ALONE

By MissElieee

1.4M 33.7K 1.1K

2014 Indonesian - One Direction Fanfiction, adult story. WARNING: [21+] Jadilah pembaca yang bijak, its an ad... More

CHAPTER 2
CHAPTER 3
CHAPTER 4
CHAPTER 5
CHAPTER 6
CHAPTER 7
CHAPTER 8
CHAPTER 9
CHAPTER 10
CHAPTER 11
CHAPTER 12
CHAPTER 13
CHAPTER 14
CHAPTER 15
CHAPTER 16
CHAPTER 17
CHAPTER 18
CHAPTER 19
CHAPTER 20
CHAPTER 21
CHAPTER 22
CHAPTER 23
CHAPTER 24
PENGUMUMAN

CHAPTER 1

215K 2.1K 48
By MissElieee

Chapter edit

Caroline POV


Harriot terdengar memanggil tepat ketika bokongku baru saja duduk dengan sempurna di atas kursi, rasanya baru satu detik aku beristirahat setelah seharian mengerjakan tugas berat pertamaku yaitu merekap laporan pengeluaran bulan ini. Meski baru satu bulan berada di sini,  rasa lelah sudah nyaris membuatku menyerah, semua beban pekerjaan seperti telah dilimpahkan padaku sepnuhnya. 

"Ms Caroline, jika tidak keberatan tolong koreksi pivotku. Besok pagi harus kukirimkan ke kantor cabang untuk presentasi." si pirang ikut menginterupsiku, dia adalah karyawan yang sangat paling tidak percaya diri dengan hasil kerjanya sendiri, jadi dia selalu meminta bantuan orang lain untuk mengoreksi. Memang bagus tapi sangat merepotkan, walau begitu aku tetap mengangguk. Oh Caroline kau membutuhkan tiga bulan untuk benar-benar bekerja di sini. Masa on the job trainingku yang terasa sangat panjang.

"Cara!"Suaranya terdengar lagi saat kali ini kepalanya melongok dari pintu ruangannya.  Wanita bersuara sekeras petir itulah yang membawaku kemari, Harriot. Ia bersikeras ingin mencalonkanku sebagai karyawan baru di perusahaan mega multi-fungsional ini. Agaknya alasan perekrutan inipun menyeramkan. Perusahaan tidak repot-repot berduka sepanjang tahun untuk kematian Edwin. Aku pernah mendengar istilah bekerjalah sewajarnya, karena jika kau sakit yang sedih adalah keluargamu, bosmu tetap akan mencari karyawan baru jika kau dipecat atau mati. Meski terdengar kejam namun kurasa aku sudah bisa menemukan titik kebenaran dari istilah itu. Well Benar atau tidak, penggosip mengatakan pria malang itu pernah berurusan dengan bos besar yang orang-orang kenal dengan CEO dingin sebelum Edwin ditemukan meregang nyawa di apartemennya. Tapi untuk alasan yang pasti, tidak ada yang tahu. Tapi hati kecilku sedikit menampik hal itu, bos besar seperti CEO megalomaniak itu tidak mungkin mencampur urusan pribadi dengan pekerjaan-tapi di luar itu entahlah. Ya... diluar dari simpang siur kabar murahan itu, aku tetap harus berterima kasih pada Harriot. Berkat dirinya, aku bisa lebih cepat mendapatkan pekerjaan setelah magang di dalam perusahaan nyaris bangkrut yang hampir juga menjebakku untuk memegang kendali di bagian finansialnya dan bertanggungjawab apa yang management lakukan sebelumnya. Masuk ke dalam Weston International merupakan mimpi semua orang di negara bagian ini. Orang-orang akan melihat gambaran uang, kemewahan, dan tunjangan-tunjangan maha dahsyat lainnya jika mendengar nama yang sangat tidak asing itu.

Cara, jangan menguji kesabaranku.


