***
Sebelumnya, chapter ini bukanlah chapter baru ya tetapi bagian ke-2 dari chapter 7, karena saya sebagai author ingin membuat chapter 7 ini lebih kompleks dan tidak bertele-tele. Mohon maaf jika saya membuat kalian kesal karena ini demi kebaikan pembaca sekalian juga. Sekian :-)
***
Badannya yang terluka dipenuhi bekas sayatan masih terlihat, ditutupi jubahnya yang hitam setiap sisi. Matanya yang tertidur kini terbuka perlahan, menandakannya akan bangun.
"Ugghh. . . " Mengerang Ladius dalam tidur.
"Bagaimana keadaanmu?"
Suara tak dikenal membingungkan kepalanya. Dirinya yang sadar menatap ke seorang Gadis yang lebih muda darinya—duduk sambil tersenyum lebar. Rambutnya yang panjang bersinar bak buah jeruk dengan tonjolan di sisi kanan dan kiri kepala layaknya telinga hewan macam rubah hanya saja lebih kecil.
"Ngh. . . . "
"Sebaiknya Kau jangan banyak bergerak. Luka diperutmu masih belum sembuh total" Kata perempuan itu.
". . . ." Aku baru sadar kalau ternyata aku mengerti bahasa mereka. "Aku—Nghh!!"sontaknya berusaha bangkit.
"Tenanglah, Kamu ada di kamar ayahku sekarang."
"Ayahmu? Apa ini? Dimana aku sekarang?"
"Bersabarlah oke!" ucap perempuan itu menggoyangkan keduu tangannya. "Akan kujelaskan saat Ayahku tiba nanti."
". . . "
*Tok tok tok
Dentungan pintu menggusarkan keheningan mereka berdua yang saling penasaran. Bersama alunan knok pintu yang terbuka.
*Cklek
"A-ayah?" terkejut perempuna itu.
" . . . ." Terdiam Ladius, memperhatikan pria tua dengan telinganya seperti punya gadis itu.
"Kau merasa baikkan, Nak?" Tanya pria tua itu.
"Ya begitulah." Ujar Ladus mendengkukan kepalanya.
"Sebelum itu . . !!!" Perasaan Ladius berubah menjadi heran, kepalanya mendongak bersama matanya yang merasakan ketidak percayaaan, menghadap Ayah perempuan itu yang tiba-tiba menunduk didepannya. "Terima kasih telah menyelamatkan putriku." Hormatnya.
"A-ayah!? Sebaiknya Aku saja ya—"
"Tidak apa-apa Ralia. Tanpa dirimu, Ayah akan selalu sedih." Ucapnya lanjut
" . . .Hm" Gumam gadis yang bernama Ralia itu
"Itu tidak apa-apa. Ee . . ."
"Panggil saja aku Gordon, Nak." Kata Gordon menawarkan
"Tuan Gordon." Jawab Ladius mengangguk kecil. "Ngh!. . . "
Badannya yang terlihat lemas dipaksakan Ladius tuk berdiri.
"He-hei!" Teriak Ralia. "Lukamu masih diperban! Jika tidak itu akan terbuka—Hei!"
"Maaf, tapi aku haruss---Ngh!"
Badannya linglung tak kuat, kesadarnnya perlahan kabur bersama tubuhnya yang lemas hingga menjatuhkan diri.
*Tap
"Ngh. . ."
"Bersabarlah Nak. Badanmu sekarang bahkan belum bisa membawamu pergi melangkah, apalagi jika bertarung. " Ucap Gordon, membiarkan Ladius kembali ke tempat tidurnya.
" . . . ."
"Aku akan keuar sebentar. Jika ada sesuatu tanyakan saja padaku. Ralia, jaga dirinya ya?"
"Baik Ayah." Jawab Ralia, menatap Ayahnya yang beranjak keluar ruangan.
". . . "
" . . ."
Keheningan menyembunyikan suara mereka dalam ruangan yang tampak normal itu. Gadis yang menahan rasa takutnya berulang kali melihat wajah Ladius yang malah langit-langit kamar ditempatnya itu.
