A Second Before Midnight (On...

By anastachie

47.7K 5.8K 2.7K

A story of nine people that live a different life, but walking on the same path. A story about work, dreams... More

Introduction
Dear No One
No Answer
Thinking About You
Lemonade
Fresh Eyes
By Chance
Turn Back Time
Notice!
Honeymoon
Thousand Miles

Pemuja Rahasia

3.7K 448 381
By anastachie

Pemuja Rahasia
by Sheila On 7

| Nora |

Gue selalu berharap gue akan selalu menjalani hidup gue tanpa sebuah rasa penyesalan. Tapi setelah waktu berjalan, ternyata setiap detik yang gue jalani setelah gue bertemu sama cowok itu menjadi sebuah penyesalan terbesar dalam hidup gue sekarang.

Gue selalu percaya bahwa sebodoh apapun hal yang kita lakukan di masa lampau, adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan pada saat itu. Dan gue gak akan menyesali segala keputusan yang diri gue pernah ambil dulu. Tapi detik ini, gue berharap gue lebih pintar pada saat itu. Detik ini, gue berpikir bahwa mungkin, lebih baik gue mati daripada harus mengambil keputusan itu.

Karena segala penyesalan yang gue rasakan di dalam setiap hembusan nafas gue sekarang, gak akan pernah bisa gue jelaskan dengan kata kata. Selain... semuanya hancur.

Gue berdiri dari wc yang daritadi gue duduki sembari menghapus air mata gue. Lagi lagi hari ini gue mengawali hari gue dengan menangis. Dan lagi lagi gue kesel liat muka gue di kaca wastafel.

"Jelek banget sih ih." Celetuk gue kesal saat melihat mata gue yang merah dan hidung gue yang ingusan gak karuan.

Gue keluar dari kamar mandi dan mendapati playlist spotify gue memutar salah satu lagu Sheila On 7. Lagu lama yang tanpa sadar membuat gue tersenyum sendiri.

Suara petikan gitar dan dentuman dari drum di lagu ini membuat pagi gue terasa lebih cerah. Bahkan dengan mudah gue bisa menggoyangkan tubuh gue setelah lelah menangis kaya orang bego tadi di kamar mandi.

Dan gue harap, setelah hari ini, hari hari gue bisa selalu dengan mudahnya menjadi lebih cerah kaya gini.

Setelah beberapa minggu menjadi salah satu pegawai di kantor ini, gue masih aja suka lupa sama kenyataan bahwa ada satu orang yang kadang bawaannya pengen gue jorokin dari balkon pantry atas yang tepatnya terletak di lantai 15.

Sebuah suara berat seiring dengan aroma pizza yang masuk ke ruangan finance berhasil membuat gue sadar akan kehadiran cowok tinggi dengan rambut hitam yang sedikit acak acakan itu.

"Makan dulu makan duluuu!" Suara itu sontak membuat seisi ruangan gue, termasuk Bu Alice, atasan gue yang sekarang udah tersenyum lebar. Padahal biasanya mukanya udah kaya kertas dilaminating saking datarnya.

Cowok bernama Leo Ariobimo masuk ke dalam ruang kerja gue, dengan plastik berisi 4 kardus pizza hut. Gak kok, jangan ngarep dia kebaikan beliin kita pizza. Itu emang pesenan kita tadi dan dia aja yang bawa masuk.

"Biar saya bayar dulu ya Bu." Ujar gue ke arah Bu Alice yang mengacuhkan gue dan langsung berjalan ke arah Leo.

"Aduh makasih banyak loh Pak Leo, dibawain masuk." Ujar Bu Alice sok manis, sebelum Leo tersenyum lebar menunjukkan gigi rapihnya dan mengangguk sok berkarisma.
"Dengan senang hati, Ibu Alice."

Dan bukan cuma Bu Alice, semua orang di divisi gue langsung ikut merapat dan mencari perhatian Leo. Heran. Gak cewek gak cowok, semua langsung ramah aja gitu sama dia.

Gue keluar ruangan sambil menggeleng gelengkan kepala gue saking gak kuatnya ngeliat tu orang.

Okay, dia emang ganteng. Tinggi menjulang, badannya besar proporsional, kulitnya termasuk putih untuk ukuran kontraktor yang ampir setiap hari kerjaannya ke lapangan pembangunan terus, hidungnya mancung, bentuk matanya yang khas seperti almond juga menarik banget. Tapi cowok yang sadar dia ganteng itu, udah paling bikin males deh.

Ditambah lagi gue masih malu sama kejadian sebulan yang lalu.

Pengen kubur diri aja rasanya gue kalo ketemu dia.

Setelah beberapa hari kerja di sini, gue tau bahwa Leo sering kerja bareng dengan kantor kita. Entah menang tender, atau emang dari awal ditunjuk buat kerja bareng sama Fabio. Denger denger sih mereka kalo kerja bareng hasilnya bisa bagus banget gitu.

Walaupun gue rada kurang percaya kalo inget betapa mereka gak bisa berenti debat setiap saat bahkan setiap mereka udah selesai meeting. Di lorong aja masih ribut!

"Ya gue kan udah sering bilang! Lo jangan iya iya aja kalo diminta design aneh aneh! Pikirin di lapangannya gimana! Gue jadinya yang harus muter ota—"
"Ya kan emang itu kerja lo." Jawab Fabio datar, bikin Leo makin berapi api sebelum suara mereka menghilang di balik pintu ruangan Fabio.

Kali ini Leo sering bolak balik karena kantor gue dan kantor Leo sedang projek pembangunan hotel bareng di daerah Jakarta Selatan. Dan itu membuat gue gak bisa berenti lari dari dia.

