[Hiatus] Random [Author's Boo...

By Healerellik

1.6K 198 900

Isinya hanyalah fanfict acak yang kemungkinan besar merupakan request/dare. Dan hak cipta kembali ke masing-m... More

The Fate
That's
A Rain
Ganbatte!
Reply
The Magazine
Jealous
Dark Side
Truth Or Dare?
Our Stories
Truth Or Dare? (2)
Truth Or Dare? (2): Omake
Misunderstanding
Partner War
The Fate: A Rainbow After Rain
Your (Un)Secret Admirer
A Rain: Recycle
From One Mistake
The Camping Insident
My Song For You [Aisozou Version]
About Author [So OOT. Don't Read if You Won't]
The New Things About You
Because You Are A Part Of Me
Let Me Take Care of You
[OOT] Maybe Interesting for You
[OOT] Ask Your Opinion
It's Not Only About Her
Say It!
Never End
Siblings?
Catoptric Tristesse
[OOT] Novelet Fanfiction
I'm Here For You
The New Things About You (2)

My Song For You [Shuuna Version]

25 4 0
By Healerellik

[Nijimura Shuuna Version]

.

Disclaimer: Tadatoshi Fujimaki dan Heaira Tetsuya.

Plot is mine.

And happy reading!

.

.

Memendam masalah yang kurasakan itu sudah biasa bagiku. Semuanya tersimpan dengan rapi di setiap liukan pena yang kuampu. Namun, siapa sangka jika meredam getar jiwa kala bertemu manik matanya itu sungguh pilu?

Terpaksa, kutuangkan semuanya melalui aksara sukmaku.

(Nijimura Shuuna)

.

.

"Shuuna-senpai!"

Teriakan itu membuat gadis bersurai legam menengok ke belakang. Lalu tersenyum begitu mendapati sesosok gadis lain yang lebih kecil dari dirinya. Gadis itu pun membalas senyumannya dengan riang.

"Eh, Aiko ... ada apa?"

"Boleh pulang bersama kan?"

"Tentu saja. Ayo!"

Gadis yang sama-sama bermata cokelat muda itu pun bergandengan tangan melewati lapangan sekolah. Tak mengherankan mengingat keduanya sudah saling mengenal satu sama lain. Bahkan ada beberapa teman yang mengira mereka saudara karena sedikit mirip.

"Oh ya. Apakah Naosu-senpai tidak bisa pulang bersamamu, Aiko?" tanya Shuuna. Ditatapnya wajah putih Aiko. Membuatnya merasa gemas karena gadis itu benar-benar polos.

"Ha'i! Nao-niisama bilang, ia ada les tambahan dari sensei-nya. Oleh karena itu, ia tidak bisa pulang bersamaku," jawab Aiko.

"Ah, souka. Ai-nii juga begitu. Sekarang ia punya jadwal latihan di doujo sekolah. Katanya sih persiapan buat turnamen," timpal Shuuna.

"Kemarin Aisozou-senpai datang ke rumah lho. Mereka latihan pedang bersama."

"Eh? Pedang? Jadi, Ai-nii akan mengambil pedang untuk alat seleksinya kali ini?"

"Entahlah. Aku kurang tahu, Senpai."

"Kukira ia akan mempraktekkan trik yang diajari oleh Otou-san belakangan ini."

Keduanya terus saja mengobrol. Bahkan Aiko yang biasanya pendiam, secara ajaib malah menceritakan semua kehidupan sekolahnya pada Shuuna. Gadis yang sudah ia anggap sebagai aneki itu pun hanya menanggapinya dengan senyuman kecil.

Terlalu asyik berjalan membuat mereka berdua kehilangan fokus atas lingkungan sekitar. Shuuna pun tak sengaja menabrak seorang lelaki jangkung hingga ia jatuh terduduk.

"Shuuna-senpai! Kau tak apa?" Aiko langsung menyejajarkan diri untuk membantu Shuuna yang masih mengaduh di bawah sana.

