Replayed [UNDER SERIOUS EDITI...

By dragxns

9.3K 593 55

HEY GUYS IM EDITING THE STORY SO IT MIGHT BE A BIT WEIRD FOR A WHILE SORRY! [5 Seconds of Summer and One Dire... More

Chapter 00 - Thief
Chapter 01 - Luke
Chapter 01 ½ - Fruit Pies
Chapter 2 - Dust
Chapter 3 - Daydream
Chapter 4 - Adriall
Chapter 4½
Chapter 5
Chapter 6 - Adriall
Chapter 7 pt. 1 - Adriall
Chapter 7 pt. 2 - Who's Cal?
Chapter 8 pt. 1
Chapter 8 pt. 2
Chapter 9
Chapter 9½
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14½
Author's apology and announcement

Chapter 14

222 23 3
By dragxns

[dedicated to my parabatai because she cried reading the previous chapter lmao]

**

Adriane’s POV

Sejak kapan Calum menjadi my gal pal 24/7? Benarkah aku tak pernah melihatnya sebelum waktu di pantai? Dia sepertinya ada dimana-mana. Dan itu menjengkelkan.

“You need to stop acting like a zombie, Ad, you’re smart and pretty—you’ll get someones heart eventually when you start open up to them,” cerocosnya sementara aku memasukkan buku-bukuku ke dalam tas pinjaman dari Sheila.

“I’m not in the mood, Calum.” Kataku sembari membungkuk untuk mengambil pulpen yang jatuh. “I’m warning you.”

Dia masih saja berbicara. “No, seriously—find someone else. Or if you can’t, I’m always here. I’m definitely hotter than Niall.”

Aku menegakkan badanku dan memutar mata. “Calum, to me you look like a freaking chimpanzee.”

“Geez Ad, I was just kidding!”

“Well, I wasn’t.”

His expression was priceless. Kami masuk ke dalam lift yang agak penuh. Aku melihat mulutnya membentuk kata-kata fuck-you-ad sebelum dia menelan ludah dan memelankan suaranya.

“Well, what I’m trying to say is, you need to get over him and move the fuck on!” bisiknya ke telingaku.

“What I’m trying to say is you need to stop telling me what to do,” balasku.

Calum terdiam sesaat. “Yeah, sorry Ad, it was a mess. Sorry,” he frowns.

Kami sampai di lantai satu, bahuku terdorong oleh seseorang yang mendesak kami maju dari bagian belakang lift dan aku terhuyung ke depan. Calum memegangi sikuku, menyeimbangkanku.

“It’s okay, Cal. Thanks for trying,” aku tersenyum miring. Kami berbelok dan berjalan menuju pintu utama gedung kampus kami.

“Anytime.” Balasnya. Terjadi keheningan selagi kami berjalan bersisian menuju tempat parkir, jaraknya lumayan jauh. Di jalan, aku berhenti sebentar untuk mengobrol dengan temanku Kara, dan mengenalkannya pada Calum. Keadaan menjadi sedikit canggung ketika Kara menanyakan Niall, tapi aku diselamatkan Calum, yang mengajak Kara makan siang, untuk formalitas saja. Kara menolak.

Setelah kami berpisah dengan Kara, aku berdeham. “You know—you’re probably right. It’s just… Easier to said than done.”

Calum mengangguk mengerti.

“Sebenarnya… aku belum pernah pacaran sebelumnya.”

“Apa? Tidak satu kalipun? Apakah sebelumnya kau lesbian?!”

Aku menonjok bahunya yang berotot keras-keras. It’s not very effective… Okay, this sounds like pokemon now.

“Bukan gitu…” aku menghembuskan nafas keras-keras. Akhirnya aku menceritakan keseluruhan cerita dari awal aku bertemu Niall sampai sekarang, tapi meninggalkan bagian dimana ciuman Ashton sebenarnya ciuman pertamaku. Ketika aku selesai, kami sudah sampai di tempat parkir.

Calum menatapku dengan ekspresi bersalah. “Aku minta maaf soal Ashton. Dia memang susah ditebak kadang-kadang.” Dia mengeluarkan kunci mobil dari saku jeansnya. “Dan ngomong-ngomong soal Ashton… dia ada di belakangmu sekarang.”