"Heh." Suara berat itu mencegat gue sebelum gue masuk ke dalam ruangan gue lagi.

Gue menoleh ke kanan gue dan mendapati cowok dengan kemeja putih garis garis itu mengerutkan alisnya dan menatap gue.

"Apa?" Tanya gue datar.
"Lo belom bayar utang muntahin gue loh."

Sialan. Masih aja dia bahas itu.

Gue langsung jalan lagi ke arah ruangan gue saat Leo kembali membuka mulutnya.

"Ya udah gue bahas sama satu divisi aja lah biar seru, GUYYS-- AAAWWW!!!" Gue menendang tulang kering Leo tepat saat dia berteriak ke arah ruangan gue dan dia langsung terjatuh sebelum memegang kakinya.
"GALAK BANGET SIH LO!" Teriak Leo saat gue masih memelototi dia kesal.
"Ya lo ngeselin banget lagian!"
"Ya sapa suruh muntahin gue! Tau gak lo gue harus pulang pake bajunya Ayla, udah kaya telletubbies?!"
"Iya iya gue traktir makan nanti!" Teriak gue kesal akhirnya karena gue udah gak tau lagi gimana caranya bikin dia diem.
"Yesss!!! Kapan?!" Leo langsung berdiri dan senyum lebar lagi.
"Auk!"
"Ih! Apaan sih!" Leo menarik lengan gue saat gue mencoba pergi dan matanya yang besar itu jadi semakin besar.
"Ya nanti kapan kapan! Sabar aja. Kalo lo bawel terus gue anggep lunas!" Ujar gue sambil menarik lengan gue dari dia keras.
"Wah gila deh, lo beda banget emang sama pas hari itu. Ramah, senyum senyum ke gue, nembak gue 5 kali, meluk mel—"
"IH BISA DIEM GAK SIH?! GAK JADI TRAKTIR NIH!"
"IYA IYA! YANG MAHAL YA!"

"Woy??" Sebuah suara berat lain memecah perdebatan gue dan Leo. Suara itu datang dari ruangan di samping kita persis dan gue baru sadar kalo daritadi kita berdiri tepat di depan ruangan Fabio.
"Eh... maaf maaf Fab. Ini Leo—"
"Masuk lo. Berisik banget ganggu orang kerja." Fabio langsung menatap Leo tajam, dan Leo cuma manyun sebelum mengikuti Fabio masuk ke dalam ruangannya.

Thank God akhirnya dia bisa menghilang juga dari depan gue.

| Leo |

"Guk! Guk!!" Sebuah suara membuat gue membuka mata gue perlahan, sebelum buntelan hitam kecil lompat naik ke atas kasur gue dan mulai menjilat jilat wajah gue.

"Guk!!"
"Binnie... udah bangun... abang udah bangun..." Ujar gue sambil mengelus buntelan hitam itu.
"Guk!!" Sautnya sambil menggoyang goyangkan ekornya yang gak kalah kecilnya sama badannya.

Pasti Mamah yang bukain pintu jadinya Binnie langsung kesenengan bangunin gue gini.

Buntelan item itu bukan mainan atau apapun yang menyeramkan, melainkan Binnie, anjing poodle hitam gue yang baru aja berumur setaun.

Gue langsung duduk dan mengelus ngelus Binnie seraya tersenyum lebar saat melihat tingkahnya yang gak bisa diem. Emang deh, kalo dibangunin sama dia mau ngagetin kaya apa juga pasti ujung ujungnya gue senyum juga.

"Yuk yuk keluar! Abang mau sarapan terus mandi." Gue berdiri dan keluar dari kamar, Binnie juga langsung ngikutin gue keluar.

Mamah selalu ngajarin gue dari kecil buat sarapan dulu sebelum mandi dan ganti baju, supaya nanti kalo makanannya tumpah gak ngotorin baju yang mau kita pakai hari itu. Dulu sih masih jamannya gue pakai seragam, tapi karena udah kebiasaan, walaupun tinggi gue udah menjulang kaya tiang listrik gini juga gue masih aja sarapan sambil ngebersihin belek.

"Baju ganti kek Le! Heran deh gak pernah ganti baju?!" Abira Ilana, kakak kandung gue yang biasa gue panggil Bira, langsung ngoceh gak jelas saat ngeliat gue keluar masih pakai baju tidur yang udah gak gue cuci seminggu.

"Ya kan gue pake tidur doang Bir. Bawel deh. Mamah aja kalem tuh. Ya gak Mah?" Ujar gue sambil melihat Mamah yang udah datang ke arah gue dengan segelas susu coklat dingin di tangannya. Yang tentunya, buat gue.
"Apek itu pasti baju. Heran deh kamu, baju ada segunung gitu sampe bikin kamar sendiri khusus buat baju, tapi kalo udah pake satu baju gak pernah ganti sampe berminggu minggu." Ujar Mamah sambil memberikan gelas berisi susu coklat itu ke gue. Dan gue cuma nyengir sebelum meminum susu itu dan mengambil sepotong besar makaroni panggang panas bikinan Mamah.

Gue tinggal bertiga sama Mamah dan Bira. Mamah dan Papah cerai saat gue masih duduk di bangku kelas 3 SD dan sejak saat itu gue cuma ketemu Papah seminggu sekali. Walaupun sekarang karena gue sibuk, biasanya gue cuma ketemuan sebulan sekali sama dia.

Setelah bercerai dari Mamah selama 3 tahun, Papah memutuskan untuk menikah lagi sama wanita yang sekarang gue panggil Ibu. Sedangkan Mamah memutuskan untuk gak menikah lagi dan hanya fokus dengan gue, Bira dan restoran kecilnya yang terletak di deket komplek rumah gue di daerah Menteng.

