A Second Before Midnight (On...

By anastachie

47.8K 5.8K 2.7K

A story of nine people that live a different life, but walking on the same path. A story about work, dreams... More

Introduction
Dear No One
No Answer
Thinking About You
Fresh Eyes
By Chance
Pemuja Rahasia
Turn Back Time
Notice!
Honeymoon
Thousand Miles

Lemonade

3K 533 254
By anastachie

Lemonade (Ukulele Ver.)
by Jeremy Passion

| Ayla |

Flashback.

Maret, 2012.

Kakak kandung gue, Alyosha Jerino Zachari, menyodorkan sebuah benda putih ke arah gue seiring dia masuk ke dalam rumah setelah membuka pintu karena ada bell tadi.

"Apaan nih?" Tanya gue bingung sambil mendongak ke arah dia, yang emang tinggi banget.

"Undangan kayanya. Temen kamu kali." Jawab Kak Yosha sebelum berjalan kembali ke sofa yang tadi dia duduki.
"Wets? Temen lo udah ada yang nikah?! Gila gila anak jaman sekarang kayanya nikah muda semua ya." Kali ini Arsani Gavin Zachary yang nyaut, kakak nomer dua gue.

Bukannya menjawab, gue malah melihat inisial di depan undangan itu, sebelum membukanya.

Huruf A dan E tertulis di depan, dan nama yang gue baca di dalam membuat gue membelalakkan mata gue lebar lebar.

"Oh... my... God..." Bisik gue pelan saat melihat kedua nama mempelai yang tertulis di bagian dalam undangan.
"Kenapa?" Tanya Kak Sani sambil menunjukkan muka penasarannya.

"Gak... ini... kakak kelas gue... tapi gue..."

Bingung.

Omongan gue terputus saat gue membaca nama itu lagi.

Ariska Lodya dan Elfiky Muchtar.

Bukan nama yang gue harapkan gue liat saat ini. Karena gue gak pernah nyangka satu kali pun, bahwa setelah gue gak pernah contact lagi sama Kak Ariska dan Fabio, mereka putus. Dan bahkan Kak Ariska bakalan nikah sama cowok... yang bukan Fabio.

"Kenapa sih?! Disuruh pake kostum tinker bell kondangannya? Muka lo kaget amat." Lagi lagi Kak Sani nyerocos sebelum menarik undangan itu dari tangan gue.
"Bukan... ini kakak kelas gue tuh.. dulu deket banget sama gue, terus gue kaget aja nikahnya bukan sama pacarnya yang dulu... yang juga temen deket gue dulu." Jelas gue masih sambil bengong.

Terakhir kali gue ketemu sama Kak Ariska adalah saat angkatan Fabio dan Kak Ariska lulus, dan gue harus tampil tari saman di acara wisuda mereka. Waktu itu bahkan gue masih motoin mereka berdua sambil mereka megang ijazah mereka masing masing. Dan gue selalu berfikir kalau mereka bakalan terus lanjut sampai di atas pelaminan.

Sedangkan pertemuan gue dengan Fabio yang terakhir adalah beberapa bulan setelah mereka lulus, saat gue harus jadi ketua panitia untuk acara Merah Putih Garuda, pelatihan anak paskib angkatan bawah gue yang diadakan di cibubur.

Dan ya emang sih, waktu itu dia akhirnya jaga bareng gue di tengah hutan. Tapi kita keasikan ngerjain adek kelas sampe gue gak kepikiran sama sekali juga buat nanyain tentang dia dan Kak Ariska.

"Apaan sih. Orang undangan biasa. Sabtu depan tuh, siap siap reuni deh lo." Kak Sani langsung mengembalikan undangan tadi ke gue setelah dia selesai membaca. Dan gue kembali bengong menatap kedua nama itu.

Sayang banget... padahal mereka secocok itu...

Akhirnya hari di mana gue bakalan ketemu banyak kakak kelas gue dulu dateng juga. Iya, ternyata anak di angakatan gue bener bener cuma gue doang yang diundang. Ya iya sih, gue aja rada kaget Kak Ariska masih punya alamat gue. Padahal kita bener bener gak pernah contact setelah dia lulus SMA.

Gue memutuskan untuk menggunakan dress berwarna hitam simple yang gue temukan di lemari setelah mungkin beberapa tahun gak pernah gue sentuh. Dan gue yang baru mulai nyoba nyoba dandan setahun terakhir ini gagal berusaha makeup sendiri dan akhirnya kabur ke salon secara mendadak.

