Misteri Syal Merah

By BetrySilviana

1K 77 25

Kematian Nova dan Shila menyisakan teka-teki yang begitu rumit bagi Vera. Di lehernya sama-sama terdapat syal... More

BAB 1
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V
BAB VI
BAB VIII
BAB IX

BAB VII

103 7 0
By BetrySilviana

Jam telah menunjukkan pukul 12 malam. Vera masih belum bisa tertidur. Ia masih memikirkan perkataan Kiai Mahmud tadi pagi. Malam ini terasa begitu berbeda, sama seperti saat ia menemukan syal merah itu. Entah kenapa sejak tadi ada perasaan aneh yang menyelimuti hatinya, seperti mendapat firasat akan terjadi sesuatu yang buruk di rumahnya.

Sejak tadi angin bertiup dengan kencang. Suara derunya berhasil mendirikan bulu kuduknya. Suasana di rumah malam ini terasa begitu mencekam, membuatnya ingin segera tidur. Tetapi, sejak tadi kedua matanya tetap terjaga.

Pukul 1 lewat, tiba-tiba terdengar suara gaduh disertai dengan jeritan yang mengejutkan. Arahnya dari kamar Andina. Mulanya Vera menyangka Andina sedang mengigau. Tetapi saat itu, terdengar suara lolongan anjing yang mengalun mendayu-dayu. Tiba-tiba, ia teringat akan kematian Nova dan Shila. Malam ini adalah tanggal 1 maret, tanggal di mana Nova dan Shila meninggal.

Vera segera berlari ke kamar Andina. Perasaannya semakin tak enak pada Andina. Ia takut bila Andina akan bernasib sama seperti Nova dan Shila.

Tap... tap... tap...

Vera menjadi merinding dan panik karena pada saat ia menyentuh ganggang pintu kamar Andina, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki di belakangnya. Namun, begitu ia menolehkan pandangannya ke belakang, tak ada siapa pun di sana. Hanya ada dirinya sendiri yang berdiri tepat di depan pintu kamar Andina.

Vera terpaksa menggedor-gedor pintu kamar itu karena pada saat itu pintu kamar tak bisa dibuka sama sekali.

"Din...! Andinaaa...! Buka pintunya, Din...!" seru Vera menegangkan.

"Kak...! Kak Vera...! Cepat masuk, Kak...! Pintunya nggak dikunci...!" jeritan Andina makin menjauh dari pintu, "Tolong aku, Kak...! Syal ini mau membunuhku!"

Vera segera berlari mencari kunci duplikat semua pintu rumah. Rasa panik dan juga takut telah menghilangkan ingatannya akan keberadaan kunci duplikat rumah. Padahal biasanya ia mengingat semua benda yang di simpan di dalam rumah. Tapi kali ini pikirannya sama sekali buntu.

Aneh sekali. Papa dan mama tak kunjung terbangun dari tidur mereka. Padahal jeritan Andina terdengar sangat nyaring sekali. Seharusnya jeritan itu cukup untuk membuat papa dan mamanya terbangun. Apalagi kamar mereka sangat dekat dengan kamar Andina.

Vera tak mau terlalu memikirkan papa dan mamanya. Saat ini yang ada di dalam otaknya hanyalah keselamatan Andina. Sudah cukup ia kehilangan kedua adiknya karena syal merah itu. Dan sekarang, ia tak akan membiarkan syal merah itu merenggut nyawa Andina.

Vera akhirnya berhasil menemukan kunci duplikat rumah. Ia segera memasukkan satu persatu anak kunci ke dalam lubangnya. Ada satu kunci yang pas dengan lubang kunci pintu kamar Andina. Tetapi, ketika anak kunci di masukkan, kunci tersebut sukar di gerakkan. Dengan sekuat tenaga, Vera memutar anak kunci. Tetapi tidak berhasil.

Sementara yang ada di dalam kamar makin menjerit histeris. Sesekali terdengar nada tangisan.

"Din...! Buka pintunya...! Kakak nggak bisa masuk! Pintunya sama sekali nggak bisa terbuka!" Vera berteriak dengan panik.

