Twisted (BL Novel)

By Twisted_Squad

133K 12.6K 6K

Jika kau menginginkannya, apa kau mau berjuang untuknya? -Raizel- Novel Debut : 20 Agustus 2017 More

Pt.1| Prologue
Pt.1| Mini Chapter 1 - Uninvited Guest
Pt.1| Mini Chapter 2 : Playground
Pt.1| Mini Chapter 3 - Sweet Revenge
Pt.1| Mini Chapter 4 - A Kiss is Enough
Pt.1| Mini Chapter 5 : Drama Queen
Pt.1| Mini Chapter 6 : Your Fault
Pt.1| Mini Chapter 7 : Nightmare
Pt.1| Mini Chapter 8 : You're Mine!
Pt.1| Mini Chapter 9 : The Plan
Pt.1| Mini Chapter 10 : Something's Not Right
Pt.1| Mini Chapter 11 : Rumours
Pt.1| Mini Chapter 12 : A Nerd
Pt.1| Mini Chapter 13 : Mask
Pt.1| Mini Chapter 14 : Rain Drops
Pt.1| Mini Chapter 15 : The Spell
Pt.1| Mini Chapter 16 : Redemption
Pt.1| Mini Chapter 17 : He's Mine
Pt.1| Mini Chapter 18 : Regrets
Pt.1| Mini Chapter 19 : From Today
Pt.1| Mini Chapter 20 : The Past Weekend
Pt.1| Mini Chapter 21 : Cutscenes
Author's Message : Dear Readers
Teaser : Coma
Teaser : Bad Boy Cliches
Notice : The Start Of Part 2
Pt. 2| Mini Chapter 1 : Intersection
Pt.2| Mini Chapter 2 : Something You Don't Wanna Know
Pt.2| Mini Chapter 3 : Confrontation
Pt.2| Mini Chapter 4 : Team
Pt.2| Mini Chapter 5 : Shocked
Pt.2| Mini Chapter 6 : Bromance+
Pt.2| Mini Chapter 7 : The Truth Is...
Pt.2| Mini Chapter 8 : Deal With The Devil
Pt.2| Mini Chapter 10 : A Letter
Pt.2| Mini Chapter 11 : Bluffing
Pt.2| Mini Chapter 12 : Only You
Pt.2| Mini Chapter 13 : Guilt
Pt.2| Mini Chapter 14 : Innocence
Pt.2| Mini Chapter 15 : Martin
Pt.2| Mini Chapter 16 : Straight Boy
Pt.2| Mini Chapter 17 : Deja vu
Pt.2| Mini Chapter 18 : Secret
Pt.2| Mini Chapter 19 : Trouble
Pt.2| Mini Chapter 20 : Slices Of Days
Pt.2| Mini Chapter 21 : Psychic's Curse
Pt.2| Mini Chapter 22 : Picture Perfect
Pt.2| Mini Chapter 23 : Trip To The Past
Pt.2| Mini Chapter 24 : Divorcee
Pt.2| Mini Chapter 25 : Nostalgic
Pt.2| Mini Chapter 26 : Another Cutscenes
Pt.2| Mini Chapter 27 : Goodbye (End)
Twisted Hall Of Fame (Closed)

Pt.2| Mini Chapter 9 : Slumber Party

1.4K 180 97
By Twisted_Squad

Warning : This mini chapter might be a little bit longer than usual. Serve yourself a cup of tea, have some popcorns and sodas coz we're about to join their slumber party the whole night.

--❉--

Nyaris tiga minggu berlalu sejak aku bertemu dengan Vanessa dan Minjung. Waktu itu hari Senin, tanggal 6 Maret. Sekarang sudah tanggal 24 Maret. Hwa... aku bersyukur hari-hari yang menyiksa itu akhirnya berlalu juga...

Sebenarnya tak banyak yang terjadi, mengingat aku dan seantero kampus sibuk dengan Ujian Tengah Semester yang berlangsung dari tanggal 13 hingga hari ini. Dalam nyaris tiga minggu itu, aku merasa kalau hidupku jadi sangat-sangat normal. Tidak ada masalah, tidak galau, tidak buruk dan juga tidak overly  indah. Untuk sesaat aku akhirnya merasakan hidup dalam mode auto-pilot dan menjadi mahasiswa seutuhnya. Maksudku... benar-benar belajar dan membaca buku dengan telaten itu sama sekali bukan aku di hari-hari biasa.

Well, sisi baiknya aku tidak terlalu larut dalam drama dan intrik hidupku sendiri. Tidak ada masalah dengan Daryl, Fabian atau Martin.

Daryl memang sempat marah karena akhirnya aku memutuskan untuk memakai semua pemberian dari Martin, which is terpaksa kulakukan karena titah mama dan karena Martin nyaris mengamuk saat aku bilang ingin menjualnya pemberiannya. Tapi setelahnya, Daryl baik-baik saja. Selama tiga minggu itu, ia rajin mengingatkanku untuk belajar. Sesekali mengantarku ke kampus kalau jadwal ujiannya sama. Intensitas pertemuanku dengannya memang tidak terlalu sering, tapi ia masih sering menarikku ke mobilnya untuk sekedar cium atau peluk kalau  rindu.

Kalau Fabian... ia memang pernah bilang akan menyentuhku kalau perasaannya membuncah. Tapi nyatanya tidak. Ia menghormati hubunganku dengan Daryl. Kembali bersikap seperti sahabatku di rumah. Meski terkadang aku bisa merasakan kalau ia sering bertingkah dingin kalau aku sudah ketemuan dengan Daryl. Tapi tak apa... we're fine.