"Loh? Udah mau jalan?" Tanya Kak Yosha begitu gue berjalan keluar dari kamar gue, yang terletak di dekat ruang TV gue.
"Takut macet Kak." Jawab gue sambil berjalan ke arah rak sepatu besar yang ada di dekat ruang tamu rumah gue. Tapi ternyata Kak Yosha berjalan mengikuti gue, dan melihat gue dari atas sampe bawah, sebelum mengacak acak rambut gue.
"AH! KAK! RAMBUT AKU BERANTAKAN LAGI KAAAN!"
"Adek Kak Yosha udah gede ya. Udah cantik kaya Mamah pas masih muda." Ujar Kak Yosha sambil menarik gue ke pelukannya.
"Adooooh apa sih ini aku jelek lagi deeeh!"
"Gak kok masih cantik. Tenang aja. Hm... ayo deh Kak Yosha anter."
"Ih beneran?!"
"Iyaa. Kakak ambil dompet sama hape dulu tapi di kamar."
"Okeee!"

Gue tepuk tangan sendiri sebelum memakai sepatu hak tinggi berwarna hitam polos dan berjalan ke arah garasi untuk menunggu Kak Yosha.

Sepanjang perjalanan gue bener bener gak bisa berhenti mikirin gimana gue bakalan cepet cepet salaman, makan, dan langsung balik aja. Karena gue tau gue cuma bakalan kaya orang bego di sana. Yah, paling gak abis ini gue bisa membayar rasa penasaran gue akan siapa suami Kak Ariska dan bakalan bisa makan enak.

"Mau ditungguin gak?" Tanya Kak Yosha begitu mobilnya berhenti di depan lobby.
"Gak usah Kak, aku naik taksi aja nanti."
"Ya udah, ati ati ya."
"Iyaa. Daah." Ujar gue seraya membuka pintu mobil.

Setelah turun dari mobil Kak Yosha, gue berjalan santai ke arah pintu masuk... saat gue tiba tiba berpapasan dengan wajah yang sangat gue kenal.

Cowok dengan kemeja putih dengan detail hitam di bagian kerahnya, dan rambut yang ditata dengan rapih ke atas.

Gue melihat ke cowok itu, dan begitupun cowok itu yang terlihat sedikit kaget juga ngeliat gue ada di sini.

"Fab..." Cuma itu yang keluar dari mulut gue.
"Eh... Ay... dateng juga?" Tanya dia sebelum mengeluarkan senyum kecil yang terlihat dipaksa.
"I-iya. Sumpah udah lama banget kita gak ketemu."
"Hahaha iya nih. Malah ketemunya di sini..." Jawab Fabio masih terlihat tegang.

Ya iya sih... gak mungkin juga dia tenang pas dateng ke nikahan mantan. Sendirian pula.

"Lo sendirian?" Tanya Fabio ke gue seakan dia bisa membaca pikiran gue.
"Iya. Lo juga?"
"Iya... hahaha. Sedih ya?"
"Ih. Apaan sih lo. Yuk bareng aja kita. Sama sama sendiri ini. Sekalian catch up gila, udah lama banget gak ketemu." Ujar gue sebelum menepuk lengan dia pelan, berusaha membuat dia sedikit lebih rileks.
"Okay." Jawab dia tanpa menunggu dan mengangguk ngangguk, sebelum kita masuk ke dalam gedung.

Mengingat karakter Fabio yang dulu, gue gak heran sih ngeliat dia dateng hari ini. Gue tau banget dia pasti bakalan ngerasa lebih malu lagi kalo sampe dia gak dateng. Seorang Fabio Aridian yang selalu menjunjung tinggi harga diri dia, pasti lah dia mau terlihat fine fine aja. Dan mungkin dia sekarang ngerasa beruntung juga karena ketemu gue.

Karena bisa gue lihat gimana dia tanpa ragu menulis nama "Ayla dan Fabio" dalam satu baris di buku tamu. Membuat kita berdua terlihat kaya emang beneran dateng bareng bareng.

Saat kita masuk, udah ada banyak banget tamu yang dateng dan bahkan ada banyak banget anak angkatan Fabio berkeliaran. Tapi pas gue ngeliat ke Fabio, dia diem. Terlihat pengen nyapa aja gak.

