LunatiC : Deep World Dark Sid...

By FreesiaSaa

5.3K 641 69

[Genre : Sci_fi, Friendship, Tragedy] Depresi, Trauma, Halusinasi, dan beberapa sisi gelap lainnya menyelimut... More

0.0. LunatiC : Prolog
0.1. LunatiC : Beban Hidup
0.3. LunatiC : StiGma
0.4. LunatiC : Gadis yang Manis
0.5. LunatiC : Burung Gagak
0.6. LunatiC : Sisi Gelap
Note
0.7. LunatiC : Perasaan Takut
0.8. LunatiC : SicK
0.9. LunatiC : VoiCe
1.0. LunatiC : Keinginan Bersatu
1.1. LunatiC : RomantiC LiFE
1.2. LunatiC : Keinginan Bersatu (2)
1.3. LunatiC : HeadlesS
1.4. LunatiC : Looks Like cutting tHE...
1.5. LunatiC : Suara dalam Kenangan
1.6. LunatiC : Painful Memory
1.7. LunatiC : The Crow's calling
1.8. LunatiC : It was My FauLt
1.9. LunatiC : 1 years later~
2.0. LunatiC : Si Cengeng
2.1. LunatiC : [Untitled]
2.2. LunatiC : News
2.3. LunatiC : Pulang
2.4. LunatiC : Story Ab0ut PainfuL Memory
2.5. LunatiC : EpiloG
(+) LunatiC : Normal - Secret Ending
(+) LunatiC : Normal - Pra EpiloG
LunatiC 2

0.2. LunatiC : Gila

309 38 4
By FreesiaSaa

Di sela acara makan malam kami, ayah menanyakan tentang sekolahku. Seperti pelajaranku, temanku, atau pertanyaan apakah aku senang berada disana atau tidak. Biasanya, aku hanya akan menjawab,

"Aku tetap menjadi yang terpandai dikelas, dan hariku disekolah cukup menenangkan"

Tetapi, karena aku tidak ingin membuat ayah dan ibu kecewa, aku menjawabnya dengan kalimat berbeda.

"Suasananya tidak jauh berbeda dengan sekolah lamaku, tapi aku senang memiliki banyak teman disini" Ucapku.

"Baguslah kalau begitu, ayah senang mendengarnya" Jawab ayah sembari memasukkan sesendok nasi dalam mulutnya.

"Maaf ya, karena ibu kita jadi pindah ke desa kecil seperti ini," Ucap Ibu dengan senyuman sedih.

"Apa yang ibu katakan? aku senang berada disini, desa jauh lebih menenangkan daripada di kota... Di sekolah baruku, aku juga memiliki banyak teman yang ramah." Kataku. Aku tidak ingin membuat ibu merasa bersalah. Bagaimanapun juga, kepindahan ini demi kebaikan ibu. Aku sebagai seorang anak juga akan melakukan apapun untuk kesembuhan ibuku.

"Jika ayah boleh tahu, siapa saja teman-temanmu?"

Aku terdiam sejenak, lalu menjawab dengan ragu.

"Em, Rudi......, Nina.... "

"Siapa lagi?" tanya ayah.

"D...Dave?" tambahku. Sejujurnya aku tidak terlalu dekat dengan mereka. Aku hanya menyebutkan nama-nama yang ku ketahui.

"Teman-temanmu cukup banyak, lain kali, ajaklah mereka kesini..." Sahut Ibu.

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum kecil.

Tok tok tok!

"Permisi!!!"

"Erick!!!"

Tok Tok!

Kami saling berpandangan ketika mendengar suara ketukan di pintu, serta suara yang terdengar familiar* meneriaki namaku.

"Biar ibu saja," Ibu berdiri dan bergegas menuju ruang tamu sedangkan aku merapikan meja makan dan mencuci bersih tanganku.

"Erick, ada tamu untukmu!"

Tidak salah lagi, itu pasti Rudi. Aku berjalan menuju ruang tamu dan mendapati Rudi telah memasuki ruangan atas izin ibu.

