Are We Getting Married Yet?

נכתב על ידי AnnyAnny225

20.4M 984K 35.1K

Sagara Fattah Ghani seorang dokter obgyn di RS terkenal di kota, sudah mencapai usia di awal 30 namun masih s... עוד

01
02
03
04
05
06
07
08
09
Sekilas Info
11
12
13
14
15
16
17
18
19
21
22
23
24
25
26
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
PREVIEW
41
42
43
44
46
PREVIEW 2
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
INTERMEZZO
Extra Part - Lisa's Pregnant
Extra Part - Saga's Worried
Extra Part - Triplets!
Extra Part - Triplets Again (Part 1)
Extra Part - Triplets Again (Part 2)
Extra Part - Triplets Again (Part 3)

10

320K 18.7K 660
נכתב על ידי AnnyAnny225


Holaaa ~
Part ini lebih panjang sedikit dibanding yang lain sebagai balasan untuk para pembaca setia. Udah mau 1.5K aja 😁

***

Lisa POV

Setelah melewati minggu-minggu super hectic mulai dari urusan kerjaan hingga pernikahan, akhirnya hari ini aku bisa tidur sepuasnya. Kalo kata orang tua, matahari sudah di pantat, tapi aku baru bangun. Kalo di rumah sudah pasti aku disiram air sama Mama. Beginilah enaknya tinggal sendiri.

Ngomong-ngomong, ini sudah hari ketiga Saga tidak menghubungiku. Sebenarnya tidak masalah sih, tapi paling tidak aku tahu kabarnya. Dia lagi dinas luar pun aku tahu dari ibunya. Biarpun pernikahan kita cuman sebuah kesepakatan, aku tetap calon istrinya. Paling nggak dia kasih info kek, atau apa gitu. Tapi, sepertinya pikiran Saga tidak sampai disana. Ternyata dia egois, ya? Atau aku yang terlalu menghayati peran sebagai 'calon istri'?

Aku mengusap liontin berbentuk gajah kecil yang tersemat di kalung emas yang sudah ku kenakan hampir seminggu ini.

Kalung ini sebagai tanda bahwa aku sudah menjadi milik seorang Sagara. Dia memberikannya saat acara pertemuan keluarga inti kami minggu lalu, sebagai ganti cincin. Bisa dibilang, kemarin juga sekaligus acara lamaran kecil-kecilan. Kata Saga, gajah merupakan the oldest symbols of good luck.

"Whenever you need a little extra luck, just point your trunk up towards the sky and believe," kata Saga waktu itu.

Aku jadi senyum-senyum sendiri kalo ingat waktu Saga memakaikan kalung ini ke leherku. Duh, jadi ingat dia lagi, kan.

Lebih baik aku bangun, mandi dan makan. Sudah waktunya makan siang dan aku kelaparan. But, I can wait for 5 minutes. Masih PW banget.

Kemudian ponselku bergetar sekali. Kemungkinan cuma pesan. Aku malas-malasan meraih ponsel yang ada di nakas. Dari pop up notifnya bisa kulihat nama si pengirim. Dari si dia yang sudah beberapa hari menghilang.

Sagara : Lisa

Kebiasaan Sagara, kalo WhatsApp pasti isinya nama tok. Kenapa nggak langsung to the point aja?

Lalisa : ya

Aku membalas singkat. Biarin, toh udah lama nggak kasih kabar. Tapi sebenarnya dia juga gak wajib kasih kabar sih.. argghh! Tau ah!

Sagara : aku bru balik dinas luar kota. Di sn nggk ada sinyal makanya bru info kmu 😬

Gimana, nih? Percaya atau nggak ya? Memangnya dia tugas di pedalaman? Masak nggak ada sinyal sama sekali? Sebenarnya bisa dikabarin sebelum berangkat? Duh, respon aku harus kayak gimana ya? Sebenarnya kesel sih, tapi aku nggak berhak untuk marah. Pengen marah tapi kenapa?

My God! Saga malah telpon! Aku cepat-cepat bangun dari tempat tidur, meneguk habis air putih di atas nakas. Suaraku nggak boleh kedengaran kayak orang baru bangun.

"Halo," jawabku selembut mungkin.