"Kayanya kita salaman dulu aja, abis itu baru makan. Gimana?" Tanya Fabio sambil menunduk ke arah gue.
"Okay." Jawab gue cepat sebelum berjalan bersama Fabio ke arah barisan orang orang yang mengantri untuk bersalaman.

Baru aja gue dan Fabio berjalan beberapa langkah, seorang cowok berwajah familiar dengan baju batik datang menghampiri kita dan menyapa Fabio akrab.

"Woy! Dateng juga lo?! Hebat deh emang Fabio Aridian. Kirain gak bakalan dateng!" Ujar cowok itu keras keras membuat gue kaget.

Mas? Gak sekalian aja pake mic aja biar seisi gedung denger?

Wooooy mantannya Ariska dateng woooy!

"Apaan sih lo hahaha. Dateng lah. Apa kabar lo?" Fabio menjabat tangan cowok itu sebelum mengalihkan pebicaraan. Dan seperti biasa, wajah Fabio terlihat tenang tenang aja. Dan ekspresi tegang yang dia tunjukin ke gue dari tadi, hilang begitu aja.

Gue mendongak sekali lagi untuk melihat Fabio lebih jelas. Dasar. Masih aja gak berubah sifatnya.

Tapi pada saat itulah gue juga sadar, kalo secara fisik, dia udah banyak berubah. Pipinya yang dulu terlihat sedikit chubby hilang, digantikan dengan tulang rahang dia yang menegas. Suaranya juga semakin berat, penampilannya jauh lebih rapih daripada pas dia sekolah, bahkan pas dia wisuda, wangi banget pula.

Satu hal yang masih gak berubah dari Fabio, dia masih ganteng kaya dulu. Cuma auranya aja yang berbeda dan nunjukin kalo sekarang dia udah jauh lebih dewasa.

Yah... rada bego sih Kak Ariska ngelepasin yang kaya gini. Apalagi mengingat gimana Fabio dulu sayangnya sama Kak Ariska. Tapi ya, gue gak tau apa apa tentang yang terjadi setelah mereka lulus, kan. Bisa aja ternyata Fabio yang bego?

"Makanannya banyak..." gumam Fabio membuat lamunan gue buyar, dan mengalihkan pandangan gue dari dia, ke arah parasmanan dan gubuk gubuk makanan yang ada di setiap sudut ruangan.
"Iya... makin laper deh gue." Jawab gue seadanya, sebelum gue sadar kalo mungkin itu cuma basa basi Fabio aja, karena bentar lagi kita bakalan naik ke atas pelaminan dan bertatap muka dengan Kak Ariska.
"Sorry ya lo jadi harus kejebak sama gue gini." Ujar Fabio lagi membuat gue menoleh ke arah dia lagi. Dan wajah tegangnya sudah kembali menghiasi wajah itu.
"Santai aja Fab, walaupun gue penasaran banget sama cerita kalian berdua, gue bakalan diem aja kok sekarang. Tapi nanti ya... kayanya gak mungkin gue gak bakalan nagih lo buat cerita." Jawab gue apa adanya, membuat Fabio tertawa kecil sebelum mengangguk.
"Yang penting lo jadi partner gue dulu sekarang."
"Siap bos!" Jawab gue semangat dan Fabio langsung membuka matanya lebar lebar.
"Heh jangan keras keras." Balas Fabio kaget, dan gue akhirnya ketawa sendiri sebelum mengangguk.

Akhirnya waktu kita buat bersalaman dengan sang pengantin datang. Dan seperti ekspektasi gue, udara langsung berasa dingin banget. Gue bahkan yakin Kak Ariska barusan gak sadar pas salaman sama gue, karena mata dia terus ke Fabio. Kaya kaget karena Fabio ada di sini.

"Selamat ya." Ujar Fabio ke suami Kak Ariska, sebelum melangkah ke arah Kak Ariska, "Selamat ya Ris. Semoga lo selalu bahagia." Lanjut Fabio tenang, sambil tersenyum. Senyum yang gue bisa lihat emang bener bener tulus dia berikan buat Kak Ariska.

Dan karena senyuman itulah, gue bisa ngeliat betapa tulusnya Fabio saat dia mengucapkan doa itu. Semoga lo selalu bahagia. Dia bener bener pengen Kak Ariska selalu bahagia.

"Makasih Fab. Makan yang banyak ya! Ada nasi liwet juga loh!" Ujar Kak Ariska seraya tersenyum dan menjabat tangan Fabio.
"Hahaha, iya iya. Dah, Ris." Jawab Fabio sebelum berjalan ke arah gue dan meninggalkan Kak Ariska yang masih tersenyum, lalu menjabat tangan undangan lain yang berdiri di belakang kita.

