NIKAH YUK!

By ceptybrown

586K 35.4K 561

Aku tidak percaya kalau menikah tanpa berpacaran terlebih dahulu. Mana ada orang bisa cocok hanya dengan kena... More

Prolog
Bab 01 Hijab
Bab 02 Cinta!
Bab 04
Bab 05
Bab 06
Bab 07
Bab 08 Ketakutan
Bab 09 Perubahan
Bab 10 halangan
Bab 11 keputusan yang berat
Bab 12 titik nadir
Bab 13 pulang
Bab 14 kenyataan
Bab 15 awal baru
Bab 16 lamaran
Bab 17 gangguan lain
Bab 18 menemukan jawaban
Bab 19 persiapan
Bab 20 Takdir
Bab 21
Bab 22 Jodoh lain
Bab 23 pilihan
Bab 24 pertemuan kembali
Bab 25 Pinangan
Bab 26 Bersaing
Bab 27 menikah
Bab 28 kemantapan hati
Bab 29 Resah
Bab 20 ikhlas
Ending
sequel Nikah yuk
nanya
OPEN PO NOW
cover novel
cuplikan extra part 1
gift
penampakan
free hijab
Siap di peluk
info pengiriman
Finally
sudah siap kirim
Finally
Open po 2
ready
Ada di google playstore
OPEN PO

Bab 03 Musuh!

16.2K 1K 11
By ceptybrown

“Kamu itu bangun rumah Fan.”  Aku mengernyit mendengar ucapan Bella.

Siang ini kami akhirnya makan siang bersama. Siang pertamaku di Yogya dan mulai aktivitas kerja. Bella mengajakku ke rumah makan yang ada pilihan sambalnya. Berbagai menu sambal di hidangkan. Bahkan ada sambal teri kesukaanku. Jam istirahat siang begini rumah makan dengan nuansa merah kuning ini sangat penuh. Bahkan ada yang sempat mengantri untuk mendapatkan tempat duduk.

Aku bisa bayangkan rasa gerah kalau aku duduk di dalam.  Untung saja kami mendapat tempat duduk yang ada di luar. Jadi tidak sepanas bayanganku saat menatap ke dalam.

“Bangun rumah apa maksud lo?” Aku sudah terbiasa ber lo gue sama Bella sejak dulu masih di bangku kuliah. Tapi sejak Bella menikah dan di pindah ke sini, dia jadi lebih sopan memanggilku.

Bella kini tersenyum dan membenarkan hijab warna hijau tosca yang di pakainya. Siang ini dia tampak cantik. Entah kenapa aku sedikit iri dengan Bella. Padahal, aku tidak memuji diriku sendiri. Tapi antara aku dan Bella, akulah yang menang kalau di lihat dari segi fisik. Aku putih, Bella lebih ke sawo matang kulitnya. Aku tinggi semampai, Bella lebih berisi dan pendek daripada aku. Dan dulu di kampus, akulah yang menjadi ratu kampusnya. Sedangkan Bella, setahuku tidak pernah berpacaran. Dia hanya mengatakan kepadaku. Ingin mendapatkan suami.

Memang benar, karena akhirnya dia bertemu dengan Vino. Satu bulan setelah berkenalan, Bella rela dinikahi Vino. Dengan syarat dia harus ikut Vino pindah ke Yogya ini. Padahal di Jakarta karir Bella sedang bagus-bagusnya. Aku dulu menyesalkan keputusan Bella untuk pindah ke kota ini. Memutuskan tidak menerima promosi yang di berikan bos kami. Lebih memilih memiliki anak dan berhenti bekerja untuk sesaat. Tapi namanya rejeki, kalau Bella bilang. Dia mendapatkan panggilan lagi dan akhirnya menempati posisi seperti saat ini.

“Bangun rumah di neraka.”

“Astaga!” Teriakanku yang keras membuat beberapa pengunjung di meja sebelah langsung menoleh kepadaku. Aku langsung menunduk dan menyembunyikan wajahku.

Malu. Dimana sopan santunku saat ini?
Aku tersedak saat mendengar ucapan Bella. Dia tega banget bilang seperti itu kepadaku. Bella mengulurkan air putih yang langsung aku teguk sampai tandas.

“Maaf Fan. Jadi tersedak ya?”