Ketiknya pada sebuah pesan singkat. Oh ya Tuhan, paperku sebentar lagi selesai, tanggung. Dasar Harriot.
Jujur saja, dalam seharian ini Harriot tampak gelisah. Kopi yang kuantarkan pagi tadi sampai sekarang masih tak tersentuh. Ada apa?

"Ya." Sahutku lelah lebih pada diriku sendiri. Aku memijat pelipisku sejenak. Buru-buru menyimpan semua berkas yang kuketik di komputer dan membereskan sisa yang lain. Tahu bahwa obrolan kami akan panjang nantinya dan aku tidak mau pekerjaanku terbengkalai.

"Caroline Scott!" Panggilnya lagi dari dalam ruangannya kali ini meneriakkan nama lengkapku. Oh terimakasih Harriot kau membuatku melompat dari kursiku. Karyawan lain melotot bingung sembari memberikan tatapan bos kita sedang kalap.

Aku berjalan sampai-sampai betisku menabrak ujung meja. Tidak sesakit yang dibayangkan hanya saja suaranya cukup keras. Seorang pria muda yang kuingat bernama Reign Finlay berdiri tepat di depanku saat aku baru saja membuka pintu. Dadanya yang sekeras batu membentur dahiku. Oh sejak kapan Tuan Finlay ada di dalam ruangan Harriot?

"owps," suaranya merdu.

"maaf, Tuan Finlay." Cengirku dengan kurang ajar sedikit lebar, wajahnya yang tampan meneliti rona merah yang aku yakin sudah cepat menjalar di wajahku. Finlay sudah empat bulan atau lebih bercerai dengan istrinya yang baik, Mitchel. Seorang wanita karir yang wajahnya juga sering muncul di sampul majalah pria dewasa. Aku pernah melihatnya kemari menemui Tuan Finlay dan kami langsung akrab. Sebagai penasehat CEO besar dia tidak seharusnya memiliki senyum sialan seperti itu.

"sudah kubilang, Reign saja, Cara." Ucapnya, aku tersipu dengan profesional dan memilih mengalah dengan kembali meminta maaf padanya. Hanya wanita bodoh yang mengatakan Reign tidak tampan. Sungguh.

"maaf, Tuan Reign."

"Reign. Tidak apa-apa," ucapnya membenarkan dan aku mengangguk, Reign bersikap baik sejak pertama kali bertemu dua minggu yang lalu setelah dia pulang dari Haiti untuk beberapa kerja sama antar perusahaan bonafit, dan sejak saat itu pula aku mulai percaya bahwa tidak semua pria berwajah tampan memiliki hati yang brengsek. Oh jangan mengingatnya

"Sepertinya aku menghalangimu." Ia tersenyum lagi dan mengarahkanku pada pandangan menyelidik Harriot dibalik mejanya.

"Oh."

"Sampai jumpa, Cara." Ucapnya. Dan menutup pintu ruangan Harriot. Aku melangkah cepat menghadapnya.

Harriot Merington, dia adalah seniorku di universitas, aku mengenalnya ketika aku sedang bekerja paruh waktu di bar semasa kuliah, dia sangat baik bahkan aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku saat mencoba hidup di New York tanpa pekerjaan. Aku duduk membenarkan rok pensilku.

"Reign Finlay. Seberapa akrab kalian berdua?" aku menarik kesimpulan dari tatapannya yang akrab, Ia menuduhku mempunyai sesuatu yang spesial dengan Reign.

"tidak begitu akrab. Aku juga mengenal mantan istrinya, Mitchel."

"hmm menjelaskan semuanya," menghela napas seperti wanita berwibawa, Harriot bersiul senang dan menggosok dagunya.

"kenapa?" pertanyaanku sangat mendasar tapi aku tidak ingin membiarkan ini mengambang tanpa kejelasan. Harriot harus tahu bahwa aku sama sekali tidak tertarik dengan hubungan semacam itu dengan Reign.

