Heavy Rainfall

By Salmadmynti

2.1K 373 60

Tentang dua pasang anak kembar dengan permasalahannya masing-masing dan hujan selalu terlibat dalam rasa sedi... More

SATU
DUA
TIGA
EMPAT
LIMA
TUJUH
DELAPAN
SEMBILAN
SEPULUH
SEBELAS
DUABELAS
TIGABELAS
EMPATBELAS
LIMABELAS
ENAMBELAS
TUJUHBELAS
TUJUHBELAS (A)
DELAPANBELAS
SEMBILANBELAS
DUAPULUH
DUAPULUH SATU

ENAM

166 28 1
By Salmadmynti

Seminggu setelah kepergian Harmono, rumahnya masih diselimuti kesedihan. Tiga wanita yang begitu menyayanginya masih dalam suasana yang berkabung entah kapan akan berakhir, satu dari mereka bahkan tak ada yang tahu pastinya. Yang mereka tahu hanya satu, hatinya masih terasa begitu sakit.

Gia berjalan menuju dapur untuk membantu Ibu menyiapkan beberapa kue yang akan disuguhkan nanti malam untuk para tamu, karena malam ini akan diadakan pengajian tujuh harian Ayah. Walaupun rumah cukup ramai dengan beberapa kerabat yang datang bahkan menyempatkan waktu untuk menginap tapi tetap saja Gia dan Ibu masih merasa begitu kehilangan Ayah dan air mata mereka rasanya tak pernah habis sejak seminggu yang lalu karena masih saja terus menangis jika mengingat Ayah.

Gia mengambil sekotak kue lapis, kemudian mengambil pisau yang tak jauh darinya dan mulai memotong kue itu kecil-kecil untuk kemudian akan dia pindahkan ke piring.

"Kamu masih ga mau ngomong sama Kia?" tanya Ibu sambil tangannya membantu Gia memindahkan kue-kue yang sudah dipotongnya ke piring.

Memang sejak hari itu, Gia sama sekali tak bicara pada Kia. Rasanya masih tidak percaya bahwa saudara kembarnya itu bisa melupakan orangtuanya yang sedang kritis dan lagi soal pria yang tiba-tiba memakai baju Ayah, Gia menaruh kecurigaan pada Kia tapi dia enggan bertanya apapun dan enggan juga mendengarkan penjelasan Kia, rasa-rasanya dia masih begitu kesal dengan saudara kembarnya itu.

Gia menghela napas, "enggak, Bu." sahutnya singkat.

"Kenapa? Kasian dia dari kemarin ngajak kamu bicara tapi kamu selalu menghindar ga mau dengerin dia."

Gia menghentikan aktifitasnya dan berbalik badan menghadap Ibu yang berdiri di sampingnya.

"Aku cuma ga habis pikir aja, Bu. Kenapa bisa-bisanya dia lupa kalau Ayah lagi kritis di rumah sakit?"

"Kamu udah dengerin penjelasan dia?

Gia menggeleng.

Ibu memegang bahu Gia, "sejak Ayah ga ada, Ibu udah ngerasa begitu kehilangan lalu apa Ibu harus kehilangan keceriaan kalian juga? Kalau Ayah lihat kalian seperti ini, Ibu yakin Ayah akan sedih, sama seperti yang Ibu rasakan. Kalau Ibu sekarang jelasin alasan Kia waktu itu, Ibu yakin kamu pasti bakal mengira kalau Ibu lebih bela Kia. Jadi, Ibu minta tolong sekali, nak. Dengarkan penjelasan Kia dan kembali baik-baik saja."

Ibu menarik napas sebelum kembali bicara lagi, suaranya sudah sedikit bergetar karena menahan tangis. "Kalau Ibu masih nangis akhir-akhir ini, itu bukan karena Ibu masih belum bisa ikhlasin Ayah, Ibu ikhlas Ayah pergi dan sudah ga nangisin Ayah lagi tapi nangisin kalian yang ga saling bicara lagi."

