Satu Kelas [Sudah Terbit]

Av cappuc_cino

864K 67.4K 15.3K

[Sudah terbit dan bisa didapatkan di Gramedia dan toko buku terdekat atau WA ke nomor : 0857 9702 3488] Aldeo... Mer

Perkenalan
Prolog
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
New Cover
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Info PO Light in A Maze
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas [A]
Delapan Belas [B]
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Aksara Sevanya
Aldeo
Sandria
Numpang Promo
Epilog
Epilog 2 #InfoPOSatuKelas
PO ke-2
Giveaway Novel Satu Kelas
Akun Storial

Satu

56.7K 3.7K 514
Av cappuc_cino

Don't look back. But if we don't look back, we're only running babe.
(Same Mistakes - One Direction)
•••

ALDEO
Gue malangkah pelan-pelan masuk ke rumah, berharap nggak ada yang lihat kedatangan gue tapi berakhir gagal karena ternyata nyokap lagi ada di ruang tv. “Masuk sekolah tinggal dua hari lagi ya, De?” tanyanya tanpa menatap gue karena di layar televisi sedang menampilkan adegan ftv yang mengenaskan. Gue nggak tahu adegan jelasnya gimana, tapi baru aja gue melihat adegan seorang ibu mendorong anaknya ke luar rumah dalam keadaan hujan deras. Ya ampun, nyokap gue tontonannya memang nggak pernah berubah.

“Iya, Ma,” jawab gue sambil ngeloyor menuju tangga. Dan kesialan yang kedua, gue menemukan kakak perempuan gue, Sahila, di puncak tangga, mau turun.

“Katanya mau ketemuan sama Yaya, kok udah balik lagi?” tanyanya sambil membuka-buka Kamus Besar Bahasa Indonesia yang tebal itu di tangannya. Dia kuliah di jurusan Sastra Indonesia, dan berhasil menerbitkan beberapa novel yang sudah terjual di Gramedia. Oke, dia hebat, nggak kayak gue yang nggak ada apa-apanya ini.

“Udah,” jawab gue sambil naik tangga tanpa ngelihat dia.

“Putus ya lo?” terkanya ketika gue sudah sampai di tengah tangga.

“Putus?” Nyokap gue menyahut dari sofa tempatnya menonton tv.

Cewek adalah makhluk pencari informasi paling canggih. “Yaya ngomong sama lo?” tanya gue pada Sahila.

“Kebetulan aja tadi gue WA dia.” Sahila memicingkan matanya menatap gue.

“Ya ampun, De. Kamu mau nyari cewek kayak apa lagi, sih?” Mama mengabaikan tontonannya dan ikut-ikutan menghakimi gue.

“Merasa ganteng banget lo? Dikasih cewek cantik, baik, pinter malah disia-siain.” Sahila terus-terusan memojokkan gue. “Nggak tahu diri banget lo. Muka sama otak pas-pasan aja belagu,” umpat Sahila dengan wajah kesal.

Gue nggak tahu Sahila itu camilan sehari-harinya Bon Cabe apa Balsem Geliga, mulutnya pedes, pedesnya nyampe ke mata gue.

“Mulai besok kamu bantuin Mama jualan Tupperware ya, De,” ujar nyokap yang kini melangkah ke dapur mengambil minum.

“Apa lagi sih ini?” gerutu gue.
Mama menatap gue sebelum kembali ke depan tv. “Buat bayar guru bimbel Matematika yang bisa encerin otak ajaib kamu itu.”

Maksudnya, karena gue sekarang putus sama Sandria, nggak akan ada lagi yang ngajarin gue Matematika kalau mau ulangan atau ada tugas. Segitunya?

Sahila turun dan memukul bahu gue dengan kamus tebalnya sambil mendelik kesal saat berpapasan, lalu menggerutu pada nyokap, masih tentang gue tentunya. Dan gue bisa tebak kalau setelah ini mereka berdua akan ngomongin gue sampai berbusa-busa.

