Chapter 3 : Gula dan Semut
"The aura of your existence is intense enough to make me believe that love exist." –V.A
***
"Ya ampun, kak! Kita ketemu lagi, padahal aku belum nyariin lho," ucap cewek itu antusias. "Kak Yasa mau fotokopi juga?" tanyanya dengan mata berbinar bahagia.
Yasa melirik sekelilingnya resah. Mau kabur sekarang tapi kertas soal bahasa Inggris milik Pak Imam ini belum terfotokopi, bisa-bisa dia kena sembur Pak Imam kalau sampai pulang ke kelas dengan tangan kosong. Mau menetap disini, resikonya dia harus berinteraksi dengan makhluk paling menyebalkan yang pernah dia temui di alam raya.
Menanggapi pertanyaan cewek di depannya yang tak lain adalah Daza, Yasa cuma mengangguk.
"Kak, aku boleh jujur nggak?"
"Apa?" tanya Yasa penuh antisipasi.
"Dari yang terakhir kali aku inget, Kak Yasa sekarang makin ganteng, makin tinggi, makin wangi, makin oke pokoknya!" ucap Daza dengan senyum lebar. Suara Daza menarik perhatian beberapa pasang mata di sekitar sini. Sebut saja Elsa. Karena telinga Elsa masih berfungsi dengan baik, dia bisa mendengar langsung pujian alay itu. Ketua ekskul PMR itu langsung rolling eyes dan melangkah menjauh dengan raut jengah sambil membawa hasil fotokopiannya.
Daza menarik tangan Yasa, mengajak cowok itu duduk di sebuah kursi panjang tak berpenghuni. Dan tahu reaksi terbego yang pernah diberikan tubuh Yasa? Dia sama sekali tidak mengelak!
Yasa mengusap pelipisnya perlahan. "Lo ngapain, bocah?" geramnya.
"Apanya?"
"Lo ngapain ngajak gue duduk berdua disini?" Yasa melirik-lirik sekitar, takut-takut ada orang yang memergokki mereka disini. Kalau ada anak kelasnya yang kebetulan lewat, gosip tidak mengenakkan takutnya tersebar.
"Yah, biar kita bisa ngobrol lah, Kak. Udah setahun lho kita nggak ketemu." Senyum tanpa dosa Daza mengembang sempurna.
"Lo kenapa harus sekolah disini, sih?!"
"Biar sama kayak Kak Yasa!" jawabnya tanpa mikir panjang.
Bah! Yasa langsung membuang muka. Sikap Daza yang blak-blakan ini benar-benar membuatnya mati gaya.
"Nggak usah sok akrab sama gue, lo tuh cuma adik kelas gue pas SMP. Nggak lebih."
"Yeee, masih sombong aja kamu, Kak. Kayak nggak inget aja kita pernah ngapain aja pas SMP."
Kerutan muncul diantara kedua alis Yasa. Ditatapnya Daza dengan tampang aneh. Pernyataan cewek itu terdengar ambigu. "Emang kita pernah ngapain aja?"
Daza mulai senyum-senyum kayak orang gila.
"Mikirin apa lo?!"
Daza nyengir, memperlihatkan giginya yang berbaris rapi. "Kakak nggak inget ya kita dulu itu kayak dua magnet berbeda kutub?"
"Nggak usah sok-sokan pake majas untuk memperindah karangan bebas lo."
"Yeee, kak Yasa aja kali yang nggak mau nerima kenyataan. Kita tuh emang kayak magnet beda kutub."
"Kita nggak tarik menarik."
Daza berpikir sejenak, "Iya juga sih. Jadi, kita kayak apa dong?"
"Ya nggak kayak apa-apa! Ribet banget, sih."
"Nggak, nggak, harus ada persamaannya. Anggap aja kayak magnet beda kutub."
"Nggak gitu. Gue lebih setuju kalau kita disamain kayak gula dan semut."
"Nah iya, bisa juga! Aku pasti gulanya kan karena aku manis?" Daza melempar senyum untuk memperlihatkan lesung pipinya. Yasa langsung mendengus. Sangat tidak natural!
"Gue yang gula. Lo itu semut yang selalu nyariin dan datengin gula. Gula mah posisinya diem, malah nggak suka dikerubungin semut."
Setelah melontarkan itu, Yasa merasa bego. Bisa-bisanya dia terbawa suasana dengan ikut menganalogikan hubungannya dengan Daza. Di depan cewek itu pula.
Daza terdiam sesaat, tampak mikir berat. "Bener juga sih," gumamnya kemudian. "Tapi salahin gulanya juga dong, kok ditakdirkan manis, makanya semut suka. Jadi, dia harus nerima takdirnya juga kalo semut mau deket-deket dia terus."
Yasa membuka suara hendak berkomentar, namun mulutnya tertutup kembali, bingung harus bicara apa.