"Caroline, sebenarnya aku lebih senang jika tidak ada sesuatu di antara kalian berdua. Jujur saja aku lega pesona Tuan Finlay tidak mempengaruhimu terlalu banyak. Begini... Tuan besar Weston bukan orang yang suka basa-basi. Dia tidak mau menghendaki kesalahan sedikitpun, bukan... aku tidak mengatakan kedekatanmu dengan Tuan Finlay adalah suatu kesalahan hanya saja aku sedang berusaha mempromosikan kedudukan berharga ini. Aku tidak ingin saat Tuan Finlay mematahkan hatimu dan kau tidak bisa menyembunyikan kekecewaanmu maka Tuan besar Weston akan memanfaatkan kesempatan itu untuk mengirimmu ke jalanan tanpa belas kasihan karena dinilai tidak profesional dan..." Jelasnya. Aku masih tak berkedip.

"Penggoda." Oh Tuhan. Aku bukan orang seperti itu.

"aku tidak seperti itu." aku ingat seseorang pernah menyebutku seperti itu; penggoda, pelacur. Harriot menyipitkan mata hijaunya dan mencondongkan kepalanya ke depan padaku. Ia berbicara lebih lembut.

"Aku tahu sayang, hanya jangan libatkan hati dalam urusan ini." Aku memang tidak tertarik dalam arti yang lebih intim dengan Tuan Finlay. Mengaguminya hanya menunjukkan kenormalanku sebagai wanita yang terkesan dengan pesona seorang pria tampan.

"well, satu minggu lagi Tuan besar Weston pulang dari China. Dia pulang lebih cepat dan akupun tidak tahu apa masalahnya. Oleh karenanya aku perlu mempromosikanmu dua bulan lebih cepat maafkan aku Cara." jelasnya dan mataku melotot terkejut. Aku harus mempelajari semua berkas itu selama seminggu ke depan.

"Oh aku mengerti inikah sebabnya kenapa kau terlihat uring-uringan seharian ini?"

"Aku tidak bermaksud membuatmu tidak nyaman dengan semua sikapku seharian ini. Reign tadi mengabarkan bahwa Tuan besar Weston..."

"Ya?"

"Dia menolak laporan Reign mengenai perekrutan ini. Tapi dengan usaha yang keras akhirnya Tuan Weston setuju dengan syarat kau harus memiliki kemampuan yang diinginkan perusahaan dengan profesional." Oh jadi seperti itu... "karena posisimu ini akan lebih banyak melibatkan Tuan Weston nantinya."


Harriot melipat kedua tangan di atas meja, "tapi aku tahu kau adalah wanita yang cerdas, Cara." wajahnya yang cantik menyiratkan tekad yang bulat padaku. Aku sangat berhutang budi padanya, jika bukan karenanya mungkin nasibku masih terombang-ambing di dalam perusahaan yang nyaris bangkrut, dia menyelamatkanku, selalu seperti itu. Aku akan berusaha semampuku. Selain demi pekerjaan ini aku juga melakukannya demi sahabatku, Harriot. Ini akan menjadi prestasi juga baginya jika berhasil memasukanku kemari.

 "Terimakasih Harriot. Aku akan melakukan yang terbaik semampuku," well, Harriot kembali tersenyum setuju.

"dan sekarang, kau boleh pulang. Siapkan semuanya untuk satu minggu ke depan." Ia mulai berdiri dan artinya aku harus segera keluar dan pulang ke apartemen, aku mohon pamit padanya  dan sebelum aku beranjak pergi menuju pintu, Harriot berdeham. Sekarang memang sudah pukul lima kurang tujuh menit.

"jam berapa kau akan datang ke bar?"

"shiftku dimulai pukul sembilan, jadi aku datang pukul delapan, kenapa?"

"aku dan Jody akan ke sana pada pukul enam untuk merayakan kenaikan jabatannya, sayang sekali kau datang pukul delapan." Harriot memberengut dan mengerucutkan bibirnya yang mengkilap. Aku tersenyum.

