LunatiC : Deep World Dark Sid...

By FreesiaSaa

5.3K 641 69

[Genre : Sci_fi, Friendship, Tragedy] Depresi, Trauma, Halusinasi, dan beberapa sisi gelap lainnya menyelimut... More

0.0. LunatiC : Prolog
0.1. LunatiC : Beban Hidup
0.2. LunatiC : Gila
0.3. LunatiC : StiGma
0.4. LunatiC : Gadis yang Manis
0.5. LunatiC : Burung Gagak
0.6. LunatiC : Sisi Gelap
Note
0.7. LunatiC : Perasaan Takut
0.8. LunatiC : SicK
0.9. LunatiC : VoiCe
1.0. LunatiC : Keinginan Bersatu
1.2. LunatiC : Keinginan Bersatu (2)
1.3. LunatiC : HeadlesS
1.4. LunatiC : Looks Like cutting tHE...
1.5. LunatiC : Suara dalam Kenangan
1.6. LunatiC : Painful Memory
1.7. LunatiC : The Crow's calling
1.8. LunatiC : It was My FauLt
1.9. LunatiC : 1 years later~
2.0. LunatiC : Si Cengeng
2.1. LunatiC : [Untitled]
2.2. LunatiC : News
2.3. LunatiC : Pulang
2.4. LunatiC : Story Ab0ut PainfuL Memory
2.5. LunatiC : EpiloG
(+) LunatiC : Normal - Secret Ending
(+) LunatiC : Normal - Pra EpiloG
LunatiC 2

1.1. LunatiC : RomantiC LiFE

130 18 5
By FreesiaSaa

"Kau baik-baik saja?" tanyaku padanya. Dia mengangguk dan menghapus air matanya dengan segera.

"Kenapa kesini? Apa kau membutuhkan sesuatu?" tanya Rika yang membuatku tercengang.

"Kau baik-baik saja? Mulutmu terbuka.." katanya yang membuatku refleks menutup mulutku sendiri.

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, tidak tahu harus meresponnya seperti apa.

"Kau kenapa?"

"Aku tidak apa-apa, aku hanya ingin membantumu" jawabku canggung.

"Oh.. kalau begitu tolong ambilkan gula disana!" Rika menunjuk rak di sebelah kanan atasku.

"Baiklah" kataku. Selagi aku mengambil gula, Rika menuangkan air hangat pada masing-masing cangkir yang berisi kantung teh. "Ini" aku menyerahkannya pada Rika.

"Em, sebenarnya aku terkejut karena saat ini kau berbicara padaku..." kataku memecah keheningan diantara kami.

"Lalu...?"

"Di ruang tamu tadi, kenapa kau tidak bicara? Itu lebih mudah daripada menggunakan isyarat atau menulis"

"Tolong jangan memaksaku untuk berbicara didepan semua orang"

"Memangnya kenapa? Apa ada masalah?"

"Kau tidak perlu tahu itu." Ucapnya pelan, matanya berubah sendu.

"Lalu, kenapa kau berbicara denganku?" tanyaku pada Rika.

"Aku juga tidak tahu..."

"Aneh..."

"Memang, sekarang bantu aku menyiapkan ini semua untuk mereka"

"Hei-"

Rika menyerahkan nampan berisi teh hangat padaku. Lalu pergi keruang tamu terlebih dahulu.

"Rika!! Kami punya rencana hebat!" kata Nina yang langsung berdiri dari duduknya dan memeluk Rika.

Aku meletakkan nampan berisi minuman diatas meja dan menurunkan cangkirnya satu per satu. Persis seperti pembantu.

"Apa Rika punya kerabat disini?" tanya Gilang. Rika menggeleng. Gilang menyerahkan bolpen yang telah ia siapkan dari tadi kepada Rika.

.Aku tinggal dipanti asuhan sejak kecil, aku mungkin tidak punya orang tua.

"Apa itu tidak membuatmu kesepian?" tanya Rudi.

Rika menggeleng.

"Kami pikir, akan lebih baik jika kau tinggal di asrama bersama kami" kataku. Tiba-tiba saja wajah Rika menjadi murung.

"Kami mengerti, pasti masalah biaya ya? Jadi, kami tidak memaksamu.." kata Gilang.

"Begini, kami membuat rencana untuk tinggal bersama mu disini, itu pun jika kau tidak keberatan..." Kata Nina. Rika menatap ku dengan tatapan tidak percaya, sedangkan aku hanya menunduk membalasnya.

"Kami tidak ingin kau merasa kesepian..."

Rika mulai menulis lagi.

.Aku tidak apa-apa, terima kasih banyak... tapi, aku tidak ingin merepotkan kalian.

"Tidak masalah, kami akan memberimu waktu untuk berfikir..." kata Gilang yang berdiri dari duduknya. "Kalau kau membutuhkan kami untuk menemanimu, kau hanya perlu memintanya... kita semua teman, jadi tidak masalah kan?" Gilang mengambil tasnya dan berjalan menuju pintu keluar.