"Halo Lis, kamu lagi dimana?" Tanyanya. Dengar suara Saga emosiku menguap begitu saja.

"Eh? A-aku lagi di apartemen," Please kamu nggak lagi di depan pintu apartemen aku, kan?

"Hmmm, kalo kamu nggak sibuk, saya pengen ajak kamu ke rumah yang akan kita tinggali setelah menikah," Saga pernah bilang akan mengajakku ke sana.

"Aku nggak sibuk kok," jawabku cepat sambil menggaruk kepalaku yang sudah 3 hari belum dicuci. Gatalnya minta ampun.

"Aku jemput sekarang, ya?"

"Jangan!" Kataku setengah berteriak. Aku kan belum mandiiii! Dari apartemen Saga ke sini hanya 1 jam. Apalagi libur gini jalanan sepi, paling cuman 40 menit. Mana cukup buat mandi plus dandan dan mengeringkan rambut.

"Ya sudah, kalo kamu udah siap, WA saya saja,"

Fyuhhh, syukurlah "Iya nanti aku info kamu. Bye,"

Begitu sambungan telpon terputus aku segera melesat ke kamar mandi.
***

Kami sedang dalam perjalanan menuju rumah yang akan aku tinggali  bersama Saga setelah menikah. Aku tidak bisa membayangkan harus serumah dengan Saga. Pasti akan sangat kikuk. Aku tidak bisa bangun siang, tidak bisa buang sampah serta dalaman sembarangan, dan tidak bisa telanjang sambil nonton Netflix.

"Ngelamunin apa?" Suara Saga menyadarkanku dari pikiran yang sedang berkecamuk. Aku hanya menggeleng dan tersenyum tipis.

"Kamu... Agak gelap," aku merujuk pada kulitnya yang agak 'gosong'.

"Hehe, iya saya banyak berenang di pantai. Kebetulan tempat tugas kemarin di pinggir pantai," hmmm pantas nggak ada kabar. Asik main ke pantai sih. Kalo saja Saga pacarku, sudah aku tatar dia saat muncul di apartemenku. "Kamu suka pantai?"

"Biasa aja. Kalo lagi senang aja baru ke pantai," Jawabku. Aku ke pantai terakhir di Hawaii, pas gathering sekitar setahun lalu. Sementara yang lain melakukan layaknya aktifitas di pantai. Aku lebih memilih malas-malasan di kamar jika acara bebas. Sudah ku bilangkan aku tidak terlalu suka wisata yang berbau alam.

"Dulu, sebelum ayah meninggal, saya selalu diajak ke pantai setiap hari Minggu. Rumah kami yang dulu dekat pantai, jadi tinggal jalan kaki 15 menit saja," Saga tiba-tiba bernostalgia. Pantai sepertinya punya kenangan tersendiri bagi ayahnya dan juga dirinya. Ekspresi Saga berubah saat menceritakan tentang ayahnya. Aku pun sampai sekarang belum tahu kenapa ayahnya meninggal.

"Ngapain aja kamu sama Ayah?" Tanyaku hati-hati. Aku tidak membuatnya sedih kan?

"Banyak. Mulai dari berenang, menyelam, mancing, main pasir," terlihat Saga menerawang, kemudian beralih menatapku. "Tapi sejak Ayah meninggal, kemudian sibuk kuliah, saya mulai jarang ke pantai. Makanya kemarin saya puas-puasin main di pantai."

"Terlalu asik main sampai nggak ngasih kabar," cebikku pelan

"Kamu ngomong apa tadi?" Kok, dia dia dengar?

"Aku nggak bilang apa-apa kok," jawabku dan mengalihkan pandangan keluar jendela mobil. Saga pun kembali konsentrasi menyetir.

Sekitar satu setengah jam kami akhirnya sampai di kompleks perumahan Saga yang baru. Memang agak jauh dari apartemenku, tapi baiknya lebih dekat 30 menit ke kantorku. Ke rumah sakit tempat Saga dinas pun sekitar 45 menit.

Kemudian kami berbelok ke blok Europ Style, aku sempat baca di papan petunjuk jalan. Mungkin di blok ini semua tipe rumahnya Eropa, ya?

