Break Up

Oleh smelianii

929 286 114

"Kaja uri heojija!" Kalimat itu terus berputar seperti kaset rusak di dalam otaknya. Gadis itu benar-benar t... Lebih Banyak

Il
I
Sam
Sa
Wo
Yuk
Chil
Pal
Sib
Sib-il
Sib-i

Gu

57 7 7
Oleh smelianii

Bagian Sembilan.

Ada yang pernah mengatakan padaku kalau seseorang yang pergi dengan keikhlasan, maka akan kembali dengan ketulusan.

Ji Soo kembali membaca ulang apa yang tertera dalam note di ponsel lama miliknya, tulisannya sebelum dia meninggalkan Indonesia 4 tahun yang lalu. Tulisan yang ditujukan pada seseorang yang kini telah lupa siapa dirinya, siapa Ji Soo.

Ada satu perasaan menyesal saat gadisnya mengatakan kalau dia lupa padanya, tapi apa yang bisa dilakukan Ji Soo untuk membangkitkan kembali memori gadisnya? Tidak ada. Ji Soo tidak ada cara untuk membuat Zahra mengingatnya lagi. Zahra adalah wanita yang mudah disugesti oleh orang lain, jadi Ji Soo sangat yakin kalau Zahra sudah termakan dengan sugesti itu untuk melupakannya.

Pergi dan kembali, apa itu salah? Kalau salah, tolong jelaskan apa yang salah dari pergi dan kembali!

Ji Soo bukannya ingin mempermainkan hati Zahra saat itu, tapi kehendak orangtuanya lah yang mengharuskan Ji Soo untuk menetap disana. Ji Soo tidak bisa membantah, dia tahu sosok orangtua harus lebih dihormati dari siapapun juga. Dan Ji Soo akhirnya memilih mematikan perasaannya saat itu juga, tapi melihat Zahra lagi rasanya perasaan itu hidup kembali tanpa dimintanya. Ji Soo tidak akan mengelak kalau dia masih mempunyai perasaan yang sama seperti dulu.

"Woi!"

Ji Soo menoleh, menemukan Abangnya yang sedang berdiri di tengah-tengah pintu sambil bersidekap.

"Apa?" tanyanya sinis.

"Gimana?" ujar Satria sembari menaik-turunkan alisnya.

Alih-alih menjawab, Ji Soo malah melemparkan bantal pada Satria. Beruntungnya, tangan Satria sigap menerima bantal itu.

"Kenapa nih?" Satria bertanya dengan senyuman misteriusnya.

"Bego banget gue ngikutin cara lo!" desis Ji Soo, "Dia lupa sama gue, ya gue malu masa..."

Satria terkekeh sebentar, lalu menepuk pundak Adiknya yang sudah besar itu. Meskipun terkadang Satria menjengkelkan, tapi Satria menyayangi Adiknya. Satria hanya bisa menunjukkan rasa sayangnya lewat membuat Ji Soo jengkel, Satria tidak tahu bagaimana menunjukkannya dengan baik. Terkadang, memang ada seseorang yang begitu.

"Gue tanya sama lo baik-baik nih!" ujar Satria. "Lo beneran masih sayang sama dia?"

Ji Soo mengangguk dengan lemas, bibirnya mengerucut lima senti, dan matanya mengedip-ngedip.

"Err... gak usah aegyo, please!!"

Bukannya malah berhenti bersikap imut, Ji Soo malah semakin menambah kadar keimutannya agar Satria yang melihatnya merasa jengkel.

Satria menggetok kepala Ji Soo, "Dasar najisun!"

Ji Soo mendesis pelan. Dia memejamkan matanya sebentar, mengistirahatkan pikirannya agar berhenti memikirkan Zahra.

"Kalo lo masih sayang, ya berusaha. Kejar dia, kalo usaha lo cuma mampet sampe situ. Mana bisa dia inget sama lo!" Ji Soo membuka matanya. "Semua itu butuh proses, kalo lo mau yang instan ya sono bikin mie instan!!"

Sebenarnya nasehat dari Satria itu kadang ada benarnya juga, tapi bisa mengesalkan kalau ujung-ujungnya malah ada ledekan. Dan Ji Soo sudah hafal itu.