"Eh, sudah mau pulang?" Rudi susah payah ingin mengambil tasnya, tapi kemudian dibantu oleh Dave.

"Bagaimana, Rika? Tolong pikirkan baik-baik ya?! Kau boleh menghubungiku jika kau kesepian..." Nina mencatat alamat surelnya pada telapak tangan Rika. "Kalau begitu, kami pergi dulu..."

Semua keluar hingga hanya tersisa aku dan Rika yang berdiri mematung.

"Tolong pikirkan itu baik-baik..." kataku lalu mengambil tas ku dan pergi menyusul mereka.

Hari telah malam ketika kami sampai diluar. Kami berjalan ke jalan Raya untuk mencari kendaraan yang akan membawa kami kembali kesekolah. Waktu telah menunjukkan pukul 18:30 dan aku berani taruhan kalau kami akan dihukum setibanya di sekolah nanti. Ternyata benar firasatku. Kami bertemu dengan guru kami, Pak Roni, yang langsung memberikan kami hukuman ditempat. Kami diperintahkan lari keliling lapangan sepuluh putaran di malam ini dan tidak diizinkan kembali keasrama sebelum membersihkan lapangan dari sampah. Hukuman yang cukup berat bagi kami.

Tapi, kami masih bisa menikmati malam itu. Karena saat itu, bintang-bintang bersinar terang.

Sangat indah.

"Aku penasaran ada berapa banyak bintang di galaksi jika dilangit kita bisa menemukan bintang sebanyak ini..." Kata Rudi. Matanya terlihat berbinar kala memandang langit malam itu. Pemandangan yang sepertinya tidak akan pernah dia lupakan, juga tidak akan aku lupakan.

Keluarlah, Rika... bintang-bintang terlihat indah malam ini.

***

Keesokan harinya ketika kami-kecuali Rika- berkumpul di kantin, Nina selalu memandangi androidnya. Wajahnya terlihat sedih dan selalu seperti itu dari kemarin.

"Kenapa kau? Jangan murung begitu..." kata Dave.

"Rika sama sekali tidak pernah menghubungiku... " kata Nina meletakkan ponselnya di meja.

"Dia serius tidak ingin tinggal bersama kita. "

"Lupakan saja, Ini tidak akan berhasil!" kata Rudi.

"Mungkin kalian benar!" kataku yang juga mulai putus asa.

"Apa kalian yakin ingin menyerah? Kalian percaya Rika tidak kesepian? " tanya Gilang.

"Mungkin saja... Dia menolak kami, jadi mungkin saja dia tidak membutuhkan kami" kata Dave.

"Mungkin saja dia hanya ingin punya waktu untuk sendiri.. Bukankah dia sedang berduka atas kematian orang yang dia sayang?"

"Bisa jadi,,"kataku. "Tapi aku berharap kita bisa tinggal dengannya..."

"Agar kau bisa mendekatinya, eh?" Kata Rudi yang membuatku langsung menoleh kearahnya.

"Bukan! Maksudku agar dia tidak kesepian!" sanggahku.

"Kebetulan sekali sekarang Rika sedang berduka, jadi kenapa kau tidak menghiburnya?" kata Gilang dengan senyuman menggoda "Ini juga bisa jadi kesempatan untuk menjadikannya milikmu"

"Apa maksud ucapanmu?!" protesku.

"Itu benar! Ini seperti mencari kesempatan dalam kesempitan!" sahut Dave.

"Jadi kau benar-benar serius dengannya?!" kata Nina dengan wajah terkejut.

"Jangan dengarkan apa kata mereka!"

"Kalau kau tidak menyukainya ambil aku saja!"

Refleks aku menolehkan pandanganku pada Gilang yang sepertinya tidak merasa bersalah dengan ucapannya.

"Kenapa kau terlihat tersinggung?" katanya lagi.

"Aku tidak tersinggung! Lupakan saja, kita harus memikirkan rencana kita!"

"Memikirkan Rika maksudmu?"

"Ugh...!!!"

"Hahahahahahahah"

Di chapter berikutnya, aku ingin menghajar mereka satu per satu.

***

Istirahat Kedua, di atap sekolah...

Aku merasa telah berada diambang kematian untuk saat ini. Hidupku telah dipertaruhkan dalam sebuah permainan konyol yang mereka ciptakan. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa teman-temanku akan menjadikanku tumbal.

"Cepatlah kesana dan jalankan misinya!" Bisik Gilang.

"Bagaimana kalian bisa membawanya kesini?" tanyaku.

"Kami tidak membawanya! Aku hanya kebetulan melihatnya disini, jadi aku memanggil kalian semua!" Jawab Rudi.

"Sudah, ayo kesana!"

"Kenapa aku?" Bisikku kepada mereka.

"Sstt, kenapa kau bertanya kepada kami? Harusnya kau berterima kasih karena kami telah mau membantu kisah cintamu yang sama sekali tidak ada kemajuan" Bisik Dave yang seakan menusuk jantungku perlahan.

Kam*ret 'kan

"Sudah jangan banyak bicara! Lebih baik kau pergi menemuinya sekarang!" Usir Nina. "Kami akan berjaga disini!"