Melihat Ibu yang kini mulai menangis, Gia memeluk Ibu, berusaha menenangkan satu-satunya orang tua yang dia punya sekarang. "Nanti Gia coba dengerin penjelasan Kia, Bu. Maaf kalau sikap Gia ke Kia bikin Ibu sedih. Gia cuma ga habis pikir dan ga bisa terima, setelah Gia udah ngalah soal banyak hal cuma biar Ayah seneng sebab Ayah selalu ngeduluin Kia soal apapun, tapi dengan teganya Kia malah lupa kalau Ayah sakit."

Ibu hanya mengeratkan pelukannya dan mengelus punggung Gia, dia sangat mengerti perasaan Gia.

☔☔☔

Rafa memarkirkan motornya di depan rumah Gia, sudah seminggu berturut-turut dia selalu datang ke sini untuk sekadar bantu-bantu atau menemani Gia agar tidak terlalu sedih, saat dia meninggalkan Gia di rumah sakit sebab harus mengantarkan Risa waktu itu. Dia segera kembali ke rumah sakit, berusaha mencari Gia dan dia menemukan Gia sedang menangis di lorong rumah sakit, saat itu katanya Ayahnya kembali kritis setelah sebelumnya sempat sadarkan diri dan terus memanggil nama Kia--saudara kembarnya, Gia saat itu menelepon Kia puluhan bahkan ratusan kali, Rafa ada di sana saat panggilan entah yang keberapa tiba-tiba Ibunya keluar dari kamar dan mengatakan kalau Ayah sudah tidak ada.

Saat itu, tangis Gia semakin keras dan Rafa memeluknya, mencoba menenangkan wanita yang terlihat begitu berantakan dan kacau itu. Tapi tetap saja, menenangkan orang yang baru saja kehilangan adalah hal yang sia-sia. Gia tetap menangis waktu itu dan Rafa hanya terus memeluknya membiarkan wanita itu menumpahkan semua tangis dan kesakitannya.

Mengingat malam itu membuat hati Rafa jadi begitu sedih, apakah jika nanti dia kehilangan Papa akan sekacau Gia? Tidak ada yang tahu, sekali pun itu dirinya sendiri sebab bagaimana bisa menangisi seseorang yang bahkan tak pernah memberinya kasih sayang dan juga perhatian? Kedua orang tuanya memang terlalu sibuk dengan pekerjaannya, mungkin akan lebih masuk akal jika pekerjaan-pekerjaannya itu yang akan menangisi mereka sebab bakal jadi terbengkalai dan tak terselesaikan.

Rafa mengambil dua kantong plastik yang berisikan buah-buahan yang menggantung dikaitan sepeda motornya, kemudian dia turun dan mulai berjalan memasuki halaman rumah Gia yang cukup ramai dengan beberapa kerabatnya.

"Hai, Ki. Gia sama Ibu ada?" tanya Rafa saat melihat Kia sedang duduk di teras sambil memerhatikan seorang anak kecil perempuan bermain lari-larian di depannya dan sesekali tertawa ketika melihat anak itu.

"Oh Hai Rafa. Ada kok di dalem." sahut Kia tersenyum ramah.

"Oh iya ini buah buat nanti malem." ujar Rafa sambil memberikan dua kantong plastik yang dari tadi di pegangnya.

"Ga usah repot-repot, Raf. Tiap hari lo selalu bawain makanan, padahal elo dateng aja udah seneng kok apalagi suka bantu-bantu juga di sini. Kan jadi ga enak."

"Kak itu apa?" tanya anak perempuan yang tadi Rafa lihat sedang bermain.

"Buah. Lala mau?" tanya Kia lembut.

Anak kecil yang dipanggil Lala itu mengangguk.

"Ya udah yuk masuk ke dalem sekalian kita kasih juga ke Oma." ujar Kia.