"Kak...! Tolong aku...! Uhukkk...! Uhukkk...!" suara Andina terdengar seperti tercekik. Vera semakin panik dibuatnya.

Tiba-tiba, Andina teringat pada perkataan Kiai Mahmud pagi tadi. Ia pun segera melakukan pesan Kiai Mahmud sebelum pulang tadi. Mulutnya berkomat-kamit membacakan ayat-ayat Al-Qur'an yang dihapalnya. Ia sangat berharap dengan mengikuti pesan Kiai Mahmud, ia dapat menyelamatkan Andina.

Entah kenapa pintu kamar dapat dibuka dengan mudah. Vera pun segera masuk ke kamar. Betapa terkejutnya Vera ketika melihat Andina terbang melayang dengan leher terlilit syal merah.

"Astagfirullah!" pekik Vera.

Vera segera membantu menurunkan Andina. Andina terlihat susah bernapas. Syal merah itu makin melilitkan dirinya dengan kuat di leher Andina. Mulut Vera kembali berkomat-kamit membaca ayat Al-Qur'an dengan suara yang agak nyaring. Seketika itu juga syal merah itu menggeliat hingga menjatuhkan tubuh Andina.

Andina cepat-cepat menghirup udara. Napasnya mulai tak terasa sesak. Ia pun menyeret tubuhnya yang lemas ke dinding kamarnya. Bibirnya yang kecil terus beristiqfar berulang kali.

Syal merah itu kembali terbang. Tapi kali ini syal merah itu menuju ke arah Vera. Syal merah itu sepertinya hendak melilit leher Vera. Vera tak takut. Ia kembali membaca ayat Kursi berulang kali, seperti yang dilakukannya tadi.

Syal merah itu menggeliat-liat di lantai seperti cacing yang keluar dari tanah. Angin tiba-tiba berhembus sangat kencang di kamar Andina. Kaca jendela kamar pecah dengan sendirinya. Syal merah itu terbang keluar lewat kaca jendela yang pecah.

Vera terengah-engah. Badannya terasa lemas. Berulang kali ia mengucapkan syukur kepada Allah yang telah membantunya menyelamatkan Andina dari syal merah itu. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia mendekati Andina yang tampak shock. Vera segera memeluk dan menenangkan adiknya itu.

***

Esok paginya, Vera menghampiri papa dan mamanya di kamar mereka. Ia sudah tak bisa lagi berlagak tenang, apalagi ini semua menyangkut nyawa.

"Pa! Ma! Apa benar Papa dan Mama tidak tahu apa-apa mengenai syal merah itu?"

"Syal merah yang mana, Ver? Pagi-pagi sudah menanyakan syal. Papa dan Mama sudah telah berangkat kerjanya. Nanti saja ya kita bahasnya?" ucap Papa sembari mengenakan kemaja birunya.

"Syal merah yang kutemukan di meja tamu dua tahun yang lalu."

"Syal itu...? Bukankah kamu yang menyimpannya, Ver? Kenapa nanya ke Mama dan Papa?" tanya mama sembari memasukkan beberapa dokumen ke dalam tasnya.

"Papa dan Mama jujur saja sama aku! Papa dan Mama ada yang tahu kan mengenai syal merah itu?" tanya Vera memaksa. Wajahnya terlihat sangat resah.

"Sudahlah, Ver! Nanti saja kita bahas syal itu! Mama sudah sangat terlambat. Nanti bos Mama marah."

Vera menatap kesal ke arah papa dan mamanya. Di situasi yang membahayakan saat ini, bisa-bisanya mereka lebih mementingkan pekerjaan daripada nyawa putrinya. Ia lalu berkata dengan ketus, "Bisa-bisanya Papa sama Mama mementingkan pekerjaan! Apa Papa dan Mama sudah nggak perduli lagi dengan nyawaku dan Andina?"

Papa dan mama seketika menghentikan aktivitasnya. Mereka menatap bingung dan juga kesal ke arah Vera. Baru pertama kali Vera mengatakan kata-kata seperti itu terhadap mereka.

