JANDA TAPI PERAWAN (JANDA RAS...

By RhaKartika

5.5M 331K 18K

Highestrank 1 (3 Februari 2018) #rank 14 (6 des 2017)#rank 11 (8 des 2017)#rank 9 (9 des 2017)#rank 7 ( 13 de... More

1. New Begining
2. Dia Arshaka kan?
3. A day with Khadaffi
4. Jadi Asisten Arshaka itu salah satu kesialan buat Nada
5. Berwajah Malaikat berhati Iblis
6. Masih banyak Laki yang Lajang, kenapa mesti jadi Pelakor?
7. Ketika Indonesia Merdeka, Hidup Nada malah di jajah Bos dari Korea
8. Balas Dendam Sama Mantan Versi Nada
9. Arshaka itu Malaikat Pencabut Nyawa khusus di Hidup Nada
10. Gua harap Lo Masuk Neraka Wildan bastard Nimaira
11. Arshaka bikin Nada Keki
12. Yes or No??
13. Status Janda Bikin Nada Hati Hati
14. Happy Suki
Berbagi Nasi
Jangan tinggalkan Jejak apapun tentang Arshaka
Arshaka? mampus aja deh Lo!!!!
Kalysta Home mempertemukan Arshaka Nada dan Daffi
Let me know, What do you want!!
Email
Curhatan Author
How Long ?
I'm Thingking about him again? Ahhh Damn!!!
Cool story when you get it right
I keep Falling dawn
Games Change and Fears
too much too ask
tak mungkin ada aku, di antara kau dan dia.
Remember Me? (Part satu)
Remember Me? (Part 2)
Remember Me? (Part 3)
Remember Me? (Part 4)
Patah
Neighbour ? (Part satu)
Neighbour (part dua)
Kita Selesai.
Akan Selalu Kamu
bukan update. Cuma pengumuman
Karma di bayar Kontan
Rujuk? Rujuk noh sama dugong!!
Bertekuk Lutut
If I tell you, I Love You. Can I keep you forever?
Kamu yang seperti mitos, memang bukan untuk ku.

Arshaka itu.. too good to be true

80K 8.5K 386
By RhaKartika


Di wajibkan vote sebelum membaca dan komentar setelah membaca.  Awas kalo enggak!!!  Hahaha

Besok gue ga update ya. Mo ngebabu dulu di rumah.  Terus di lanjut nonton list dramkor on going yang beberapa hari ini udah mulai numpuk di laptop gegara belum di tonton mulu.

Belum lagi,  gue mo ketawa ketawa nonton kwangso di running man dulu lah ya. Biat seger dan ada tenaga buat ngetik lanjutan ini cerita.

Gua janji ko,  cerita ini  bakal happy ending.  Cuma yang jelas,  happy ending nya Nada ga melulu harus berakhir sama Arshaka kan?

Hahahahha

So happy reading guys... (Duile bahasa gue) 

*******

Tadi malam, aku dengar pintu balkon milik Arshaka terbuka. Maunya, aku ikut-ikutan keluar. Berpura-pura tidak tau dia ada disana, bertemu muka dalam kesengajaan yang aku ciptakan.

Beruntung akalku cukup sehat untuk tidak melakukan itu. Jadinya, aku hanya diam sambil membayangkan apa yang Arshaka lakukan di sana, untuk waktu yang cukup lama. Sampai kemudian, ketika tengah malam pintu balkon nya terdengar tertutup kembali.

Seandainya boleh aku berbesar kepala, mungkin aku ingin berfikir jika dia menunggu aku keluar ke balkon juga. Bertemu dengan-nya, lalu terlibat pembicaraan seolah-olah kami tidak pernah saling mematahkan hati.

Selama menunggu itu, yang aku lakukan hanya stalking tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan Arshaka. Hasilnya, hampir membuatku tercengang. Melalui akun instagram Andine dan Evan serta beberapa akun yang Arshaka follback, baru aku tau ternyata Arshaka adalah salah satu mahasiwa yang menerima Dean List atau daftar yang memuat nama mahasiswa dengan nilai tertinggi di program-nya saat kuliah di Cambridge dulu.

Pantas kalau di usianya yang masih muda, Arshaka bisa menduduki jabatan General Manager di perusahaan asing dengan gaji yang aku yakini pasti sangat tinggi.

Aku juga jadi tau, bagaimana kehidupan Arshaka selama di London dari akun instagram Evan. Terlihat sepertinya mereka berkuliah bersama di London, dan ada beberapa foto kehidupan luar biasa mewah yang Evan bagikan.