Aku sontak berbalik. “What the hell?!” Aku berteriak ke depan mukanya yang datar. Untunglah saat itu keadaan tempat parkir sepi.

“Dia akan ikut pulang denganku. Maaf, Adriane.”

Pikiranku memberontak, memikirkan sentuhan bibir Ashton, bau alkohol, jari-jarinya di bawah daguku…

PLAK! Tamparanku mendarat di pipi Ashton yang seketika memerah. Aku merasakan tangan Calum pada bahuku, memaksaku mundur. Aku tidak mendengar suaranya, tinjuku mengepal. Ashton menghindari tatapan mataku, ekspresinya masih datar, tapi otot pipinya berkedut sekilas ketika ia menggertakkan gigi. Jari-jarinya yang panjang mengeratkan cengkeraman pada tali ranselnya.

“Adriane,” suara Calum melembut. Aku tidak bisa berkata-kata, hanya diam memelototi Ashton yang menatap tanah. “Ad, dia disini buat bicara, at least dengerin dia dulu.”

“Mau bilang apa? Malu? Nyesel? Udah bertindak bodoh?” semburku.

“I told you this won’t work.” Ashton berbicara. Lalu aku sadar itu bukan untukku, tapi ditujukan pada Calum. Aku semakin marah. Dia pikir aku tidak bisa diajak bicara? Dia pikir aku tidak akan—oh, benar juga.

“Ya sudah, I’m listening. But not for long, because I have stuff to do, and if you waste my time any longer than I allow you to, I will kill you,”

Ashton menarik nafas cepat. Tangannya diselipkan ke saku. “Look, Adriane, I want to apologize for what happened at the club,”

“Kamu pikir semudah itu? You can’t just say sorry and then everything will go back to normal!”

“Apa lagi yang kamu mau aku lakukan selain minta maaf?” Ashton ikut-ikutan meninggikan suaranya.

“Apa kamu bahkan tahu sekarang Niall dimana? Kami bertengkar tepat sebelum tournya, gara-gara kamu!”

 “Apa masalah besarnya sih? It was just a kiss, Ad. I was drunk and wasn’t thinking—”

Mataku berkaca-kaca. “You don’t understand… it was my first kiss.”

Ekspresi Ashton malah lebih kaget dari Calum tadi. “What do you mean it was your first kiss?”

“It. Was. My first kiss. Like the very first. Like I have never kissed anyone before,” aku mengalihkan pandangan.

“But you were a good kisse—“

Calum menutup mulut Ashton, tapi terlambat. Beban seluruh dunia, beban yang ditanggung Atlas baru saja jatuh menimpaku.

“Did I… did I kiss you back?” Suaraku terdengar seperti suara orang lain. Calum menatap Ashton. Ashton menatapku.

This is it. Aku akan mati perlahan karena rasa bersalah.

“Yes, you did.”

Ashton’s POV

“Next song? Or that’s all?”

Calum membuka tutup botol air mineralnya dan meneguk banyak-banyak. Aku mengikutinya. Lalu kutaruh botol itu di tempat biasanya, di dekat kakiku. Aku memutar-mutar stik drum di jari-jariku sambil menunggu keputusan siapapun. Akhirnya Michael memainkan intro What I Like About You. Tanpa harus dikomando aku langsung mulai bermain drum.

That's what I like about you

You hold me tight

Tell me I'm the only one

“Fuck!” Sial. Sepertinya aku menggebuk drum terlalu keras. Jari manis kananku tergores pinggiran drum sampai berdarah, sobek tapi tidak terlalu dalam. Michael, Luke, dan Calum sontak berhenti dan melihat ke arahku. Aku mengacungkan jariku yang luka. Luke mengeryit.

“Ouch, dude. Does it hurt?” Michael bertanya.

“Of course it does you moron”

“Jadi bagaimana?” Luke meletakkan gitarnya di sofa berlapis kulit warna merah tua.

“Kalian teruskan saja. Aku tidak akan ikut, kecuali kalian mau aku main hingga berlumuran darah,”

Luke dan Calum bertukar pandang, lalu mereka menatap Michael, dan ketiganya menatapku. “Ya sudah, latihan hari ini selesai.” Kata Luke final. Aku mengangkat bahu minta maaf.

“Ada yang mau pizza?” Michael mengusulkan.