"Ayo, Raf masuk." ajak Kia pada Rafa.

"Ini sepupu lo?" tanya Rafa heran karena setelah beberapa hari, dia baru melihat anak itu di sini.

Kia hanya mengangguk.

Mengikuti Kia masuk ke dalam rumah, Rafa menyapa beberapa kerabat yang sudah cukup akrab dengannya karena Rafa selalu ada di sini setiap hari bahkan mereka menganggap Rafa adalah kekasih Gia.

Rafa melihat Om Hartono --adik dari Ayah Kia di sudut ruangan seperti sedang membetulkan sesuatu, kemudian dia mendekati Om Hartono sedangkan Kia terus berjalan menuju dapur bersama dengan anak kecil yang sejak tadi selalu menempel pada Kia.

"Om! Lagi sibuk kayaknya, benerin apa?" sapa Rafa sambil duduk di depan Om Hartono.

"Eh, nak Rafa. Ini lho speakernya kayaknya rusak deh. Lagi coba Om benerin tapi kok ya ga nyala-nyala padahal nanti malem kan mau di pake." sahut Om Hartono sambil menatap Rafa sebentar sebelum kemudian kembali sibuk pada aktifitasnya.

Rafa melihat jam yang melingkar di tangannya, jam sudah menunjukan waktu 5 sore, semakin dekat ke acara pengajian nanti malam sehabis Isya dan speaker yang akan dipakai nanti malah rusak.

"Coba sini Rafa yang betulin Om, kali aja bisa." Rafa menawarkan diri.

"Yakin kamu bisa?"

Dengan cepat Rafa mengangguk sambil tersenyum.

"Ya udah ni coba, Om sudah hampir 3 jam benerin tapi ga bisa-bisa. Lumayan capek juga." sahutnya sambil tertawa dan memberikan speaker itu pada Rafa.

"Sip, Om. Semoga sama Rafa bisa ya."

"Ya sudah Om mau bantuin yang lain dulu ya." pamitnya sambil menepuk bahu Rafa pelan kemudian meninggalkan Rafa di sudut ruangan itu.

Rafa hanya mengangguk. Beberapa saat dia fokus mencoba membetulkan speaker itu, seolah lupa bahwa kedatangannya ke sini adalah untuk menemui Gia. Sampai tiba-tiba Gia datang sambil membawa segelas kopi susu dan duduk di depannya.

"Emangnya lo bisa benerin ini?"

Rafa mengangkat wajahnya, menghentikan sebentar aktifitasnya dan menatap wanita di depannya yang sudah mulai membaik dari beberapa hari yang lalu, matanya juga sudah tak sesembab kemarin.

"Eh Gia." sapanya sambil tersenyum, "ga yakin sih, tapi nyoba aja dulu. Soalnya Om Tono tadi benerin ga bisa-bisa katanya udah 3 jam." lanjutnya.

"Nah itu yang gue heran, Om aja ga bisa masa lo bisa?" Gia meledek karena sejak beberapa menit yang lalu dia memerhatikan Rafa dari dapur dan pria itu cukup terlihat kebingungan.

"Ya kalau ga bisa juga kita beli baru aja gimana? Eh iya ini gue minum ya." tanya Rafa saat melihat segelas kopi susu di depannya.

"Minumlah, emang gue bikin ini buat siapa lagi kalau bukan buat lo." sahut Gia.

Rafa tak menjawab ucapan Gia sebab sedang meminum kopi susu buatan Gia yang kini jadi favoritnya sejak seminggu yang lalu, walaupun Rafa tahu ini pasti kopi kemasan tapi tetap saja rasanya beda jika Gia yang membuatnya.

"Jadi gimana?" tanya Rafa saat sudah selesai minum dan menaruh gelas kembali di depannya.

"Gimana apa?"

"Beli baru, yuk. Mumpung masih ada waktu. Cari toko deket-deket sini aja. Gue ga bisa benerin deh kayaknya, nyerah."