"Nah, sudah sampai," kata Saga sambil melepaskan sabuk pengaman dan bergegas keluar. Aku pun segera mengikuti tepat di belakangnya.

"Gimana?" Tukas Saga melihat rumahnya dan aku bergantian.

"Hmmm, aku pikir karena kamu dokter, selera kamu bakal payah. Ternyata diluar ekspektasi aku," jawabku dengan nada bercanda. Pilar-pilar kokoh itu membuat kesan Eropa sangat kuat, namun tetap memberikan impresi sebuah rumah yang akan memberikan kehangatan pada orang yang akan tinggal  di dalamnya. Ada di bapak, ibu serta anak-anaknya yang akan tumbuh dan besar di dalamnya. Seakan rumah ini akan menyimpan semua memori tersebut.

"Ayo masuk," ajak Saga dan mengeluarkan kuncinya untuk membuka pintu. Begitu kami masuk, rumah ini begitu terang, karena di dominasi oleh banyak jendela sehingga suasananya seakan membuat semangat karena banyaknya sinar matahari yang menerobos masuk.

Kami sampai di sebuah ruangan yang ditengahnya ada sebuah sofa dan sebuah meja yang kuterka akan menjadi ruang TV sekaligus ruang keluarga. Di bagian belakang sofa ada sebuah ruangan yang didekati oleh 3 buah jendela besar tanpa bingkai, yang kemungkinan adalah ruang makan beserta dapur.

"Ini ruang TV dan dibalik sekat kaca itu ruang makan sekaligus dapur," kalimat Saga membenarkan dugaanku. Kemudian dia mengajakku menyusuri sebuah tangga menuju lantai atas.

Begitu tiba dilantai atas, keadaan sama terangnya dengan di lantai bawah, ada 2 buah pintu yang saling berhadapan dan ditengahnya ada sebuah jendela kecil.

"Sebelah kiri, kamar tidur utama, sebelah kanan kamar tidur tamu." Jelasnya dan bergerak ke arah kiri, kemudian membuka pintu. Sudah kuduga kamar tidur utama tentu saja akan luas, dengan kamar mandi dalam lengkap dengan bathtube serta shower jet-nya. Sebuah ranjang yang sangat besar untuk 2 orang sepertinya sudah lama ada disana. Pikiran kotor segera menyergap otak laknatku saat melihat ranjang besar itu. Apa saja yang bisa dilakukan di atasnya? Mungkin...

Suara Saga memutuskan lamunanku "ayo kita ke kamar sebelah," membuatku mengangguk dan kembali mengekor di belakang.

Nah, kamar tamu ukurannya setengah dari kamar utama, dan yang paling menyedihkan nggak ada kamar mandi. Huh, berarti aku harus turun ke bawah setiap hari untuk mandi dan 'nyetor', karena kamar mandi luar ada di lantai satu. Dan sialnya di sana juga nggak ada bathtube. Duh, seandainya aku bisa pilih kamar tidur utama...

"Jadi kamu pilih kamar yang mana Lisa?" Ini beneran dia tanya aku mau tidur dimana? Ku pikir Saga akan langsung menentukan aku tidur di kamar tamu. Tapi sebaiknya aku tahu diri, meskipun aku sangat menginginkan kamar tidur utama.

"Yaaa.. aku di kamar tamulah. Ini kan rumah kamu dan memang tamunya itu aku," jawabku dan mengusap lengan atasku bagian kanan dengan tangan kiriku.

"Enggak apa-apa kalo kamu mau di kamar kamar utama. Saya pingin kamu nyaman. Kalo kamu nggak nyaman dan nggak mau tinggal disini, gimana cara ngomong ke orang tua kita?" Saga ini memang baiknya kelewatan, ya? Pantas aja cewek-cewek di rumah sakit, bahkan sampai pasiennya yang kejar-kejar dia. Aku juga selalu mengingatkan untuk tidak terbuai dengan kebaikannya, karena aku cukup tahu diri. Saga baik ke semua orang, bukan hanya aku.

"Kamar tamu juga bagus kok, kamu nggak perlu khawatir. Aku pasti betah," aku bersikeras. Saga terdengar mendesah pelan. Baru kali ini aku mendengar begitu.