Aku melengos pergi ke arah kamar mandi dan melepas kaus kakiku dengan satu tangan. Rasanya perih ketika air membasuh lukaku. Kemudian aku melongok ke dalam kotak p3k dan, untunglah, menemukan segulung perban. Dengan cepat aku memerban jariku tebal-tebal. Semoga saja lukanya bisa sembuh dengan cepat.

Setelah itu aku duduk di sebelah Calum di sofa merah. Aku teringat kejadian kemarin. Setelah aku memberitahu Adriane dia menciumku balik, cewek itu langsung menangis. Padahal aku tidak berbohong. Calum mengantarnya pulang.

Rasanya aneh juga merampas first kiss seseorang yang bahkan bukan pacarku. Tiba-tiba aku merasakan handphoneku bergetar.

Telepon… dari Sophie?

“Halo?”

Hening, hanya terdengar suara bip-bip-bip tidak jelas dan suara tangis. “…Ashton?”

Aku berdiri. Calum memandangku dengan aneh. “Sophie? Apa yang terjadi?”

“Ash… June kecelakaan, mobil rusak parah, aku di rumah sakit, tidak boleh masuk, apa yang harus aku lakukan, maafkan aku, aku tidak tahu harus menghubungi siapa lagi, orangtua June sibuk, asuransi—“

“Ssh… tenanglah,” kataku lembut.

Sophie terdiam di ujung sana, terdengar suaranya menyedot hidung.

“Aku akan kesana, oke?”

**

Aku mengebut di jalan raya dan sampai di rumah sakit dalam sepuluh menit. Sophie sudah memberitahuku dimana dia berada, dan aku melangkah panjang-panjang, tidak mempedulikan sekitarku.

Lalu aku melihatnya. Rambut pirangnya tergerai di seputar bahu, wajahnya terbenam dalam telapak tangannya. Kacamata dan handphone tergeletak di sisinya. Koridor itu sepi, hanya ada kami berdua dan bunyi bip-bip-bip yang kudengar di telepon. Aku menghampirinya sepelan mungkin, lalu duduk di tempat kosong di sebelahnya. Aku merangkul bahunya dengan lembut dan menariknya mendekat.

“Hey,” sapaku. Aku ingin Sophie tahu dia baik-baik saja, June baik-baik saja, segalanya akan baik-baik saja. Aku ingin Sophie tahu aku akan menemaninya apapun yang terjadi. Sophie menatapku dengan mata hijaunya yang basah oleh air mata. Kupeluk dia erat.

Lama-lama isakannya menghilang. Ketika itulah pintu di dekat kami terbuka, dan keluarlah seorang dokter mengenakan jas panjang putih. Sophie langsung berdiri dan berbicara pada dokter itu. Aku melihatnya mengangguk.

“Ashton, aku bisa melihat June sekarang,” ucapnya terdengar lega. Lalu ia menyeretku memasuki ruang rawat June.

Gadis yang satu lagi itu terbaring di ranjang, matanya terpejam. Perban melilit kepalanya, dan sudah muncul beberapa memar pada pipi dan rahangnya. Bibirnya terlihat seperti baru saja mendapat jahitan. Sophie langsung duduk di kursi sebelah tempat tidur June, memperhatikan wajah sahabatnya sebentar, lalu mengisyaratkan agar aku mendekat.

“Those stitches looks pretty bad,” Sophie bergumam. Entah apa saja yang ada di pikiran gadis ini sekarang. Selama beberapa saat, ia hanya menonton June tidur. Aku keluar sebentar untuk membelikannya minuman. Ketika aku kembali, aku memberikan botol dingin itu kepada Sophie dan dia meneguk isinya penuh syukur.

“…Soph?”

Sophie buru-buru menoleh kembali ke arah June yang tampaknya merasa tidak nyaman. “June? You’re awake!” suaranya diliputi perasaan lega.

“What happened?” June menyipitkan mata dan melihat sekeliling, mengangkat tangannya sedikit dan mengerang. Sophie menyuruhnya diam.

“Tidak apa-apa. Kau kecelakaan. Mereka meneleponku. Kau baik-baik saja sekarang, aku sudah menelepon ibumu.”

Mata June membesar. “Ibuku? Tidak! Bisa-bisa aku tidak akan dibolehkan menyetir lagi!”

