Heavy Rainfall

By Salmadmynti

2.1K 373 60

Tentang dua pasang anak kembar dengan permasalahannya masing-masing dan hujan selalu terlibat dalam rasa sedi... More

SATU
DUA
TIGA
EMPAT
ENAM
TUJUH
DELAPAN
SEMBILAN
SEPULUH
SEBELAS
DUABELAS
TIGABELAS
EMPATBELAS
LIMABELAS
ENAMBELAS
TUJUHBELAS
TUJUHBELAS (A)
DELAPANBELAS
SEMBILANBELAS
DUAPULUH
DUAPULUH SATU

LIMA

163 29 8
By Salmadmynti

Kia turun dari mobil menggunakan payung yang ada dalam mobil Kafa, hujan deras masih terus mengguyur kota Jakarta malam itu. Kia berjalan pelan menuju gerbang rumahnya, tangannya mengulur pada kunci pagar yang tidak di gembok itu, mencoba menggeser kunci dari celah pagar tapi ternyata pagar yang sudah cukup berkarat membuat kunci kadang jadi macet dan sulit dibuka.

Kafa memerhatikan di dalam mobil, menunggu Kia membuka pagar tapi sepertinya wanita itu kesulitan. Kemudian dia memutuskan untuk keluar dari mobil dan menghampiri Kia, tubuhnya seketika langsung basah sebab dia tak memakai payung.

"Kenapa, Ki?" tanya Kafa sedikit keras karena hujannya cukup deras.

Kia berbalik badan dan mendapati Kafa sudah basah kuyup di belakangnya karena kehujanan.

"Ya ampun, Kaf. Ngapain lo keluar? Jadi basah kan!" sahut Kia sambil mendekat ke arah Kafa dan memayungi Kafa, tapi dengan lembut Kafa mendorong Kia menjauh.

"Udah terlanjur basah, Ki. Lo aja yang pake payung. Ini kenapa? Susah di buka?" tanya Kafa sambil sedikit merunduk dan mengulurkan tangan ke sela pagar mencoba menggeser kunci pagar.

"Ini bisa?"

"Tadi ga bisa, keras banget. Emang suka gitu sih kadang." sahut Kia.

"Ya udah lo masuk gih, gue markirin mobil dulu." suruh Kafa.

"Gue aja yang markirin boleh ga? Daripada mobil lo jadi basah."

"Lo bisa bawa mobil?" tanya Kafa ragu.

Kia diam, tak langsung menjawab. "Hmm. Kayaknya sih," sahutnya ragu.

"Ki..." Kafa memicingkan matanya menatap Kia yang justru malah tertawa cukup keras.

"Hahaha, gue bisa kok bawa mobil. Mana kuncinya?"

Kali ini, Kafa juga tak langsung menjawab. Dia tersenyum melihat Kia yang tertawa, bibir dan matanya terlihat kontras, yang satu terlihat sembab sebab menangis begitu lama sedangkan yang satunya terlihat begitu lebar tersenyum hingga gigi-gigi rapi wanita di depannya ini terlihat, di bawah hujan, Kafa bersyukur karena Kia bisa sebahagia ini untuk waktu yang sementara tapi tak apa, setidaknya Kafa bisa melihat sisi lain dari Kia yang cukup ceria dan lucu.

"Kuncinya masih di dalam kok." sahut Kafa akhirnya.

"Okay, lo masuk duluan ya. Tungguin aja di teras." suruh Kia sambil berjalan menuju pintu kemudi di sebelah kanan kemudian masuk dan mulai menjalankan mobil dengan Kafa yang membuka pagarnya lebih lebar.

Memasuki rumah melalui pintu belakang, Kia langsung menyuruh Kafa mandi di kamar mandi bawah sedangkan dia menuju kamar Ayah untuk mengambilkan Kafa baju untuknya salin.

Dia menaruh baju Ayah di atas meja makan, kemudian dia menuju dapur untuk membuat teh hangat, setelah selesai dia duduk di meja makan menunggu Kafa selesai membersihkan dirinya.