Nyokap bilang, gue ini memang anak yang nggak direncanakan kehadirannya. Nggak direncanakan ya, bukan berarti nggak diharapkan. Setelah melahirkan Sahila, Nyokap sama bokap nggak merencanakan punya anak lagi karena hipertensi, jantung dan asma yang dialami nyokap  membuat pengalaman melahirkan anak pertama, Sahila, dramatis banget. Sehingga membuat mereka trauma untuk punya anak lagi.

Jadi gue ini adalah anak  dari hasil ‘kebobolan’, yang kata bokap gue hampir mau dibuang ke tempat sampah. Karena waktu melahirkan, perut nyokap gue jadi harus dibelek karena pengalaman lahiran sebelumnya. Setiap bercanda bokap gue ngomong gitu, tapi makin hari gue jadi makin percaya kalau candaan itu serius,  karena tiap hari hidup gue cuma dicerca macam begini, apa lagi sama kakak perempuan gue itu.

Gue melangkah ke kamar, nggak menghiraukan mereka lagi. Setelah membuka pintu, gue merasa ponsel gue bergetar, ada sebuah pesan dari grup chat ekstrakurikuler Futsal. Dari Davin, Kapten Tim Futsal SMA 107 yang semangat banget ngumpulin anak-anak saat liburan begini.

Davin
Besok kumpul di sekolah, kita bahas teknik perekrutan anggota baru tim futsal untuk tahun ajaran baru.

Tahun ajaran baru, berarti sekarang gue akan jadi kakak kelas dan punya adik kelas. Wih, kedengaran agak keren. Lalu gue membalas singkat.

Aldeo
Oke.

Ojan
Rekrut adik kelas cewek boleh kali. Ya nggak, Yo?

Aldeo
Tau dah, ya.

Ojan
Sok cool banget lu, Kampret!

Aldeo
Bcd.

Davin
Buat tim cheers di pinggir lapangan boleh laaa.

Ojan
Kapten sudah menyetujui. Bagaimana dari pihak lain, ada tanggapan?

Rudi
Cari yang pahanya mulus kek member Twice.

Moses
Cari yang pahanya mulus kek member Twice. (2)

Ari
Cari yang pahanya mulus kek member Twice. (3)

Riki
Cari yang pahanya mulus kek member Twice. (347)

Gue mengabaikan pesan-pesan lain yang masuk, karena gue yakin itu cuma obrolan nggak jelas sebuah tim futsal yang kehausan wanita tiap latihan di lapangan. Merasa nggak adil ketika lihat tim basket punya cheesleaders sementara kita nggak, padahal sama-sama lari di lapangan.

Layar ponsel sudah menunjukkan layar utama, dan gue tiba-tiba termangu. Gue masih menjadikan foto Sandria sebagai wallpaper, tema juga, dan background beberapa aplikasi. Pacaran selama sepuluh bulan, jangan tanya berapa banyak foto Sandria di dalam galeri ponsel gue, mau yang lagi sadar kamera atau pun candid—karena gue kadang nyuri-nyuri buat ngambil fotonya, ditambah foto kami berdua. Belum lagi foto-foto yang gue pindahin ke laptop, beberapa juga ada di hardisk eksternal.

Semua folder tentang kami berdua, sepakat diberi nama Yo♡Ya. Artinya Yoyo dan  Yaya. Jangan tanya kenapa alay banget, karena gue juga baru sadar bahwa selama ini gue sangat-sangat alay.

Gue membuka galeri, lalu mengklik pilihan Delete pada folder Yo♡Ya. Kemudian muncul tulisan, one album and 2608 items will be deleted. Lalu ada pilihan CANCEL atau DELETE ALBUM.

Gue mendadak bingung.