Aku mendengus kesal saat menatap Bella. Menerima gelas yang di ulurkannya dan kini langsung meneguk semuanya.

“Kejem lo Bel. Masak doain gue masuk neraka.” Setelah meletakkan gelas ke atas meja yang isinya sudah aku tandaskan kuambil timun yang ada di piring tempat lalapan. Rasa sambal di sini memang sangat hebat. Pedasnya membuat peningku jadi hilang. Aku juga sudah pesan dua piring sambal terasi dilengkapi dengan nila bakar yang langsung aku santap.

“Bukan begitu maksudku Fan. Tapi ni ya kamu pacaran sama Bimo udah 5 tahun lebih. Dan sekarang kamu mau gitu aja diajakin zinah?”

Aku langsung melotot mendengar ucapan Bella. Pusing sebenarnya sejak semalam, jadi aku curhat sama Bella tentang gejolak hatiku ini. Dia hanya menganggukkan kepalanya sejak aku mulai bercerita. Tidak ada interupsi. Tapi saat aku sudah selesai bercerita, dia langsung mencercaku seperti itu.

“Bukan kayak gitu Bel. Lo tahu sendiri gue cinta mati sama Bimo. Terus sampai setua ini gue juga nungguin Bimo. Dan sekarang saat dia udah ngelamar gue, masa ya gue tolak?” Aku memalingkan wajah dari Bella. Menatap dua sejoli yang baru saja turun dari atas sepeda motor yang di parkir di halaman yang tak jauh dari tempatku duduk. Melihat mereka, aku rasanya ingin kembali ke masa itu. Masa-masa yang tanpa beban pikiran. Yang ada berfoya-foya dan bersenang-senang.
Jentikan tangan Bella menyadarkanku. Aku kembali menatapnya. Bella menatapku dengan muram. Sahabatku itu selalu tidak setuju dengan ucapanku, tapi dia tahu menghargai perasaanku dengan tidak menentang dengan keras.

“Kalau kayak gitu berarti kan Bimo gak layak buat kamu Fan. Udahlah putus dan cari yang lain. Ingat cari suami yang bisa jadi imam. Lah ini mana bisa jadi imam kalau mau ngajakin zinah kayak gitu. Istighfar Fan.”
Kuhela nafasku lagi. Aku semakin putus asa mendengar nasihat dari Bella. Hawa panas siang ini juga tidak menolong suasana hatiku. Kukibaskan tanganku di depan wajah. Menghela nafas lagi. Menatap kosong ke jalan raya yang ada di depan rumah makan ini. Begitu padat dan menyesakkan. Seperti suasana hatiku saat ini.

“Gue udah gak muda lagi Bel. Kalau gue harus putus dari Bimo, terus gue cari cowok lagi. Pacaran lagi, mau sampai kapan? Keburu gue ubanan.” Akhirnya aku meraih gelas tinggi berisi jus jambu di depanku.

Menyesapnya sampai hanya tersisa ampas jambunya saja dan airnya sudah habis. Memainkan sedotannya dengan jariku.

Bella tersenyum kecil saat mendengar ucapanku. Dia kini menatap jalanan yang rame oleh lalu lintas. Tapi kemudian kembali menoleh kepadaku.

“Gak usah pacaran. Langsung nikah. Di dalam islam itu gak ada yang namanya pacaran Fan. Aku sama Mas Vino aja taarufan. Dan alhamdulilah udah 5 tahun ini dia bisa menjadi imam yang baik buatku.”

Aku memang tahu Bella menikah dengan Vino karena perjodohan orang tuanya. Dulu aku sangsi Bella bisa menjalani pernikahannya. Tapi sejauh ini aku memang melihat kehidupan Bella baik-baik saja. Bahkan mereka sudah mempunyai dua anak yang lucu.

“Enggak ah. Gue gak percaya. Gue ama Bimo aja yang udah pacaran selama 5 tahun masih aja sering berantem. Itu yang gue udah tahu sifat jelek dan baiknya Bimo loh. Lha nanti kalau gue ketemu ama suami gue dan langsung menikah? Maka langsung cerai. Artis aja banyak yang cerai tuh, padahal juga pacarannya udah lama sepanjang rel kereta api.”