Beberapa menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka sedikit dan tangan Kafa menjulur keluar dari dalam. "Baju, Ki." ucap Kafa.

Kia berdiri dari tempatnya kemudian berjalan ke arah kamar mandi dan memberikan baju pada tangan Kafa, setelah itu dia kembali duduk dan menunggu Kafa.

Di luar, hujan turun semakin deras. Kini bahkan di sertai dengan angin yang cukup kencang dan juga gelegar petir yang saling menyahut serta kilat yang terus menyambar entah apa. Kia memerhatikan itu semua dari jendela yang ada di dapur, langit sepertinya sedang menangis begitu hebat, entah menangisi seseorang atau mungkin seseorang yang tengah menangis begitu hebat dan hujan mewakili perasaannya saat ini, tidak ada yang tahu.

"Ki..."

Suara berat Kafa membuyarkan lamunan Kia dan dia langsung menoleh ke arah sumber suara. Kemudian tersenyum begitu melihat Kafa dengan baju Ayahnya yang terlihat sangat pas di badannya.

"Udah kelar? Lo minum dulu nih biar anget." suruh Kia memberikan Kafa segelas teh hangat.

Tanpa membantah, Kafa mengambil dan mulai meminumnya sedikit-sedikit. Seketika, tubuhnya langsung terasa hangat.

"Lo ga mau ganti baju? Baju lo juga agak basah, kan Ki?" tanya Kafa.

"Ya mau, tadi kan gue nungguin lo dulu. Ya udah gue ganti baju dulu ke kamar ya, lo tunggu aja di ruang tamu atau di ruang keluarga, mau nonton tv mau jungkir balik terserah lo, anggap aja rumah sendiri." jelas Kia.

"Yakin? Berarti gue boleh dong masak mie?"

"Lo laper? Ya udah gue bikinin mie dulu ya," ucap Kia.

"Eh-eh gue becanda, Ki." cegah Kafa.

"Serius?"

Kafa langsung mengangguk. "Lagian gue bisa masak sendiri kalau mau. Ini kan rumah gue," sahut Kafa sambil tertawa.

Kia ikut tertawa, "Ya udah gue ke kamar dulu ya."

"Kamar lo di?"

"Di atas."

"Okay."

Kafa berjalan menuju ruang keluarga dan matanya melihat sekeliling ruangan itu. Sebuah foto lumayan besar terpampang di tembok atas sofa, sepasang suami istri dan dua anak perempuan yang sangat mirip, wajah serta bajunya pun sama. Kafa mendekat dan melihat lebih seksama lagi dua orang itu, salah satu dari mereka terlihat seperti Kia. Lalu yang satunya? Mungkinkah Kia juga kembar seperti dirinya?

Kafa mengalihkan lagi pandangannya pada dua bingkai foto yang terpampang di sisi kiri dan kanan tv, Kafa mendekat dan mengambil salah satu dari foto itu kemudian kembali memerhatikan foto itu. Dia tidak tahu foto yang dipegangnya ini Kia atau saudara kembarnya, Kafa tidak bisa membedakannya.

Saat sedang fokus melihat-lihat foto keluarga ini, tiba-tiba saja Kia berteriak dari kamarnya memanggil Kafa. Dengan segera Kafa menuju lantai dua, mencari Kia dari arah sumber suaranya.

"Kia, lo di mana?" tanya Kafa karena dia melihat ada dua kamar di lantai dua ini.

Salah satu pintu itu terbuka, dan terlihat wajah panik Kia di balik pintu itu.

"Di sini, Kaf. Tolongin gue! Ada kecoa di kamar gue!" Kia panik.

Kafa menghela napas, dia kira ada sesuatu yang terjadi tapi ternyata hanya seekor kecoa yang membuat Kia jadi sepanik ini.

Dengan segera, Kafa memasuki kamar Kia. Dominasi warna cokelat langsung terlihat oleh pandangannya. Beberapa boneka tertata rapi di atas kasurnya, sebuah bingkai foto terletak di atas meja belajarnya dengan dua wanita berada dalam potret itu yang membuat Kafa semakin yakin kalau Kia memang punya saudara kembar.