Gila sih. Gue barusan berasa abis nonton film, tapi gue kebelet pipis di tengah film terus ke toilet. Pas balik udah ending anjir??? Mana sad ending pula??? Sayat sayat saja hatiku ya Tuhan.

Setelah itu gak ada omongan lagi di antara gue dan Fabio. Dia bener bener cuma diem dan ngikutin gue ngantri di gubuk bakso malang. Tapi pas gue makan, dia diem aja. Ngambil juga gak. Bener bener kaya tenggelam dalam pikirannya sendiri, sampe akhirnya gue gak nafsu dan naruh mangkok bakso malang gue yang masih berisi setengah mangkok, di meja tempat piring bekas.

"Gue pengen makan es krim." Ujar gue dengan nada kesal, dan Fabio yang masih berdiri di depan gue menoleh ke gue, sebelum mengangguk. Menunggu gue jalan ke arah gubuk es krim. Tapi gue cuma diem.
"Lo emang gak ada niatan nyapa temen temen lo kan? Mood lo udah berserakan gitu kayanya." Tanya gue, dan Fabio melihat ke sekeliling dia.
"Gak. Kenapa emang?"
"Es krimnya beli di indomaret. Bawa mobil kan lo? Yuk deh."
"Hah?"
"Ayok deh keluar. Gue gak nafsu makan liat lo. Yuk yuk." Gue menarik lengan Fabio, dan akhirnya dia kembali berjalan di sebelah gue. Tapi kali ini, ke arah parkiran.

10 menit berlalu, 4 indomaret udah kita lewatin dan gue gak ngomong apa apa. Fabio cuma fokus ke jalanan di depan dia, seiring lagu dari radio terus berputar tanpa henti. Dan itu semua membuat gue juga ikut tenggelam dalam pikiran gue.

Besok ada tugas yang harus gue kerjain... tapi kok gue malah galau-in kisah cinta orang lain sih... mana PPT belum gue bikin sama sekali... kalo ketauan sama Indra bisa ditendang dari kelompok nih gue...

"Kalo kata google sih, adults' breakup. No particular reason. Cuma... 2 taun yang lalu gue ngerasa dia jenuh... dan gue udah gak bisa ngeliat sparks yang selalu gue liat di mata dia sebelumnya juga. Mungkin karena kita gak ketemu sesering dulu juga, atau mungkin juga karena semester 4 itu semua mahasiswa rasanya udah mau mati? Gak tau sih. Intinya... pada suatu waktu gue nanya sama dia... dan dalam waktu 2 menit... kita mutusin buat pisah." Fabio tiba tiba memecah keheningan dengan cerita singkat dia yang bener bener bikin gue bengong.
"Hah??" Cuma itu yang keluar dari mulut gue.
"At that moment, I knew that she'll be happier without the strings that tied us together. Dan saat gue nanya apa kita putus aja, dia gak ragu sedetikpun, sebelum dia ngangguk. Ya udah... gitu aja. Dan kita bener bener gak contact satu sama lain lagi setelah itu."

Entah kenapa... gue ngerasa gue bisa ngerasain apa yang Fabio rasain. Pait. Sakit. Sia sia.

"Kita lagi makan gado gado waktu itu. Gak ada niatan buat jalan juga, ketemu juga karena gue lagi lewat deket kosan dia aja. Tapi ya mungkin itu emang udah jalannya. Dan ya... yaudah. Gue cuma bisa percaya aja, mungkin nanti gue bakalan ketemu sama yang lebih baik lagi daripada dia. Kaya gimana dia ketemu sama suaminya setaun yang lalu, dan mutusin buat nikah dalam waktu secepet itu." Lanjut Fabio, sebelum dia menarik nafas panjang.

"Can't imagine how good of a person he is."

Nyesek. Udah, itu aja yang gue tau. Nyesek banget pasti rasanya buat berada di posisi kaya gitu. Di titik dimana dua orang pasangan ngerasa kalau semua yang mereka bisa perjuangin udah habis begitu aja, dan gak ada alasan lagi buat terus berjuang. Dan lebih sedihnya, Fabio ngeliat itu di mata Kak Ariska... dan Fabio ngelepasin Kak Ariska.

