharap semua bisa selesai secepatnya.

Agar hidupnya bisa tenang.

Fatih tersenyum miris.

"Nggak guna banget gua hidup."

...

Setelah menyimpan tas, Saka mengambil ponsel dan duduk di atas kasur empuknya.

Pintu dibuka dari luar, Mama Saka muncul dari balik pintu dengan setelan yang sangat rapih. Beliau memandang anak tunggalnya lembut. Namun tidak berani mendekatinya.

Tembok transparan yang selalu menjadi tameng di antara mereka berdua.

"Kamu sudah makan?"

"Udah." Jawab Saka tanpa melihatnya.

Mama Saka menghela nafas berat.

"Mama harus berangkat lagi ke kantor."

Hening.

Saka tidak menjawab. Pura-pura sibuk.

"Mama sudah masak. Mama berangkat."

Saka berdeham.

Mama Saka kembali menutup pintu.

Saka menoleh, menatap pintu pilu.

Dia tersenyum miris.

"Percuma banget gue balik."

...

"Restoran sepi lagi, mana bahan pada naik semua. Lama-lama kita bisa gulung tikar."

"Aku dengar restoran sebelah juga gitu."

"Serius? Berarti bukan cuma resto kita?"

Ayah Vania mengangguk.

"Benar. Mana mungkin aku bohong."

Vania menatap malas Ibu dan Ayahnya.

Dia menyimpan sendok dan garpunya.

Saat ini mereka bertiga di ruang makan. Rencana makan malam namun Vania merasa terasingkan oleh keluarganya.

"Ibu, Ayah. Ada Vania di sini."

Ibu dan Ayah menatap Vania bingung.

Mata Vania mulai memanas.

"Aku pulang bukan untuk mendengarkan keluh kesah kalian. Aku mau istirahat aja."

Vania pergi dari ruang makan tanpa sedikit pun menyentuh makanannya. Mood makan dia tiba-tiba saja menjadi rusak.

Bukannya ke kamar, dia malah berjalan keluar dari rumah. Tanpa berpamitan.

Vania pergi ke rumah Kevin yang berada di sebelah rumahnya. Mereka itu tertetangga.

"Makan yang banyak ya."

"Makasih tante. Malu, jadi ngerepotin."

"Kayak ke siapa aja kamu."

"Hehe."

Sekarang, Vania sedang makan bersama keluarga Kevin. Mereka sangat menyambut hangat kedatangannya, tidak seperti Ibu dan Ayahnya yang malah sibuk sendiri.

"Tante udah beres, kalian lanjutin ya."

Mama Kevin pergi ke ruang keluarga.

Kevin menatap malas Vania.

"Tumben lo makan lagi di sini?"

Vania mendesah.

"Gue pulang bukan cuma buat dengerin keluh kesah mereka. Gue butuh dukungan. Bukan cuma keresahan." Lirih Vania.

Air mata Vania mulai meleleh.

Kevin mengangguk mengerti.

Dia menuliskan pesan kepada orang tua Vania yang terus menanyakan keberadaan anak tunggal mereka berdua.

Kevin
Katanya, 'Gue pulang bukan cuma buat dengerin keluh kesah mereka. Gue butuh dukungan. Bukan cuma keresahan.'

Kevin
Gitu Om, Tante.

Kevin
Terus Vania nangis deh.

Ibu dan Ayah Vania saling pandang.

"Ini Kevin yang polos atau gimana?"

"Hush. Jangan gitu. Anak orang itu."

"Terus gimana? Vania ngambek nih."

Ibu Vania tersenyum penuh arti.

"Aku punya ide."

...

Vania mengerjap saat masuk ke kamar.

Dia menemukan Ibu dan Ayahnya.

"Ini masih kamar Vania kan?"

Ibu dan Ayah Vania tersenyum lembut.

Mereka mendekati Vania, memeluk erat dia.

Vania bergeming.

Matanya mulai memanas.

"Anak Ayah ternyata sudah besar."

"Maafin Ibu dan Ayah ya?"

Air mata Vania mulai berjatuhan.

Tangisannya pecah.

"Ibu, Ayah. Hiks."

Ibu dan Ayah Vania menepuk punggung anak kesayangannya lembut, berusaha menenangkan dan menyalurkan semua kasih sayang yang mereka punya melalui pelukan hangat mereka.

Tenang. Ketenangan asing menerobos pertahanan yang Vania buat selama ini.

Vania merasa lega.

Ternyata masih ada mereka yang baik, memberikan kasih sayang dan cinta.

"Ibu dengar nilai kamu naik. Selamat!"

"Nggak usah terlalu giat belajar."

"Tidur yang cukup, makan teratur."

"Nggak boleh sering begadang."

"Jangan terlalu memaksakan diri."

"Jaga kesehatan ya sayang."

"Ibu dan Ayah menyayangi kamu, Vania."

Vania semakin histeris menangis.

Vania sangat senang mendengar kalimat terakhir. Rasanya sudah lama sekali dia tidak mendengar manta pemberi semangat yang menyenjukan hati itu. Lama sekali.

Maaf, terima kasih dan kami menyayangimu.

Cukup sederhana, namun sangat berperan penting bagi pertumbuhan mental anak.

Ibu, Ayah.

Kami juga manusia.

Kami butuh dukungan kalian berdua.

Butuh cinta dan kasih sayang kalian.

Apa jadinya kami tanpa kalian?

Kami terus berjuang agar kalian bahagia.

Namun, kami juga perlu tempat berdiam, mengistirahatkan diri walau sejenak.

Jika tidak ada kalian, harus kemana kami?

Jadi,

Thank, Sorry and We Loved You All.

《SCHOOL LIFE》

Hai!
Jan lupa tinggalkan jejak ^^
.

Continue Reading

You'll Also Like

2.7M 155K 39
DILARANG PLAGIAT, IDE ITU MAHAL!!! "gue transmigrasi karena jatuh dari tangga!!?" Nora Karalyn , Gadis SMA yang memiliki sifat yang berubah ubah, kad...
539 161 19
"Tugas gue cuman ngelindungin lo, bukan balas perasaan lo" Ucap Elang tegas. Ini tentang Kanaya Salsabilla seorang gadis cantik yang khas dengan ramb...
575K 71.1K 51
Bagi Sangsaka, dari banyaknya manusia ciptaan Tuhan, hanya dirinya saja yang mendapat rahmat kesempurnaan wajah tampan. Yang lain? Tidak usah dijelas...
3.6M 289K 48
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...