"aku akan datang lebih awal jika kau mau,"

"tidak usah, Cara. Aku tahu kau sangat lelah, jika Jody sedang tidak terburu-buru, kami pasti tidak akan pulang sampai shiftmu tiba," Harriot mengerling dengan sangat cantik dan aku mengangguk. Dia dan Jody berpacaran selama sepuluh bulan kurang beberapa hari. Kesibukan yang dihadapi keduanya membuat baik Jody maupun Harriot tidak ada yang pernah menyinggung soal langkah besar untuk menikah. Jody pria yang baik, tentu saja. Jika tidak, aku tidak akan menyetujui kedekatan mereka.

***




Aku mengenakan rok baseball berwarna merah dan kaos tanpa lengan senada, hanya saja meskipun berbahan lentur, namun kupikir kaos dari seragam baru bar ini terlalu kecil hingga membuat keliman bawahnya memperlihatkan sedikit bagian perutku. Tapi kupikir itu tidak masalah, selama aku mendapatkan tip yang lumayan dan uang bulanan memadai, aku harus melanjutkan. Mungkin aku baru akan keluar dari pekerjaan di sini jika Weston International sudah resmi menerimaku. Jody dan Harriot sudah pulang, kami sempat bertemu dan berbincang selama lima belas menit sebelum shiftku dimulai. Mereka sangat berbahagia, aku senang melihat Harriot tersenyum lebar berada di sampingnya, kuharap Jody tidak kehilangan akal untuk menyakiti wanita paling cantik yang pernah kutemui, selain Mitchel.

Hampir satu jam shifku berjalan, aku membawa dua botol bir di kedua tanganku untuk mengantarkannya pada meja nomor delapan ketika kuintip melalui sudut mataku Molly terlihat kegirangan dan gerogi merapikan pakaian sangat minimnya yang berada dekat denganku, dia adalah satu dari beberapa pelacur yang juga bekerja disini, Molly bersama rekan lainnya akan bersikap seperti itu hanya di saat ada pria hidung belang berdompet tebal sedang bersiap memilih mereka. Aku memutar mata dan berjalan lurus menuju meja nomor delapan. Pemilik meja nomor delapan adalah sepasang kekasih yang manis, si pria berambut gelap sepertinya berencana akan melamar wanita yang paling beruntung itu malam ini, ketika aku datang tatapan mereka beralih pada bir yang kubawa dan tersenyum sopan, aku membalas senyuman mereka dan memberi isyarat 'semoga berhasil' pada si pria yang sedang gugup. Aku berbalik menuju foyer, barisan pelacur bersama Molly sebagai ketua genk terlihat sudah duduk mengelilingi si pria hidung belang tersebut, aku menggelengkan kepala tidak tertarik, profesiku dan mereka jelas berbeda. Aku pelayan yang memiliki banyak harga diri yang pantas dijunjung tinggi dan  posisi yang terhormat di atas mereka, sedangkan Molly dan teman-temannya adalah wanita penggoda yang kadang-kadang menjadi wanita simpanan sampai si lelaki sudah bosan, meskipun kenyataannya kami tetap bekerja dalam satu bar yang sama. Si pria hidung belang berdompet tebal itu membawa empat bodyguardnya berdiri di belakang tubuhnya, tidak ada satupun dari lima pria itu termasuk si pemilik uang terbanyak melepas kaca mata hitam mereka, maksudku untuk apa mereka menyembunyikan identitas jika sebentar lagi akan terungkap saat sudah menentukan pilihan wanita mana yang akan menemaninya menghabiskan malam yang panjang?

Ah tidak begitu penting.