"Pantesan lo maksain dateng hari ini." Jawab gue akhirnya.
"Haha. Iya lah... kalo gak nanti malah gak enak kedepannya kalo suatu hari kita ketemu lagi." Balas Fabio sambal tertawa seadanya.
"Masih sedih?" Tanya gue tanpa ragu. Karena bener bener cuma itu yang gue pengen tau.

Apa dia masih sedih?

"Gak sedih kok. Cuma... rada gak bisa percaya aja kalau ternyata gue bakalan ngeliat dia pakai gaun pengantin... tapi buat disandingin sama orang lain. Bukan gue."
"Ya itu namanya sedih, bego."
"Kok lo ngatain sih?!"
"Ya gak usah ngelak makanya! Kalo sedih ya terima aja, sedih. Gitu. Kalo ngelak malah gak kelar kelar." Jawab gue kesal, dan Fabio malah ketawa lagi.
"Iya... dikit." Jawab Fabio akhirnya, sebelum menghela nafas panjang.

Tanpa gue sangka, setelah hari itu, gue dan Fabio kembali menjadi sahabat seperti bagaimana kita dulu jaman sekolah. Dan tanpa gue sadar, gue masih merindukan sosok sahabat cowok gue ini, dan sepertinya, diapun begitu.

End of flashback.

Suasana toko bunga gue yang terletak di daerah sudirman Jakarta hari ini gak secantik biasanya. Tangkai tangkai berserakan dimana mana dan plastik, juga kertas terletak di tempat yang sangat gak teratur. Gawat kalo sampe ada yang dateng sekarang. Tapi karena ada pesanan mendadak dari salah satu langganan gue, gue dan Moni, florist yang bekerja sama gue sejak 2 tahun yang lalu, jadi panik dan berusaha sebisa mungkin untuk menyelesaikan pesanan buket bunga itu cepat cepat.

Kling kling.

Kepala gue langsung menoleh panik saat gue mendengar suara bel yang menandakan ada seseorang masuk ke dalam toko gue. Tapi mata gue menangkap sesosok laki laki yang sangat gue kenal, dan itu membuat gue menghela nafas panjang.

"Hah... kirain siapa. Ngapain ke sini?" Tanya gue pada cowok dengan topi hitam dan kaus hitam santai. Menandakan bahwa dia datang dari rumah, bukan sehabis kerja seperti biasanya.
"Gak papa." Jawab Fabio sebelum menarik sebuah kursi dan duduk di depan gue, lalu menaruh tangannya di meja tempat gue menggunting duri duri di tangkai bunga mawar yang akan gue bungkus sebentar lagi.
"Lah? Tumben? Biasanya gue suruh ke sini susahnya setengah mati." Balas gue bingung, tanpa melihat ke arahnya.
"Lagi mikir, kayanya gue mau pesen buket deh satu. Buat senin sore." Kali ini, jawaban Fabio membuat gue berhenti bergerak dan mengalihkan pandangan gue ke arahnya.
"CIYEEEEE! BUAT SIAPA NIH?! UHUY UHUY!" Teriak gue sambil tertawa sebelum Fabio mencubit pipi gue keras keras dan menariknya ke arah dia. "AW AW AW WAKIT WEGO!!!"
"Buat Pak Hardi, anaknya tunangan katanya hari ini. Private sih acaranya, tapi kayanya buat formalitas aja gue kirimin bunga gak papa lah ya?"
"Siapa tuh? Yah elah. Gue kirain kecengan baru." Gue kembali mengembalikan pandangan gue ke bunga mawar yang ada di depan gue. Gak tertarik lagi sama topik yang Fabio berikan.
"Ada lah, partner kerja kantor. Udah masukin aja di list pesenan, gak usah bawel." Jawab Fabio datar dan gue cuma ngangguk ngangguk.

Emang sih, kayanya rada impossible buat Fabio bisa dapet cewek lagi sekarang sekarang ini kalo dia masih sesibuk ini. Dan liat aja, hari sabtu bukannya pergi ama temen temennya kek gitu, cari jodoh, ini malah ke sini pesen bunga buat om om. Hih.

Bahkan setelah gue inget inget, setelah gue ketemu lagi sama Fabio 6 tahun yang lalu, Fabio baru pernah jadian sama cewek itu sekali 4 taun yang lalu, dan itupun cuma bertahan beberapa bulan sebelum Fabio diputusin karena alasan yang gue gak ngerti kenapa.

Gak heran sih. Fabio kalo cerita kan emang selalu setengah setengah.