"Di mana, Ki?" tanya Kafa mengedarkan pandangannya.

"Di atas lemari gue tadi." sahut Kia.

Kafa langsung berjalan mendekat ke lemari Kia dan Kia mengikutinya dari belakang, Kafa berusaha berjinjit untuk mencari keberadaan kecoa itu tapi tidak dia temukan.

"Ada sapu atau apapun yang bentuknya panjang ga, Ki?" tanya Kafa sambil berbalik tapi, karena tubuh Kia berdiri terlalu dekat dengan Kafa menyebabkan Kia jadi terdorong ke atas kasur dan Kafa ikut terjatuh di atas tubuh Kia.

Wajah mereka kini sangat dekat, hembusan napas dari keduanya bahkan sangat terasa. Mata keduanya saling bertatapan dan Kafa melihat pancar yang sulit diartikan dari mata sembab wanita di depannya ini.

Entah siapa yang memulai, mereka berdua sudah semakin mendekatkan wajahnya sampai bibir mereka menempel. Entah Kia atau Kafa yang mulai, yang jelas sekarang mereka sudah saling berpagut, seketika rasa hangat langsung mengaliri tubuh mereka berdua.

Bersamaan dengan suara gelegar petir yang terdengar, Kia yang terkejut langsung melepaskan ciuman mereka, kemudian dengan erat memeluk tubuh Kafa yang masih berada di atas tubuhnya.

"You want do it?" bisik Kafa lirih.

Kia mengangguk pelan dalam dekapan Kafa, dan malam itu ditemani hujan yang masih terus turun. Dua pasang manusia itu saling memberi kehangatan yang lebih dari sekadar ciuman yang tadi.

☔☔☔

Sinar matahari dari sela jendela kamar Kia yang terbuka membuat Kafa terbangun, menutupi matanya dengan tangan dari silauan yang cukup menyengat, Kafa melirik ke arah sebelahnya. Seingatnya semalam, Kia tertidur dalam pelukannya.

Semalam Kafa ingat betul mereka melakukan sesuatu yang baru pertama kali Kafa lakukan tapi Kafa bisa tahu kalau itu bukan yang pertama bagi Kia.

Kafa melihat sekeliling kamar, mencari keberadaan Kia tapi jangkauan matanya tak mendapati Kia dalam kamar ini, akhirnya Kafa bangun dan keluar kamar mencari Kia, mencari ke semua ruangan yang ada di rumah ini tapi dia tetap tidak menemui Kia.

Perasaan khawatir mulai menggelayuti hatinya, sampai akhirnya keluar rumah dan melihat pintu mobilnya terbuka dan Kia ada di dalam sana, duduk di bangku penumpang bagian depan sambil membaca sesuatu di ponselnya dan menangis, Kafa tak tahu penyebabnya apa.

Dengan segera Kafa menghampiri Kia, masuk lewat pintu kemudi dan duduk menghadap Kia.

"Ki? Are you ok?" tanya Kafa khawatir, tangannya mengulur untuk menarik Kia dalam dekapannya. Tapi, Kia menolak, tangisnya malah semakin jadi dan Kafa semakin bingung sebenarnya apa yang terjadi.

"Ki, kenapa?" tanya Kafa lagi.

Apakah karena kejadian semalam? Tapi, rasanya tidak mungkin karena Kia justru yang terlalu menginginkannya.

"Ayah meninggal." sahutnya singkat, tangisnya ditahan saat dia mengucapkan itu dan wajahnya sama sekali tak melihat ke arah Kafa.

"Innalillahi, terus sekarang mereka dimana? Di rumah sakit? Gue anter ya." ujar Kafa tanpa menunggu jawaban Kia, dia langsung menyalakan mobil dan mulai berjalan menuju rumah sakit. Persetan dengan keadaannya dan Kia yang masih berantakan, Kafa tak peduli, yang dia tahu sekarang adalah dia harus mengantarkan Kia ke rumah sakit.

Di sepanjang perjalanan, Kia sama sekali tak bicara dan juga menatap Kafa. Sampai tiba di rumah sakit, dia langsung keluar dan masuk ke dalam rumah sakit dengan langkah cepat sampai Kafa sedikit susah mengikuti langkah Kia.