"N-namaku R—"
"Ralia. Itu sudah disebutkan Ayahmu tadi."
"Be-begitu ya, maaf jika itu mengganggu"
" . . . ." Kenapa dia minta maaf?
"Bolehkah—"
"Namaku adalah Ladius Friedhert" Ucapnya menyela, mengejutkan wajah Ralia yang duduk menemaninya.
"Begitu ya." Kata Ralia.
" . . . "
" . . . "
Suasanan sunyi senyap menghentikan perasaan mereka tuk dilontarkan. Mata sang gadis melihat wajah Laki-laki didepannya dengan perasaan yang campur aduk antara penasaran dengan takut.
"Ladius, bolehakah aku bertanya sesuatu?"
"Iya." Jawab Ladius tanpa ekspresi sama sekali.
"Apa yang kau lakukan di hutan kemarin?"
" . . ." Oh iya, aku lupa bertanya tentang tempat ini.
"Ralia, apa nama wilayah yang sekarang ku tempati?"
"Eh?"
"Ada apa? Apa orang luar sepertiku tidak boleh tau?"
"Bu-bukan begitu." Gelisahnya sambil menggoyangkan kedua tangan. "*Huff* sekarang Kau ada di daerah para Demi-Human—yaitu Beast Riser."
"Beast Riser? Ada dimana letak wilayah ini?"
"M-maaf Ladius, tapi aku tidak tau ada dimana wilayah letaknya."
"Begitu ." Memang tepat yang kupikirkan. Sepertinya wilayah ini jauh dari pandangan manusia.
"Apa ada yang ingin Kau tanyakan lagi?" Tanya Ralia dengan senyuman hangat.
"Tidak, terima kasih telah menjawab pertanyaanku tadi."
"S-sama-samam, Ladius." Angguknya dengan perasaan gelisah. " . . . "
"Aku harus pergi sekarang."
"A-apa? T-tapi kan--:
*Sret
Tangan kananya yang cukup berisi mulai menarik perban yang menutupi seluruh badannya. Kulit cokelat terang bersih menunjukkan mulusnya seluruh sisi tubuhnya di hadapan Ralia yang tak berkutik sama sekali. Mulutnya tidak bisa mengeluarkan satupun kata---memperhatikan badan Ladius yang pulih kembali dengan tak ada satupun bekas luka atau goresan yang tersisa.
"L-L-Ladius!? Ke-kenapa bisa!?"
"Seperti yang kau lihat, badanku sudah pulih kembali. Sekarang aku harus kembali ke tempatku."
Dengan sigap, badannya yang bertelanjang dada menutup mulut Ralia yang ingin mengatakan tidak percaya. Perasaannya yang tenang kini tergoncang---memperhatikan badannya yang halus itu. Ladius yang beranjak ke balik pintu kamar itu mengenakan jubah hitamnya yang terlihat seperti biasa, Tidak ada noda darah ataupun bau bekas luka di perut sebelumnya.
"Kenapa wajahmu memerah?" Tanyanya Ladius, memecahkan keheningan Ralia.
"E-eh!? Ti-ti-tidak ada a-apa-apa." Jawabnya terbata-bata, membalikan badan tuk menyembunyikan wajahnya.
" . . ." Aku harus cepat-cepat kembali. Tapi aku harus kemana? "Ralia?"
"I-iya Ladius!?"
"Apa kau tidak enak badan?"
"Ti-tidak. A-apa yang ingin kau tanyakan?"
"Apakah disini ada yang mempunyai Peta?"
"Peta?" bingung Ralia, menatap langit-langit ruangan. "Maaf Ladius aku tidak tau--mungkin Ayahku punya."
"Kalau begitu ayo kita ke ayahmu."
*Tap
*Greb
Langkahnya yang maju berhenti mendadak, tangan kanan Ladius yang berayun terhenti seperti sedang ditarik sesuatu. Matanya yang penasaran mulai berbalik, mendapati Ralia menggenggam tangan kanannya itu dengan kuat.
"Ralia?"