Sebuah permintaan maaf membuat Shuuna mendongak. Mempertemukan iris cokelatnya dengan netra lelaki itu. Yang berefek pada meningkatnya frekuensi detak jantung tanpa diminta.

D-dia...!

Lelaki itu membantunya berdiri. Setelah itu tersenyum karena mendapati wajah datar Shuuna yang mengucapkan terima kasih padanya. Kepalanya pun mengangguk seiring dengan kakinya yang melangkah meninggalkan tempat itu.

Aiko pun memapah Shuuna karena tak sengaja melihat kondisi kaki gadis itu. Sedikit terkilir. Namun, sepertinya Shuuna sama sekali tidak merasakan hal itu terjadi pada dirinya. Ada yang tidak beres. Si Kouhai pun yakin akan itu.

"Shuuna-senpai?" Aiko mengibaskan tangannya di depan Shuuna yang terdiam dari tadi. Itu pun mendapatkan respon berupa mata lawan yang mengerjap-ngerjap.

"Ya? Ada apa, Aiko?"

"Apakah kakimu sakit?"

"Iie. Tidak terlalu sakit. Namun, tetap saja aku harus mengobatinya di rumah nanti atau aku akan dimarahi oleh Okaa-san."

Aiko mengangguk paham. Sebenarnya, ia ingin menanyakan suatu hal pada Shuuna yang urung akibat melihat kondisi gadis itu. Mungkin lain kali saja. Pikirnya.

*****

Malam harinya, Shuuna pun berusaha untuk memfokuskan diri pada buku pelajaran yang terbuka di depannya. Sayangnya nihil. Bagaimana ia bisa fokus membaca buku sementara pikirannya malah membaca memori sepulang sekolah?

Mata itu...

Tangannya dengan cepat mengambil keripik kentang yang tersedia di sampingnya. Lalu mengunyahnya cepat guna melampiaskan pikirannya yang mendadak kusut akibat semua itu. Sampai ia tersedak. Dengan tergesa-gesa, Shuuna pun meneguk air kemasan yang memang tersedia di kamarnya.

"Sialan. Aku tidak bisa seperti ini terus," gumamnya. Buku di depannya pun dengan sigap menutup. Lalu kembali berderet rapi di rak paling atas.

Kasur yang empuk di kamar itu segera melesak ke bawah begitu Shuuna meloncat ke bawahnya. Sebuah boneka kucing berukuran sedang terambil. Lalu segera dipeluk erat oleh empunya.

"Nee, Neku-chan ..." Nama sang boneka kucing pun tersebut.

"Hari ini aku melihat mata itu lagi. Tetap seperti biasanya. Tetap juga aku yang tidak sanggup untuk memandanginya lebih lama," ujar Shuuna. Tangannya pun mengelus kepala Neku yang begitu lembut.

"Apa aku juga mengidap fetish mata yang sama seperti Okaa-san ya? Namun, Okaa-san kan punya kriteria yang jelas untuk mata yang ia sukai. Contohnya seperti mata Otou-san." Shuuna terkikik geli begitu mengatakannya.

"Kalau aku? Entahlah. Yang jelas, aku menyukainya. Terutama matanya itu. Terkadang lembut, tapi bisa juga tajam. Kadang bersahabat, kadang juga dingin menyengat. Uwaa ... his eyes is like a mosaic to me, Neku-chan."

Shuuna segera memeluk boneka itu dengan erat. Lalu dengan childish-nya malah berguling-guling di kasurnya. Kebiasaannya jika sedang bingung atau penasaran. Hingga tidak sadar, ia malah tertidur pulas.

*****

"Apa tidak merepotkan jika aku berkunjung ke rumahmu tanpa pemberitahuan, Aiko?" tanya Shuuna seraya menatap mata Aiko yang langsung menggeleng. Begitu polos.

Saat ini, mereka tengah berada di depan rumah keluarga Aiko. Gadis itu sendiri yang menyeretnya ke sini dengan alasan ingin meminta ajar terhadap pelajaran yang tak ia pahami. Dan Shuuna tidak mempunyai alasan untuk menolaknya.