Sampe sekarang aja gue sebenernya masih gak ngerti kenapa dia sama Kak Ariska dulu ampe mutusin buat putus. Kalo ibaratnya brangkas sih, ini gue udah berhasil buka satu pintu, ternyata dalemnya ada pintu lagi yang kodenya lebih ribet. Makasih banyak deh sister, gue capek nyari taunya. Mendingan gue nyari tau oppa gue ada berita baru apa hari ini.

"Lo kapan selesai?" Tanya Fabio saat gue selesai dengan setumpuk bunga mawar di depan gue.
"Bentar lagi. Ini terakhir terus gue balik. Kenapa?" Tanya gue sambil mengambil alat alat yang gue butuhkan untuk mulai membentuk buket bunga ini.
"Mau bareng?" Tanya Fabio sebelum menyandarkan dagunya di tangan kirinya dan mendongak ke arah gue.

"IH! MAUUUU! HEHEHE!"
"Ya udah buruan."
"Iya iya bentar! 15 menit!"

Gue langsung memanggil Moni dan meminta bantuan dia untuk menyelesaikan buket ini. Biasanya gue paling gak suka kalo lagi ngerangkai, terus rangkaian gue dipegang pegang. Tapi berhubung gue dapet tebengan mendadak... ya kenapa gak...?

"Iya pegang sini... bentar bentar..."

Gue terus fokus pada buket bunga gue yang sebentar lagi selesai, sampai gue menyadari kalo kedua mata Fabio gak pernah lepas dari gue.

Kenapa ni orang?

Gue melirik ke arah dia, dan dia masih aja ngeliatin gue.

"Udah, dari sini aku sendiri aja. Kamu kerjain yang tadi aja lagi, terus nanti jam 8 langsung pesen gojek-nya ya biar bunganya diambil. Makasih Moni." Ujar gue pada Moni setelah bagian tersulit udah selesai. Tapi gue jadi rada gak konsen karena Fabio masih aja ngeliatin gue. Kadang ke tangan gue yang ribet, lalu balik lagi ngeliatin gue.

"Apa sih? Kenapa ngeliatin mulu? Ada apaan di muka gue?" Tanya gue akhirnya sambil memegang wajah gue bingung.
"Hah? Gak ada apa apa." Jawab Fabio sebelum akhirnya dia mengalihkan pandangannya ke bagian ruangan yang lain, dan mengeluarkan hapenya.

Fabio emang berubah banget sejak gue ketemu lagi sama dia. Fabio saat masih SMA lebih banyak bicara, lebih sering ketawa, dan lebih bisa diajak bercanda. Fabio yang gue temui lagi setelah dia lulus kuliah lebih pendiam daripada itu, selalu fokus pada kerjaannya, lebih ambisius, dan cuma ngomong hal hal yang dibutuhkan aja.

Dan mungkin karena gue kenal deket sama dia sejak dia masih banyak bicara, orang selalu bilang dia gak pernah ramah sama semua orang. Padahal kalo sama gue dia biasa aja. Mungkin karena gue tau juga dia emang orangnya begitu?

Setelah beberapa menit perhatian Fabio teralihkan ke hapenya, dia kembali melihat ke arah gue. Dan kali ini gue jadi mikir, sumpah ya... kalo gue gak kenal ama dia, ada dua kemungkinan yang akan terjadi sekarang. Karena tatapan mata dia yang besar dan bersinar itu, gue pasti bakalan geer. Tapi kalo liat alisnya yang tebal dan sedikit mengkerut—yang gue tau dia begitu pasti karena burem gara gara dia gak pake kacamata, yang ada gue kabur karena gue kira Fabio creepy.

"Lo kok bisa sih, kaya punya dua kepribadian yang beda banget? Kalo udah megang bunga, pasti gue jadi kaya gak kenal." Tanya Fabio tiba tiba, setelah beberapa menit hanya diam memandangi gue lagi.

Ternyata dia lagi bingung, bro.

Tapi entah kenapa, gue masih bias ngerasain kalo tatapan mata dia itu bukan tatapan mata bingung dia yang biasa gue liat. Entah kenapa... gue lebih merasa dia kaya lagi mencoba... memahami gue?