"Bener kamu di kamar tamu?" Tanya lagi memastikan, yang langsung aku iyakan dengan anggukan.

"Okelah, untuk kamar tidur udah clear. Kalo konsep interior gimana?"

"Kalo dari aku mungkin yang minimalis aja dan memberi kesan rapi dan bersih."

"Hmmm itu juga boleh. Nanti saya serahkan semua ke teman saya." Saga segera mengetikkan sesuatu di ponselnya. Mungkin menghubungi temannya yang mengerti design interior.

Aku kembali memerhatikan sekitar, kemudian beralih memperhatikan Saga yang sedang sibuk menelpon seseorang sambil memunggungiku. Aku menatap lekat punggung Saga yang sandar-able itu.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, bersama pria ini, di rumah ini. Aku hanya berharap, kami tidak menjadi canggung sama lain, mencoba berteman, dan bertahan hingga salah satu menemukan cinta sejatinya. Entah itu dia, atau aku. Akan sangat bijak jika aku tidak menjual apartemenku. Aku yakin, Saga akan segera menemukan jodohnya, dan aku harus segera angkat kaki dari sini. Aku tidak berani berharap, karena semuanya akan berbuah kecewa, seperti pengalaman sebelumnya.

Lebih baik, aku menjalaninya secara wajar, dan selalu mawas diri, tidak lemah terhadap perlakuan baik Saga padaku. Pada akhirnya tujuan pernikahan ini hanya sebuah status, bukan keinginan 2 orang saling mencintai, yang menginginkan hidup bersama selamanya.

Begitu Saga berbalik, aku segera mengalihkan pandangan ke arah jendela.

"Ayo, kita delivery untuk makan siang. Saya belum makan," Saga memberikan ide yang sangat brilian.

"Iya aku juga belum makan. Aku pengen pizza," mulutku sudah berliur hanya dengan mengucapkan pizza.

"Oke kita pesan pizza sama ayam goreng," Saga mengucapkan sambil memesan lewat aplikasi.
***
Saga sibuk menghisap tulang ayamnya sambil sesekali menenggak birnya, dan aku sibuk berkutat dengan cheese pizza milikku.

"Enggak terasa, tinggal 2 minggu lagi," Saga mengingatkan jadwal pernikahan kami yang tinggal beberapa Minggu lagi. Semua urusan pernikahan kami serahkan pada WO milik teman Papa. Aku juga tahu karena memang sering dipakai oleh para pejabat dan selebriti. Konsep pernikahanku sederhana, lebih mengutamakan kekeluargaan, karena kami hanya mengundang 500 orang secara total. Tidak usah terlalu mewah meski kami mampu, toh pada akhirnya kami akan bercerai.

Aku masih ingat waktu pertama kali menyerahkan undangan pada Yolan dan Rere saat kami berada di apartemen Yolan. Mereka memakiku dan menghajarku habis-habisan. Memang sih, hajarnya main-main. Tapi tetap saja sakit! Mereka mati-matian menuduhku sudah hamil, atau kata Yolan, aku yang memaksa dan memperkosa Saga. Karena dia yakin Saga bukan cowok jahat. Sampai-sampai mereka membelikanku 7 jenis testpack beda merek, menyuruhku minum hingga kembung dan harus kencing berkali-kali. Memang mereka itu penjahat, bukan sahabatku.

"Lisa," panggil Saga. Saat aku menatapnya, tangannya sudah terjulur ke wajahku. Oh, Tuhan, Saga mau ngapain? Kira-kira, suasana sepi, hanya kami berdua, dia mau melakukan apa? Entah kenapa, otomatis aku menutup mata, pasrah akan diapakan. Jantungku berdegup kencang tiba-tiba. Aku merasakan Saga mengusap ujung bibirku.

"Ada saos tadi, tapi sudah bersih," suara Saga memaksaku membuka mata. Hal pertama yang kulihat setelahnya adalah Saga menjilat jarinya yang tadi digunakan mengusap saos di wajahku. Hei! Yang kamu lakukan ke aku itu nggak baik buat jantung aku.