Seperti, liburan musim panas yang mereka lewati dengan berpelesir menggunakan yacht. Atau beberapa foto dengan latar belakang pesta yang terlihat sangat mewah. Atau juga, beberapa foto dengan latar belakang mobil mewah yang sedang mereka kendarai.

Ya, bukan-nya aku tidak tau kalau Arshaka memang datang dari keluarga jetset. Tapi aku tidak menyangka kalau keluarganya benar-benar sudah semakin kaya raya. Atau karena dulu aku juga satu kehidupan sosial dengan Arshaka, jadi tidak terlalu memperhatikan bagaimana kehidupan keluarga Arshaka?

Aku tidak ingin peduli, tapi tetap merasa terbakar saat mengklik akun instagram Tania. Dan lagi-lagi wanita itu membagikan fotonya yang lain dengan Arshaka. Meski tanpa caption, tapi lagi-lagi begitu ramai orang yang mengomentari hubungan mereka, dan mendoakan kelanggenan hubungan mereka.

Detik selanjutnya, ada nama akun instagram Arshaka yang mengomentari foto tersebut.

Nice pic ☺️

Dan aku langsung membanting handphone ke atas ranjang.

Astagfirullahaladzim.

Aku mengelus dada. Ku tutup mataku yang terpejam dengan punggung tangan, aku menekan perasaan agar segala keresahan ini tidak menjadi air mata.

Memangnya aku ini siapa berhak merasa cemburu pada Tania?

Lagipula, melihat bagaimana kehidupan Tania dari foto yang dia unggah, sudah jelas kalau Tania jauh lebih pantas untuk mendampingi Arshaka. Mereka sama-sama datang dari keluarga jetset, dengan latar pendidikan yang sama-sama tinggi.

Bagiku, Arshaka itu to good to be true.

Aku mendesahkan nafas kasar, lalu mencoba tidur meski kenyataannya, lagi-lagi aku hanya terhanyut dalam kondisi antara sadar dan tidak sadar.

******

Aku mendorong troli belanjaan. Merasa sangat beruntung, karena gedung apartemenku dekat dengan swalayan yang lumayan cukup besar. Setidaknya, aku bisa memilih bahan makanan segar setiap hari.

Ketika aku akan mengambil ayam fillet di etalase, seseorang yang juga mendorong troli dan berdiri di sampingku, tiba-tiba berbicara padaku.

"Mau buat sate?" katanya mengagetkanku. Dan lebih mengejutkannya lagi, saat aku berbalik, yang bertanya adalah Arshaka.

Dia melirik ke arah troli belanjaan ku. Dan menebak dengan benar apa yang akan aku masak, karena aku membeli grill pan beserta beberapa tusuk sate.

Bukannya menjawab, aku malah balik bertanya sambil melirik jam tangan yang melingkar di tangan. Baru jam sebelas siang.

"Bapak tidak ke kantor?"
Ya Tuhan, ini ketidaksengajaan macam apa lagi? Kenapa aku menjadi begitu sering bertemu Arshaka?

"Saya baru bertemu klien, lalu langsung pulang." Dia mengambil beberapa ayam potong.

"Korupsi waktu dong Pak," kataku mengomentarinya.

"Saya masih kurang enak badan Nada."

Gara-gara kehujanan kemarin ya?
Tapi lidahku kelu untuk bertanya, terlebih lagi karena merasa bersalah karena kemarin Arshaka kehujanan gara-gara aku.

Kami berjalan beriringan sambil mengambil beberapa barang di etalase. Sesekali, Arshaka mengomentari apa yang aku beli. Misal ketika aku akan mengambil penyedap rasa, dia bilang kalau lebih sehat memakai penyedap rasa kaldu jamur. Atau ketika aku mengambil garam, Arshaka menyarankan untuk membeli garam himalaya. Begitupun, ketika aku mengambil pasta, dia mengomentari jenis pasta apa yang lebih enak, serta memilihkan bumbu-bumbu dan bahan-bahan makanan yang tahan lama, dan baik di konsumsi untuk jangka panjang.

Aku jadi merasa berbelanja dengan pasangan. Karena sejujurnya, Arshaka lebih sibuk memasukan berbagai macam hal yang akan aku butuhkan ke dalam troli yang aku dorong.

"Mau bareng?" Dia menawarkan, tepat ketika kami sampai di depan Swalayan. Arshaka sendiri ternyata membawa mobil.

"Tidak. Saya jalan kaki saja Pak." Aku menolaknya. Lalu dia tersenyum, dan sebelum masuk ke dalam mobil sempat-sempatnya dia menanyakan bekas piring serta bekas kotak makan siang miliknya yang masih ada padaku.