"Emang kalo lagi gak pegang bunga, gue gimana?" Tanya gue sambil mengikat sebuah pita besar di buket bunga gue. Sentuhan terakhir sebelum buket ini benar benar selesai.
"Cengengesan, kalo ada berita tentang Cendol langsung heboh, apalagi kal—"
"CHANYEOL! BUKAN CENDOL!" Teriak gue kesal tepat setelah gue menyelesaikan buket bunga gue, dan mengambil tas kecil gue.
"Iya iya, dia pokoknya. Terus kalo udah nonton drama semaleman, bawah mata item terus rada kaya orang mabok kalo diajak ngobrol... gitu deh." Lanjut Fabio, dan gue akhirnya ketawa kecil dengernya.

Satu hal yang gue tau tentang Fabio sejak dulu adalah, dia kritis. Dia bisa tau tentang segala hal kecil yang terjadi di sekitar dia, yang bahkan kadang gue gak sadar. Kaya hal hal yang dia jelasin barusan.

"Hmm... ya kan gue gak mungkin juga ya Fab, ngerangkai bunga sambil heboh. Ya gak?" Jawab gue singkat, tanpa terlalu memikirkan alasan sebenarnya yang guepun gak tau apa. "Yuk..." Ajak gue ke Fabio yang langsung berdiri dan berjalan mengikuti gue keluar dari toko gue.
"Well... that's not what I mean but... that make sense." Jawab Fabio sebelum dia tersenyum kecil, dan memegang lehernya sendiri.

Kebiasaan saat Fabio tegang akan sesuatu. Dia bakalan memegang bagian belakanb lehernya, sambil berfikir.

"Kenapa lo?"
"Hah? Kenapa?" Tanya Fabio sambil mengeluarkan kunci mobil dia, lalu membukanya.
"Tuh megang leher gitu, kan biasanya lo gitu kalo lagi ada yang ganggu otak lo." Jawab gue masih penasaran, sebelum gue membuka pintu mobil Fabio dan duduk santai.
"Hmm... gak tau. Lo kali. Ganggu."
"Yeee! Ngeselin!" Gue langsung tertawa kesal sebelum menggunakan seatbelt gue.

Dan seperti biasa, gue dan Fabio hanya diam sepanjang jalan.

Kalau semua orang biasanya bisa mengobrol di dalam mobil, gue dan Fabio lebih sering diam. Kecuali emang kita baru aja ketemu saat gue membuka pintu mobil ini, atau pas lagi macet banget.

Tapi kalau kita udah ngobrol sebelumnya, entah kenapa kita lebih sering diam dan menikmati jalanan Jakarta yang ramai dan gemerlap, sambil tenggelam dalam musik yang terdengar dari radio.

Dan saat itu, lagu Lemonade dari Jeremy Passion terdengar di radio.

She's my sunshine in the rain
My Tylenol when I'm in pain
Let me tell you what she means to me
Like a tall glass of lemonade
When it's burning hot on summer days
She's exactly what I need

She's soothing like the ocean rushing on the sand
She takes care of me baby
And she helps me be a better man
She's so beautiful, sometimes I stop to close my eyes
She's exactly what I need

She's my smile when I'm feeling blue
She's my good night sleep when the day is through yeah
Let me tell you what she means to me...

One of my favorite song starts to fill the empty air dan membuat gue merasa sangat tenang saat itu. Sangat tenang. Sampe gue gak sadar kalo Fabio baru aja membelokkan mobilnya dan berhenti di depan salah satu cabang Es Teler 77 yang lumayan besar.

"Lah? Kok ke sini?" Tanya gue bingung sebelum dia mematikan mobilnya.
"Aus." Singkat padat dan jelas sekali ya jawabannya. Gak pake nanya pula gue mau apa gak.
"Kalo gue gamau gimana? Nanya kek?!" Ujar gue kesal sebelum melepaskan seatbelt gue. Dan diluar ekspektasi gue, Fabio langsung menoleh dan melihat gue dengan kedua matanya yang bulat itu. Seperti kaget dengan omongan gue.
"Emangnya lo gak mau?" Tanya dia akhirnya setelah diam memperhatikan gue, yang daritadi cuma bengong nungguin dia ngomong.
"Gak sih. Kapan juga Athenia Isla gak mau es teler." Jawab gue sebelum nyengir lebar, dan mengakibatkan Fabio mengacak acak rambut gue dengan wajah datarnya.

Setelah turun, gue dan Fabio langsung duduk di salah satu meja yang kosong. Hari ini gue lebih memilih untuk memesan es campur, dan Fabio masih setia dengan es teler. Gue dan Fabio emang sering banget ke sini, karena menurut kita minuman khas Indonesia ini jauh lebih enak daripada eskrim merek apapun.