"Hai," Sapanya dengan nada ceria seperti biasa.

"Masuklah!" Aku mengajaknya kekamarku. Rudi lalu mengikuti dibelakangku.

Sesampainya disana, Rudi langsung merebahkan dirinya di atas ranjang.

"Hei, jangan tidur di rumah orang sembarangan!" ucapku.

Bukannya mendengarkan ucapanku, Rudi justru mengambil guling dan memeluknya erat. Terserahlah... lagipula, aku tidak keberatan.

"Jadi, kenapa kau kesini?" tanyaku.

Rudi membuka kelopak matanya. Dia duduk lalu menyodorkan kepadaku buku bersampul coklat kayu yang sejak tadi dibawanya.

"Ini adalah buku catatan sejarahku"

Aku mengambil buku itu, menatapnya bingung.

"Lalu...?"

"Begini, sebenarnya besok ada ulangan sejarah... aku tau kau murid baru, tapi kau juga harus mengikuti ulangan bukan? Jadi, aku berniat meminjamkan catatanku supaya kau bisa belajar" jelas Rudi.

"Lalu... kau tidak belajar?"

"Aku tidak perlu belajar untuk ulangan... " jawabnya dengan percaya diri.

"Hn," responku.

Aku membuka buku catatan Rudi. Membaca tulisan ceker ayamnya yang lumayan bisa kupahami.

"Erick?" panggil Rudi.

"Hm?"

"Apa kau belajar?"

"Hn" Responku.

"Kasurmu sangat nyaman,"

"Hn"

"Boleh aku menginap?" tanyanya lagi. Aku tidak begitu mendengarkan pertanyaannya, jadi aku hanya merespon dengan kata "Hn" setiap kali dia berbicara.

Rudi bangun dari posisi tidurnya. Rambutnya terlihat berantakan.
"Bisa tidak kau merespon ucapanku dengan benar?"

Aku tidak menjawab, hanya menatapnya dalam diam.

"Jujur..." kata Rudi. "Aku tidak menyukai orang cuek, tapi kenapa ya aku merasa dekat denganmu?"

"Apakah...." Rudi menggantung kata-katanya. Kami saling berpandangan dan waktu seakan berhenti.

Keheningan menyelimuti kami.

"...Ini Cinta?" kata-katanya membuat buku di tanganku melayang dan mendarat mulus di wajahnya.

"Gila!" Aku berdiri lalu melangkah menuju pintu kamarku.

"Aku kan hanya bercanda...! Mau pergi kemana kau?" tanya Rudi sambil mengelus batang hidungnya yang sakit.

"Aku akan bilang pada Ibu bahwa kau akan menginap"

Setelah tubuhku berada di luar, aku menutup pintu kamar perlahan.

***

Hari ini aku dan Rudi berangkat ke sekolah lebih awal. Ketika aku masuk ke ruang kelas, suasana sangat sepi. Tidak ada seorang pun di sini kecuali diriku, Rudi langsung menuju ke UKS ketika tiba di sekolah karena dia terus-terusan mengeluh kalau dia masih mengantuk.

Aku duduk di bangkuku seorang diri. Membuka catatan sejarah ku yang lama dan membacanya dalam diam. Sapuan angin dingin pada tengkuk ku membuatku sedikit merinding meski pada dasarnya aku bukanlah orang yang penakut. Aku bertanya-tanya darimana udara dingin itu masuk karena yang aku tahu, semua jendela dikelas masih tertutup rapat.

Aku menoleh ke samping kanan untuk melihat keluar jendela. Betapa terkejutnya aku saat menemukan seorang gadis berambut sebahu telah duduk dibangku sebelah kananku tanpa suara. Seingatku, tidak ada seorang pun disini selain diriku. Lalu darimana asalnya gadis ini?

"M-maaf, sejak kapan kau berada disini?" tanyaku yang mulai penasaran.

Dia manusia 'kan?

Gadis itu hanya diam. Keheningan menyelimuti ruang kelas. Bahkan, aku tidak mendengar suara angin sekecil apapun.