Aku bilang akan mengantarkannya nanti sehabis dzuhur. Sambil sekali lagi mengucapkan terimakasih karena sudah di kirimi makanan.

"Tidak masalah Nada. Jangan lupa, jangan di kembalikan dalam keadaan kosong. Saya tunggu satenya ya, untuk makan siang."

Lalu masuk ke dalam mobil, meninggalkan aku yang masih terbengong-bengong.

****

Aku menimbang-nimbang, layakah makanan ini untuk aku berikan pada Arshaka? Bagaimana kalau tidak enak? Mau dimana ku taruh mukaku jika Arshaka tau kalau aku masih tidak terlalu pandai memasak.

Atau, apa aku pesan delivery order saja ya, dan mengatakan kalau itu hasil masakanku.

Oh come on Nada.

Kenapa kamu harus peduli, apa masakanmu sesuai dengan selera Arshaka atau tidak? Apa peduli mu kalau dia tau kamu masih belum mahir memasak?

Sambil membawa nampan serta alat makan milik Arshaka, dan makanan yang aku buat. Aku berjalan di lorong lantai apartemen. Memencet bel, lalu dalam hitungan detik Arshaka sudah membukakan pintu rumahnya untuk ku.

Seolah dia memang sedang menungguku.

Ya Tuhan. Lagi-lagi aku terlalu besar kepala.

Dia menatapku, lalu menatap nampan yang aku pegang.

"Sate taichan?" Katanya mengomentari tumpukan sate yang aku bawa. Aku mengangguk.

"Benar masakan kamu?" Dia berkomentar lagi.

"Memangnya buatan siapa lagi Bapak?" Aku berubah menjadi jengkel. Lalu dia sedikit terkekeh. Menertawakan aku?

"Maaf, saya hanya tidak menyangka, kamu sudah mau masuk dapur," katanya mengomentari masa lalu kami.

Aku hanya memutar bola mata dramatis. Dan lagi-lagi Arshaka mengernyitkan kening.

"Tolong. Berapa kali saya harus bilang, saya paling tidak suka melihat ekspresi kamu yang seperti itu," ujarnya memperingati. Dan yang kulakukan hanya meminta maaf sambil menyembunyikan rasa jengkel.

Arshaka mengambil nampan yang aku dorong ke arahnya. Lalu dia membuka pintu lebih lebar, dan memberikan jarak yang lebar di pintu masuk.

"Mau masuk?"

Ini basa-basi enggak ya?

Masuk jangan? Masuk jangan? Masuk jangan?

"Tidak. Terimakasih." Kesehatan mentalku lebih berharga, bersama dengan Arshaka untuk waktu yang lebih lama malah akan membuat aku menjadi semakin gila.

Dia nampak terlihat agak kecewa. Atau itu hanya perasaanku saja.

"Oke. Tunggu sebentar."

Lalu dia buru-buru masuk tanpa menutup pintu rumahnya. Dan aku dengan nakal, mengintip ke dalam rumah Arshaka.

Seluas pandangan mata, aku hanya mampu memuja desain klasik yang begitu mewah yang Arshaka pilih untuk desain mini lobby penthouse miliknya. Aku jadi penasaran dan ingin melihat seluruh desain ruangan. Sayang karena dari mini lobby, ada dinding pemisah untuk menuju ruangan inti dari rumah Arshaka.

Di depan tempatku berdiri, Arshaka menyimpan meja konsul yang terbuat dari kayu jati yang hampir seluruh bagian mejanya di tutupi cermin bevel yang nampak mewah. Di atasnya ada cermin ukir yang sangat cantik. Tidak lupa, Arshaka menambahkan hiasan-hiasan kristal berwarna gold. Dan beberapa jenis tanaman penyerap CO2 yang aku yakini itu tanaman asli.

Lantainya terbuat dari marmer berwarna pastel. Dan penerangan yang di dapat dari lampu kristal sederhana yang dia gantung di mini lobby, menambah kemewahan menjadi berkali-kali lipat.

Ketika aku masih memuja, Arshaka berjalan dari ruangan yang lain. Dia membawa cup transparan. Lalu menyerahkannya padaku.

"Carrot cake?"

Dan aku tau, kue ini berasal dari kedai kue yang ada di depan kantor kami. Jenis kue yang hampir setiap hari aku beli untuk pencuci mulut.

Dia membelikannya untuk aku?

Seolah bisa membaca pikiran, Arshaka mengkonfirmasi agar aku tidak salah paham.