"Ga usah, udah biarin ga usah pake speaker juga ga masalah."

"Lho ya kasian dong Pak Ustadnya nanti Gi, harus teriak-teriak masa. Yukk..."

"Gue ga mau ngerepotin lo terus, Raf." sahut Gia, suaranya pelan dan terdengar lemas.

Rafa memang selalu ada untuknya sejak hari di mana Gia bahkan mengira Rafa tak akan pernah kembali sebab perasaannya mengatakan seperti itu saat melihat Rafa bersama Risa. Tapi, Tuhan ternyata mendengar hati kecilnya, Rafa kembali dan tak pernah meninggalkannya sejauh ini. Selalu ada ketenangan yang Gia rasakan saat sedang bersama dengan Rafa, sikapnya begitu lembut dan penuh perhatian meski bahkan mereka tak saling kenal awalnya, dan itu membuat Gia merasa nyaman, entah bagaimana dengan Rafa, Gia tak tahu.

"Gi, gue kan udah bilang. Gue bakal selalu ada buat lo, gue tau kita emang baru kenal tapi lo ga usah canggung untuk minta tolong ke gue kapanpun itu."

"Tapi, Raf..."

"Gia..." Rafa menyebut nama Gia begitu lembut sambil menatap tepat pada dua bola mata sayu di depannya, mencoba menjelaskan ketulusannya lewat tatap mata dan semoga Gia mengerti itu.

"Okay-okay, ayo beli baru." ajak Gia akhirnya.

Rafa tersenyum, "nah gitu dong. Yuk!"

Kemudian mereka menghampiri Ibu yang sedang berkumpul bersama kerabatnya di ruang keluarga untuk pamit.

"Kakak Gia mau kemana? Lala ikut boleh?" tanya Lala yang sedang duduk di pangkuan Ibu.

"Udah sore banget La, Vanilla di rumah aja sama Oma sama yang lainnya ya, kan rame tu banyak temennya juga. Nanti Kak Gia beliin es krim, okay?" sahut Gia mencoba membujuk Vanilla.

"Beneran ya es krim?"

"Beneran dong!"

"Okay, deh. Lala tungguin ya es krimnya. Lala boleh makan es krim kan, Oma?" tanya Lala pada Ibu yang hanya di jawab dengan anggukan sambil tersenyum.

Gia mengusap kepala Lala sambil tersenyum saat melihat anak itu begitu girang diizinkan makan es krim. Kemudian dia mengajak Rafa keluar untuk segera mencari speaker baru karena sebentar lagi akan magrib, mereka langsung pergi menggunakan motor Rafa. Tak perlu terlalu jauh mencari sebab di dekat rumah Gia memang ada sebuah toko elektronik, mereka segera membelinya dan setelah itu kembali pulang. Tapi, belum sampai rumah tiba-tiba suara adzan magrib sudah terdengar. Gia meminta untuk menepi dulu sambil menunggu adzan selesai, mereka menepi di depan sebuah toko yang tutup.

Gia diam di tempatnya, memerhatikan langit yang menguning mulai berubah warna menjadi lebih gelap, Rafa tidak tahu apa yang sedang dipikiran wanita itu.

"Itu anak kecil tadi namanya Vanilla?" tanya Rafa membuyarkan lamunan Gia. Lagipula dia juga heran karena baru menemukan kalau sebuah essence rasa bisa di jadikan nama untuk manusia.

Gia menoleh sebentar kemudian mengangguk, "iya, Ibunya suka banget sama Vanilla. Aneh ya?"

"Lebih ke unik sih."

Gia tak menjawab, dia kembali diam menatap lurus ke depan entah apa yang sedang dia lihat.

"Lo baik-baik aja, kan?" tanya Rafa yang menyadari perubahan Gia di rumah dan di luar rumah, jika di rumah dia terlihat lebih ceria mungkin karena banyak saudaranya, berbeda dengan sekarang, dia jadi lebih banyak diam.