***

SANDRIA
Aku bingung apa yang sedang kulakukan saat ini. Aku mengumpulkan semua benda pemberian Aldeo di atas tempat tidur, lalu menyiapkan sebuah kotak besar untuk dimasukkan ke dalamnya. Ini kedengaran terlalu melankolis nggak, sih? Seakan-akan aku ingin melupakannya karena begitu kehilangan.

Setelah pulang dari kafe dan meninggalkan Aldeo tadi sore, mataku berair, tetapi kemudian kering hanya dengan satu kali usapan tangan. Selama perjalanan di busway, aku malah ingat pada novel karya Kak Sahila yang tadi malam baru selesai kubaca, lalu mengirimkan pesan tentang betapa terkesannya aku pada novel berjudul Satu Kelas yang dia tulis itu. Ringan dan menggambarkan kehidupan remaja banget. Tapi percakapan kami memang selalu melenceng ke mana-mana, sampai tahu-tahu aku sudah memberitahunya tentang hubunganku dan Aldeo, yang sudah berkahir.

Aku berdecak, aku nggak berbakat untuk jadi gadis melankolis, jadi tingkahku yang memasukkan semua benda pemberian Aldeo ke dalam kotak besar itu bukan bentuk dari kesedihan, melainkan karena aku kesal. Kesal sama dia yang diam aja selama ini, menutupi semuanya dan bilang, “Nggak kenapa-kenapa.” Saat aku tanya mengenai perubahan sikapnya.

Sepuluh bulan memang bukan waktu yang sangat lama. Tetapi membuatku merasa bahwa aku memiliki satu teman yang nggak akan pernah meninggalkanku, nggak akan pernah bosan. Dan aku salah. Dia bosan bersamaku—aku tahu akhir-akhir ini, dan kemudian meninggalkanku.
Aku melepaskan napas berat. Sudah memutuskan untuk nggak menangis karena alasan kehilangan, dengan muak kuakui bahwa aku bahkan bisa melihat Aldeo berkeliaran setiap hari di depan mataku, di sekolah. Aku lebih senang dia pergi saja malah dari hidupku.

“Ya!”

Aku terkejut dan segera menoleh ke arah pintu kamar yang terbuka.

“Ketuk dulu, Ma,” protesku dengan wajah malas. Karena aku sudah mengingatkan Mama berkali-kali, tapi Mama selalu lupa.

“Oh, oke. Sorry.” Mama kembali menutup pintu dan mengetuk dari arah luar. “Boleh masuk nggak?” tanyanya.

Aku menyahut malas. “Hm.” Dan melihat pintu kamar kembali terbuka.

Mama masuk ke kamarku dengan dress merah di bawah lutut, tanpa lengan. Tangan kanannya menjinjing totebag yang kutahu isinya adalah pakaian ganti. “Mama mau kerja dulu, ya. Kalau mau makan, turun aja. Di meja makan ada Dunkin, Mama nggak sempat masak nasi soalnya.” Dia menghampiriku, mencium pipi dan keningku. “Dah! Belajar yang rajin, ya.”

Aku nggak menjawab, diam saat Mama melangkah keluar kamar dan menutup pintu. Lalu saat mendengar suara deru mesin di carport depan, aku melangkah menghampiri jendela. Menyingkap kain gorden dan menatap keluar, menatap Yaris merah yang Mama kendarai keluar dari halaman dan bergerak di jalanan kompleks.

Jam tujuh malam, saat setiap ibu sibuk membereskan bekas makan malam keluarganya, Mama malah pergi bekerja, sampai dini hari. Papa yang sekarang sudah berada di surga, kuharap dia nggak sedih melihat keadaan ini.

***

ALDEO
Gue baru saja melewati gerbang sekolah dan memberikan tos pada Pak Yono, Security sekolah. “Nggak boncengan, nih?” teriaknya yang gue jawab dengan lambaian tangan. Seringnya memang gue akan menjemput Sandria dulu untuk berangkat sama-sama, tapi sekarang, ya kali.