"Saya tadi beli agak banyak. Sayang kalau di buang," katanya lagi. Entah hanya alasan atau tidak, tapi aku begitu bahagia, karena sudah seminggu tidak membeli kue kesukaanku ini.

"Terimakasih Pak. Saya jadi merepotkan. Sering di kasih makanan sama bapak." Aku berbasa-basi.

"It's oke Nada. Namanya juga tetangga. Saling berbagi makanan bukan sesuatu hal yang aneh."

"Kamu juga kalau masak, tolong ingat untuk memasak lebih banyak dan berbagi dengan saya," lanjutnya.

Aku mengerutkan kening. Apa tidak sekalian saja, kami menentukan siapa yang masak hari ini. Dan siapa yang memasak untuk besok hari. Lalu kami makan bersama-sama?

Ya Tuhan. Maumu ya Nada.

"Saya becanda," katanya lagi menambahkan.

Setelah itu aku hanya tertawa lebar yang di buat-buat, lalu pamit. Dan sekali lagi mengucapkan terimakasih. Selama aku berjalan di lorong lantai apartemen, aku belum mendengar suara pintu rumah Arshaka tertutup. Apa dia ingin melihat aku lebih lama?

Ya Allah. Berhentilah dengan terlalu percaya diri seperti itu Nada.

Baru setelah aku menutup pintu studio, ku dengar suara pintu Arshaka juga tertutup.

*****

Kadang aku berfikir, untuk tidak tau malu mendekati Arshaka kembali, mencuri hatinya, perhatiannya, berusaha membuat Arshaka jatuh cinta lagi padaku. Sama seperti usahanya berbulan-bulan lalu ketika aku masih bersama Daffi.

Tapi, aku sadar. Aku sudah memberikan luka yang sangat besar untuk Arshaka. Apalagi jika ingat perkataan Evan beberapa bulan lalu, saat kami berada di komunitas berbagi nasi.

Arshaka pernah depresi karena seorang wanita. Dan kini aku tau, wanita itu adalah aku.

Ah. Lebih baik aku menyerah. Dan berbahagia untuk kebahagian Arshaka beserta wanita yang dia pilih.

Aku keluar dari studio, dengan pikiran yang kalut. Sambil berharap, tidak akan bertemu Arshaka di lantai apartemen kami.

Dan harapanku terkabul.

Dengan mengenakan kutu baru warna soft dan berlengan pendek. Aku membiarkan rambutku tergerai, dengan ujung nya yang sedikit di curly.

Hari ini adalah hari pernikahan Wina.

Ketika sampai di tempat undangan, aku harus menelan ludah. Antriannya menguar sampai ke pintu masuk gedung. Aku berdiri cukup lama, sampai rasanya kakiku sudah menjadi kebas, dan aku merasa salah memilih heels.

"Kamu terlihat cantik." Seseorang mengomentari penampilanku, lalu berdiri di sampingku.

Aku mengerjap kaget, melihat Arshaka yang mengenakan batik berlengan panjang sudah berdiri di sampingku. Dan harus menelan ludah, melihat betapa tampannya Arshaka dengan pakaian itu. Dia nampak seperti model yang keluar dari majalah fashion.

Aku rasa bukan hanya aku yang terpesona, karena hampir setiap wanita yang berjalan melewati Arshaka akan menengok ke arahnya dengan tatapan kagum.

"Saya ikut berdiri disini ya, antrian di belakang terlalu panjang," dia sedikit berbisik.

"Bapak mau menyerobot antrian?"

"Anggap saja Nad, kamu lagi penugasan mengantri buat saya." Lalu tersenyum lebar yang ku tanggapi hanya dengan senyuman yang kecut.

"Banyak juga ya tamu undangannya?"

"Namanya juga anak pejabat Pak," kataku lagi mengomentari pekerjaan Ayah-nya Wina.

Arshaka hanya mengangguk-anggukan kepala.

"Kamu, tidak bawa pacar kamu?"

Dia terlihat begitu penasaran. Dan aku enggan menjawab kalau saat ini aku single. Untuk apa? Berharap dia akan kembali padaku? Yang ada mungkin Arshaka hanya akan menertawakanku, atau mengasihaniku. Di saat dia punya pacar, aku sendiri malah sudah sendirian.

Aku hanya tersenyum sedikit, enggan menjawab. Lalu malah balik bertanya.

"Bapak sendiri, tidak mengajak mbak Tania?"

"Tania sedang ada urusan lain."

Tuhkan. Mereka memang pacaran. Kalau tidak, mungkin Arshaka akan bilang, 'kenapa saya harus mengajak Tania?'