"Bisa nggak sih ujung-ujungnya gausah ngeledek?!"

"GAK BISA!" sahut Satria cepat. "Lo kudu diledek biar cepet ngerti!"

"Ya apa kata lo!" balasnya kesal, "Sono pergi, gue mau tidur!"

Satria menghela napasnya pelan, "Yaudah tidur, anggep aja gue gak ada!"

Ji Soo memutar bola matanya malas, "Gak bisa, wujud lo masih ada. Setan aja yang gak bisa gue liat masih gue anggep ada, apalagi elo!"

"Naah itu... lo harus pikirin baik-baik!" ujar Satria sambil melangkahkan kakinya keluar kamar Ji Soo.

●●●

"Ayah, anterin Zahra ke sekolah yaa. Ya, ya, ya?" Zahra mengedip-ngedipkan matanya, senyumnya mengembang saat itu juga.

Ibrahim yang melihat itu sontak menggelengkan kepalanya, bukannya dia tidak mau hanya saja sekolah Zahra berlawanan arah dengan rumah sakit tempat kerjanya. "Ayah harus ngecek riwayat pasien, karena kemarin ada yang memintanya. Kamu berangkat sama Reza aja yaa, atau bareng sama Bang Fahmi aja?"

"Nggak mau!" rajuknya dengan manja. "Zahra pengen dianter Ayah, Zahra kangen sama Ayah, Zahra kangen berangkat sama Ayah, Ayah tolong Zahra obatin rasa kangen ini!!"

"Kan tiap hari di rumah ketemu, masa masih kangen aja sama Ayah sih?" ujar Kanaya sambil menuangkan susu ke dalam gelas.

Zahra langsung meminum susu itu sampai habis setelah Kanaya mengisinya penuh. "Ayaaaah.... pliiiiiiiiiis!!!"

"Gak usah manja deh!!" pekik Fahmi yang sedari tadi menonton drama Zahra. Iya, Adiknya memang jago main drama.

"Iishh Abang gausah banyak komen ya!! Ini bukan fesbuk!!" Zahra mendesis, lalu memasukkan semua roti ke dalam mulutnya.

"Liaaat... Zhara wudaaach sarraphaan." ucapnya dengan mulut penuh.

Kanaya menyodorkan air putih pada Zahra, "Telen dulu, baru ngomong. Dasar jorok!"

Setelah beberapa kali kunyahan, Zahra menelan habis roti itu. Kemudian Zahra meneguk air putih dari Kanaya. Matanya melirik Ibrahim yang sedang sibuk dengan ponselnya. "Ayah, di meja makan no ponsel!" ujar Zahra sembari menunjukkan pada poster ponsel yang diberikan tanda silang yang ditempelnya beberapa tahun kemarin.

Ibrahim tersenyum simpul, "Iya, maafin Ayah deh."

Zahra membuang mukanya, "Zahra gak mau maafin Ayah sampe Ayah mau anterin Zahra ke sekolah!"

"Zahra, ayo ngertiin Ayah! Gak usah manja begitu ah, Bunda gak suka!!" Kanaya berucap sambil memelototkan matanya. "Kamu itu kenapa sih? Kemarin nggak mau sekolah, sekarang sekolah minta dianter Ayah yang lagi sibuk. Kamu punya kaki kan? Punya tangan, bisa jalan, naik angkot, nebeng sama Reza. Gak usah manja, ngerti?"

Tanpa pamitan lagi, Zahra langsung berlari setelah mendengarkan ceramahan dari Bundanya. Zahra tahu kalau dia bersikap manja, tapi Zahra memang benar-benar rindu dengan Ayahnya. Ayahnya jarang tidur di rumah, Ayahnya lebih sering tidur di rumah sakit. Dan Zahra hanya ingin minta waktu saat berangkat ke sekolah, tapi Bundanya malah melarangnya.

Zahra menyeka air matanya, dia baru saja melewati pos satpam dikomplek perumahannya. Langkah kakinya terus menerus membawa Zahra semakin jauh dari daerah perumahaan dan daerah sekolahnya. Zahra ingin sendiri dulu, dia harus punya waktu untuk mengerti keadaan hidupnya yang runyam karena pikirannya terus terbagi dengan masa lalunya.

Drt...drt...drt...