Suasana sekolah masih tampak sepi. Karena masih liburan juga sih, dan sebagian siswa yang datang ke sekolah hanya siswa yang masuk menjadi anggota ekstrakurikuler atau OSIS, untuk membahas rencana kegiatan yang akan dilaksanakan di tahun ajaran baru.

Gue memarkirkan Ninja hijau gue bersama jejeran motor lain di lahan parkir sekolah yang disediakan untuk siswa, lalu membuka helm dan bersiul sambil menatap cermin untuk membereskan rambut. Roman-romannya wajah gue kelihatan lebih segar dari biasanya, apa karena akan memulai hidup dengan lembaran baru? Lembaran kosong kejombloan yang akan gue isi dengan yang baru.
Gue berdeham. Gue harus tetap kelihatan elegan walaupun sebenarnya gue senang banget karena habis putus dengan nggak berteriak, “Yes!” mengingat kebebasan gue sekarang. Namun, kebahagiaan gue diganggu oleh sebuah tangan kurang ajar yang menoyor kepala gue dari belakang.

“Jomblo, Cuy?” tanya Ojan, teman sebangku gue selama kelas sepuluh. Cengiran dan tawaran tosnya membuat gue lupa sama tangan kurang ajarnya tadi.

Gue turun dari motor dan merangkulnya. “Kita mulai lagi kekurangajaran kaum lelaki.”

“Nebak-nebak warna bra di balik seragam cewek?” tanya Ojan. Itu permainan yang dia ciptakan sendiri yang nggak pernah kita tahu siapa pemenangnya, yang menjawab benar, karena kita nggak pernah tahu warna yang sebenarnya.

“Nggak, deh. Untuk itu, sorry.” Gue angkat tangan. Setelah pacaran sama Sandria kemarin, gue tahu kalau permainan itu, walaupun hanya sekadar bercanda, sama saja melecehkan perempuan. Gue tiba-tiba merasa nggak terima aja gitu ngebayangin warna bra Sandria dijadikan bahan tebak-tebakan cowok lain.

Dari kejauhan gue melihat Sonson lari menghampiri. Melakukan gerakan tos pada gue dan Ojan.

“Masa Aldeo udah tobat sama permainan andalan kita, Son,” adu Ojan.

Sonson melirik gue. “Otaknya masih bersih karena kemarin-kemarin kebanyakan gaul sama Sandria,” sahut Sonson yang ikut berjalan berjejer. “Gue yakin selama sepuluh bulan pacaran, paling banter dia cuma bisa pegang tangan Sandria, itu pun kalau lagi nyeberang.”

Gue menoyor kepala Sonson. “Tai!” umpat gue.

“Cupu lo!” Ojan menatap jijik ke arah gue. “Segitu doang nyali lo, Yo?” tanyanya nggak percaya.

Teman-teman gue ini memang paling kampret dalam hal mengejek orang. Gue yang merasa tersudut dan tertekan, mendadak emosi dan membela diri. “Siapa bilang?” Gue menatap Sonson dan Ojan dengan tatapan mengejek. “Lo berdua lagi nyeritain diri sendiri kali tuh.”

“Emang selama pacaran hampir setahun itu lo dapet jackpot apaan?”

Gue mematukkan semua jemari gue ke bibir.

“Cium bibir?” pekik Ojan dan Sonson bersamaan.

“Anjir!” Ojan mengumpat.

“Emang Sandria mau?” tanya Sonson nggak percaya.

“Beuh!” Gue menepukkan tangan satu kali. “Kalau udah sekali, dia bakal bilang, lagi dong lagi.” Gue menirukan suara Sandria, dan detik berikutnya gue merasa gegar otak karena dihantam sebuah benda keras dan berat tepat di belakang kepala.

Kami bertiga menoleh bersamaan ke arah belakang, lalu mendapati Sandria sedang melotot sambil menggenggam buku Rumus Cepat Matematika, yang gue terka dipakai buat mukul kepala gue tadi.