"Guk!!" Tiba tiba Binnie sudah loncat ke atas paha gue dan duduk dengan santainya seakan akan gue tuh sofa.
"Dasar. Kangen ya sama Abang?" Ujar gue masih sambil mengunyah dan mulai mengelus elus Binnie.
"Kok lo masih jomblo aja sih Le? Haus kasih sayang dan memberi kasih sayang gitu kayanya padahal." Ujar Bira sambil melihat gue heran.
"Yeee, yang ngantri banyak nih gue! Tapi gue rada jual mahal ajaa biar dikira misterius."
"Misterius jidat lo jenong! Model kaya lo yang ditanya apa kabar aja jawabnya bisa sampe silsilah keluarga, mau sok misterius?"
"Hehehehe kan yang penting usaha Bir." Ujar gue sambil nyengir setelah menelan makaroni rasa surga buatan nyokap ini.

Setelah mengenyangkan perut di meja makan dan mengobrol sebentar sama Bira dan Mamah, gue langsung masuk lagi ke kamar dan siap siap berangkat kerja. Untungnya, hari ini gue langsung ke kantor Fabio dan dari rumah ke kantor dia gak terlalu jauh. Jadi gue gak harus terlalu terburu buru berangkat walaupun harus macet macetan dikit.

Tepat saat gue turun dari Mercedes-Benz AMG G65 kebanggaan gue, gue melihat Audi S7 hitam parkir tepat di sebelah gue. Dan tentunya, Fabio turun dari mobil itu sambil memicingkan mata, heran melihat gue.

"Pagi amat lo?" Tanya Fabio sambil menutup pintu mobilnya, lalu menguncinya.
"Kan mau ke lokasi, gimana sih?" Tanya gue bingung karena emang kemaren kita janjian bareng ke sana, dan makanya gue langsung ke sini.
"Oh iya. Sama mau ngecek data yang kemaren ya?" Tanya Fabio sembari mengancingkan lengan kemejanya.

Berbeda dengan gue yang kalau bisa akan selalu menggulung lengan kemeja gue, Fabio pasti bakalan selalu terlihat rapih saat di kantor. Kecuali udah masuk jam lembur, atau udah gerah gerahan di lapangan.

"Yoi. Keramik juga udah dipasang kemarin. Gue baru ngecek yang lantai bawah sih karena udah balik kepala proyeknya kemaren. Ntar liat bareng lo lah."
"Hmm." Fabio menghela nafas dan mengangguk ngangguk.

Gue dan Fabio kenal saat kita masih berstatus sebagai mahasiswa di kampus dulu. Gue sebagai mahasiswa Tekhnik Sipil, dan Fabio anak gedung sebelah. Alias anak Arsitek.

Kalo nginget gimana gue sama Fabio pertama kenal, gak heran deh sampe sekarang gue masih suka debat sama dia. Orang gue gak ditonjok sama dia pas pertama ketemu aja gue sudah bersyukur.

Waktu itu gue dan teman sekelompok gue di kelas, Rio, sedang nge-print tugas saat kita berdua sadar banyak anak arsi yang mondar mandir di tempat fotokopi gedung kita. Ternyata eh ternyata, tempat fotokopi gedung sebelah tutup dan itulah mengapa banyak anak anak yang nentengin tabung gambar bertebaran di sini.

Dan emang dasarnya si Rio, buntelan ketan ini bacot banget, saat ngeliat ada anak arsi yang keliatan pendek, pakai kacamata dan bermuka kalem, langsung diceletukin aja ama dia.

"Kalo kita mah gak jaman ya Le, bawa bawa tabung gambar. Hahahahah!" Dimulai dari situ, sampe celotehan celotehan lain yang gak gue jawab karena gue mendadak serem sendiri ngeliat anak berkacamata di depan gue.

Dan bener aja, si anak arsi itu berujung ngelempar tabung gambarnya ke Rio dan nendang Rio sampe ampir jantungan si Rio.

Gue yang di situ diem aja pun akhirnya kena semprot sama dia.

"Bilangin sama temen lo gak usah bacot, suruh ngaca dulu sebelum ngomong." Ujar tu orang sambil nunjuk nunjuk muka gue saat Rio merintih kesakitan.

Setelah beberapa lama, gue tau nama tu anak adalah Fabio. Dan akhirnya malah gue yang sering bacot bacotan sama dia, walaupun dia gak pernah berujung ngeluarin jurus jiujitsu ke gue. Setelah gue usut usut sih ternyata karena dia tau gue cuma becanda, beda sama Rio dulu yang emang niat ngerendahin anak arsi.

Ternyata takdir gak selesai di situ, setelah kita lulus, kita kembali dipertemukan saat kantor gue menang tender untuk projek pembangunan di kantor Fabio. Dan sejak itu gue sama Fabio jadi sering banget kerja bareng. Bahkan projek pertama yang gue dilepas sama atasan gue juga dulu berkat Fabio. Yang akhirnya bikin gue sama dia jadi sering keluar bareng juga setelah kerjaan selesai. Bahkan dia sering gue ajak ngumpul sama anak anak band gue, RDV, yang udah pada tua tua tapi masih juga sering ngarep mendadak ngadain konser.

Sesampainya di lantai 14, gue langsung ngikut Fabio narok tas di ruangan dia karena emang ruangan dia paling nyaman, dan naik ke lantai 15 buat bikin kopi di pantry. Tapi sesampainya gue di pantry, mata gue langsung tertuju ke seorang cewek dengan rambut sebahu yang lagi usaha setengah mati nyobek bungkus bumbu indomie pake tangannya.