"Bolehkah aku bertanya sesuatu kepadamu?" tanyanya dengan takut bersama wajahnya yang tertunduk.
"Apa itu?"
"Sebenarnya . . .Level berapa dirimu, Ladius?"
" . . . " Level? Mungkinkah 'Level' yang dimaksud suara misterius itu. "Sebelum itu, bolehkah tunjukkan punya dirimu dahulu?"
"Hm." Jawab Ralia mengangguk pelan.
*Whoss
*Kling
Tangan kanan Ralia pun digoyangkan ke kiri dengan pelan. Hembusan angin terasa lewat bersama Status Bar yang bergoyang dan melayang didepan dirinya.
Name :Ralia Foxyie
Job :Warrior
Weapon :Bliezer Gauntlets
Race :Demi-Human [Fox]
Level :75
" . . ."
". . . "
*Kling
Tak lama setelah itu, Window Bar itu pun menghilang bersama angin yang menghembusnya. Tak ada yang membuat Ladius terkejut, heranpun tidak. Hanya Ralia yang bersikap seperti seorang yang penasaran akan dirinya.
". . . " *Huff
Bersama napas yang panjang, tangan kannya bergoyang dari kanan lalu ke kiri, berusaha menunjukkan Status Bar miliknya.
" . . ." Diam Ralia, memperhatikan seksama Status Bar Ladius. "A-ap—Ti-tidak mungkin!?"
"Yang Kau lihat adalah yang sesungguhnya." Ucapnya jujur.
"Ti-tidak mungkin dengan level Serendah itu—bisa mengalahk monster berlevel 95!?"
" . . " Jadi Orc kemarin berlevel 95. Yah, setidaknya aku sudah mengalahkannya. "Kalau begitu, kenapa kau ingin mengalahkannya walaupun kau memiliki level yang rendah dari padanya?" balasnya dengan heran.
" . . " Terdiam Ralia, menundukan diri dengan tangan kanannya yang masih menggengam lengan Ladius.
" . . . ."
" . . . ."
"Ralia?" Apa aku membuatnya sedih?
"Saat aku kecil, Ibuku terbunuh oleh monster serupa dengan Orc. Waktu itu aku sedang bermain di hutan, sampai ketika aku melihat sesosok hijau dengan dengan tinggi seumuran orang dewasa—berusaha meraihku."
" . . . "
" . . Ibuku berteriak dan berusaha melindungiku. Meskipun ibuku ahli menggunakan pedang, tapi kemampuan Orc itu terbilang lebih kuat dibanding biasanya. Kekuatan, kecepatan, bahkan keahlian melebihi prajurit biasa. Sampai akhirnya aku melihat Ibuku terbunuh saat aku berusaha lari."
" . . ." Itukah alasannya.
". . Saat monster itu berusaha membunuhku, Ayahku serta prajurit lainnya datang dan mengusirnya. Tapi, nyawa ibuku tidak bisa diselamatkan, hingga harus . . ."
*Tik *Tik
Sebuah tetesan air menyadarkan telinga Ladius yang berdiri didepannya Ralia dengan wajahnya yang menunduk. Lengannya yang digenggam kuat perlahan lemas, Tubuh Gadis itu pun gemetar hebat sebelum tetesan air berbunyi terus menerus.
"Maafkan . . . .aku. . . Ladius. . ."
" . . ."
*Greb
" . . .!!!"
" . . ."
Tubuhnya berhempaskan ke sandaran dadanya yang tepat dikepala. Pelukan nan hangat Ladius menyendukan tangisan perempuan yang dipeluknya itu,
"AAAAAAHHHHHHH"
" . . ."
Air mata mengalir lembut hingga merembes ke dadanya yang dilapisi jubah hitam. Tangan kirinya diangkat—mengusap kepalanya dengan pelan. Matanya memerah berkaca-kaca, air mata bercucuran deras ke bawah, mengeluarkan semua kesedihan dalam hati.
"AAAAAA.AAAA. . . .AAAAA"
" . . . .Kau tidaklah menyakitiku, Ralia."
***