"Wait," ujarnya dan menerima telpon. Saga memutuskan berjalan ke arah taman belakang, aku pun segera bernapas cepat-cepat, mencoba mendapatkan udara. Aku panik, dan menghabiskan sekaleng bir dalam beberapa teguk. Jantungku belum kembali normal, aku segera menghabiskan sekaleng bir lagi.
***
Author POV

"Oke Bu Miming, tolong diatur jadwal operasinya. Pasien Ibu Dita harus dioperasi secepatnya. Harus tepat 36 minggu Bu supaya tidak berpengaruh ke jantung pasien. Siap Bu, terima kasih," Saga segera mematikan sambungan telpon saat suara Bu Miming sudah menghilang. Saat dia kembali ke meja pantry, Lisa sudah tertidur, dengan kepala yang diistirahatkan di atas tangannya.

"Apa saya telponnya kelamaan? Perasaan cuman 10 menit," Saga mendekati Lisa hati-hati. Di depan Lisa sudah ada 3 kaleng bir yang berserakan.

"Lisa, bangun," Saga menepuk pelan bahu Lisa "jangan tidur disini, saya antar pulang sekarang, ya?"

Lisa mengangkat kepala, matanya setengah terbuka. Begitu tatapannya terkunci pada Saga, Lisa mulai cengengesan nggak jelas.

"Aku nggak mabyuuukkkkk," Lisa mulai bertingkah menggemaskan sambil meletakkan kedua telunjuknya di masing-masing pipi.

"Lisa kamu mabuk?" Seru Saga tak percaya melihat tingkah ajaib wanita di depannya.

"Aku bilang, eenggaakkkk," Lisa berdiri sempoyongan dan berpegangan pada meja bar. Saga sampai harus membantunya berdiri.

Tak diduga, Lisa memeluk tubuhnya erat, mengistirahatkan kepalanya di dada bidang Saga.

"Kamu jahaaaattt," Lisa mulai terisak. "Kamu keluar kota nggak ngabarin aku! Selama disana juga nggak kontak aku, alasan aja nggak ada sinyal." Saga merasa takjub tiba-tiba. Bagaimana seorang Lisa yang cool, dan wanita yang sangat mandiri, anggun, berubah 360 derajat menjadi super manja dan... menggemaskan?

"Huhuhuhu, aku kangen tauk," isakan Lisa berubah menjadi tangisan.

"Li-Lisa, saya antar kamu pulang sekarang. Kamu mabuk berat," Saga mencoba mendorong Lisa yang memeluknya sangat erat. Tapi wanita itu sudah mirip seperti tokek, begitu lengket dan sulit dilepas.

"Nggak mauuuuu. Aku masih kangen, aku mau kamuuuu," suara Lisa terdengar terpendam karena wajahnya sudah terbenam di dada Saga. Pria itu mulai risih merasakan ada gigitan-gigitan kecil di dadanya. Begitu terasa karena kausnya yang tipis.

"Lisa please, lepasin," desah Saga frustasi. Kemudian Lisa mendongakkan kepalanya, menatap Saga dalam. Saga merasa tenggelam saat mata Hazel itu menatapnya intens.

"Kamu harus dihukum," Lisa menyeringai dan menyerang wajah Saga. Sasaran utama. Bibir.
***
TBC

Yeaiii chapter berikutnya, the wedding 😍😎

המשך קריאה

You'll Also Like

81.4K 5.5K 58
di SMA 2 ternyata memiliki 1 kelas yg isinya anak anak gabut, Gesrek, pecicilan, tingkah lakunya absurd, dan juga santuyy, biasanya anak anak jelas l...
1.3M 21.5K 11
Keduanya menikah karena uang. Yang satu menikah untuk membayar hutang keluarganya, dan yang satu untuk mempertahankan warisannya.
416K 17.8K 76
Aileen wanita umur 22th yang sangat mendambakan percintaan seperti drama korea. Suatu hari ia bekerja dimana terdapat boss yang membuatnya terpana na...
2.3M 88.3K 15
Arkana Evildianto, dosen muda namun terkenal killer dan paling ditakuti mahasiswa. Warga kampus memanggilnya Pak Evil, karena memang nama itu lebih c...