Aku melenggang dan duduk di kursiku dengan bosan, aku bisa saja mengantarkan Chardonay di meja nomor tujuh hanya saja disana adalah pria empat puluh tahun yang kerap menggoda, aku merasa risih apabila harus berhadapan dengannya. Ah menunggu James menyodorkan menu memang cukup melelahkan apalagi jumat malam tidak banyak pengunjung yang datang untuk makan, mereka kebanyakan memesan bir dan minuman keras untuk bersenang-senang dan kebanyakan tentu saja para lelaki hidung belang. Aku mendekap nampan di depan dadaku dan bisa melihat dengan jelas hiporia semua orang tertaut pada gerombolan si dompet tebal itu, aku tidak bisa menentukan warna bola mata dan kemana arah pandangannya karena terhalang oleh kaca mata hitam itu. Dari gerakan lamban, aku melihat pria itu menunjuk arahku. Meskipun kepalaku masih dilanda lelah yang luar biasa namun aku bisa menyadari hal tersebut, aku tidak mengangguk ataupun menggeleng karena aku sendiri tidak bisa melihat bagaimana Ia menatapku, setelah itu semua mata tertuju padaku, bahkan dari yang tadinya membelakangiku kini menoleh bersamaan melihat dimana aku mematung dalam diam, baru aku bisa berkedip beberapa kali untuk bangun dan sadar. Apa yang mereka maksud? Aku menjumbul berdiri tegak yakin kali ini aku tidak sedang melamun. Aku mengerutkan kening dan mengangkat kedua alisku tinggi-tinggi ketika dalam kesunyian aku bisa mendengar suaranya yang tegas dan penuh tekad, intensitas berat dalam membran di tenggorokannya yang keras dan kuat membuat bulu kudukku berdiri dengan rasa hormat dan tentu saja tetap siaga.

"Dia."

Aku kembali berkedip, apa yang Ia maksud dengan aku? Apa ada yang salah dengan penampilanku? Tentu saja, tapi hanya terletak pada ukurannya yang terlalu minim. Aku berjalan takut-takut sembari menurunkan sedikit bagian bawah rokku agar terlihat lebih sopan, aku bisa melihat tatapan laparnya pada diriku. Satu-satunya pelindungku saat ini adalah nampan yang kuletakkan di depan dada, aku mendekapnya sedikit terlalu keras hingga aku merasakan tubuhku bergetar. Molly menatapku dengan tatapan 'kau mencuri pelangganku!' aku bahkan bertanya-tanya, apa sih yang sedang aku lakukan? Seseorang bertubuh gelap dan tegap mengambil nampanku dan dia –si pria misterius— membawaku duduk di pangkuannya. Alih-alih memberontak dan duduk di sofa aku malah menuruti tawarannya, semua orang menatapku dengan tatapan terkejut. Lihat aku, aku tidak menarik, bahkan Molly dan teman-temannya berpenampilan jauh lebih seksi dariku, karena ini memang pekerjaannya. Aku tidak pernah berpikir untuk bergabung bersama komunitas Molly di bar ini.

"maaf tuan, apa yang anda pesan?" suaraku hanya seperti getaran lemah yang aku sendiri tidak tahu bahwa aku memiliki suara selemah itu. Aku bergeser di pangkuannya berusaha berdiri, namun yang aku dapatkan hanyalah rengkuhannya di pinggangku semakin erat, sekali lagi aku tidak dapat memastikan apa warna matanya, ketika aku bergerak, sesuatu terasa keras di bawah pantatku, aku melebarkan mata dan tahu apa yang Dia inginkan, tidak, aku bukan pelacur. Aku bekerja sebagai pelayan disini, aku tidak serendah itu ingat? Dia melepaskan kaca matanya, dan aku bisa melihat dengan jelas tatapan tegas dan indah itu, dia pemilik manik karamel paling menakjubkan yang pernah kulihat dalam hidupku, hanya dengan melihat mata itu, aku yakin ribuan bahkan jutaan gadis sudah merobek celana dalamnya. Ia tersenyum simpul.

"kau." Aku tidak berkedip, sebaliknya aku berdehem menyeimbangkan posisiku agar lebih nyaman. Kau? Apa itu artinya, aku? Tapi...

"minumlah... agar kau tidak gugup seperti itu, manis." Sebuah gelas berisi orange jus hadir di depan wajahku, ia menenggaknya terlebih dahulu ketika aku menimbang takut kalau-kalau Ia mencampurkan sesuatu di dalam sana. Aku meraihnya dengan tangan gemetar, cairannya meluncur di tenggorokanku. Aku merasa seperti pelacur, ya Tuhan.