"Konbanwa, Naosu-senpai," ujar Shuuna begitu lelaki itu tak sengaja melintas di depan mereka. Naosu pun berhenti. Lalu memberikan senyumnya kepada adik sang partner.

"Konbanwa mo, Shuuna. Tumben sekali kau ke sini. Di mana Aisozou? Mengapa ia tidak ikut?" tanya Naosu ramah.

"Kebetulan Aiko memintaku untuk mengajarinya beberapa pelajaran. Jadi, ia mengundangku ke sini. Mengenai Ai-nii sendiri, ia bilang ia harus berlatih bersama Otou-san."

"Padahal Aiko juga sudah sudah mengajak Aisozou-senpai ke sini," celetuk Aiko menyambung penjelasan Shuuna tadi. Ia pun mencebikkan bibirnya kesal mengingat sikap Aisozou yang menolak permintaannya.

"Aisozou sudah mengatakan alasannya padamu, Aiko. Dan jangan pernah memperlihatkan sifat menjengkelkanmu itu padaku lagi," tegur Naosu. Aiko pun segera mengembalikan ekspresi wajahnya seperti semula.

"Apakah Naosu-senpai memang sedikit galak seperti itu?" bisik Shuuna begitu Naosu pergi. Aiko pun menganggukinya.

"Otou-sama benar-benar mendidik Nao-niisama dengan baik. Tak mengherankan jika kakakku itu malah mengikuti sifatnya," ujar Aiko. Ia pun mengerjap kemudian melirik Shuuna.

"Ah iya! Mengapa kita malah berbincang di sini. Ayo, Senpai! Kita masuk!" Shuuna pun terpaksa menyejajarkan langkahnya agar sama seperti Aiko yang menariknya dengan semangat.

Di dalam, Shuuna pun memerhatikan interior di sekelilingnya. Nuansa Jepang zaman dulu benar-benar terasa dengan jelas di sana. Bahkan beberapa jenis pedang dipasang dengan bangga sebagai sebuah hiasan di beberapa bagian. Membuat Shuuna merasa tak nyaman beberapa saat.

"Shuuna-senpai?"

Ia pun menoleh begitu namanya dipanggil. Lantas tersenyum pada Aiko yang membawa nampan berisi teh dan kue mochi. Shuuna pun menggeser tempat duduknya, memberi ruang pada Aiko untuk meletakan bawaannya.

"Maaf ya jika Senpai merasa tidak nyaman dengan suasana di ruangan ini," ujar Aiko setelah berhasil mendapat posisi yang nyaman. Shuuna pun hanya tersenyum kikuk.

"Bisa kita mulai pelajarannya?" ujar Shuuna. Aiko pun mengangguki, lantas mulai mendengarkan apa yang Shuuna jelaskan padanya. Ia benar-benar antusias akan bagaimana cara Shuuna mengajarinya.

Setelah nyaris satu setengah jam belajar, mereka pun memutuskan untuk beristirahat. Kembali berdiskusi, dengan topik bebas kali ini.

"Kudengar dari Aisozou-senpai, Shuuna-senpai sangat menyukai permen kapas ya? Sampai pernah batuk parah karena itu," ujar Aiko. Mata bulatnya menyorot Shuuna dengan rasa penasaran.

"Ehee ... ya begitulah. Soalnya itu manis dan lembut sih. Enak," timpal Shuuna. Ia pun memutuskan untuk mencoba berbagai jenis mochi di depannya ini.

"Seingatku, ini kesukaannya Aiko kan?" Shuuna mengancungkan mochi berwarna kehijauan. Bau matcha menguar samar darinya.

"Ha'i! Aiko sangat suka mochi. Makanya Okaa-sama setiap hari menyediakannya untuk Aiko," jawab Aiko. Matanya menyipit akibat senyuman. Sementara bagian pipinya segera menggembung lucu. Membuat Shuuna refleks menjawil bagian itu.

"Kya! Pipimu kenyal sekali, Aiko. Sama seperti mochi ini," ujar Shuuna seraya terus memainkan pipi Aiko dengan gemas. Dan sang kouhai sepertinya sama sekali tidak bermasalah dengan itu.