"Apa maksudmu kami tidak perduli dengan nyawamu dan Andina? Kalau kami tidak perduli sama kalian, kami tidak mungkin capek-capek kerja seperti ini untuk memenuhi semua kebutuhan kalian," ungkap mama dengan geram kepada Vera.

"Yang dikatakan Mamamu benar. Semua yang kami lakukan hanya untuk kalian," sambung Papa.

Vera menurunkan emosinya. Diam sesaat, lalu berkata, "Maafkan aku! Aku hanya ingin masalah ini cepat selesai. Aku nggak ingin kejadian mengerikan semalam kembali terulang lagi. Aku takut!"

"Apa maksudmu, Ver? Kejadian mengerikan apa?" tanya papa menatap bingung.

"Semalam, Andina hampir saja mati terlilit syal merah itu. Untung aja aku ngikutin saran dari Kiai Mahmud, jadi aku bisa menyelamatkan nyawa Andina."

"Terlilit syal merah? Bagaimana bisa? Trus bagaimana Andina? Apa dia baik-baik saja?" tanya mama dengan nada yang khawatir.

"Kata Kiai Mahmud, penunggu yang ada pada syal merah itu marah dan dendam sama keluarga kita. Sepertinya syal merah itu ingin membunuh kita satu per satu. Trus kata Kiai Mahmud, salah satu dari kita ada yang tahu tentang syal itu. Makanya, aku menanyakan hal ini sama Papa dan Mama. Mungkin ada seseorang yang dendam sama Papa atau Mama?"

Mama menatap Vera tak percaya. Baginya, tak ada jin atau setan di dunia ini. Semua kejadian yang ada di bumi ini pasti ada penjelasannya secara logika.

Sedangkan papa menjadi gelisah setelah mendengar perkataan Vera, seperti sedang teringat akan sesuatu. Tetapi papa sama sekali tak berkata-apa-apa. Papa hanya diam dan terus menatap cemas ke arah Vera.

"Mama dan Papa nggak percaya sama aku? Baiklah! Tidak apa-apa! Kuharap, Papa dan Mama nggak menyesal bila aku ataupun Andina yang akan menjadi korban dari syal merah itu." Vera lantas pergi meninggalkan kamar papa dan mamanya dalam keadaan kesal. Papa ataupun mama sama sekali tak percaya pada semua perkataannya.

***

Papa menghampiri Vera di kamar Andina. Kondisi Andina sudah tampak lebih baik bila dibandingkan semalam. Ia sudah bisa tertidur setelah kejadian yang hampir merenggut nyawanya itu. Setelah kejadian itu, Andina tak tidur sampai pagi. Ia merasa takut bila syal merah itu datang kembali dan melilit lehernya. Vera dengan pandangan matanya yang was-was terus terjaga hingga Andina bisa tertidur. Vera sendiri bahkan belum tidur sama sekali. Kedua matanya terus terjaga, takut-takut syal merah itu datang kembali.

"Ver, bisa bicara sebentar di luar? Ada sesuatu yang ingin Papa beritahu sama kamu."

Dengan perlahan-lahan, Vera menjauhkan dirinya dari Andina yang tertidur pulas, seperti yang ia lakukan tadi saat papa dan mamanya masih bersiap-siap hendak berangkat kerja. Vera menghampiri papanya yang berdiri di ambang pintu dengan malas. Ia yakin bila papanya hanya ingin meminta dirinya untuk menjaga rumah.

"Ada apa, Pa? Bukankah Papa sudah telat berangkat kerjanya?"

"Sebentar lagi papa akan berangkat. Papa ingin membicararakan syal merah yang kau bicarakan tadi."

"Bukankah Papa nggak percaya sama semua yang aku katakan tadi? Lupakanlah! Hari ini aku akan ke rumah Kiai Mahmud bersama Andina untuk meminta jalan keluarnya."

"Sepertinya, Papa tahu sesuatu mengenai syal itu." Wajah papa tiba-tiba berubah menjadi gelisah. "Sepulang kerja, Papa akan ceritakan semuanya pada kalian."

Vera menatap aneh pada papanya itu. Sepertinya ada sesuatu yang papa sembunyikan dari dirinya bahkan mungkin dari semuanya. Ia menatap kepergian papa dengan rasa penasaran. Ia tak sabar ingin mendengar semua yang papa ketahui tentang syal merah itu.