Gue melihat sebuah gunting di meja dekat pintu masuk dan gue langsung mengambilnya, sebelum berjalan ke arah cewek itu dan merebut bungkus bumbu itu dari tangannya.

"Buka bungkus ginian doang gak usah pake emosi, kalo nengok dikit nemu gunting padahal." Ujar gue santai saat dia menatap gue tajam.

Buset deh galak bener. Heran.

"Nih." Ujar gue setelah bumbu itu terbuka, dan cewek itu menggumam sesuatu.
"Amabkajsbxsi."
"Hah?"
"Majshgasi."
"Apaan sih??" Gue mulai menundukkan badan gue agar bisa mendengar apa yang barusan dia omongin....
"MAKASEH! ELAH BUDEK YA LO?!" .... saat dia tiba tiba tereak di kuping gue.
"ASTAGA. SANTAI MBAAAK!" Gue langsung teriak balik sambil menahan tawa gue.

Heran. Ni cewek beda banget sama waktu gue pertama kali ketemu dia.

Namanya Nora. Pertama kali gue ketemu sama dia di club, dan keadaan dia kacau balau saat itu. Bahkan gue sampe serem sendiri.

"Lo. Yang ganteng, tinggi... rambutnya lucu. Lo jadian sama gue aja mau gaaaaak?!"

Suara Nora sebelum dia tersenyum sok imut ke gue malam itu masih teringat jelas di kepala gue. Bahkan saat di mobil dia berkali kali mencoba melepas seatbeltnya buat meluk gue, terus ngajakin gue pacaran lagi sampe berkali kali dan gue cuma bisa ketawa ngeliatnya.

Tapi Nora yang sekarang, dia bener bener diem. Bahkan saat gue ngeliat dia dari jauh, ya dia cuma fokus sama kerjaan dia aja. Kaya dia nutupin dirinya yang sebenernya di dalam. Atau lebih tepatnya, kaya dia melindungi diri dia sebisa mungkin.

"Kok lo kalem sih? Padahal malem itu rusuh banget." Ujar gue santai sambil mengaduk kopi gue, tepat saat Nora mengeluarkan indomie dia yang udah matang dari microwave.
"Gak ada urusannya sama lo." Jawab Nora singkat.
"Ya kan seru kaya gitu. Walaupun pakai nangis nangis segala sih..."
"Leo."

Tiba tiba dia manggil nama gue. Dan gue jadi diem mendadak karena kayanya sejak kenal, baru pertama kali dia nyebut nama gue.

"H-hah?"
"Jangan bahas hari itu lagi." Ujar Nora tegas, sebelum mengangkat mangkuk berisi indomie dia dan keluar dari pantry.

Meninggalkan gue yang kaget sendiri karena gue bisa melihat betapa seriusnya dia barusan.

Tanpa gue sadari, bahkan sampe gue udah di lokasi proyek, otak gue masih gak bisa gerak dari cewek itu.

Nora.

Kenapa sih dia? Kaya selalu tenggelam dalam pikirannya sendiri gitu.

"Loh... loh..." suara Fabio yang terdengar gak enak seraya memicingkan matanya dan meraba raba keramik yang baru dipasang dengan kakinya membuat lamunan gue buyar, dan ikut memicingkan mata gue.

Gue membuka helm kecil yang gue pakai sebelum menunduk dan memperhatikan hal yang terlihat mengganggu Fabio, sebelum Fabio ikut menunduk dan mengacak acak rambutnya setelah membuka helmnya.

"Ini kenapa bisa gini sih?! Kata lo kemaren lo udah cek lantai ini?!" Tegur Fabio keras membuat gue pening seketika.

Ah elah. Sial lagi gue.

"Kenapa sih?!" Tanya gue bingung, sebelum Fabio menendangkan kakinya ke sebuah titik di antara keramik keramik itu.
"Ini beda satu atau dua mili tingginya, Le. Kok lo tumben gak teliti sih?!" Fabio memegang ke keramik yang dia maksud dan gue baru sadar kalo emang tingginya sedikit berbeda.

Sangat sedikit sampe kadang gue suka heran kenapa Fabio itu seteliti itu.

"Hah, gak nyadar gue kemaren. Nanti diulang deh." Ujar gue sambil menghela nafas.
"Ngabis ngabisin waktu aja sih ah. Kaya ginian doang bikin—"
"Udah woy udah, galak bener Pak Boss." Gue memotong Fabio yang mulai kesal karena kesalahan minor ini.

Salah kecil aja dia mikirinnya bisa berjuta taun, jangan sampe deh gue ada urusan salah besar ama ini orang. Botak yang ada gue ntar.

"By the way Fab, si Nora tuh emang aslinya diem gitu ya?" Tanya gue akhirnya karena masih juga penasaran sama betapa sensi-nya tu cewek tadi.
"Maksudnya?" Fabio menoleh ke arah gue seraya menggulung lengan kemejanya, lalu melepas satu kancing kerahnya.
"Ya dia di kantor kayanya beda banget sama yang waktu itu kita ketemu di club, heran aja gue."
"Oh... emang dia ramenya kalo sama Ayla, Scarlett, Denia aja sih. Gue kalo ditinggal sama dia juga diem doang biasanya. Cuma bilang halo, udah deh abis itu."
"Terus tadi dia sensi banget pas gue bahas malem kita ke club itu, udah kaya gue nyinggung apaa gitu."
"Ah... kalo itu emang gak usah dibahas kayanya." Fabio mengerutkan alisnya sebelum menghela nafas, dan itu malah membuat gue semakin penasaran.
"Hah? Kenapa emang?"
"Hm... bukan hak gue juga buat cerita sih. Tunggu aja sampe lo tau dari dia kalo emang lo penasaran banget." Jawab Fabio datar, gak merasa bersalah setelah bikin gue makin penasaran.
"Yah elah. Yang ada gue harus nunggu Binnie lahiran baru gue tau, Fab!" Ujar gue kesel.
"Lah, Binnie hamil?"
"BINNIE COWOK!"
"Oh..."