"Baik kok." sahut Gia singkat.

"Sama Kia baik?"

Mendengar nama Kia di sebut, Gia langsung menoleh dan menghadap Rafa.

"Salah ga kalau gue marah selama ini sama dia?"

"Ga bisa dibilang salah juga sih, tapi kasian aja kalau lo terus-terusan diemin dia dan ga dengerin penjelasan Kia."

"Kafa emang ga ada cerita apa-apa soal dia sama Kia?"

"Ga ada, kenapa?"

"Waktu itu dia pake baju Ayah dan gue curiga."

"Yang gue tau kenapa dia pake baju Ayah itu karena posisinya waktu itu hujan, Gi."

"Tapi kan Kafa bawa mobil, gimana bisa kehujanan?"

"Ya makanya lo tanya langsung sama Kia biar lo tau yang sebenernya, kalau lo tanya gue sekarang gue ga tau. Kafa cuma cerita gitu aja."

Gia menghela napas mendengar penjelasan Rafa. "Gue cuma ga mau dia ngulangin kesalahan yang sama aja." ucapnya pelan.

"Kesalahan yang sama?" Rafa mengulangi ucapan Gia, tidak mengerti maksud wanita di sampingnya ini.

Gia diam tak menjawab, belum saatnya Rafa tahu yang sebenarnya. Apalagi Kafa yang terlihat menyukai Kia walaupun pria itu sampai sekarang masih tidak dibolehkan untuk menemui Kia karena alasan entah apa, Gia pun tak tahu. Hanya Kia yang tahu.

Saat menunggu Gia menjawab pertanyaannya, ponsel Rafa tiba-tiba berbunyi, nama seseorang tertera di sana. Awalnya Rafa mematikan panggilan telepon itu, tapi detik berikutnya orang itu kembali menelepon dan begitu seterusnya sampai beberapa kali.

"Angkat Raf. Siapa tau penting." suruh Gia yang risih juga mendengar ponsel Rafa yang bunyi terus, dia tak tahu itu panggilan dari siapa tapi sepertinya penting.

"Okay, tunggu ya." sahut Rafa sambil menjauh dari Gia beberapa meter dan mengangkat telepon itu.

☔☔☔

Risa berdiri di depan pintu apartemen seseorang, setelah dua hari yang lalu dia mencoba menghubungi pria ini tapi tak mendapat respon apapun, akhirnya dia memutuskan untuk langsung menemuinya. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri dari segala kekacauan yang hanya dia yang merasakan tanpa tahu harus berbagi pada siapa soal masalah cukup besar yang sedang dia hadapi sebelum akhirnya mulai mengetuk pintu bercat putih gading itu, angka 265 berwana merah bertengger tepat di depannya.

Beberapa ketukan tak mendapat respon apa-apa, sampai Risa mengetuknya sedikit lebih keras dan pintu itu terbuka. Pria yang dia cari sejak dua hari lalu muncul di sela pintu.

"Buka!" suruh Risa sambil mendorong pintu agar terbuka lebih lebar.

Kini posisi mereka sekarang berhadapan, Risa menatap pria itu dengan tatapan marah sementara yang ditatap justru terlihat santai.

"Lo mau lari dari tanggung jawab?!" tanya Risa akhirnya, matanya mengikuti gerak pria itu yang kini berjalan menjauh dari Risa.

"Lo yakin itu anak gue?" tanya pria itu ragu sambil terus berjalan menuju konter dapur, kemudian membuka kulkas dan mengambil minuman dari sana.

"Maksud lo?! Lo kira gue cewek apaan, Den! Ini jelas anak lo!!" sentak Risa kesal, merasa dihina oleh pertanyaan Alden yang terkesan ambigu.

"That night was the first time we had sex. How did you get pregnant? Ga masuk akal, Risa. Minum dulu nih." Alden menyodorkan sekaleng bir dingin pada Risa.