Aku mendecak halus.

"Kenapa?" Katanya, lalu kami melangkah sedikit lebih dekat ke pelaminan.

"Panas," kataku.

"AC nya memang tidak terlalu dingin ya." Dia ikut mengomentari. Padahal panas yang aku rasakan untuk alasan yang lain.

"Nanti kalau saya menikah, saya akan lebih memilih konsep garden party. Sepertinya kosepnyersebut akan terasa lebih nyaman, karena tidak perlu menggunakan mesin pendingin tapi udara daru pepohonan akan terasa sejuk. Apalagi kalau mengadakan garden party-nya bada isya."

Aku semakin merasa panas.

"Menurut kamu bagaimana?" Dia melirik ke arahku. Bertanya dengan cara seolah-olah akulah mempelai wanita yang akan dia nikahi.

Kenapa harus bertanya padaku? Harusnya dia menanyakan ini pada Tania.

"Ide yang bagus." Aku menjawab dengan ketus tanpa melihat wajahnya.

Untungnya, meski beberapa kali di sela antrian yang akan berfoto dengan mempelai. Aku dan Arshaka tinggal selangkah lagi naik ke atas pelaminan untuk menyalami Wina dan Gilang.

Melihat aku yang mengenakan heels dengan hak yang cukup tinggi, Arshaka berjalan satu langkah di depanku. Dia menjulurkan tangannya untuk membantu aku menaiki tangga. Meski kaget, mau tidak mau aku membalas uluran tangan Arshaka, lalu membiarkan tangan kami saling bertaut. Dan menbiarkan dia membimbingku menaiki satu persatu anak tangga. Rasanya, aku benar-benar akan kehabisan nafas. Dan jantungku berdetak semakin tidak normal.

Aku memberikan selamat pada Wina, dan dia malah berbisik bagaimana bisa aku datang bersama pak Arshaka? Aku hanya menyengir lebar, untuk menggoda Wina.

"Selamat ya. Semoga menjadi keluarga yang syakinah, mawadah dan warohmah," ujar Arshaka.

"Terimakasih pak. Semoga bapak cepat nyusul." Dia balik mendoakan. Dan di amini oleh Arshaka.

Ya Tuhan.

Arshaka memang berniat membalas aku dengan cara seperti ini ya?

Aku turun dari pelaminan, lalu karena tidak merasa lapar aku hanya mengambil sebotol air mineral yang di sediakan, serta berjalan ke arah makanan kecil.

Arshaka di belakangku terlihat mengekori.

"Kamu tidak makan?"

"Tidak lapar Pak."

"Bapak sendiri tidak makan?"

"Malas. Antriannya panjang banget."

"Pak Shaka." Tanpa menengokpun aku tau, kalau Lala yang menyapa Arshaka. Wanita itu mengenakan dres tanpa lengan, rambutnya di biarkan terurai.

Aku tidak peduli dengan apa yang mereka bicarakan, lebih sibuk menunggu makanan yang di sediakan pekerja catering di depan ku.

Aku mengambil salah satunya, lalu berbalik dan melihat Arshaka menunjuk ke sudut luar. Dia berkata, teman-teman satu divisi ku ada disana. Dan menyarankan agar kami bergabung bersama mereka.

Kursinya di buat agak sedikit melingkar tidak beraturan. Kebanyakan teman-teman satu divisi membawa pasangan masing-masing. Aku tidak melihat Ben. Baru setelahnya kata bang Andri, Ben sudah pulang duluan.

Tersisa tiga kursi, aku sengaja membiarkan Arshaka duduk lebih dulu, lalu menyisakan satu kursi kosong di antara kami. Air mineral yang ku pegang aku simpan di kursi kosong itu.

Toh sejak kami berjalan ke arah mereka, aku bisa melihat ada banyak tanda tanya besar dan prasangka mereka terhadap kami. Dari pada mendapat tuduhan yang lain-lain, aku lebih memilih memberikan jarak. Kalau bisa malah bertukar kursi dengan orang lain.

Seandainya Ben ada disini, aku akan merasa lebih nyaman.

Arshaka melirik ke arahku, tapi kemudian dia mulai fokus dengan sapaan teman-teman yang lain. Dan mereka mulai saling mengobrol satu sama lain.

Aku hanya fokus meyuapkan sendok demi sendok, batagor yang aku pegang. Dan mendengarkan Arshaka yang sedang menjelaskan proyek yang akan kami kerjakan minggu ini dengan cara yang begitu sangat santai. Yang lain mendengarkan dengan seksama. Kadang menanggapi sengan gurauan.