"E-etto ... Shuuna-senpai..." Suara Aiko yang sedikit aneh membuat Shuuna menyadari tindakannya. Ia pun melepaskan tangannya dan meminta maaf karena sudah bertindak kurang sopan.

"Daijoubu dayo. Ini masih tidak seberapa bila dibandingkan dengan cubitan Okaa-sama. Malah ia sering lupa kalau Aiko ini anaknya jika sudah dipeluk."

"Lho, kok begitu?"

"Okaa-sama juga sering mencubit pipi Aiko dengan gemas. Dengan ujung Aiko akan diperlakukan seperti boneka olehnya."

Shuuna dan Aiko sama-sama menahan tawa mendengar hal itu. Sepertinya lucu jika melihat Aiko akan diperlakukan seperti boneka oleh ibunya sendiri.

"Ngomong-ngomong, sebenarnya ada yang ingin Aiko tanyakan kepada Senpai sedari kemarin," ujar Aiko. Tatapannya mendadak menajam.

"Menanyakan apa?"

"Lelaki yang kemarin menabrak Shuuna-senpai ketika kita pulang sekolah itu, apakah kau menyukainya?" Aiko menelengkan wajah polosnya begitu melihat perubahan samar di raut wajah Shuuna.

"Tidak."

"Tidak?"

"Ya. Aku tidak menyukai lelaki itu," jawab Shuuna tenang. Walau pada kenyataannya, ia berusaha meredam getar tubuhnya dengan cara menggigit bibir dalamnya sendiri.

"Tapi cara dan ekspresi Senpai ketika ia menolongmu itu berbeda. Aiko seperti melihat ada perasaan malu bercampur senang di wajahmu walau Shuuna-senpai memasang wajah datar padanya." Aiko meneguk tehnya dengan tenang. Kemudian kembali menatap Shuuna yang semakin terpojok.

"Itu hanya perasaanmu saja, Aiko. Aku memang seperti itu pada lelaki di luar teman mainku sehari-hari," jelas Shuuna berusaha untuk membuat Aiko percaya padanya.

"Hal itu juga yang dikatakan Okaa-sama kalau Aiko menanyakan hal yang serupa. Dan biasanya itu artinya sebaliknya. Kalau kata Nao-niisama sih, istilahnya "Tsundere" ya?" Aiko memainkan bola matanya dengan penuh ekspresi. Seolah yakin kalau yang ia katakan itu benar.

"Aku bukan tsundere!"

Aiko refleks mundur mendengar suara Shuuna yang meninggi padanya secara tiba-tiba. Sementara lawannya segera menyadari itu. Kemudian mati-matian meminta maaf kepada kouhai yang merangkap sebagai adiknya itu.

"Shuuna-senpai serius kalau kau tidak menyukai lelaki itu?" ujar Aiko mengembalikan mereka ke topik semula. Shuuna mengangguk pasti.

"Ah, sekarang aku jadi sadar. Pantas Shuuna-senpai memasang wajah datar kemarin. Itu karena memang Shuuna-senpai tidak menaruh hati padanya," lanjut Aiko.

"Apa maksudmu, Aiko?"

"Bila kita menyukai sesuatu, bukankah kita harus menaruh hati kita pada hal itu? Kalau dalam menyukai seseorang, berarti itu diwujudkan dengan bagaimana sikap kita kepadanya. Ya kan?"

Shuuna tertegun sebentar. Perbincangan singkat ini entah mengapa malah membuat sesuatu terjungkirbalikan di dalam kepalanya. Namun sayang, Shuuna tidak tahu apa hal itu.

"Apakah contohnya sama seperti ketika Aiko mengungkapkan perasaan suka pada Ai-nii?" Celetukan Shuuna kontan membuat Aiko memerah sempurna. Membuat Shuuna terkikik kecil karena bisa membalas perlakuan gadis itu padanya.

"Ta-tapi setidaknya Aiko sudah jujur pada perasaan Aiko sendiri. Juga Aisozou-senpai tak marah akan hal itu." Aiko menggembungkan pipinya, lalu memasang pose bersedekap lengkap dengan mata terpejam. Malah kepalanya ia tolehkan ke arah lain.