Zahra mengambil ponsel disaku roknya, dia melihat nama yang tertera disana.

Ayah.

Tanpa ada niatan mengangkatnya, Zahra mematikan ponselnya dan menaruh benda pipih itu ke dalam tasnya.

Semakin jauh langkahnya, maka semakin Zahra jauh meninggalkan perumahannya. Tidak ada tempat yang bisa dijadikannya tujuan. Rumah Gania, Bundanya pasti tahu. Rumah Fani, Bundanya juga pasti tahu. Rumah Bunda Mamih, Bunda juga pasti akan datang kesana.

"Ottoke?"

●●●

"Ibu memanggilmu kesini karena ingin mengikutsertakan kamu ke olimpiade nasional yang akan diadakan 3 bulan lagi." jelas Bu Salamah, guru Fisika di kelasnya.

"Karena melihat nilai ulangan harian kamu yang kemarin, dan nilai-nilai rapormu di sekolah dulu. Ibu yakin kalau kamu bisa diandalkan untuk mewakili sekolah kita."

"Eunghhh... bagaimana Ji Soo?" tanya Bu Salamah memberi ruang Ji Soo untuk berbicara.

Ji Soo menipiskan bibirnya, "Apa tidak bisa menolak?"

Bu Salamah tersenyum simpul, "Tentu saja tidak bisa menolak!"

"Ibu bisa percaya saya?" Ji Soo kembali bertanya karena dia baru saja jadi murid pindahan, dan sekarang malah harus ikut olimpiade mewakili sekolahnya. Ji Soo tidak ingin membuat kecewa banyak orang, maka dari itu dia sebisa mungkin untuk bisa menolak penawaran itu.

"Tentu. Ibu bisa percaya kamu!"

Memijit pelipisnya yang mulai pusing, Ji Soo kembali menatap Bu Salamah yang masih setia dengan senyumannya itu.

"Bagaimana kalau malah akhirnya saya tidak bisa, Bu?"

Dengan tenang, Bu Salamah menjawab sesuatu yang sudah ada dibenaknya. "Mudah saja, dalam kompetisi itu ada menang dan ada kalah. Tentu saja Ibu bisa maklum dengan kekalahan, hanya saja Ibu sangat berharap kamu bisa melakukannya dengan baik!"

Nggak di Korea, nggak di Indo. Harus banget belajar terus?

Ji Soo menarik napasnya panjang-panjang, "Karena tidak bisa menolak, saya-"

"Terimakasih Ji Soo!" sela Bu Salamah sebelum Ji Soo benar-benar selesai dengan kalimatnya. "Kalo gitu, silahkan keluar. Nanti akan saya sampaikan beberapa materinya, dan buku-buku untuk kamu pelajari."

Ji Soo keluar dengan langkah lesunya, rasanya persendian dalam kakinya sudah melemas karena harus dihadapkan oleh buku-buku menumpuk lagi. Dan tangannya akan kaku lagi karena menulis terlalu lama, juga jangan lupakan matanya yang akan ikut kesemutan karena terlalu lama memandangi buku.

"Woi!" sapa Dean, teman sebangkunya.

Balasan dari Ji Soo hanya anggukan lemas saja, membuat Dean merangkul pundak lelaki itu dan menepuknya perlahan-lahan. Mungkin Dean sudah mengerti mengapa dirinya selemas itu sekarang.

"Suruh ikut olim kan lo?" kata Dean langsung tepat sasaran.

Ji Soo mengangguk, "Gue kesini pengen santai, eh malah suruh ikut olim."

"Gue hafal banget kalo Bu Salamah bakal rekrut elo!" kata Dean sambil terkekeh.

"읏시마!!"

Dean semakin terkekeh setelah mendengarkan Ji Soo mengumpatinya dengan bahasa Korea.

"Eh curut, jadi lo udah tau duluan?"

"Iya."

"Kenapa gak bilang?"

"Lo nggak nanya!"

"Aisshh... jinjja!!" ucapnya dengan kekesalan. "Babo! Babo! Babo!"

"Sori my man!!"

TBC!
I hope u enjoyed guys!
Thank u for supporting me:)
And still support me, yay?

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

503K 38K 27
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...
1.7M 77.2K 41
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...
6.8M 290K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
242K 23.1K 29
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...