Gumamanku malah membuat Bella tertawa, sahabatku itu kini menggelengkan kepalanya. Lalu menatap jam yang melingkar di tangannya.

“Udah pukul 1 nih. Kita mau visit ke outlet kan?”
Aku langsung mengangguk mengiyakan. Ikut beranjak dari dudukku dan melangkah di samping Bella. Menemani Bella yang langsung membayar di kasir. Aku juga memesan nasi box untuk aku bawa pulang nanti sore. Di rumah kontrakan aku juga malas memasak. Lebih baik beli makanan seperti ini lebih praktis. Nasi dan sambal serta ayam goreng, aku rasa sudah cukup untuk menu makan malam. Yang pastinya juga masih enak untuk di santap.

Bella menggandeng lenganku saat kami keluar dari rumah makan. Aku bisa mendengar siulan pria-pria yang tidak sengaja aku lewati. Siang ini aku memang mengenakan blouse warna putih dengan bahan sifon. Yang pastinya bahannya menerawang dan membuat tank top yang aku kenakan di dalam terlihat jelas. Sedangkan bawahannya aku masih mengenakan rok. Tapi bukan mini untuk saat ini. Rok dengan potongan lebar itu memang sedikit di atas lutut. Memamerkan paha putihku dan kaki jenjangku.
Bella hanya  melirikku sekilas. Tahu kalau godaan itu ditujukan kepadaku.

Tapi buat apa aku malu, toh aku malah sedikit bangga. Kalau di umurku yang sudah tidak muda lagi ini aku masih diminati.
Sampai di parkiran, sudah ada Salman yang memang menjadi supir selama kami akan melakukan visit. Tapi aku heran saat tadi dia menolak makan bersama kami. Pria itu kini langsung masuk ke dalam mobil. Sedangkan aku dan Bella sudah duduk di jok belakang.

“Kamu udah makan to Man?”

“Sampun [udah] mbak.”

Salman menjawab dari balik kemudi saat Bella bertanya. Aku tidak mau menyinggung-nyinggung Salman lagi. Dia dari kemarin memang seperti melihat kuntilanak kalau di depanku. Jadi ngapain juga aku mikirin dia.

“Eh Mbak Bella, tadi saya ketemu sama Indah. Kok dia bilang mau pamitan kerja gitu.”

Bella langsung menatapku saat mendengar ucapan Salman. Aku langsung kembali menatap Bella dan mengangkat bahu.

“Pamitan piye Man? Kan Indah baru megang Carefour satu bulan ini. Nanti kita malah gak boleh masuk kalau sering gonta ganti spg. Dia juga gak betah gitu apa gimana?”Aku hanya mendengarkan ucapan Bella. Masih mencerna apa yang di katakana Salman.

“Ndak tahu mbak. Cuma tadi Indah sempat bilang kalau peraturan yang  suruh lepas jilbab itu lho. Nah dia gak bisa. Lagian siapa to mbak yang buat aturan kayak gitu. Wong mumet itu pasti yo mbak.”

Eh Salman ngomong apa? Wong mumet? Aku juga tahu maksud dari ucapan itu. Tentu saja aku langsung mencondongkan tubuh ke depan. Seperti kemarin, tubuhku ada di celah antara jok depan dan kini menepuk bahu Salman dengan kuat. Dia sepertinya terkejut. Langsung menoleh ke belakang dan sedikit menjauh. Wajahnya sudah pucat pasi.

“Astaghfirullah mbak” Dia kembali mengembalikan pandangannya ke arah depan. Aku bisa melihat tubuhnya sedikit mengigil. Ini anak memang takut sama aku? Kok responnya beneran kayak lihat hantu?

“Heh mulut lo tuh di jaga ya. Cuma supir kok ngatain peraturan perusahaan.”

Aku menatap galak kepada Salman. Tapi seperti kemarin dia hanya menatap depan dan tidak berani menoleh kepadaku.

“Hei, Fan huust.” Bella langsung menarik tubuhku untuk duduk kembali.

“Bukan itu maksud Salman. Tapi memang Indah sejak melamar menjadi spg juga sudah memakai jilbab. Dia sudah istiqomah pake jilbabnya, jadi mungkin dia tidak mau..”

Aku langsung menggelengkan kepala. Urusan ini malah membuatku makin pusing.