Membuatnya tidak melihat Shuuna yang menunduk, karena ia secara tak sadar berhasil menyindir gadis itu dengan telak.

*****

Keesokannya, tugas dari guru bahasa membuat Shuuna harus mencari buku yang diperlukan ke perpustakaan. Di saat teman-temannya yang lain sedikit mengeluh karena itu, Shuuna malah senang karena bahasa adalah mata pelajaran favoritnya.

Dengan membawa beberapa perlengkapan, Shuuna pun berjalan sendirian menuju tempat yang terletak di pojok sekolah itu. Walau sedikit terasingkan, tapi lokasinya benar-benar strategis. Tempat yang diklaim merupakan tempat ternyaman di SMA Teiko itu.

Hati-hati, ia membuka pintu ruangan itu. Terlihat olehnya sosok ringkih yang menjaga bagian resepsionis. Ia pun melangkah ke sana.

"Ohayou, Sakabuya-sensei!" sapa Shuuna. Ditundukkannya kepalanya sedikit guna menghormati sosok ringkih itu.

"Ohayou mo, Nijimura-chan. Apakah ada yang bisa Sensei bantu?" balasnya ramah. Ia dan Shuuna memang sudah akrab akibat seringnya gadis itu yang mengunjungi perpustakaan. Hingga Sakabuya mau tak mau akhirnya hafal dengan kepribadian gadis itu.

"Apa kau mencari buku sastra terbaru?" lanjutnya begitu melihat Shuuna yang kebingungan di depan meja tempat ia berjaga.

"Etto ... sebenarnya aku tengah mencari buku roman klasik. Apakah ada?" ujar Shuuna akhirnya.

"Roman klasik? Tak biasanya kau membaca yang seperti itu, Nijimura-chan," timpal Sakabuya. Ia pun segera menarikan jemarinya di atas keyboard guna mencari data akan buku yang dimaksud.

"Ini sebenarnya tugas dari Kei-sensei. Ia meminta kami untuk meresensi buku-buku roman klasik yang ada di perpustakaan." Shuuna bergeser. Mencoba melihat bagaimana sensei-nya itu mengutak-atik layar.

"Ah, gomen nasai. Sepertinya ada masalah di bagian server-nya," sesal Sakabuya begitu melihat komputer yang ia gunakan mendadak lambat. Ia segera bangkit dari tempatnya.

"Aku akan mencoba untuk memeriksanya. Kau tunggulah sebentar. Atau jika kau mau, kau bisa mencarinya sendiri di bagian buku-buku klasik. Kau masih ingat letaknya kan?" tanya Sakabuya saat melihat Shuuna.

"Rak 11-E lorong ketiga sampai kelima," jawab gadis itu mantap.

"Anak pintar." Setelah menepuk kepala Shuuna lembut, wanita paruh baya itu pun segera meninggalkan gadis yang langsung menuju tempat yang tadi ia sebut itu.

Sesekali Shuuna berhenti begitu mendapati buku-buku yang menarik perhatiannya. Lantas beberapa saat kemudian, ia kembali teringat akan tujuan ke perpustakaan ini. Lagi, ia pun segera melangkah menuju tempat yang ia tuju.

Ah, tempat favorit. Batin Shuuna begitu ia sampai di rak 11-E lorong ketiga. Tempat dengan koleksi buku sastra hingga rak yang sama di lorong kelima. Yang otomatis menjadi habitatnya selama ada di sana.

Di awal, Shuuna hanya melihat-lihat judulnya saja karena ia sudah hapal buku-buku yang berada di bagian itu. Semakin dalam, jemari putihnya mulai menggeser satu persatu buku yang ada. Berharap yang ia cari sedang terselip manja di antaranya. Namun, tetap saja hasilnya nihil. Bahkan hingga lorong ketiga habis ia jelajahi.