Hah... emosi deh gue emang kalo ngobrol sama Fabio soal ginian. Datar banget responnya udah kaya jalan tol baru dibangun.

| Nora |

Ternyata ketenangan hidup gue di kantor ini bener bener gak bisa dijamin sama sekali. Setelah gue janji buat traktir Leo, dia gak pernah berenti bikin gue rasanya pengen jambak dia setiap saat. Seperti contohnya hari ini, saat mendadak anak satu divisi jadi harus tahu kalo gue sama Leo udah kenal dari sebelum gue masuk ke kantor ini.

"Nor Nor, si Ayla apa kabar? Masih suka nontonin konser gitu dia?" Sapa Leo seraya dia mendorong dokumen dokumen di meja gue dan duduk di atasnya, saat beberapa orang di ruangan gue pergi buat beli makan siang.

Sialan. Bener aja Pak Bambang langsung nyeletuk saat denger itu.

"Loh, kalian kenal di luar urusan kantor toh?" Tanya Pak Bambang ke gue dan Leo. Yang pastinya, cuma bisa gue senyumin.
"Oh iya Pak, jadi Nora itu—" Leo udah senyum lebar dan siap menjelaskan panjang lebar saat gue berdiri panik dan senyum lebih lebar lagi dari dia. Yang mungkin sekarang terlihat sangat menyeramkan.
"LEO! Lo bisa bantuin gue ngecek mobil gue gak?!" Teriak gue sebelum memukul bahunya keras.
"H-hah? Kenapa emang mobil lo?" Sekarang Leo terlihat bingung, dan gue langsung berjalan keluar aja biar dia ngikutin gue.
"Nah itu dia, gue gak tau. Coba dong tolongin." Ujar gue masih terus berjalan keluar, dan Leo akhirnya beneran ngikutin gue ke luar.
"Mobil lo parkir di mana?" Tanya Leo seraya mengikuti gue, dan saat kita sampai di bawah tangga untuk naik ke pantry, gue menarik napas panjang sebelum memutar tubuh gue.
"Gue gak bawa mobil." Jawab gue sambil tersenyum, sebelum menendang kaki dia di tempat yang sama seperti beberapa hari yang lalu.
"AWWW!!!"
"Lo mau pengumuman apa, kalo gue kenal sama lo dan Fabio dari dulu?! Mau dikirain gue masuk sini pakai backing apa gimana?!" Ujar gue kesal menahan teriakan gue agar gak semakin banyak orang yang denger.
"KASAR BANGET SIH LO!"
"Jangan teriak teriak!"
"YA SAKIT TAU! BIAR SEMUA TAU NIH NORA—" Gue langsung menutup mulut Leo dengan kedua tangan gue, tapi baru aja tangan gue menempel di mulut dia, gue bisa merasakan dia mengeluarkan lidahnya.

Dan gue... langsung menoyor mukanya pakai dua tangan saking gue keselnya.

"JOROK BANGET SIH!"
"ANJIR KOK PEDES SIH?! LO MAKAN PEMPEK DIKOBOK APA GIMANA SIH TADI?! ADA MANGKOK PEMPEK KAN TUH DI MEJA LO?!"
"LEO!"
"APE?!"
"HAAAAAAAH TAU AH!!"

Gue langsung pergi meninggalkan dia dengan langkah langkah yang besar, tapi mau sebesar apapun gue melangkah juga gue gak bakalan menang dari cowok yang kakinya setinggi galah ini.

"Jadi kapan traktir makannya?" Tanya Leo saat dia udah jalan di samping gue.
"Auk."
"Ya udah jangan ngamuk kalo gue gangguin terus—"
"Iya iya! Ntar balik kantor deh ah! Kosongin jadwal lo!"
"EH SERIUS?!"
"Jangan teriak!!"
"Aseeeek makan enak hehehehehe!" Leo tersenyum lebar lagi dan akhirnya gue cuma bisa menggeleng gelengkan kepala gue.

Sepulang kantor, gue udah gak kaget lagi saat tiba tiba ada sms dari nomor yang gak gue kenal, dan nyuruh gue nunggu di lobby.

From: 081227111992
Tunggu lobby, gue ngambil mobil.

Setelah gue pikir pikir, Leo emang sering banget berada di kantor gue. Walaupun dia gak pernah lama, tapi dia pasti sering muncul entah siang siang atau sore, sebelum menghilang lagi.

Kaya barusan, gue udah ngarep dia gak muncul lagi setelah tadi siang, tapi tiba tiba sekitar jam setengah 5 dia udah mondar mandir lagi di depan ruangan Fabio.

Sebuah klakson dari mobil mercy besar yang terlihat seperti mobil jeep, berwarna hijau army membuyarkan lamunan gue. Jendela mobil itu terbuka dan gue bisa melihat wajah yang sangat gue kenal dari dalam.

Tapi gak seperti biasanya, Leo udah mengganti bajunya dengan hoodie hitam santai. Walaupun rambutnya masih tertata rapih seperti tadi siang, gayanya bener bener gak menunjukkan kalau dia baru balik kantor sama sekali.

"Naik." Katanya santai sebelum gue membuka pintu mobil itu dan masuk ke dalam. "Tempatnya gue yang milih ya." Ujar dia santai sebelum sebelah bibirnya terangkat.