Ketika akan membuka botol air mineral, tanganku terasa sangat licin. Mungkin itu yang menyebabkan, aku tidak berhasil memutar tutup botolnya.

Tepat ketika aku akan mengambil tisu dari dalam clutch yang aku bawa untuk mengelap tangan. Arshaka mengambil botol minuman itu, lalu membukanya tanpa melihat ke arahku dan masih berbicara dengan menatap mata bang Rian. Lalu menyimpannya kembali ke kursi kosong di antara kami.

Aku mengerjap-ngerjap kaget.

Sudut mataku mengangkap beberapa orang yang dengan terang-terangan bertanya lewat tatapan mata dengan apa yang baru saja terjadi. Mau berkomentar tapi aku yakin mereka tidak bisa mengomentari apa-apa, apalagi langsung bertanya pada bos kami.

Akhirnya yang aku dapat hanya tatapan sinis dari teman-teman perempuan satu divisi yang melihat kejadian barusan.

Menit berlalu, bahkan setelah aku meneguk minuman itu masih banyak mata yang memandangku dengan tatapan tanya. Beberapa malah dengan sengaja berbisik-bisik sambil melirik ke arahku.

Aku tau apa yang mereka pikirkan. Mungkin, kejadian di Pangandaran adalah salah satu pemicunya, dan berlanjut dengan bagaimana perhatiannya Arshaka membuka botol air mineral milik ku, padahal jelas-jelas matanya sedang menatap bang Rian.

Sama seperti ketika di Pangandaran. Jelas-jelas dia sedang tertawa bersama Tania, tapi ketika aku akan menyuapkan karoket udang itu, Arshaka menghentikan di saat yang tepat. Seolah-olah sudut mata Arshaka menperhatikan aku dengan sangat teliti.

"Nada?" Suara sapaan itu terasa menyelamatkan. Aku menengok dan tersenyum melihat Mas Faza yang mengenakan batik senada dengan beberapa kerabat Wina yang lain.

Lalu balik menyapa mas Faza. Detik selanjutnya, aku pamit pada teman-teman dan mengekori Mas Faza yang menunjuk Nana beserta ibunya yang berada di lingkaran keluarga mempelai wanita.

Aku tidak terlalu memperhatikan bagaimana tatapan Arshaka maupun teman-teman yang lainnya. Yang aku tau, aku hanya ingin segera menghindar dari tatapan sinis para kaum pemuja bos kami yang arogan itu.

Ibunya Mas Faza terlihat senang ketika aku menyalami beliau. Kami terlibat obrolan yang cukup hangat. Nana bahkan tidak segan-segan minta aku gendong. Dan tentu saja aku mengabulkannya.

Ku lihat mata Mas Faza berbinar, ketika Nana berceloteh menceritakan tentang teman-temannya di sekolah. Sesekali aku menimpali, tentang apa saja yang sudah Nana pelajari di sekolah, dan suka bermain apa.

Ibu nya Mas Faza tak kalah antusias. Apalagi saat beliau tau akulah yang membeli studio milik mas Faza. Lalu berpesan tentang banyak hal yang berkaitan dengan cara perawatan furniture di studio yang sekarang menjadi milik-ku.

*****

Cutiku sudah berakhir. Dan hari ini mau tidak mau aku harus masuk ke kantor kembali.

Mengecek list catatan yang ku buat, aku menandai jika hari ini akan langsung mengurus surat-surat yang aku butuhkan untuk pinjaman yang akan aku ajukan ke Bank.

Lalu tidak lupa, menyebar CV via email ke beberapa perusahaan. Tekadku untuk resign sudah cukup bulat. Rasanya, cukup dengan sesekali tidak sengaja bertemu Arshaka di sekitar apartemen, dan tidak perlu memperburuk dengan bertemu lagi di kantor yang sama.

Aku menatap pantulan wajah di cermin. Lagi-lagi mengoleskan concealer lebih banyak di bawah mata, untuk menyamarkan mata panda yang sangat terlihat mengerikan. Lalu memakai riasan, make up no make up yang aku pelajari dari tutorial youtube agar wajahku tidak terlalu terlihat pias seperti sekarang.

Aku meraba kening, sedikit agak hangat. Kepalaku agak sedikit pusing. Aku rasa, aku masih tidak enak badan. Dan menyesal kenapa tidak pergi memeriksakan diri ke dokter.