"maaf tuan, aku harus kembali bekerja." Aku kembali berusaha keluar dari pangkuannya, kali ini Ia mempersilahkanku dengan senyum seksi yang Ia pertontonkan. Aku menggigit bibir. Hanya beberapa detik setelah aku berdiri, entah kenapa aku merasa pelipisku berdenyut, kakiku gemetar dan aku merasakan panas yang menjalar di tubuhku, aku kembali menggigit bibir dan menelan ludah bersusah payah. Dalam bayangan di mataku, wajahnya yang tampan membuat pelipisku semakin berdenyut, otot rahangnya yang keras dan tubuh tegap juga seksi idaman semua wanita, ya Tuhan... dia membuat kedua kakiku gemetar. Ada perasaan ingin menyentuh diriku sendiri namun lebih besar perasaan kuat ingin tangannyalah yang menyentuhku, aku... aku tidak perduli kupikir sesuatu telah salah di dalam diriku. Dia masih menatapku, santai dan ekspresinya tidak terbaca, sementara aku disini, berdiri di hadapannya dengan rasa panas yang menjalar dan aku bersumpah, aku ingin Ia meniduriku di sini juga. Sialan, dia benar-benar seksi. Ada apa sih denganku?

"hey baby, perlu bantuan?" sialan, dengan perasaan aneh yang terjadi padaku lantas Ia menawarkan untuk memberi bantuan? Terdengar janggal namun akal yang kuanggap sehat meneriakkan persetujuan dengan lantang. Ya. Ya. Ya. Setubuhi aku, tampan! Ya Tuhan... ada yang salah denganku.

Suaranya terdengar sangat menggiurkan ketika Ia terkekeh, Ia menangkap keanehan dalam raut wajahku dan terlihat senang. Aku merasa ada sesuatu yang salah dalam diriku, tapi apa? Rasa ingin terlentang di bawahnya sangat besar dan aku akan meledak. Aku mengangguk, suara yang keluar dari mulutku seperti bukan suaraku dan Ia tersenyum mengulurkan tangannya yang besar dengan jemari panjang berotot penuh tato padaku, tanpa ragu aku menyambarnya. Molly dan teman-temannya tampak marah dan menghentak lantai, tapi aku benar-benar tidak tahu apa yang salah pada diriku. Dia berdiri dan bibirnya bertemu dengan bibirku, ya Tuhan, rasanya sudah sangat lama sejak terakhir kali aku melakukannya. Tangannya yang kuat menangkup pantatku dengan gerakan erotis yang indah dan memabukkan. Tubuhku dibawa terbang dan aku merasa lantai semakin jauh meninggalkanku. Dia melepaskan ciuman panas kami dan mengambil napas. Aku tidak yakin banyak orang di bar ini, tapi aku sudah bilang bukan bahwa aku tidak perduli?

"Zayn, dan kau manis?" apakah baru saja Ia memperkenalkan namanya? Siapa tadi? Ya Tuhan, aku terlalu bergairah hanya sekedar untuk mengingat namanya.

"C—Cara." Jawabku terengah. Ayolah, kumohon robek pakaianku sekarang juga. Please.