"Permisi?" Merasa tidak ada jawaban, aku pun kembali bersuara. Namun, dia tetap diam.

Aku mulai merasa takut. Meski jujur, aku tidak pernah melihat hantu sebelumnya. Tapi dari yang kudengar, hantu itu menyeramkan.

"H-hei?!" Aku menggerakkan tanganku menyentuh bahunya. Dia menggerakkan kepalanya pelan lalu menatapku dengan tatapan datar yang menakutkan. Aku mati rasa. Ingin menggerakkan kakiku untuk lari, namun tidak bisa.

"Ke kantin yuk!" tepukan keras seseorang dipundakku membuatku tersadar. Aku bernafas lega saat menemukan Rudi berdiri didekatku.

"Ada apa?" tanyaku gugup. Jantungku masih berdetak kencang karena kejadian tadi.

"Ayo ke kantin, aku lapar..." Ucap Rudi. Kami memang belum makan dari rumah karena kami berangkat pagi-pagi sekali.

Aku berdiri dari dudukku. Berjalan dengan membawa buku catatan ditanganku sambil terus melirik ketempat dimana gadis itu berada.

Dia manusia 'kan?

***

Sekolah berjalan normal. Tapi atmosfir yang kurasakan di kelas masih sama. Sunyi.

Meski aku sangat menyukai ketenangan, tapi aku juga tidak bisa menyela bahwa aku merindukan keramaian yang selalu kudengar dulu. Memang benar apa kata orang, sesuatu yang tidak disukai akan menjadi hal yang dirindukan suatu hari nanti. Dan aku merasakannya saat ini.

Setelah melaksanan ujian sejarah, aku mendapat tugas memfotokopi soal yang harus kami pelajari di Ujian Kenaikan Kelas mendatang. Aku tidak sendiri, ada Nina yang menemaniku.

"Kau tahu tidak gadis yang duduk di sebelah kananku?" tanyaku yang masih belum melupakan kejadian tadi pagi.

"Iya, memangnya kenapa?" tanya Nina.

"Kau bisa melihatnya? Dia manusia kan?" tanyaku lagi. Memastikan bahwa gadis yang kutemui tadi pagi bukanlah sosok hantu.

Nina mengangguk.

"Apa kau pikir dia itu hantu? Kau indigo*?"

"Tidak, hanya saja... dia terlihat agak menakutkan..."

Setelah mengantongi ponsel yang di mainkannya sejak tadi, Nina menoleh kearahku sambil tersenyum.

"Namanya Rika, apa kau tertarik padanya?" Nina berkata dengan senyum menggoda. Berjalan mundur sambil menghadap kearahku dengan kedua kaki nya.

"Bukan seperti itu, aku hanya penasaran saja..." jawabku.

"Berarti kau tertarik padanya!" Ucapnya menyimpulkan. Dia berbalik lalu berjalan normal disampingku.

"Terserahlah..."

Kami berdua berjalan beriringan. Aku tidak bisa bilang jika keheningan menyelimuti perjalanan kami karena Nina terus bersenandung kecil disetiap langkah. Ketika kami hampir sampai pintu gerbang, Nina mulai membuka suaranya.

"Erick, sebenarnya ada yang tidak kau ketahui tentang Rika..."

Aku berhenti melangkah saat mendengar ucapannya.

"Aku memang tidak tahu apa-apa tentang dia, aku saja baru kali ini melihatnya" ucapku.

"Bukannya aku memprovokasi mu, tapi... sebaiknya kau menyerah saja." Kata-kata Nina membuatku bingung.

"M-maksudmu?" tanyaku dengan rasa penasaran yang tidak bisa kubendung lagi.

"Sejak tahun pertama di SMA, aku tidak pernah melihatnya berbicara dengan siapapun. Pernah sekali aku mengajaknya bicara, tapi diabaikan. Dia selalu diam dan tidak peduli dengan apa yang terjadi. Aku bahkan tidak pernah mendengarnya berbicara satu kata pun. Dia seperti orang yang hidup sendiri tanpa orang lain disekitarnya." Jelas Nina. Tapi bagiku, itu masih belum cukup.