***

Pukul 10 malam lewat 30 menit telah berlalu cepat. Papa telah meninggalkan pabrik teh yang hampir kosong. Hanya tersisa beberapa karyawan yang terlihat sedang membereskan beberapa peralatan.

Pukul 11 lewat 10 menit, papa sudah sampai di rumah. Papa tak lantas masuk. Perasaannya semakin tak karuan. Di sepanjang perjalanan, hatinya terus merasa gelisah. Antara rasa takut, khawatir, dan bersalah terus berkecambuk di hati papa seharian ini. Setelah mendengar perkataan dari putri pertamanya pagi tadi, papa kembali teringat akan masa lalunya yang seharusnya tak pernah terjadi. Tetapi, melihat keluarganya dalam keadaan bahaya, papa terpaksa membongkar rahasia yang selama bertahun-tahun ia simpan rapat-rapat.

Seperti yang papa katakan pagi tadi, Vera terjaga dari tidurnya bersama mama dan Andina. Mereka merasa penasaran tentang syal merah itu. Sebenarnya, mama sama sekali tak percaya dengan perkataan Vera pagi tadi. Hanya saja, Vera dan Andina bersikeras menunggu papanya pulang untuk meminta penjalasan mengenai syal merah itu.

Yang ditunggu-tunggu akhirnya pulang. Papa menghampiri mama, Vera, dan Andina yang tengah menunggunya di ruang tamu. Papa lantas duduk berhadapan dengan mereka. Perasaannya semakin takut. Jantungnya pun terus berdebar-debar.

"Sebelum Papa mengatakan yang sebenarnya pada kalian, Papa ingin meminta maaf pada kalian semua."

Baik mama, Vera, maupun Andina sama-sama menatap papa dalam kebingungan. Kenapa papa harus meminta maaf kepada mereka. Rahasia apa yang disimpan papanya selama ini?

"Sepertinya, Papa nggak bisa lagi menyimpan rahasia besar ini dari kalian semua. Kalian berhak tahu semuanya. Apalagi keberadaan syal merah itu sudah membahayakan keluarga kita," lanjut papa menatap cemas.

"Rahasia apa yang Papa simpan dari kami? Jelaskan, Pa! Jangan buat aku penasaran begini!" tanya mama penasaran.

"Papa ingin mengakui semua kesalahan yang Papa lakukan dulu pada kalian semua. Sejujurnya, Papa pernah memberikan sebuah syal merah kepada seorang wanita," ungkap papa akhirnya.

"Siapa, Pa? Cepat beritahu! Besok kita ke rumah teman Papa itu untuk menanyakan syal merah itu," kata Andina penasaran.

"Wanita itu bukan teman Papa."

"Lalu siapa wanita itu?" Vera menatap lekat ke arah papanya itu. Antara bingung dan juga penasaran pada apa yang akan disampaikan oleh papanya.

"Wanita itu... mantan istri kedua Papa, namanya Salma," ungkap Papa. Papa menatap cemas ke arah mereka. Papa merasa bersalah pada mama, Vera, dan Andina karena telah melakukan tindakan yang tak seharusnya dilakukan oleh seorang suami dan juga seorang ayah.

Mama, Vera, dan Andina terperanjat kaget mendengarnya. Mereka sama-sama tak menyangka papa berbuat seperti itu terhadap mereka.

"Tak kusangka Papa bisa melakukan hal seperti itu...!" gumam Vera lirih.

"Maafkan, Papa...! Papa khilaf...! Papa bersalah! Papa sudah menceraikannya. Bertahun-tahun Papa nggak pernah menemuinya."

Sejak tadi mama diam tak bersuara. Mama terus mengatur napasnya yang tak karuan dan berusaha menahan emosi dan kegeramannya kepada papa. Wajahnya yang semula merah, kini mulai mereda.

"Maafkan Papa, Ma! Waktu itu Papa khilaf. Tapi Papa sudah memperbaiki kesalahan Papa. Papa sudah lama menceraikannya, Ma. Kumohon, maafkan Papa, Ma...!"