Insomnia yang aku derita, setiap hari memang semakin bertambah parah. Kadang aku baru tertidur setelah solat subuh, dan itu pun hanya beberapa jam. Atau terkadang bisa tidur tengah malam, tapi dalam kondisi sadar dan tidak sadar. Mataku terpejam, tapi aku tidak di tarik ke alam bawah sadar.

Aku keluar dari studio sambil menenteng tas. Baru sampai di depan lift, tiba-tiba sapaan Arshaka membuat jantungku hampir meloncat.

"Morning," katanya. Suaranya enak sekali di dengar.

Aku langsung mundur, hampir terjengkang melihat makhluk yang nampak seperti malaikat ini sudah berdiri di sampingku.

Bagaimana bisa dia berjalan tanpa suara ke arah ku? Dan bagaimana bisa aku tidak menyadari nya? Aku bahkan bertanya-tanya kapan lelaki  ini keluar dari rumahnya? Atau karena pikiranku sedang bercabang kemana-mana aku menjadi tidak mendengar dia membuka pintu rumah?

Sudut bibir Arshaka sedikit berkedut melihat ekspresiku. Lalu saat dia melirik ke arahku. Dia menatapku, dengan tatapan takjub. Detik selanjutnya, dia tersenyum lebih lebar sambil memgomentari aku.

"Bajunya cantik," katanya.



Aku hanya melirik dres berwarna nude yang aku pakai. Dan merasa setuju, jika baju ini terlihat begitu cantik. Mungkin karena dres ini di beli dari butik, hadiah dari tante Rianti ketika aku akan menikah dengan Kak Wildan.

Tapi aku tidak menanggapi. Dan masih menatap Arshaka. Masih terkejut dengan cara Tuhan yang terlalu sering membuat aku dan Arshaka bertemu dalam ketidak sengajaan seperti ini.

"Kenapa?" Dia merasa heran.

"Bapak sudah seperti malaikat pencabut nyawa saja, tiba-tiba muncul tanpa suara." Aku mengomentari dengan nada yang agak sedikit judes.

Arshaka terkekeh, dan menutup tawanya itu dengan punggung tangan. Sungguh sangat luar biasa tampan. Aku tidak yakin kalau dia benar-benar manusia.

"Bukan salah saya Nada, kalau kamu tidak memperhatikan sekitar."

Bukan salahnya?
Seaindainya dia tau, bahwa semua yang terjadi padaku akhir-akhir ini karena kesalahannya. Termasuk, pikiranku yang lebih banyak di isi dengan segala hal tentang Arshaka.

"Memangnya kamu sedang memikirkan apa sampai-sampai tidak sadar saya ada di samping kamu?" Dia bertanya tepat ketika kami masuk ke dalam lift.

Kali ini giliran aku yang berdiri di dekat tombol lift, dan Arshaka berdiri di belakangku.

Masih menatap wajahku dari pantulan dinding lift, tanpa rasa canggung sama sekali. Dan aku menunduk, tersipu dengan cara bagaimana Arshaka terlihat terpesona dengan penampilan aku pagi ini.

Well. Sepertinya aku memiliki penyakit narsis yang terlalu tinggi.

"Saya tidak sedang memikirkan apa-apa." Aku berkilah. Padahal jelas, Tuhan tau jika semua pikiranku berkutat dengan segala macam hal tentang Arshaka.

"Tapi kamu seperti orang linglung Nada." Dia menebak dengan tepat. Seolah-olah dia memang peramal.

Aku hanya diam tidak menanggapi. Sampai akhirnya dia terlihat menyerah untuk mencari tau.

"Kemarin, kamu terlihat akrab dengan keluarga Wina."

Ini pernyataan atau pernyataan sih. Tapi kenapa Arshaka terlihat cemburu ya?

"Memangnya sudah lama kenal?"

Kerjain jangan?

"Bapak mau tau saja atau mau banget?" Aku menggodanya. Lagipula, kenapa aku harus menjawab semua urusan pribadiku pada Arshaka?

Kalau begini caranya bukannya kami semakin menjauh, tapi aku yang malah akan semakin tertarik ke arah Arshaka dengan magnet yang dia lempar secara sengaja sebagai umpan.

Sudah jelas, Arshaka memang ingin membalas dendam padaku dengan cara membuat aku patah hati. Seperti  sengaja memberiku harapan lalu ketika aku menyimpulkan, dia akan menjatuhkan aku dengan kata-kata menyakitkan.

"Kamu benar-benar menyebalkan Nada," katanya terdengar jengkel.

*****
Arshaka tidak menawariku untuk berangkat bersama dengannya. Padahal tujuan kami sama-sama ke kantor yang sama. Dan aku, merasa kecewa.