Berpindah ke lorong keempat, ia terkejut karena mendapati sesosok lelaki yang membelakanginya. Sungguh. Ia sudah tahu siapa pemilik punggung dengan bahu yang kokoh itu. Namun, kaki Shuuna enggan bergerak begitu melihat angin yang iseng memainkan surai lelaki di depannya ini.

Begitu tubuh di depannya itu hendak memutar, di saat itulah kesadaran Shuuna kembali. Dengan cepat, ia pun segera menghilang ke lorong kelima. Sedikit menyandar, Shuuna pun memilih untuk mengistirahatkan jantungnya yang nyaris berada di luar kendali jika seandainya ia bertemu dengan tatapan yang selalu menghantuinya itu.

Setelah dirasa tenang, Shuuna pun mulai mengobservasi tempat itu. Membolak-balik buku, melihat judul, membaca blurb, bahkan sampai membaca satu bab lebih isi buku yang ada di depannya ia lakukan. Tetap saja. Buku sastra roman klasik yang ia cari tak ada di sana.

"Mungkinkah ada di lorong keempat? Tapi..." Shuuna menggigit bibir bawah. Benar-benar ragu untuk pergi ke tempat itu, kecuali jika penghalangnya sudah hilang.

Akhirnya, Shuuna memutuskan untuk menengok sedikit. Ia pun mengembuskan napas kesal saat mendapati lelaki itu masih ada di sana. Ayolah! Dia harus segera mendapatkan buku itu untuk membuat Sensei yakin bahwa ia mengerjakan tugas.

Perlahan, Shuuna pun menggigit bibir dalamnya. Itu ia lakukan agar ekspresi wajahnya tetap datar walau dalam kondisi apapun. Terlebih seperti ini. Setelah merasa yakin, ia pun berjalan menuju lorong keempat.

Tatapannya segera terfokus pada deretan buku yang ada. Mulai melakukan hal yang sama dengan sebelumnya. Sampai ia menyadari bahwa buku yang ia cari ternyata ada di rak ketiga di atas bagian yang ia bongkar.

Tentunya ia sangat menyadari akan tubuhnya yang bertinggi minimalis itu. Refleks, ia pun berjinjit, sesekali melompat, hanya uuntuk meraih buku yang ternyata tetap saja tidak sampai itu.

"Ugh ... mengapa susah sekali?!" rutuknya saat mengambil napas karena kelelahan melompat. Saat ia mendongak, buku itu sudah ada di hadapannya. Plus dengan jemari putih yang menggenggamnya erat. Membuat mata Shuuna membola. Sekaligus segera melarang tubuhnya untuk berbalik.

Jangan bilang kalau ini adalah dia! Batin Shuuna kesal. Ia hanya menatap buku itu, lalu menunduk. Hilang sudah minatnya untuk mengambil benda itu.

"Mengapa kau tak mengambilnya? Padahal tadi kau sampai melompat untuk buku ini."

Suara khas itu langsung menyapa telinga Shuuna dari belakang. Membangkitkan refleks terkejutnya yang menyebabkan ia berbalik lalu menabrak rak di belakangnya.

Shuuna tetap memasang wajah datar walau dalam hati ia mengaduh luar biasa. Bukan karena rasa sakit akibat rak kayu itu. Melainkan karena Shuuna dapat merasakan dengan jelas lengan yang melingkari pinggangnya. Begitu ... kekar dan hangat.

"Maaf saja. Tapi aku tidak pernah memintamu untuk melakukannya," ujar Shuuna dingin walau menyadari bahwa jarak di antara mereka menyempit. Lelaki itu tersenyum tipis. Ditambah tatapan intens pada manik cokelat Shuuna. Membuat sesuatu di balik seragam gadis itu semakin berpacu.

"Terserah kau saja," ujarnya kecil. Ia pun menepuk kepala Shuuna menggunakan buku itu, lalu melepasnya begitu saja. Hingga mau tak mau gadis itu harus menangkapnya. Kemudian merutuk kesal begitu menyadari bahwa ia menerima pemberian lelaki itu walau secara tak langsung.