“Aku gak jadi ngadain visit. Kita balik lagi aja ke kantor, dan panggil semua yang tidak setuju dan akan keluar. Milih spg gampang kok. Kalau mau keluar ya silakan saja.”

Bella terlihat akan memprotes ucapanku. Tapi kemudian aku bisa melihatnya menghela nafas lalu mengangguk.

“Yowes Man, langsung balik ke kantor ya. Tapi apa gak sebaiknya kamu mampir ke Carefour dulu Fan? Kan deket kantor ama Carefour?”
Bella sudah balik menatapku lagi. Aku mengernyitkan kening untuk berpikir.

Sebenarnya ini memang jadwalku untuk visit ke outlet. Sudah menjadi tugasku mengenal satu-satu SPG dan mengetahui keadaan outlet. Biasanya, mereka ada yang tidak cocok juga dengan outlet yang mereka tempati. Atau mereka sudah malas dengan suasana di sana. Yang membuat kinerja mereka jadi malas-malasan. Dan hal itu merupakan factor penting untuk penjualan.

Harusnya aku visit. Tapi otakku sudah tidak bisa diajak berkompromi. Aku harus segera menyelesaikan urusan ini.

“Enggak Bel, kita kembali ke kantor aja. Visit bisa besok.”

Akhirnya Bella mengalah dan mengangguk.

“Langsung kantor ya Man.”

“Injeh mbak.” Suara Salman yang halus itu membuatku sekilas menatapnya dari balik jok. Kenapa dia kalau sama orang lain bisa ngomong sesabar itu? Kalau sama aku seperti melihat musuh.

Tapi untuk saat ini aku tidak mau berkonfrontasi dengannya. Sudah lelah. Otakku sudah penuh dengan gangguan kecil ini. Apalagi semalam Bimo juga tidak membuatku baik dengan teleponnya. Akhirnya aku merebahkan diri di jok mobil. Menatap jalanan Yogya yang di lewati.

Yogya memang padat tapi tidak sepadat Jakarta. Jalanannya tidak membuat macet seperti di Jakarta. Hal ini salah satu sisi positifnya aku berada di sini.

Mobil mulai berbelok memasuki gapura yang ada di pinggir jalan. Menandai kalau kami sudah masuk ke wilayah tempat kantor terletak. Aku mulai menyiapkan apa saja yang aku perlukan untuk membahas masalah peraturanku.
****

“Tiffany. Saya hargai apa yang kamu lakukan untuk perubahan perusahaan ini. Saya juga tidak menentangnya. Karena saya tahu, kamu bisa menangani ini semua. Kamu salah satu leader yang bisa diandalkan. Saya memang menyetujui kamu di pindah ke sini untuk memperbaiki system di sini yang memang sedikit mengalami kemunduran. Tapi..”

Aku menatap Pak Doni. Supervisor yang ada di atasku langsung. Dia yang membawahi kami semua di sini. Termasuk aku. Satu jam sudah aku berada di dalam ruangannya Pak Doni.
Pria yang masih berwibawa meski usianya aku yakin di pertengahan 40 tahunan. Ada sedikit uban yang sudah terlihat di rambutnya yang lebat itu. Pak Doni adalah orang yang sangat ramah. Begitu aku memperkenalkan diri, meski aku juga sempat bertemu beberapa kali di Jakarta saat meeting global, tapi aku merasa perlu untuk memperkenalkan diri lagi.

Saat aku memasuki ruangannya tadi aku langsung merasa ruangan dengan warna dinding biru laut ini entah kenapa membuat aku nyaman. Apalagi dengan kursi empuk yang sekarang sedang kududuki ini. Pak Doni duduk di balik mejanya dengan berwibawa. Dengan kemeja batik warna biru navy membuat Pak Doni makin terlihat bijaksana.

“Jumlah spg yang mengundurkan hari ini terlalu banyak Fan. 10 orang. Dan itu semua yang memegang outlet besar.

