Radit mengambil sebuah tisu lalu mengelap setiap sisa makanan yang ada di tubuhnya. Membiarkan Selina masih diam mematung.
"Aku tidak mau!" Tiba-tiba wanita itu berteriak. Membuat gerakan Radit terhenti dengan beberapa orang melihat mereka.
"Aku bahkan tidak memberimu pilihan. Lagipula aku hanya menjadikan dirimu tunangan. Bukan istri."
"Sama saja. Nanti kamu pasti akan melakukan hal gila itu!"
"Tenanglah. Menikah itu terlalu sulit untuk dijalani saat ini, bukan? Aku hanya enggan berpacaran. Itu saja." Selina memutar bola mata. Rasa kesal berganti bingung.
"Kenapa? Kenapa harus aku?"
Karena aku harus menebus dosa. Karena dirimu amat mirip. Dan karena aku selalu jatuh cinta dengan dirinya.
Radit mengungkapkan alasan sebenarnya dalam hati. Namun, saat ini ia hanya sedikit tersenyum sembari berkata "entahlah", membuat Selina makin tidak mengerti.
******
"Aku lelah."
Sedari tadi wanita itu mengeluh. Sudah berjongkok dengan napas terengah. Belanja dengan manusia yang amat ia benci ternyata tidak menyenangkan dan hanya menghabiskan tenaga.
"Kalau begitu kita pulang saja." Radit ikut berjongkok. Memunggungi Selina.
"Apa yang kamu lakukan?"
"Bersiap untuk menggendongmu. Kamu bilang lelah, bukan?"
Lagi-lagi pria ini mau berbuat seenaknya!
Selina memilih berdiri. Berjalan melewati Radit seolah tidak mengenal pria itu. Membuatnya tertawa, bangun dengan kembali membawa barang belanjaan mereka, lalu berlari kecil mengikuti Selina.
******
"Sepertinya kita harus lebih lama lagi di sini."
"Kenapa?" Radit bertanya heran. Pria itu sedang memasukkan semua belanjaan ke bagasi, dan tiba-tiba saat ia membukakan pintu. Mempersilahkan Selina untuk duduk di kursi penumpang, wanita itu menolak.
"Aura hitam kembali muncul," jawab Selina pendek. Hari ini ia lupa membawa kacamata karena Radit buru-buru menariknya. Jadi, dengan mudah Selina bisa menyadari kemunculan warna kematian tersebut.
"Mendengar kata-kata kematian dari dirimu entah mengapa tidak lagi membuatku kaget."
"Karena itu takdirmu. Aku hanya mengulur waktunya saja."
"Takdir, ya? Mungkin ini kutukan?" Radit bertanya. Terdengar sedih dalam suaranya.
"Biar aku lihat masa depanmu."
Selina mengulurkan tangan. Meminta pria itu menyentuhnya, agar ia dapat melihat alasan di balik kematian Radit kali ini.
Dan Pria itu meraihnya. Namun tidak sekedar menerima uluran tangan Selina, tetapi juga membawa wanita tersebut dalam pelukannya. Membuat Selina kaget dan terkejut akan rasa hangat dan kepingan kejadian yang muncul.
Terlihat jelas. Seluruh kejadian yang membawa pria itu meninggal. Mulai dari saat ia melambaikan tangan ketika telah mengantar Selina. Pergi dengan mobilnya lalu menabrak pembatas jalan karena ingin menghindar dari menabrak anak kecil yang tiba-tiba menyebrang.
*****
"Lepaskan. Aku sudah melihat semuanya."
"Sebentar lagi. Sebentar saja, biarkan aku memelukmu seperti ini."
"Kenapa? Kenapa kamu ingin memeluk diriku?"
"Karena aku sedih dan hanya memiliki dirimu seorang."
Pria ini terlihat jujur. Jika saja aku bisa melihat lebih dari satu warna pada dirinya, mungkin aku bisa memastikan perasaan sebenarnya yang dimiliki Radit.
Tanpa sadar Selina ikut membalas pelukan pria itu. Selina bingung. Saat ini, Ia juga tidak paham dengan perasaannya.
*****
"Ayo, masuk lagi."
"Hah?!"
"Kita cari gaun untukmu yang belum sempat dibeli, sembari menunggu aura hitam ini menghilang."
Radit melepas pelukan. Kemudian, ia menarik Selina dalam satu genggaman untuk masuk kembali dalam pusat perbelanjaan.
******
"Terlalu biasa."
"Tidak. Tidak. Terkesan tua."
"Terlalu terbuka."
Selina melebarkan mata. Sudah terlalu kesal mendengar Radit yang tidak pernah puas.
"Kamu terlalu banyak mau! Biar aku saja yang memilih sendiri!" Wanita itu kembali masuk dalam kamar ganti, meninggalkan Radit yang kaget.
Dasar wanita galak. Akukan hanya memberi pendapat.
Radit berdecak. Kembali menunggu Selina dengan gaun berbeda. Sedari tadi mereka sedang berusaha mencari gaun. Namun, pria itu tak pernah puas. Selalu saja merasa setiap pakaian itu tidak ada yang cocok dengan Selina.
Srakk!
Mata pria itu terpaku. Melihat kecantikan Selina yang keluar dengan gaun selutut berwarna biru muda. Terlihat pas, anggun, dan amat memukau.
"Bagaimana dengan ini?"
"Cantik. Sangat cantik"
Membuatku tergoda untuk merobeknya dari tubuhmu.
"Kalau begitu ambil ini saja, ya?" Selina berbalik cepat. Berusaha menyembunyikan rasa malu saat dipuji Radit.
Cantik? Baru kali ini ada seseorang yang memujiku cantik.
Wanita itu berlari kecil. Kembali masuk dalam kamar ganti selagi Radit mengurus pembayaran.
******
Tuhan memberi manusia akal dan perasaan
Membuat manusia bisa berubah dengan mudah karena hal itu
Inilah sebabnya
Tidak pernah ada kata "pasti" dalam kamus manusia dan selalu ada "dinamika" di dalamnya
******
Yaa! Bab 12 sudah up yaa
Jangan lupa vote, follow, sama komentar
Follow uga igku di @safitridsy
-XOXO