“Gue nggak habis pikir, kenapa gue pernah jadian sama makhluk menjijikan kayak lo,” umpatnya. Setelah itu dia pergi dengan langkah cepat.

“Bhahahaha.” Suara tawa Sonson dan Ojan memekakan telinga gue.

Gue menatap langkah Sandria yang makin menjauh. Nggak salah gue putus sama dia. Berpotensi banget untuk punya banyak trauma buruk karena KDRT kalau sama dia kayaknya. Setelah nggak lihat Sandria lagi, gue menginterupsi dengan menghadapkan telapak tangan ke wajah Ojan dan Sonson. “Seenggaknya, posisi gue berada di depan lo berdua, dalam hal pacaran.”

Ojan menepuk-nepuk dada. “Gue!”

“Apaan?” tanya gue dan Sonson hampir bersamaan.

“Adalah makhluk paling susah didapatkan oleh cewek-cewek,” lanjut Ojan.

“Najis. Nggak laku aja bangga.” Sonson melangkah duluan dan gue mengekor. Nggak lama, Ojan menyejajari.

“Gue tuh jual mahal.” Ojan membela diri.

“Iya. Gue tahu. Gorengan Bi karsih juga kalah mahal,” ujar gue yang membuatnya murka.

“Kampret!” Ojan mengumpat. Dan kami terus melangkah sambil nggak tahu mau ke mana. Rapat tim futsal ngaret satu jam, jadi gue dan Ojan nggak jadi ke lapangan futsal. Sedangkan Sonson, ngikut aja karena sebenarnya dia nggak ikutan ekskul apa-apa dan nggak punya kepentingan apa-apa.

“Lumayan dapet duit bensin kalau bilang mau ke sekolah,” katanya saat ditanya tujuannya ke sekolah.

Jadi sekarang kami memutuskan untuk menunggu di kantin, yang sepi karena nggak ada yang jualan. Masih liburan juga mereka. “Jadi setelah ini, lo mau ngejar Elvina?” tanya Ojan yang duduk di seberang gue.

“Lo ngincer Elvina? Dia anak dance itu, kan?” tanya Sonson yang duduk di samping Ojan.

“Dari kelas sepuluh kali dia ngincer Elvina, cuma nggak jadi, malah kecantol Sandria. Dan sekarang otaknya udah bener lagi,” sahut Ojan.

Padahal harusnya Ojan sadar, siapa yang bikin gue jadian sama Sandria memangnya? Mulut bocornya itu yang bikin gue dicie-ciein setiap saat sama Sandria. Contohnya saat Sandria lagi presentasi Biologi dan saat kelompok gue bagian bertanya dan gue yang bicara, “Saya mau bertanya pada Sandria.”

“CIEEE!!!” Di kelas udah kayak gempa. Dan dada gue juga berdebar nggak keruan.

Gue menghiraukan obrolan dua orang di hadapan gue, melihat layar ponsel yang masih memakai foto Sandria sebagai wallpaper, gue jadi ingat kebimbangan semalam. “Gue mau nanya serius.” Ucapan gue bikin Ojan dan Sonson menatap ke arah gue, beneran serius. “Menurut lo pada, gue harus hapus foto-foto Sandria apa nggak usah?” tanya gue seraya menghadapkan layar ponsel ke arah mereka berdua.

“Jangan.” Ojan menjawab cepat.

Gue melirik ke arah Sonson.

“Iya, jangan.” Sonson mengangguk-angguk.

“Kenapa?” tanya gue penasaran sama jawaban kompak mereka. Kalau kayak gini, biasanya mereka punya alasan yang disepakati bersama.

“Buat bahan,” jawab Ojan.

“Tul!” Sonson menyahut.

“Bahan?” tanya gue bingung.

“Pura-pura bego,” umpat Ojan.