Meski yang melamar ke sini juga banyak, tapi saya sangsi kamu bisa merekrut spg baru, mentraining mereka dalam waktu 3 hari. “

Kuhela nafasku. Kenapa itu juga tidak terpikir olehku saat tadi memanggil spg yang tidak setuju dengan peraturan yang aku buat. Aku memang sebelum ke sini, menelepon beberapa SPG yang sudah mengirimkan surat pengunduran diri kepadaku. Jumlahnya separo sendiri dari jumlah SPG yang memakai hijab. Aku tentu saja tidak bisa menarik ludahku sendiri. Aku kan yang berkomitmen untuk memberikan peraturan itu, jadi aku harus menerima konsekuensinya.

“Terus saya harus bagaimana pak?” Kepalaku kembali berdenyut. Kenapa urusan ini mejadi begitu rumit.
Pak Doni kini menatapku dengan serius. Beliau mengetuk-ketukkan pulpen di atas meja. Membuat jam hias yang berbentuk ikan lumba-lumba di atas meja ikut bergeser karena ketukan pulpen Pak Doni.

“Apa tidak ada cara lain untuk membuat penjualan kita kembali naik. Selain dari cara kamu itu?”
Aku melipat tangan di atas pangkuan. Sejauh ini penjualan sebuah produk itu memang bertumpu kepada spgnya. Yang langsung berhubungan langsung dengan konsumen di lapangan. Kalau SPGnya saja tidak menarik, bagaimana seorang pembeli bisa tertarik dengan barang yang di tawarkan? Itu sudah menjadi pengalamanku selama aku bergelut dibidang ini.

“Pak ujung tombak kita kan SPG pak. Kalau SPG nya saja sudah tidak bisa menarik pembeli bagaimana kita bisa menaikkan penjualan?”

Pak Doni mengangguk-anggukkan kepalanya. Tampak setuju dengan ucapanku. Bahkan kini Pk Doni tersenyum. Memamerkan lesung pipi yang makin membuatnya terlihat bijaksana itu.

“Ya saya serahkan semuanya sama kamu Fan.”

Tentu saja aku langsung tersenyum lebar. Aku senang karena Pak Doni mau menerima usulku ini. Suasana hatiku sedikit baik, karena merasa lebih percaya diri. Aku tidak salah kan menerapkan aturan itu? Semua kan demi perusahaan, dan tidak melanggar hukum kalau hanya menerapkan dilarang berhijab. Semuanya masih bisa aku atasi sepertinya.
Tapi kemudian aku ingin mencoba peruntunganku sekali lagi. Aku menatap Pak Doni dengan sopan.

“Pak maaf, kalau saya lancang. Tapi bolehkah saya mengusulkan satu lagi?”

Pak Doni menatapku dengan penasaran tapi kemudian menganggukkan kepala. Aku langsung menegakkan tubuhku. Dan kini menatap Pak Doni.

“Bagaimana kalau seragam yang dikenakan SPG dig anti pak?” Mendengar ucapanku Pk Doni kini mengernyitkan keningnya. Tampak berpikir dengan usulku. Aku menghitung satu sampai sepuluh untuk menenangkan degup jantungku. Aku takut terlalu lancang kalau menyampaikan usulku ini.
Pak Doni mencondongkan tubuhnya ke depan, lalu tersenyum.

“Memangnya kamu punya ide seragam yang lebih bagus lagi daripada yang di pakai sekarang?”

Senyumku langsung mengembang. Kepercayaan diriku naik. Aku langsung menepuk kedua tanganku. Bersemangat untuk menjelaskan detil yang sudah ada di otakku. Aku ingin membuat semua perubahan di divisi ini. Aku pasti bisa.

Bersambung

Continue Reading

You'll Also Like

4.5M 273K 60
[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Hana di deskripsikan sebagai gadis nakal pembuat onar dan memiliki pergaulan bebas, menikah dengan seorang pria yang kerap...
176K 10.6K 39
FOLLOW TERLEBIH DAHULU!! SEBELUM BACA! 📌 Dilarang untuk plagiat karena sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha melihat. kisah ini menceritakan...
Hakim By ul

Spiritual

1.1M 69.5K 53
[Revisi] Kalian percaya cinta pada pandangan pertama? Hakim tidak, awalnya tidak. Bahkan saat hatinya berdesir melihat gadis berisik yang duduk satu...
5.5M 382K 55
Apakah seorang anak Kiai harus bisa menjadi penerus kepemilikan pesantren? Ya. Namun, berbeda dengan seorang Haafiz Alif Faezan. Mahasiswa lulusan sa...