"Cara manisku, aku akan dengan senang hati memenuhi apa yang kau inginkan. Sekarang, ikutlah denganku." Persetan, aku dengan senang hati mengikutinya. Tanpa pikir panjang, aku merasakan kakiku mengikuti kemana Ia pergi. Ada yang salah denganku, tapi apa? Pertanyaan yang selalu sama. Aku sendiri tidak mengerti. Aku ingin menjauhi pria asing yang kupikir sangat berbahaya ini, ya Tuhan, bahkan aku tidak ingat siapa namanya, apakah Ia sudah menyebutkan namanya barusan? Dan namaku, ya aku melupakan namaku sendiri. Dan nama pria itu adalah... Zack, Zoel, Zill? ? Ah persetan. Pintu lift bar terbuka dan kami keluar, Ia memasukkan kartu ke dalam kunci untuk membuka sebuah kamar, jika aku mau repot-repot menilai, aku bisa berkesimpulan bahwasanya diriku bertingkah seperti pelacur malam ini, tapi ya Tuhan, aku sangat menginginkannya. Setelah mengunci pintu di belakang, Ia berbalik dengan gerakan seperti kilat dan menyambar bibirku yang membengkak karena kebutuhan, dia menciumku seperti pria kelaparan, begitu juga denganku, entah kenapa aku merasakan hawa panas menjalar di tulang belakangku dan rasa nyeri memohon untuk memintanya mengeksploitasi tubuhku. Aku menginginkannya, bahkan dengan seorang pria tanpa nama. Aku menekan tubuhku yang sarat dengan keinginan pada tubuhnya, dia menggeram dan suara tersebut menjadi irama terseksi yang pernah kudengar, aku merasakan kejantanannya menendang dibalik jeans yang masih ia kenakan, seakan menuntut untuk di bebaskan. Ia hanya mencium, menghirup dan menjilat di leher dan bagian bawah telingaku. Aku mengerang frustasi dan merintih penuh permohonan padanya. Pikiranku kabur semenjak... semenjak kapan aku tidak tahu. Aku tidak ingat kenapa aku menjadi seperti ini, mungkin nanti, atau secepatnya aku akan mengingatnya setelah aku sudah mendapatkan kepuasan darinya. Dia mundur ke belakang dan melepaskanku yang terengah dengan mata memerah, sialan, dia tersenyum bangga dan menilai penampilanku yang berantakan, kakiku masih lemas dan kebutuhanku semakin kokoh terbangun. Apa Ia sedang memainkan sebuah permainan? Aku mengerang protes dan hendak merengkuhnya lagi tapi Dia mundur masih dengan senyum congkak, jelas sekali Ia sedang mempermainkan raut frustasi dalam diriku. Sialan, tubuhku seperti terbakar, aku ingin Dia menyentuhku, aku ingin... sangat menginginkannya. Tanpa sadar, aku mengangkat tangan dan menyentuh tubuhku sendiri untuk menghilangkan hawa panas yang terasa menyiksa ini, tapi tidak berhasil, rasanya tidak senikmat seperti Ia yang menyentuhku. Oh ayolah man!

"please... please... ya Tuhan, kumohon..."  aku akan bersujud dan memohon padanya untuk menyentuhku bila perlu, ya Tuhan, ada apa denganku? Ia kembali tersenyum meskipun aku bisa melihat kejantanannya menjumbul dari balik jeans. Mataku bertemu dengan manset kemejanya ketika Ia melepaskan jas hitam itu dengan perlahan, sebuah ukiran 'Zayn' terpahat di sana, ya, namanya adalah Zayn. Namun aku tidak yakin berapa menit aku bisa mengingat nama itu.

"mohon apa baby?" godanya, sialan, apa yang harus kukatakan?" Zayn mendekat dan mengelus pipi dan turun di rahangku. Aku bergetar hanya dengan sedikit sentuhannya. Wajahnya turun dan berbisik di telingaku. "aku akan menyetubuhimu dengan keras, sangat keras hingga kau berteriak dan pingsan, kau akan sulit berjalan setelah kita selesai, baby. Persiapkan dirimu," apa yang baru saja Ia katakan? Seragamku hancur dalam gerakan cepat yang Ia ciptakan, Ia merusaknya dan aku tidak perduli. Langkah berikutnya adalah Ia melepas kaitan bra hitam dari tubuhku dan matanya menyiratkan seringaian jahat, Ia menjilat bibirnya sendiri dan mengambil alih dadaku ke dalam mulutnya, dengan rakus dan kelaparan, Zayn menggeram dan membawa puncak dadaku jauh ke dalam mulutnya. Aku menjerit ketika sensasi panas terus menjalar oleh karena godaan bibir dan lidahnya yang ahli, kepalaku terlempar ke belakang dan aku menjerit. Sangat nikmat. Masih dengan keahlian mulut yang hebatnya di dadaku, Ia menggerakkan tangannya ke bawah menurunkan rok baseball berwarna putih –bagian dari seragam baruku— membawanya turun tanpa meninggalkan celana dalam berenda dengan warna senada dengan bra yang aku yakin sudah tak layak pakai ia hancurkan.