“Gue serius nggak ngerti, bahan apaan?” Gue makin bingung lihat Ojan dan Sonson saling lempar pandang sambil cengengesan.

“Bahan berhalusinasi, lah. Sok polos lo!” jelas Sonson yang disambut tawa dari Ojan.

“Kampret!” Gue menoyor kening Sonson. “Gue serius.”

“Eh, kita juga serius kali.” Setelah tawanya reda, Ojan bicara lagi. “Bakal lebih kuat kemistri saat berhalusinasi kalau sama cewek yang sempet deket.”

“Jijik lo!” Umpatan gue membuat mereka berdua tertawa lagi. Nggak lama, saat mereka masih membahas tentang bahan yang membuat gue baru tahu kalau selama ini mereka sering membicarakan hal itu, Dito datang membawa sebotol Aqua dan disimpan di tengah meja, dia duduk di samping gue.

“Pada nggak rapat ekskul apa?” tanyanya dengan wajah serius. Gue tahu dia pasti habis lari ke sana-kemari buat ngurusin MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah) untuk siswa baru nanti, karena dia anggota inti OSIS.

“Nggak usah sok sibuk di depan kita, deh.” Sonson meraih botol Aqua dan membukanya.

“Mumpung ada lo, nih. Gue mau nanya.” Gue menatap Dito dengan wajah serius.

“Apaan?” tanya Dito.

“Menurut lo, yang gue anggap paling lurus di antara kita—” ucapan gue berhenti karena sekarang Dito menarik gesper gue sambil melongokan kepala ke batas pinggang celana gue.

“Emang punya lo bengkok? Nggak lurus?” tanya Dito sok polos.

“Anjir!” Gue mengumpat sambil membenarkan gesper. Dito memang paling kelihatan kalem di antara kami bertiga, tapi jangan ketipu sama wajah dan sikap sok tenangnya itu, dia juga nggak kalah bejad kok. “Gue serius, Kampret!”

Ojan dan Sonson ketawa sampai kencang banget.

“Iya, iya,” sahut Dito santai. “Apaan?”

“Menurut lo, setelah gue putus dari Sandria, gue hapus foto-fotonya dia jangan, ya?”

Dito kelihatan mikir sebentar. “Kalau lo ragu kayak gini mendingan jangan,” sarannya.

“Kenapa?” tanya gue bingung.

“Ya kalau lo ragu, berarti takut nyesel kan? Atau takut butuh mungkin?” Wajah Dito kelihatan serius sampai gue hampir percaya sama sarannya barusan.

Butuh? Buat meratapi nasib dan penyesalan karena udah mutusin dia gitu? “Butuh? Buat apaan?” tanya gue lagi.

“Bahan,” jawab Dito enteng yang disambut ledakan tawa dari Ojan dan Sonson.

“Anjir! Kampret! Sama aja emang!” Gue baru sadar bahwa selama ini mereka melangkah jauh di depan gue sampai gue nggak tahu tentang bahasan bahan halusinasi yang mereka bicarakan itu.

***

Mengenang kembali hal-hal manis bersama mantan atau melalui hal baru dengan gebetan? Jawab yokkk.

Vote & comments, ya. See you.

12-01-18

Fortsett å les

You'll Also Like

2.8M 396K 38
Series ke-4 #2A3SeriesFanfictVersion | 1st Version | Taeyong, si ketua kelas judes yang mulutnya tajem. Harus diusik sama si ade...
2.7M 130K 35
[SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU] Pemenang Wattys Award 2016 kategori "Cerita Sosial". Relin sebel banget sama Mika, tak peduli bahwa cowok itu...
2.7K 288 23
Berbagi ilmu pengetahuan tentang kepenulisan dan dunianya.
5.2M 372K 48
"Lo tahu teori chaos?" "Efek kupu-kupu?" "Hmm... sensitive dependence on initial condition. Kayak lo yang di sini mampu ngerubah gue saat di Finlandi...