Lelaki itu kemudian menghilang di belokan di ujung lain. Jemari Shuuna segera memegang pinggiran rak dengan cepat begitu kakinya terasa bergoyang. Sepertinya, tubuhnya terlalu shock akibat perlakuan lelaki itu.

Kami-sama ... apa yang terjadi denganku?

*****

Sepulang sekolah...

Di saat ia akhirnya memutuskan untuk mengucapkan terima kasih pada lelaki itu, ia terpaksa menelan pil pahit. Di seberang lapangan sana, terlihat jelas olehnya lelaki pengunci hatinya itu tengah berduaan dengan seorang perempuan. Asyik berbicara hingga melupakan lingkungan sekitar.

Shuuna akui, ia terlalu terbawa suasana saat itu. Suasana yang begitu romantis seperti yang sering ia baca di novel-novel. Ya. Saking romantisnya, Shuuna pun memilih untuk menuju bak sampah. Meletakan bungkusan berisi sebuah note dan bolpoin yang sedianya akan ia berikan sebagai ucapan terima kasih. Lalu berubah menjadi guliran air mata yang segera ia hapus.

*****

Shuuna menatap novelnya dengan malas. Sudah sepuluh menit berlalu dan matanya masih setia menetap pada halaman yang sama. Memilih untuk mengulang eja daripada melanjutkan cerita.

Lalu, ingatan akan hari kemarin kembali membayang di benaknya. Ingatan yang bercokol kuat padahal sama sekali tidak diharapkan oleh gadis itu. Seharusnya ia tidak menyimpan memori yang sungguh menyakitkan seperti itu.

Ia mengerjap begitu tersadar akan sesuatu yang mengumpul di pelupuk mata. Kemudian, novel itu ia taruh menggunakan tangan kanan ke atas meja belajarnya. Sementara yang kiri segera merengkuh boneka kucing yang hanya menonton dari tadi.

"Neku-chan ..." panggilnya tanpa menyadari jika suaranya sedikit serak.

"I'm so stupid, right? Untuk sementara, aku berharap kita bertukar posisi. Sepertinya berdiam diri menunggu untuk dipeluk itu lebih menyenangkan daripada berusaha memeluk yang tidak mungkin, bukan?" Lantas, boneka kucing itu pun segera terengkuh hebat. Menjadi saksi atas aliran air bergaram yang membasahi bulunya dengan lebat.

Setelah merasa sedikit lega, Shuuna pun menuju kamar mandi. Dibersihkannya muka itu hingga tak lengket lagi. Lalu dengan mantap menuju kamar sang Aniki guna mencari sesuatu.

"Ai-niichaan!!" panggil Shuuna sedikit berteriak karena suasana di sekitar kamar Aisozou begitu sepi. Pintu terbuka beberapa saat kemudian. Menampilkan Aisozou dengan rambut acak-acakan serta mata yang menyipit. Baru bangun tidur sepertinya.

"Shuuna? Ada apa, Dik?" lirihnya.

"Niichan punya buku yang berisi nada-nada dan sejenisnya kan? Boleh aku pinjam sebentar?"

Aisozou mengeryit. Lalu mengangguk singkat. Pikirnya, Shuuna pasti tengah membuat atau menyusun lagu. Berkata bahwa ia yang akan meyusun nadanya. Walau berujung pada Aisozou yang harus mengambil alih untuk itu semua.

"Kali ini, lagu apa yang akan kau buat, Shuuna? Apakah bersemangat atau sedikit mellow?" tanya Aisozou begitu tangannya mengangsurkan dua buah buku sesuai pesanan adiknya.

Shuuna pun menggeleng. Selama ini, kakaknya itu memang tahu hobinya yang membuat lagu. Karena ia selalu meminta kepada Aisozou untuk membuatkan nada bagi lirik-lirik yang sudah ia susun. Namun untuk kali ini, Shuuna ingin merahasiakannya. Hanya lagu ini saja.

"Aku hanya ingin membacanya saja. Aku bosan akan buku-buku di kamarku. Jadi, aku ingin mencoba sesuatu yang baru," timpal Shuuna. Aisozou hanya mengangguk singkat. Lalu tanpa banyak bicara segera menutup kembali pintu kamarnya. Kembali mencoba untuk menyambung mimpi tadi sempat terputus.