Mama menatap papa dengan tajam. Wajahnya dibikin sangar. "Keterlaluan sekali kamu, Pa...! Selama ini aku berusaha untuk tidak memperdulikan isu dari orang-orang. Aku percaya kalau Papa itu lelaki baik yang setia dan bertanggung jawab. Tapi apa bukti yang kuterima? Papa tega sekali nikah lagi sama wanita lain, bahkan tanpa sepengetahuanku."

"Aku nggak nyangka, Papa yang selama ini kubanggakan, ternyata bisa berbuat seperti itu. Apa kurangnya Mama sih, Pa?" ucap Andina dengan ketus.

Papa hanya bisa diam dan pasrah. Papa mengerti bila mama, Vera, dan Andina marah padanya. Semua ini memang sulit untuk diterima oleh mereka. Bahkan papa tak yakin akan mendapatkan maaf dari wanita-wanita yang dicintainya itu.

"Sudahlah...! Jangan nyalahin Papa terus! Kasihan kan, Papa!" kata Vera tiba-tiba.

"Ngapain kamu belain Papa? Papa itu sudah salah, jangan dibelain terus!" sahut Andina.

"Bukannya aku belain Papa, tapi Papa sudah minta maaf sama kita. Papa juga sudah menyesali perbuatannya dengan menceraikan wanita itu. Lagi pula yang perlu kita pikirkan sekarang adalah menemukan wanita itu dan meminta maaf padanya. Semoga saja dengan cara itu, syal merah itu nggak akan balik lagi dan meneror keluarga kita," saran Vera.

"Ini semua salahmu, Pa! Kedua putri kita jadi korban karena perbuatanmu. Sekarang, nyawa kita terancam juga gara-gara kamu. Selesaikan masalah ini, Pa! Mama nggak mau tau!" geram mama.

"Besok, Papa akan pergi ke rumah Salma. Papa akan minta maaf dan meminta padanya untuk tidak meneror kita lagi," kata papa dengan menyesal.

Vera menatap lekat ke arah papanya itu. Sejujurnya ia merasa sangat kecewa, tetapi saat melihat wajah papanya yang serba salah, ia merasa kasihan dan tak tega bila harus ikut membencinya.

"Besok kita akan temani Papa ke rumah Tante Salma! Kita juga akan meminta maaf padanya," usul Vera dengan yakin.

Mama dan Andina sama-sama menatap aneh pada Vera. Mama menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya. Sedangkan Andina mendengus kesal ke arah Vera. Ia lalu berkata dengan wajah yang cemberut, "Ngapain kita ke sana? Kita nggak ada urusannya sama sekali. Yang ada masalah sama dia itu cuma Papa. Jadi Papa aja yang ke kesana dan menyelesaikan semua masalah ini."

"Jangan begitu, Din! Walau bagaimanapun, Papa tetaplah Papa kita. Lagi pula kamu mau salah satu dari kita jadi korban lagi di tahun ini. Ingat! Tak terasa nanti akan tanggal 1 Maret. Sebelum tanggal itu, kita harus bertindak lebih dulu!"

Papa menatap bangga pada Vera. Papa tak pernah menyangka bila Vera bisa bersikap dewasa dalam situasi menegangkan seperti ini. Dalam hatinya papa berjanji akan menyelesaikan semua masalah yang sedang menimpa keluarganya saat ini.

                                                                                               ***

Continue Reading

You'll Also Like

8.4M 519K 33
"Tidur sama gue, dengan itu gue percaya lo beneran suka sama gue." Jeyra tidak menyangka jika rasa cintanya pada pria yang ia sukai diam-diam membuat...
5M 921K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.❞▫not an au Started on August 19th 2017 #4 1...
31.3K 2.7K 30
#14 (6/4/2017) #16 (24/4/2017) #17 (25/5/2017) #20 (3/3/2017) "DoD?" Pilihan itu membuat ketiga dari mereka tertawa. Natasha memutar kembali botolnya...
560K 85.2K 74
Cocok untuk kamu peminat cerita dengan genre #misteri dan penuh #tekateki, juga berbalut #action serta #scifi yang dilatarbelakangi #balasdendam. Kas...