Tau gak sih, kaya kalo karakter antagonis di film film lagi senyum jahat gitu loh. Ih. Ngeselin.

"Serah." Jawab gue pasrah. Bodo deh bangkrut gue bulan ini, yang penting ni anak bisa kalem dan jauh jauh dari gue dulu.

Lagu Coldplay berputar mengiringi perjalanan kita yang gak begitu panjang. Sekitar 15 menit kemudian Leo memarkirkan mobilnya di depan sebuah restoran kecil yang terletak gak begitu jauh dari kantor kita.

"Di sini enak?" Tanya gue bingung setelah melihat ke restoran yang terlihat ramai di depan gue.
"Gak tau. Ini restoran baru buka. Saingan nyokap gue soalnya, jadi harus gue pantau." Ujar Leo sambil mematikan mobil dan membuka seatbeltnya.
"Emang nyokap lo punya restoran?"
"He'eh, deket rumah sih, tapi lumayan rame." Ujar dia sebelum membuka pintu mobilnya. Dan gue akhirnya ikut turun menyusul dia. "Denger denger di sini enak juga, terus banyak yang ke sini juga. Review di zomato juga bagus, jadi gue pengen pantau aja. Sekalian, kalo ternyata mahal kan lumayan tuh dibayarin." Lanjut Leo sambil senyum ngeselin lagi, sebelum mendorong pintu masuk di depan gue dan membiarkan gue masuk duluan.

Ada manner-nya juga ternyata ini orang.

Setelah di dalam, diluar ekspektasi gue, Leo bener bener gak banyak ngomong dan bener bener lama banget pas milih menu. Dia terlihat serius dan kaya gak bisa diganggu sama sekali. Tapi akhirnya kepala gue mau meledak pas gue denger dia mesen 5 menu berbeda.

"Woy?! Gue tau lo seneng gue mau nraktir, tapi gak 5 makanan juga!" Ujar gue kesal sebelum dia nyengir lebar banget sampe semua gigi rapihnya terlihat jelas.
"Kapan lagi, ye gak?" Ujarnya sambil cengengesan.

Astaghfirullah, sabar Noravia, sabar.

Ujar gue dalam hati sambil mengelus elus dada gue sendiri.

Tapi bener aja, sama seperti tadi, dia bener bener serius saat nyobain semua menu di depan kita saat semua pesanan kita datang. Dia bahkan terlihat seperti mencatat sesuatu di hapenya setiap dia selesai mencoba setiap menunya.

"Enak?" Tanya gue, penasaran pendapat dia.
"Masih enakan masakan nyokap gue ah. Koki di restoran nyokap gue juga lebih rapih dari ini kayanya." Ujar dia sebelum menyuap satu suap pasta yang baru aja selesai dia teliti atau entahlah diapain.
"Terus yang daritadi lo catet apaan?" Tanya gue bingung.
"Hmm... design interior mereka jauh lebih modern, terus penataan makanannya lebih menarik. Lo tau kan sekarang tuh orang orang suka banget apapun yang instagramable. Jadi detail detailnya aja gue catetin. Tapi dari segi menu dan rasa sih masih menang nyokap gue." Ujar Leo percaya diri sebelum dia tersenyum kecil.

Senyuman yang beda dari yang dia biasa berikan ke gue. Senyum ini terlihat sangat bangga dan tulus sampe akhirnya gue gak bisa gak ikut senyum saat melihat senyum itu.

"Ntar deh, kapan kapan lo gue traktir di tempat nyokap gue." Lanjut Leo, membuat gue memicingkan mata gue.
"Itu mah namanya ditraktir nyokap lo! Ogah."
"Yeee kan gue tetap bayar! Gue minta garlic bread aja disuruh bayar ama nyokap!"
"Boong abis."
"Dih?! Gak percaya?! Ke sana sekarang apa?!"
"Udah makan aja elah! Udah gue beliin lima piring juga! Makan!!" Teriak gue kesel saat Leo udah bersiap berdiri buat ngajak gue keluar saking mau ngebuktiin dia bakalan disuruh bayar sama mamanya. Heran. Semangat amat.
"Oh iya. Hehe." Jawab Leo sebelum kembali memakan pasta yang ada di depan kita.

Setelah sekitar setengah jam, gue dan Leo keluar dari restoran itu walaupun akhirnya makanan masih sisa banyak banget. Tapi setelah menyalakan mobilnya, Leo terlihat seperti melihat ke kanan kiri restoran ini dan tersenyum saat sepertinya ia menemukan sesuatu.

"Gue mau beli kopi bentar ah. Lo mau?" Tanya Leo.
"Gak." Jawab gue datar. Karena emang gue gak bisa minum kopi.
"Ya udah tunggu sini ya, bentar."

Leo turun dari mobil dan gue akhirnya cuma nungguin dia di dalam. Dan saat itu entah kenapa gue kaya mengingat sedikit kalau ini bukan pertama kalinya gue ada di mobil ini. Pasti malem itu juga dia nganter gue pakai mobil ini. Hah... untung aja gue bukan muntah di sini. Bisa makin panjang urusannya kalo gue muntah di mobil mahal begini. Apalagi ngeliat Leo yang kayanya ngerawat mobilnya banget.

Gue menoleh ke belakang dan melihat ada beberapa baju di gantung, tas besar yang kayanya berisi gitar, stick drum tergeletak di kursi, dan setumpuk dokumen yang sepertinya tadi sempat dia bawa bawa di kantor.

Gak lama kemudian gue melihat Leo keluar dari sebuah cafe yang terletak di sebelah kiri restoran ini. Dia menggunakan topi hoodienya untuk menghalau sinar matahari yang mulai tenggelam tapi menyilaukan, dengan segelas kopi dingin di tangan kanannya.