"Mau kayak magnet beda kutub atau gula dan semut, yang jelas, hubungan kita dulu emang sedeket itu."
Yasa menampilkan raut protes, "Deket dari mana coba?"
"Aku dan Kak Yasa bisa dibilang deket karena dimana ada Kak Yasa, pasti ada aku." Daza mulai mengangkat jarinya, berlagak menghitung. "Kak Yasa jajan di kantin sama temen-temen kakak, aku pasti ada di meja sebelah kak Yasa. Kak Yasa main tenis, aku bantuin mungutin bolanya. Terus, pas Kak Yasa ganti baju di toilet, aku nungguin depan pintu toilet biar nggak ada yang berani ngintipin kakak. Dan yang paling berkesan itu, kakak nggak jadi nembak Kak Windy karena pas mau nembak, aku muncul dan detik itu Kak Yasa langsung mikirin perasaan aku."
Rentetan kalimat yang meluncur mulus dari bibir Daza membuat mulut Yasa sedikit ternganga. Kedekatan macam apa itu?! Dan untuk apa pula Daza mengingat sedetail itu? Dia kira memori itu adalah memori yang patut diingat-ingat karena punya kesan yang bagus? Tidak!
Dan ada satu hal yang harus Yasa ralat dengan keras. Yasa batal nembak Windy bukan karena mikirin perasaan Daza. Orang dia batal nembak Windy karena saat itu dia lihat wajah Daza udah kayak mau nerkam gebetannya yang manis itu. Daza kelihatan bakal ngamuk dan Yasa tidak mau menghadapi drama-drama semacam itu.
"Lo tuh cuma berbakat gangguin gue dan ngerusak imej gue," cetus Yasa tidak bohong. Daza mencibir.
Bayangkan, seorang cewek menunggunya di depan pintu toilet ketika dia ganti baju. Mungkin menurut Daza yang otaknya agak gesrek itu hal semacam itu sah-sah saja. Tapi bagaimana dengan pemikiran orang yang kebetulan mau memasukki toilet dan bertanya kepada Daza kenapa dia berdiri disitu. Daza akan menjawab dengan polos, "Aku nungguin Kak Yasa biar nggak ada yang ngintipin dia ganti baju." Dijamin orang yang mendengar jawaban Daza itu akan tertawa ngakak dan berpikiran bahwa hubungannya dengan Daza begitu unik.
Itu adalah salah satu contoh kejadian yang sukses menjatuhkan imej cool dan berwibawanya.
"Kak Yasa kelas berapa, ya, kalau boleh tahu? Sebelas IPA atau IPS?"
"Lo nggak perlu tau."
"Ih, pelit banget. Aku cuma penasaran, Kak. Kalo aku sih masuk IPS."
"Itu karena IQ lo di bawah rata-rata!"
"Enggak. Sistemnya bukan karena IQ kok. IQ aku 124. Emang aku milih IPS."
"Nggak nanyak. Udah, mending lo fotokopi sana!"
"Masih ngantre, kak."
Yasa lagi-lagi menghela napas. Dari posisi menyamping, Daza memandangi wajah cowok yang sudah ditaksirnya semenjak di SMP itu. Ada perasaan senang yang luar biasa dalam diri Daza karena setelah satu tahun perpisahan, akhirnya dirinya bisa kembali bertatap muka dengan cowok ini.
"Nggak usah gitu banget ngeliatin gue. Ntar lo ileran," ujar Yasa sambil mengusap tengkuknya. Jengah akan tatapan memuja cewek di sampingnya itu.
"Salting ya aku liatin?"
"Ngarep lo."
"Wajar dong salting, kan cewek cantik yang ngeliatin."
"Aduh, Za, udah deh, jangan bikin gue makin ilfeel. Pergi sana, gue nggak mau berurusan sama lo lagi."
"Ih, sok cool banget sih, masih aja kayak dulu."
"Lo juga masih aja cerewet dan nyebelin kayak dulu."
"Tapi aku ngangenin kan, kak?" tanya Daza dengan mata berkedip-kedip so imut.
"Gue heran, kok ada ya spesies cewek kayak lo di dunia ini? Sialnya, spesies macem ini, kenal sama gue lagi. Cobaan hidup gue berat banget, asal lo tau."
"Nggak seberat cobaan hidup aku yang harus denger kata-kata itu dari orang yang kusuka." Daza nyengir.
Yasa cuma bisa geleng-geleng kepala. Tidak mengerti lagi harus bagaimana menghadapi cewek yang sialnya tampak cukup manis dengan bandana kecil berpita pink yang menghias rambut lurus sebahunya sekarang.
***
Yang pernah atau sedang naksir kakak kelas, mana suaranyaaa? Apa sih suka duka naksir kakak kelas? Cerita dong wkwkkwwk.
Thanks for reading!💖