Walaupun kalau dia menawarkan berangkat bersama, aku akan tetap menolaknya. Tidak ingin kantor semakin berisik dengan gosip antara aku dan bos arogan yang gila hormat itu. Tapi entah kenapa, aku hanya ingin dia berbasa-basi sedikit. Tuh kan, aku memang terlalu mengaharapkan perhatian Arshaka.

Ya Allah.

Aku benar-benar ingin membenturkan kepala ke tembok. Menyakiti diri sendiri secara fisik sepertinya ide yang cukup bagus agar aku bisa mengenyahkan Arshaka dari pikiranku meski hanya untuk hitungan detik.

Ketika baru masuk ruangan, aku berpapasan dengan Arshaka yang sepertinya akan pergi memeriksa divisi lain. Aku mengangguk dengan hormat. Dan yang Arshaka lalukan hanya melirik sekilas, lalu berjalan seolah aku adalah makhluk tidak kasat mata.

Well. Si arogan itu memang 100kali lipat lebih menyebalkan.

Entah karena dia masih kesal karena jawabanku tadi di lift, atau karena dia tidak ingin nama baiknya ikut menjadi bahan bulan-bulanan orang sekantor. Karena sejak aku menginjakan kaki di lobby kantor, banyak sekali kaumku yang dengan terang-terangan berbisik sambil melirik ke arahku.

Tapi aku tidak peduli. Sudah merasa biasa menjadi bahan gunjingan kantor.

Melangkah ke ruangan divisi kami, aku tidak memperdulikan Ben yang nyengir-nyengir tidak jelas. Dia nampak bahagia melihat aku.

"Uh. Janda bohay." Dia menyapaku dengan kerlingan nakal yang di buat-buat. Dan aku hanya memutar bola mata malas, sambil tidak menanggapi Ben yang berjalan mengekor di belakangku, sampai ketika aku duduk di kubikelku dan menyimpan tas, dia tetap mengikuti aku.

Ben duduk  di kursi Wina yang kosong, karena wanita itu masih cuti menikah. Tanpa eling, tangan Ben menyentuh wajahku, lalu dia mengerutkan kening.

"Lo masih sakit ya Nad?"

Ben nampak khawatir. Aku menepis tangannya yang ada di pipiku.

"Apaan sih lo pegang-pegang? Gue potong tangan lo baru tau rasa lo."

"Emang teman ga ada akhlak banget ya lo Nada," katanya tapi tidak nampak tersinggung.

"Serius, lo masih sakit ya? Lo kurus-an Nad," lagi-lagi dia mengomentari.

"Bagus dong kalau gue kurus, ga perlu lagi deh gue ngegym." Aku nyengir lebar.

"Gue serius Nada." Kali ini Ben terlihat agak jengkel.

Lalu tanpa tedeng aling-aling, tangan Benyamin lagi-lagi menyentuh dahiku. Dan sebelah tangan-nya yang lain lagi meraba dahi-nya sendiri. Seolah dia sedang membandingkan suhu tubuh kami.

Aku agak merasa risih. Apalagi saat melihat kecemasan berlebihan pada ekspresi wajah Ben. Tapi belum sempat aku menepis tangan Ben dari kening ku. Suara deheman keras membuat atensi kami berdua teralihkan.

Arshaka menatap kami berdua dengan wajah yang tenang. Tanpa ekspresi sama sekali. Benar-benar sedatar tembok.

"Welcome back," katanya. Dia terdengar kesal.

"And happy working, Nada."

Lalu menjatuhkan tumpukan map yang segunung ke atas meja ku.

Mam to the pus Gue!

******

TBC

Continue Reading

You'll Also Like

223K 40.9K 40
Bagi Padaka Upih Maheswari, jatuh cinta pada pandangan pertama sangat mungkin terjadi termasuk ke pria kewarganegaraan Daher Reu yang sering wara-wir...
65.6K 3.3K 65
Di usia nya yang ke 34 Angela Bennet bekerja sebagai sekertaris seorang ceo Alden corporation, Maxwell Alexander Alden selama 7 tahun. Bahkan Angela...
7.2K 328 6
Ketika kecantikan bukan ukuran untuk mencintai seseorang. Revisi total jadi lokal. (C. O. M. P. L. E. T. E) (On revisi) [sebagian cerita di PRIVATE...
105K 3.4K 8
Daniel Prayoga adalah seorang Pria blasteran Jawa_Korea yang berwajah rupawan, Manly, tegas, berkharisma, tidak banyak bicara, mahal senyum, dingin d...