Tapi entah kenapa, konsentrasi gue selalu terfokus ke Fabio dari tadi. Gue kaya bisa ngeliat kalo Fabio tuh lagi mikirin sesuatu. Pandangan dia selalu gak menentu, kadang ngeliat gue, lalu ngalihin ke arah gak jelas. Dan dia bener bener gak ngomong apa apa.

Iya, Fabio emang lebih seringan diem daripada ngomong. Tapi biasanya dia gak sediem ini. Dia bener bener cuma duduk, pesen, dan diem aja daritadi tanpa ngomong apapun ke gue.

"Fab... lo kenapa sih?" Tanya gue akhirnya setelah ragu beberapa saat.
"Kenapa?" Tanya dia masih dengan wajah datar, bertepatan dengan es teler dan es campur kita yang dateng ke meja kita.
"Ya daritadi keliatan banget gitu loh, ada yang lo pikirin. Ada masalah?" Jawab gue sambil menerima es campur gue, dan Fabio Cuma diem sebelum mengaduk aduk es teler dia.
"Emang kalo gue ada masalah, lo bisa bantu apa?" Kali ini dia balik bertanya, sambil melihat tepat ke mata gue.

Dan itu membuat gue langsung menyuap es campur gue dengan kesal.

"Ya gak tau?! Auk ah! Emang lo tuh gak bisa diajak curhat curhatan. Gue aja bingung kenapa masih betah aja temenan sama lo!" Jawab gue kesal sambil berusaha mengunyah dan menelan es gue. Dan ternyata jawaban gue malah membuat Fabio ketawa, sebelum dia menggeleng gelengkan kepala dia dan mencubit pipi gue keras keras.
"AW! WAKIT TAU! WEPAS GAK?! AW!" Teriak gue kesal sebelum memukul jidat Fabio menggunakan sendok gue.
"AH! HAHAHAHA!" Fabio malah ketawa lagi setelah kesakitan gue pukul.
"MANG ENAK!" Seru gue penuh emosi begitu dia melepaskan cubitan dia dan memegang jidat dia sendiri sambil tertawa.

Dasar aneh.

"Gak kok, gak ada apa apa. Cuma ngantuk aja." Jawab Fabio akhirnya.

Tapi entah kenapa gue ngerasa banget kalo emang ada sesuatu yang ganggu pikiran dia. Karena ada sesuatu yang beda daritadi pas di toko gue. Keliatan banget ada sesuatu yang bikin dia jadi sedikit gak konsen, dan gak mungkin dia bisa nutupin itu dari gue.

Cause after all, we've been best friends since 11 years ago. Dan gue tau, tatapan mata Fabio itu bukan tatapan mata yang biasa gue liat dari dia.

☆ ☆ ☆ ☆ ☆ ☆ ☆ ☆ ☆ ☆ ☆ ☆

Finally the fourth chapter of this story is done! Setelah mengendap ngendap nulis ini diantara semua jadwal yang sangat penuh, akhirnya cerita ini bisa berjalan juga.

Aku gak bakalan banyak omong. Cuma jangan lupa vote dan komen, juga semoga kalian suka sama part simple ini. This is a bridge part, I know. Tapi kalo gak ada part ini ceritanya gak akan berjalan kaan hehe. Have a goof day everyone!

- Achie.

PS: Reach me trough instagram @anastachie or my twitter @kyeongsew / @twelvegarnet :)

Continue Reading

You'll Also Like

KING [End] By Kim Ryu

General Fiction

4.9M 264K 53
Queenaya Rinjani harus membayar hutang sang ayah kepada seorang CEO sekaligus seorang pemimpin mafia, dengan ikut bersamanya. Apakah Naya bisa bertah...
DEWASA III [21+] By Didi

General Fiction

104K 262 43
[follow untuk bisa membaca part 21+] KUMPULAN NOVEL-NOVEL DENGAN TEMA DEWASA. BANYAK ADEGAN TAK LAYAK UNTUK USIA DI BAWAH 18 TAHUN. 🔞🔞🔞🔞🔞
SCH2 By xwayyyy

General Fiction

373K 45K 100
hanya fiksi! baca aja kalo mau
1.8M 1.2K 24
FOLLOW AKUN INI DULU, UNTUK BISA MEMBACA PART DEWASA YANG DIPRIVAT Kumpulan cerita-cerita pendek berisi adegan dewasa eksplisit. Khusus untuk usia 21...