Risa menepis kaleng bir itu sampai jatuh ke lantai, sementara Alden melihat ke arah bir yang jatuh itu kemudian menatap Risa kesal. Dari tadi dia sudah berusaha setenang mungkin menghadapi Risa tapi wanita di depannya ini ingin bermain-main rupanya.

Napas Risa memburu menahan emosi, apalagi Alden menawarkan bir yang sama seperti malam saat kejadian itu yang membuatnya jadi melakukan kesalahan besar tanpa sadar sebab pengaruh alkohol, hubungannya dengan Rafa bahkan harus kandas dan sekarang pria di depannya ini meragukan kehamilannya.

"Dimana ga masuk akalnya? Bisa aja waktu itu gue lagi dalam masa subur dan sekarang buktinya gue bener-bener hamil anak elo, Den!! Gue hubungin dari dua hari yang lalu tapi lo ga ada respon gue apapun, lo ga akan bisa lari dari tanggung jawab karena gue bakal terus ngejar lo!!" bentak Risa.

Alden tersenyum sinis, sehebat apa seorang Risa sampai tak bisa membuatnya lari dari tanggung jawab? Bahkan setelah dua hari dia tak merespon wanita itu sebagai jebakan agar Risa menemuinya di sini saja sudah berhasil, Risa yang bodoh bahkan tak bisa membaca itu.

"Hebat!" Alden bertepuk tangan sambil berjalan ke arah pintu dan dengan cepat menguncinya, dia berdiri bersandar pada pintu dan menyembunyikan kunci di saku celananya.

"Lo bahkan lebih bodoh dari yang gue kira, Risa! Lo pikir gue ga respon lo dua hari biar apa? Biar lo ke sini dan biar gue bisa gugurin tu anak yang ada di perut lo!" kini Alden berjalan mendekat ke arah Risa, sementara Risa mundur selangkah setiap kali Alden semakin dekat ke arahnya. Wajah marahnya kini berubah menjadi pucat dan matanya berkaca-kaca sebab sangat takut dengan ucapan Alden barusan.

Bagaimana pun dia tak ingin menggugurkan kandungannya, hal yang dia lakukan bersama Alden malam itu saja sudah jadi dosa besar dalam hidupnya. Lalu, jika sekarang dia harus menggugurkan ini dia tak akan mau.

Alden menarik Risa ke dalam kamar, dia mendorong tubuh Risa cukup keras ke arah kasur kemudian meninggalkan Risa sebentar untuk mengambil sesuatu. Risa yang melihat Alden keluar langsung mengambil ponsel yang ada di tasnya kemudian mulai menelepon seseorang tapi berkali-kali selalu di tolak sampai akhirnya di angkat tapi Alden keburu datang dan mematikan telepon itu kemudian membanting ponsel Risa sampai hancur dan saat itu juga Risa tahu kalau dirinyalah yang tak akan bisa lari dari Alden sekarang.

Continue Reading

You'll Also Like

3.6M 175K 64
[SEBELUM BACA YUK FOLLOW DAN VOTE SETIAP CHAPTER SEBAGAI BENTUK PENGHARGAAN BUAT AUTHOR YANG CAPE CAPE MIKIR ALURNYA, YA WALAU MUNGKIN ADA YANG GAK M...
637K 30.1K 46
selamat datang dilapak ceritaku. 🌻FOLLOW SEBELUM MEMBACA🌻 "Premannya udah pergi, sampai kapan mau gini terus?!" ujar Bintang pada gadis di hadapann...
1M 52.6K 69
Mendengar namanya saja sudah membuat Wilona bergidik ngeri, apalagi bertemu dengan sosoknya langsung. Mungkin Lona akan kabur begitu melihat bayangan...
322K 587 28
Putri harus melanjutkan kuliahnya di kota, dia memutuskan untuk pergi ke rumah sepupunya. awalnya berjalan baik hingga saat setelah Putri menitipkan...