Beda banget. Leo yang gue liat sekarang beda banget sama Leo yang biasa gue liat di kantor. Dia terlihat lebih bebas, lebih jadi dirinya sendiri dan gak terikat sama kerjaan dia yang bertumpuk itu. Dan gue juga gak tau gimana gue bisa ngeliat semua itu terpancar begitu jelas, hanya dari cara jalannya yang terlihat tanpa beban itu.

"Yuk." Ujar Leo tepat saat dia membuka pintu mobil.
"Hm." Gumam gue datar sebelum memakai seatbelt gue, dan membiarkan Leo mengantar gue pulang.

"Bu Alice, laporan yang kemarin udah saya email ya bu." Ujar gue ke Bu Alice yang kebetulan lewat di depan meja gue.
"Oh, oke oke. Saya cek abis makan siang ya." Ujar Bu Alice sambil melambaikan tangannya acuh tak acuh.

Gue langsung membanting tubuh gue saking leganya udah nyelesaiin kerjaan yang dari beberapa hari lalu bikin gue puyeng gak karuan. Dan saat gue menoleh ke kanan dan kiri gue, gue baru sadar bahwa ruangan divisi gue udah kosong. Bahkan temen gue yang udah mulai deket sama gue sejak beberapa minggu lalu juga udah hilang entah kemana.

"Masak indomie aja ah." Ujar gue pelan, tepat saat gue melihat seseorang dengan tubuh tinggi jalan mundur di depan pintu ruangan gue.

Leo.

"Eh?! Nora?! Sendirian aja?!" Ujar Leo seraya masuk membawa gelas berisi minuman berwarna coklat.
"Gak, rame gini. Gak liat?" Jawab gue kesal sambil tersenyum sarkas. Udah jelas sendirian, masih juga nanya.
"Yeee galak bener. Kan udah damai kita kemaren??" Balas Leo santai sebelum duduk di meja gue.

Hobi banget sih duduk di meja. Heran. Kursi kayanya kosong semua deh?

"Ya makanya jangan nyebelin." Ujar gue kesal seraya membuka laci gue dan mengeluarkan indomie.
"Eh, mau masak indomie? Makan indomie mulu lo, ntar sakit perut loh."
"Wow perhatian sekali anda?" Gue tersenyum sarkas lagi, tapi Leo malah menghela nafas pelan sebelum menyodorkan gelas yang dia pegang dari tadi.
"Lo minum deh nih." Ujar Leo dengan wajah khawatir ke gue.
"Hah? Apaan nih?" Tanya gue bingung sebelum menerimanya.
"Jamu kesehatan gitu, kalo lagi sibuk banget gitu kan kondisi tubuh suka turun kan, nah gue biasanya minum ini. Minum aja, gue masih ada lagi di tas." Ujar Leo serius. "Buruan! Gak jadi nih ya?!"

Leo hendak menarik gelasnya dari gue lagi, tapi gue jadi penasaran karena wangi jamu ini gak buruk buruk amat. Kaya wangi jamu beras kencur??

Akhirnya perlahan gue minum jamu itu, dan Leo ngangguk ngangguk semangat... sampe saat jamu ini udah tinggal setengah, gue ngerasa ada yang aneh dari ekspresi muka Leo.

"Kenapa lo?!" Tanya gue bingung.
"Kalo pas kecil sih Nor, gue diajarin sama nyokap gue jangan mau kalo dikasih makanan atau minuman sama orang gitu."

Perasaan gue gak enak. Gue langsung memicingkan mata gue dan menaruh gelas itu cepat cepat.

"Ih! Apaan sih Le?! Ini apa?!" Tunjuk gue ke gelas itu dan gue bisa ngeliat Leo nahan ketawa.
"Banyak banyak makan buah ya Nor, kebetulan gue lagi diare, ini obat diare gue. Jadi yah... makan buah dan sayuran yang banyak aja biar buang air lo tetep lancar." Ujar Leo sambil berdiri pelan pelan dan jalan mundur menjauh dari gue.

Karena gue.

Rasanya...

UDAH MAU MELEDAK.

"LEOOOOO!!!!!!" Teriak gue kesal dan Leo langsung tertawa terbahak bahak sebelum berlari dan menghilang di balik pintu.
"HAHAHAHAHAHAHAHAH!!"
"GUE SUMPAHIN PERUT LO CEKUNG KARENA DIARE! AWAS LO YA!!!"

"LEOOOOO!!!!"

Ternyata teriakan kesal gue gak berhenti pada siang itu. Tiga hari kemudian, gue masih emosi di rumah saking gue bener bener jadi gak bisa buang air selama 3 hari. Dan perut gue udah gak enak setengah mati.

"Napa lo?!" Tanya Scarlett kaget melihat gue yang mungkin mukanya udah merah sekarang saking keselnya.
"Haaah gue tuh emang jadi manusia harus sabar kayanya. Cobaan hidup gue bener bener gak selesai selesai." Ujar gue seraya jalan mondar mandir di dalam rumah dan mengelus dada gue sendiri karena gue bener bener emosi banget.
"Terus kenapa lo tereaknya Leo?" Tanya Ayla yang lagi asik main twitter dan tenggelam di dunia fangirl-nya. Padahal sekarang udah jam 11 malem.
"Hah... sumpah ya..." Gue menghela nafas panjang dan membanting diri gue di sofa, tepat di sebelah Denia yang lagi ketawa ketawa sendiri chat sama gebetannya.

Gue memijit kepala gue sendiri, sebelum mengelus perut gue yang terasa gak enak lagi.