Sophie mengangkat bahu. “Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan.”

June merileks. “Do I look bad?” tanyanya setengah mengantuk. Mungkin ia masih dibawah pengaruh obat.

“You look awful,” aku menyeletuk. Sophie menatapku tajam.

“Oh.” Kata June.

Sophie menggenggam tangan June yang tidak diinfus. “Tidak apa-apa. Lukanya akan sembuh dengan cepat.” Katanya seperti meyakinkan anak kecil.

“Aku berubah pikiran. Aku tidak mau menyetir lagi.”

“Terserah kau saja.”

“Serius.”

“Baiklah, aku akan mengantarmu ke klub manapun yang kau mau.”

June menggeleng. “Aku tidak mau ke tempat seperti itu lagi.”

“Benarkah?”

June mengangguk. “Aku tidak mau minum-minum lagi.”

Lalu kelopak matanya bergetar menutup. Empat detik kemudian nafasnya sudah teratur. Sophie menaruh tangan sahabatnya dengan lembut di sisi tubuh June, lalu berdiri.

“Di kota ini aku hanya punya June,” ucap Sophie sambil termenung. “Kurasa reaksiku tadi berlebihan. Aku masih sedikit gemetaran sekarang.”

Kuraih tangannya yang gemetaran, lalu kugenggam, erat tapi selembut yang aku bisa. “Kau punya aku juga,”

Sophie menatap mataku. “I’m sorry for what happened at the club,” katanya.

“No, I’m sorry.”

“Okay.”

Akhirnya ia tersenyum. Dengan tulus kali ini. Tidak ada kecemasan didalam matanya. Membuatku tersenyum juga.

“Hey, I want you to see something…”

**

Alih-alih membawa Sophie keluar dari rumah sakit, aku membawanya hingga ke lantai paling atas dan menariknya menuju tangga darurat. Aku menantangnya untuk sampai di atas duluan, dan entah bagaimana ia berhasil mendahuluiku. Aku mendorong pintu berat menuju atap rumah sakit yang datar.

“Bagaimana kau tahu ada tempat seperti ini?” Sophie bertanya, rambutnya tertiup angin dari segala penjuru.

“Semua rumah sakit tentu saja punya tempat seperti ini, apa kau tidak pernah menonton film?” ejekku. Sophie mendorongku main-main.

“Sebentar lagi matahari terbenam, anginnya memang paling kencang pada jam segini,” ujarku sok tahu.

Sophie tidak menjawab, matanya menyapu seluruh pemandangan kota. Rumah sakit ini terletak sedikit menanjak ke atas bukit, sehingga kami bisa melihat seluruh landscape, termasuk matahari oranye menyilaukan di garis horizon sana. Cahayanya terpantul pada mata Sophie, membuat mereka seperti menyala keemasan.

Aku menarik Sophie mendekat. “Apa yang terjadi pada tanganmu?” tanyanya, hati-hati menyentuh perban yang melilit jariku.

“I banged the drums a little too hard,” kataku dengan kedipan.

“Kelihatannya serius.” Komentar Sophie singkat, tidak menghiraukan ambigunya ucapanku barusan. Matahari semakin mendekati garis horizon. “Terima kasih sudah membawaku kesini, Ashton. Rasanya damai, begitu dekat sekaligus jauh dengan kota. Seperti… menekan pause ditengah-tengah game.”

Aku tidak menjawab, malah menyentuh rahang Sophie, sehingga ia berputar pada tumitnya dan menatapku. Lalu aku menciumnya, perlahan tapi pasti. Sampai kurasakan bibir Sophie mencium bibirku balik, tanganku turun ke bagian bawah punggungnya dan menariknya semakin dekat. Jari-jari ramping Sophie mencengkeram kaus Nirvana-ku.

“Semuanya pantas dilakukan untukmu.”

**

You are my getaway

You are my favorite place

We put the world away

We’re so disconnected

***

A/N: Entah kenapa ini mengingatkanku pada Iparing aka Day dan June dari trilogi Legend. Kalau kamu suka the hunger games, divergent, atau the maze runner dan belom pernah baca legend, aku saranin kamu baca sekarang juga. It's more than just awesome.

Ngomong-ngomong, jangan lupa comment dan vote. I love you heaps!

Continue Reading