"Lebih baik kalian pulang saja!" Usirku.

"Sssttt, udah sana! Hus hus!"

Aku pun berjalan mendekati Rika yang saat ini bersandar pada pagar tembok. Matanya terlihat dingin saat menatapku.

"B-begini, Rika..."

"A-aku ingin bertanya pendapatmu t-tentang ide Gilang untuk tinggal bersama..."

"B-b-bagaimana me-menurutmu?" Sialan! Aku tidak bisa mengatakannya dengan lancar. Jika ini bukan Novel, kalian pasti bisa melihat peluh yang membanjiri wajahku.

Rika menatapku tajam lalu menggeleng.

"Jadi kau tidak mau?" Kataku sedikit kecewa. "Tidak masalah, aku akan memberitahu teman-teman".

Rika diam.

"Tapi, apa kau yakin? Yakin dengan seyakin yakinnya kalau kau tidak kesepian?"

Rika tetap diam.

"O-oke, harusnya aku tidak perlu bertanya." Responnku cepat. "Kalau begitu aku pergi dulu! Sampai Jumpa, Erika!"

Aku pun pergi menemui teman-teman dengan perasaan kecewa. Ketika melihat raut wajahku, mereka mengerti bahwa aku 'ditolak'. Tapi ditolak dalam artian lain.

"Sudah kuduga Rika akan menolak!"

"Sudah, menyerah saja!"

Kami mulai menuruni tangga. Pergi dengan tangan kosong dan perasaan kecewa dihati kami. Menyadari bahwa kami mulai tercerai berai, dan salah satu teman kami meninggalkan kami dalam kesendiriannya.

Aku ingat saat pertama kali menunjukkan tempat itu kepada Rika, dan saat aku memberinya jepit bunga merah jambu padanya ditempat yang sama. Itu adalah moment yang tidak akan aku lupakan tapi mungkin Rika telah melupakannya. Karena jika dia ingat, dia mungkin tidak akan pergi kesana.

Tap.

Aku menghentikan langkahku, membuat teman-temanku menoleh kearahku.

"Aku baru menyadarinya!" kataku.

"Apa sih?" Respon Rudi.

"Kalian duluan saja! Aku akan segera kembali!" Aku berlari kembali ke atap dengan mantap. Meninggalkan mereka yang menatapku penuh tanda tanya.

Aku baru meyadarinya! Aku baru sadar bahwa Rika pergi ke atap, dan masih memakai jepit pemberianku di rambutnya. Yang artinya, dia belum melupakan moment kita. Dia pergi keatap karena dia ingat aku pernah membawanya kesana! Mungkin ini terdengar mengada-ada, tapi aku yakin sekali itu benar. Kalau begitu, Rika saat ini pasti sangat kesepian. Mungkin karena itu jugalah aku melihatnya menangis sesampainya aku disana.

"Rika!" Aku berlari dihadapannya. Dia menatapku terkejut masih dengan air mata dipipinya.

"Aku kan sudah bilang, kalau ada masalah katakan saja!"

Rika menggeleng lalu menutupi wajahnya sedangkan air matanya turun lebih deras.

"Ini tentang kematian bibimu ya?" tanyaku. Rika menggelengkan kepalanya.

Aku melihat kearah pintu menuju atap, tempat dimana teman-temanku bersembunyi beberapa saat yang lalu saat mereka menyuruhku menemui Rika.

"Tidak ada siapapun disini kecuali kita berdua, kau bisa mengatakan apa yang ingin kau katakan" kataku padanya.

"Rika?" Rika tetap diam dan menangis sampai aku memegang kedua bahunya.

"Erika-"

"A-adik... hiks! Adikku..." Aku diam membeku saat dia mulai berbicara.

"Adikku.. hiks.. aku.."

"Jadi, kau memiliki adik? ada apa dengan adikmu?" responku cepat.

"A-aku... hiks... bunuh dia..."

Deg!

Aku merasakan sakit menghantam kepalaku.

"A...apa?" Pandanganku mengabur.

"Aku telah membunuh adikku"

Dan aku jatuh dalam pelukannya.

"Erick?!"

.

.

TBC

Kritik dan Saran sangat diperlukan^^

Continue Reading

You'll Also Like

Jimin Or Jimmy By arzy

Science Fiction

491K 2.8K 8
hanya cerita tentang jimin yang memenya sering gatel pengen disodok
160K 27.9K 26
Nge Crushin cowok pengidap Sindrom Asperger, yang terkadang membuatnya berpikir, kenapa dia bisa jatuh hati pada cowok yang bicara saja masih belum j...
219K 28.5K 22
Nemu kucing di jalan❌ Nemu pria manis korban pelecehan✔️ Malam itu Barina hendak pulang dari kantor seperti biasanya, tapi sesuatu yang mengejutkan...
255K 29K 20
"Amour..Jen mohon..cintai Jendra.." lirihan itu sangat indah ditelinga gadis mungil bernama Amoura Delaria. Senyum tipis Amoura berikan, dia menyentu...