"Ay... Leo tuh iseng banget gue gak ngerti lagi. Capek gue dia urusannya gak kelar kelar sama Fabio di kantor." Jawab gue jujur sambil mengambil sepotong puding yang tadi udah gue ambil dari kulkas. Siapa tau bisa nolong kelancaran sistem pencernaan gue yang lagi dibikin mampet akut ini.
"Hah? Dia ngapain emang deh?" Tanya Ayla, akhirnya mengunci hapenya dan fokus ke gue. Scarlettpun berhenti memutar mutar channel TV dan melihat ke gue.

Sedangkan Denia, masih aja ketawa sendiri.

"Dia tuh ngisengin gue mulu Ay, tau gak sih, berapa hari yang lalu dia ngasihin gue obat diare. Akhirnya gue gak bisa boker udah 3 hari!"

Lalu semuanya diam.

"HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAH!!!" Dan mereka ketawa di saat yang sama setelah liat liatan. Ngeselin. DASAR NGESELIN.

"Suka sama lo kali tuh si Leo." Ujar Denia setelah selesai membalas chat yang dari tadi pagi kayanya gak pernah ada ujungnya itu.
"APAAN SIH LO DEN!" Teriak gue kesel sebelum melempar bantal kecil ke arahnya.
"Ih bener juga Nor. Dia caper aja kali tuh sama lo?!" Sekarang giliran Scarlett yang ngomong. Dan gue mulai ngerasa seluruh tubuh gue memanas.
"Ih gak git—"
"Masuk akal sih. WAH GILA GILA HOKI BANGET LO NOR?! Gapapa sih kalo lo gak mau coba lah aturin gue biar bisa makan bareng gitu sama dia. Fabio gak pernah mau bantuin, heran gue." Sekarang giliran Ayla yang ngomong ngelantur.

Dan gue langsung berdiri karena gue tau muka gue makin merah sekarang.

"GAK GITU! ELAH KALIAN MAH KEBANYAKAN NONTON LEE MINHO!!" Teriak gue kesal sebelum meninggalkan meninggalkan mereka semua.

"Yah ngambek?!"
"Eaaaaa geer tuh dia jadinya!"
"Ih bener kok yakin gue, Leo suka sama Nora."
"Duh kalah telak deh gue sama Nora."

Celotehan tiga teman gue itu gak berakhir sampe gue menutup rapat pintu kamar gue dan gue bisa berhenti mendengar semua omongan gak masuk akal mereka.

HAHA. Gila dasar.

Ya kali??? Leo Ariobimo??? Dia mah emang rada miring aja makanya gitu.

Udah Nora. Jangan dipikirin. Jangan dipikirin. Jangan dipikirin.

Hah...

Tapi sialnya, semakin gue berusaha buat gak mikirin, semakin gue mikirin hal gak masuk akal ini. Sialan emang mereka semua.

☆ ☆ ☆ ☆ ☆ ☆ ☆ ☆ ☆ ☆ ☆ ☆

Oh my god! Ini tanggal 5 April dan aku udah berhasil menyelesaikan satu chapter panjang yang bikin aku pesimis sejak minggu lalu ini. Amazing.

Lol so actually, I thought I'll take a long time to finish this chapter. Karena seperti biasa, aku sibuk. Tapi ternyata aku sakit sejak hari minggu lalu dan akhirnya pas kondisi aku lagi sedikit membaik, aku punya banyak waktu buat nulis.

Penting!!! Chapter setelah ini akan mulai aku buat private, which means kalian harus follow akun wattpad aku dan add ulang cerita ini ke library kalian buat baca chapter chapter berikutnya. Jangan lupa yaah! Dan kalo masih gak muncul juga, coba log out terus log in lagi hehe :)

Anyway, semoga kalian suka sama progress perkenalan Nora dan Leo! Dan semoga kalian udah bisa sedikit membedakan charm dari setiap couple di sini hehe.

And btw! Karakter ASBM akhirnya punya twitter dan akun wattpad sekarang! Let me tell you guys the ID if all of you wants to get to know them better... :)

Fabio: @/fabioaridian -> fabioaridian
Ayla: @/IslaAthenia -> AtheniaIsla
Nora: @/Norafanza -> NoraFanza
Leo: @/leoariobimo -> Leoariobimo
Scarlett: @/scarlettfaline -> scarlettfaline
Randy: @/randyhardian_ -> randyhardian_
Kalla: @/kallashaquille -> dekallashaquille
Denia: @/deniakeefala -> (wattpad coming soon)
Gio: @/GiofandyZ -> GiofandyZ

Biar lebih gampang, aku bakalan mention semua karakter di thread ASBM yang aku pinned tweet di akun twitter @twelvegarnet aku. Jadi kalian scroll aja terus ke bawah nanti bisa klik dari situ. Soon bakal aku rapihin di chapter introduction juga!

Jangan lupa komen dan vote yaah! Have a nice day everyone!

- Achie.

PS: Reach me through my instagram @anastachie or my twitter @kyeongsew / @twelvegarnet :)

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 6.8K 10
Kocok terus sampe muncrat!!..
423K 2.6K 5
Akurnya pas urusan Kontol sama Memek doang..
Balance Shee(i)t By Raa

General Fiction

69.2K 5.8K 43
Padahal kan ingin Mosha itu agar mereka dijauhkan bukan malah didekatkan. -·-·-· Mosha, mahasiswi jurusan akuntansi ingin kehidupan kuliahnya seperti...
148K 9.3K 25
"Hestama berhak tahu kalau ada bagian dari dia yang hidup di dalam rahim lo, Run." Cinta mereka tidak setara. Pernikahan mereka diambang perceraian...