"Bukankah itu karena kalian menjahilinya?" tanyaku penuh selidik.

"Jangan menuduh sembarangan! Aku berani bersumpah kalau kami tidak pernah berniat menjahili atau mengganggu Rika sedikit pun. Meski benar, dia agak aneh... tapi kami sama sekali tidak pernah melakukan pembullyan kepada teman sendiri"

"Lalu... bagaimana dengan Dave? apa menurutmu dia sedang tidak di bully?"

"Itu berbeda! Dave memang sering dibully sejak SMP orang pembully yang sama. Tapi, Rika itu berbeda... bagaimana ya menjelaskannya? Dia selalu menatap kami tajam dan itu menakutkan..."

Aku diam. Mencoba memahami apa yang terjadi dengan Rika. Apa dia punya masalah keluarga atau memang ada kelainan pada mentalnya.

"Jadi, kau sudah tahu kan? Tidak mudah mendekatinya..." Ucap Nina.

"Ayo" Gadis itu berjalan mendahuluiku. Tak ingin ketinggalan, aku pun berjalan menyusulnya.

Masih dengan pikiranku yang diisi oleh Rika -gadis yang kutemui tadi pagi. Aku dan Nina berjalan keluar gerbang sekolah. Kami berhenti di sisi jalan. Menunggu rambu dengan lampu berbentuk manusia berubah menjadi hijau.

Masih banyak yang kupikirkan tentang Rika. Kenapa dia diam saja. Menolak bicara bahkan menolak berteman. Gadis itu seperti menghindar dari semua orang. Apapun penyebabnya, entah itu untuk menjauh dari rasa sakit atau penyebab lainnya, sikap Antisosial seperti itu tidak bagus untuknya.

Setelah beberapa saat memikirkan semua itu, aku tersadar. Bertanya kepada diriku sendiri sejak kapan aku memikirkan orang lain? Karena dari dulu, yang kupikirkan hanyalah aku dan hidup tenangku.

Bagiku, orang yang memiliki kelainan mental adalah orang gila. Lantas, kenapa aku merusak otakku dengan banyak memikirkan orang gila seperti Rika ......atau ......Dave?

Mungkin keingintahuan ku membuatku gila.

Ketika warna hijau yang ditunggu-tunggu telah menyala, aku berjalan maju. Tapi saat aku mengetahui Nina tidak ada disampingku, aku berbalik.

"Hei, apa yang kau lakukan?" Teriakku yang kini berada ditengah jalan raya. Tapi, Nina tidak menjawabku. Dia hanya berdiri kaku disana. Menatap jalanan berwarna putih abu-abu yang terbentang dihadapannya.

'Apa yang terjadi dengannya?' tanyaku dalam hati.

.

.

TBC

(*) Familiar : Akrab
(*) Indigo : Aura Indigo/ memiliki kemampuan, khususnya indera keenam

Kritik dan saran sangat diperlukan^^

Continue Reading

You'll Also Like

49.5K 9.3K 19
"TRICIA! KAN UDAH AKU BILANG JANGAN MINUM DARAH SEMBARANGAN!" "Ya kenapa? Mau kuminum darahmu saja?" "ENGGAK! AWAS AJA! JAUHKAN TARINGMU ITU!" Tricia...
261K 28.4K 35
Agatha tak menyangka jika Ketos dingin dan ketus disekolahnya memiliki 1 rahasia yang mengejutkan. Agatha tak sengaja memergoki Gerald, Ketos dingin...
38.3K 4.7K 10
Baca I am Their Lovers dulu! jangan lupa vote dan follow ya~ [COMPLETE] ✨✨✨✨✨✨✨✨✨ Milky Aprillina Dwi Angelina. Gadis cantik yang menjadi satu-satuny...
310K 19.8K 34
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, masyaallah tabarakallah, Allahumma Shalli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aali sayyidina muhammad, ini...