Sementara itu di kamarnya, Shuuna hanya hanya menatap nanar pada buku yang terbuka di depannya. Tak ada satupun kata yang terserap oleh pikiran. Apalagi gambar berbagai not beserta partitur-partitur yang ada semakin membuat semuanya menjadi tidak jelas bagi gadis itu.

"Huft ... sepertinya aku memang harus melakukannya sendiri," ujar Shuuna. Ditaruhnya buku Aisozou dengan hati-hati. Setelah itu, ia membongkar buku khusus tempatnya menulis lagu. Mengambil sebuah catatan yang terselip di sana. Lalu tersenyum getir saat membacanya.

Tiga bait tulisan bermajas itu tertulis tepat setelah ia melihat kejadian menyakitkan itu. Sama sekali merupakan pelampiasan yang menenangkan sekaligus pengenang yang menyakitkan. Dan Shuuna berusaha untuk menghargai karya pikirannya itu. Walau di satu sisi, ia ingin melenyapkan kertas itu sesegera mungkin.

Perlahan, Shuuna mengetukkan jarinya. Mencoba meniru Aisozou dalam membuat nada. Beberapa kali ia menggeleng begitu mendapati alunan yang tidak sesuai dengan liriknya. Hingga akhirnya ia menyerah. Membuat nada sama sekali bukan keahliannya.

"Bila kita menyukai sesuatu, bukankah kita harus menaruh hati kita pada hal itu? Kalau dalam menyukai seseorang, berarti itu diwujudkan dengan bagaimana sikap kita kepadanya. Ya kan?"

Suara Aiko kembali membayang teriringi dengan senyum gadis kecil itu ketika mengucapkannya. Shuuna pun berbaring. Menutup mata. Lalu mencoba menaruh hatinya pada sekumpulan lirik yang sudah ia hapal di luar kepala. Membiarkan nada jiwanya keluar dengan sempurna menjadi rangkaian simfoni yang terasa indah, namun pilu di saat yang bersamaan.

Kurai yoru no you ni, tsuki ga inai

Just the sparkling stars that adorn it

I think that's our relationship

Just know the name

Without any action

That's make me speechless

Sore nimokakawarazu

Watashi wa aji o tamotsu

Anata no yoru no tamashii no ue ni

Watashi wa matte iru...

Shuuna terdiam sebentar. Dibukanya mata yang telah mengembun sempurna itu. Mencoba menenangkan deru napas beserta detak jantung yang membuatnya sedikit sakit. Sebelum akhirnya menaruh lengan guna menutupi matanya kembali. Merangkai senyum lebar walau ia tahu bahwa kristal bergaram masih mengalir deras.

Tsuki ga kireii....

.

.

.

//auto peluk Shuuna// gomen ne karena sudah membuat ceritamu seperti ini, Sayang ><

Tapi entah kenapa aku suka sama cerita ini. Sayangnya belum nemu nada yang pas untuk lagunya Shuuna. Hwaa ... "Okaa-san" macam apa aku ini...//dilempar

Hope you like it!

Continue Reading

You'll Also Like

223K 14.2K 51
Ini tentang seorang anak perempuan yang hidup tapi berkali-kali dimatikan, anak perempuan yang mentalnya dihancurkan oleh keluarganya sendiri, dan an...
987K 72.1K 72
"You do not speak English?" (Kamu tidak bisa bahasa Inggris?) Tanya pria bule itu. "Ini dia bilang apa lagi??" Batin Ruby. "I...i...i...love you" uca...
528K 52.8K 36
Just brothership not bl! Ketika menjalankan misi dari sang Ayah. Kedua putra dari pimpinan mafia Alexander malah menemukan bayi polos yang baru belaj...
174K 19.9K 73
Ini Hanya karya imajinasi author sendiri, ini adalah cerita tentang bagaimana kerandoman keluarga TNF saat sedang gabut atau saat sedang serius, and...