Sesampainya di depan kamar jenazah, Kafa langsung melihat seorang wanita paruh baya dan perempuan seumur Kia duduk di bangku yang ada di lorong rumah sakit itu dengan tangis yang cukup keras, seorang pria berdiri tak jauh dari mereka dan Kafa mengenali pria itu.

"Bu, Gi." panggil Kia dan seketika dua wanita itu langsung menoleh, tak ada yang berhenti menangis tapi yang dipanggil Gi oleh Kia langsung berdiri, Kafa bisa melihat raut marah di sela tangisnya itu.

Tanpa aba-aba, wanita yang mirip dengan Kia itu langsung menampar Kia cukup keras.

"Lo kemana dari semalem hah? Gue teleponin lo puluhan bahkan ratusan kali tapi elo ga ngangkat!! Semalem Ayah sempet sadar dan selalu manggil-manggil elo sampe akhirnya kritis lagi dan elo tetep ga ada! Anak kesayangannya ga ada di saat-saat terakhirnya!!!" teriak wanita itu dengan keras.

Yang ditampar hanya diam dan terus menangis, mendengar penjelasan Gia barusan membuat hatinya tiba-tiba mencelos, sakit, sesak, hancur semua menjadi satu. Kia menyesal, kalau saja dia tak lupa niatnya pulang semalam untuk apa, dia pasti bisa melihat Ayah untuk yang terakhir kalinya.

Tapi sayang, hujan yang cukup deras, ponsel yang tertinggal di dalam mobil Kafa dan kejadian semalam bersama Kafa membuatnya lupa kalau di rumah sakit ada Ayah, Ibu dan Gia yang menunggunya.

Gia kembali memeluk Ibu dan menangis di sana setelah sebelumnya menatap sinis pada Kia dan pria di sampingnya yang terlihat berantakan bahkan pria itu memakai baju Ayah. Mungkinkah saat Ayah sedang kritis Kia malah mengajak seorang pria ke rumah? Sementara Kia mematung di tempatnya berdiri saat melihat Ibu juga enggan bergerak menghampiri apalagi memeluknya, mungkin Ibu ikut kecewa seperti Gia. Tapi sungguh, Kia juga ingin menangis dalam pelukannya.

Kia akhirnya memutuskan untuk berjalan mendekat ke arah Ibu dan Gia, mencoba bergabung dalam pelukan mereka tapi mereka tak menyambut Kia dengan baik, Kia akhirnya hanya menangis sambil berlutut di depan Ibu dan Gia yang tak menghiraukannya.

Kafa yang melihat itu langsung mendekat dan memeluk Kia dari belakang, tak ada penolakan dari Kia kali ini, justru tubuhnya jadi melemas dan menyandarkan dirinya pada tubuh tegap Kafa yang memeluknya sambil terus menangis memanggil Ayah.

Hujan yang turun begitu lebat disertai angin dan petir juga kilat semalam ternyata adalah tanda bahwa Ayah sudah tiada, Kia yang bodoh tak menyadari bahwa alam bisa saja memberi tanda untuk suatu hal yang buruk.

Continue Reading

You'll Also Like

4.2K 244 10
Cinta memang aneh, baru pertama melihatnya langsung jatuh cinta Dia bisa merubah pola hidupku, disaat aku merasa kehilangan dia datang disaat yang te...
567 58 3
"Bagaimana cara menyatakan suka yang berbeda dari yang lain?" Jeon Jungkook, remaja 17 tahun dengan perasaan yang sedang menggebu-gebu. "Jeon Jungkoo...
1.9K 176 24
Selesai : November 2019 Ini hanya sebuah kisah klasik. Tentang hati yang terus bertualang, hingga akhirnya tersesat dalam labirin kesakitan. Dan menj...
2.6K 518 10
[BUKAN TURUNAN dari Jam Kosong with UN1TY yak!] - fanfiksi; humor Minggu tenang itu ibarat kata adalah jeda nyamannya anak sekolah. Ini adalah suatu...