Aku tidak ingat kapan ia melepas semua pakaiannya, dan sekarang aku sudah berada di tempat tidur besar dengan Ia berada di atasku. Pikiranku benar-benar mengawang, satu-satunya yang membuatku sadar akan kehidupan adalah rasa sakit pada bagian intiku dikarenakan Zayn mendorong jauh kejantanannya ke dalam diriku, aku kembali berteriak, Ia menggeram jauh ke dalam tenggorokannya dan terus mendorong, tubuhku teronta karena gerakan liarnya. Aku tak henti-hentinya meracau dan berteriak, tidak seorangpun di masa laluku pernah menyetubuhiku seperti makhluk binal seperti ini, maksudku aku termasuk penikmat setia seks vanilla dengan mantan kekasihku dan aku tidak percaya bahwa aku punya ketertarikan dalam hubungan intim yang keras seperti binatang. Orgasmeku datang begitu cepat, belum sempat aku bernafas, Ia membalik tubuhku bahkan saat tubuhku masih bergetar, ia menarik keluar kejantanannya dan menampar pantatku dengan gerakan cepat dan memaksaku untuk membelakanginya. Sialan, aku tahu apa yang akan ia lakukan. Dan benar saja, ia menyerangku dari belakang dan aku kembali berteriak. Aku tidak tahu apakah aku masih sanggup menerima siksaan kenikmatan yang akan ia berikan padaku, aku mendongak dan meneriakkan namanya ketika ia menghujam dengan sangat cepat, aku nyaris ambruk di tempat tidur ketika tangannya yang besar beristirahat di pinggangku, untuk keuntungannya sendiri mendorong tubuhku ke tepi jurang. Aku meraih selimut dan merenggutnya ke dalam remasan keras. Ia masih tidak berhenti, aku merasakan gerakannya semakin liar dan cepat saat Ia mulai dekat dengan kenikmatannya sendiri. Aku bersiap, tubuhku sudah kehilangan energi dan Zayn kehilangan kendalinya.

            "Oh fuck! Cara!" namaku keluar dari bibirnya ketika ia runtuh dan ambruk di punggungku. Nyatanya aku bahkan benar-benar tidak bisa mengucapkan kalimat apapun selain rintihan, erangan dan teriakan keras. Kami sama-sama kehabisan napas dan Ia sedikit bergeser berbisik di telingaku.

            "sangat nikmat, ya Tuhan..." desisnya penuh kepuasan.

            "mmm..." hanya itu yang bisa kugumamkan.




***

KLARIFIKASI : Yuppp! benar. Caroline emang udah gak V dari awal karena disini juga gue pengen tekankan bahwa masa lalu Caroline juga.... weits tunggu dulu baru juga 1 chapter. Hehe 

Continue Reading

You'll Also Like

3.4M 29.4K 29
Tentang jayden cowok terkenal dingin dimata semua orang dan sangat mesum ketika hanya berdua dengan kekasihnya syerra.
295K 8.9K 39
[COMPLETED] [DALAM PROSES REVISI] [WARNING!! MATURE CONTENT 18+]🔞⚠⚠ Diculik dihari pernikahannya, justru membuat Hillena Champbell merasa bebas dan...
37.9K 4.2K 25
Im Yoona gadis polos berusia 17tahun ini harus mengalami penderitaan hidup yang sangat berat bahkan penderitaan itu berasal dari orang terdekatnya. O...
641K 67.2K 200
[SELESAI] [1201-1400] Mencapai puncak budidaya abadi dan menjadi mampu mengamuk tanpa rasa takut! Gunakan kekuatan seni bela diri untuk menguasai du...