Lalu kalau Martin... tiga minggu belakangan ini ia rajin menanyai apa saja yang kupakai setiap harinya. Ia menanyakan apa toner yang kupakai, foundation mana yang cocok untuk kulitku, pakaian mana yang paling kusuka. Intinya ia menanyakan apakah aku benar menggunakan pemberiannya atau tidak. Martin bilang, aku baru boleh memberikan produk-produk yang tidak kusukai pada orang lain dengan syarat aku sudah pernah mencoba semuanya. Which is sucks coz it takes forever for me to try them all since i only have one face.

Agak risih sih sebenarnya, tapi anak itu akan cemberut seharian kalau aku tidak memberi penjelasan menyeluruh tentang alasanku memakai produk ini dan itu. Itulah mengapa aku sengaja mengirim rincian tentang apa saja yang kupakai setiap harinya lewat chat.  Semata-mata kulakukan agar aku tidak perlu banyak bicara padanya sesampainya di kelas.

Oh iya, grup penuntut yang ingin merusak hidup Randi juga sudah lama tidak ada kabar. Biasanya mereka mengirimiku update lewat aplikasi chat. Rasanya sudah lama sekali tidak melihat ruang chat  grup itu aktif lagi. Sepertinya mereka juga terhisap rutinitas masing-masing karena ujian.

And now.... here i am... beres-beres kamar, menggelar karpet bulu dan kasur angin karena Vanessa dan Minjung mengadakan pesta piyama dadakan di rumahku. Martin dan Daryl juga diundang. Fabian otomatis harus ikut campur beres-beres kamar karena buku-bukunya berantakan, bertumpukkan di lantai kamarku.

"Mereka datang jam 7, lho. Kau sudah membeli makanan kecil? Snack yang kubeli kau simpan dimana? Jadi masak makanan berat atau tidak?" cecarku dengan banyak pertanyaan sekaligus ke Fabian yang sedang mengangkut kardus bukunya ke luar kamarku.

"Tenang saja, ini masih pukul 5 sore." datarnya, bersama senyum khasnya. Rambut Fabian yang mulai gondrong menutupi dahinya saat ia bergerak ke lantai bawah.

"Hwaaa! gawat... minumannya belum datang..." giliran kedua kakiku mondar-mandir, jariku kugigiti saking kalutnya. Maksudku, setelah hidup selama 17 tahun... ini pertama kalinya aku mengadakan pesta tidur. Selama SMP hingga SMA aku tidak pernah melibatkan diri dalam kegiatan camping  dan sejenisnya. Jadi wajar kalau aku sedikit kacau sore ini.

Ting Dong... bel berbunyi. Aku terhenyak dan sontak berlari ke lantai bawah, membuka pintu dengan gagang kemoceng terselip di saku celana. "Hai..." sambutnya. Vanessa dan Minjung tersenyum lebar padaku saat aku membuka pintu. Well, that's new. Mereka terlihat super ramah dan wajar dibanding biasanya. Maksudku, di kampus mereka terlihat seperti iblis yang siap menerkamku.

"Ayo masuk..." isyarat tangan dariku melengkapi ajakanku. Mereka masuk dengan mata mengelilingi seluruh ruangan.

"So, this is YOUR house?" manik mata Vanessa membidik mataku. "Where's your mom ?" 

"Mama menemani Boy di rumah bibi Han. Mereka pulang nanti malam." pungkasku. Lalu perhatian dua perempuan di depanku teralihkan ke pintu halaman belakang, tempat Fabian muncul dengan langkah canggung yang penuh ragu.

"Uhm, mau ke kamarku?" tawarku. Mengalihkan mereka dari jeda yang nyaris terjadi akibat kemunculan Fabian.

"Of course..." Vanessa  kembali bersemangat dan nyaris berlari mendahuluiku saat aku menggiringnya ke kamarku. Sementara itu, Minjung mengikuti kami dengan langkah hati-hati.

-|❉|-

"All of this... dari Martin?" tangan Vanessa bergerak lincah menunjuk seisi tas besarku dengan antusias. "God, you have MAC, Ben Nye, is that Tarte? Oh GOD... this Nars highlighter is 'bomb'... and Lancome teint miracle foundation... wow, you literally  punya semuanya..."

"Dia punya Laneige juga..." kedua tangan Minjung menyelam dalam tasku. Bergantian dengan tangannya Vanessa yang lebih dulu berenang di dalamnya. "Kalau ada yang tidak dipakai ingat kami, ya!"

"Ingat aku juga..." Vanessa menimpali.

"Tentu, tapi setelah lulus sensor mama, ya. Mamaku sudah booking  duluan..."

"Yaaa..." Vanessa dan Minjung bersitatap dengan mimik kecewa.

Tanganku menepis udara. "Hei, jangan khawatir... aku akan menyembunyikan beberapa item. Katakan saja produk mana yang ingin kalian miliki." binar mata keduanya kembali bersinar. Mereka nyaris berteriak histeris saking bahagianya.

"You're the best, Raizel..." Vanessa mencubiti pipiku. Well, that's new...  perempuan yang umurnya setahun di atasku ini bertingkah seperti mama kalau sudah gemas denganku. Awalnya agak aneh. Tapi semakin banyak menit yang kuhabiskan dengannya, semakin jelas persona aslinya. Vanessa seorang perempuan ramah yang ceria.

"Sini-sini... lihat beauty bag milikku..." tanpa babibu Vanessa menggenggam lenganku, menarikku duduk di atas kasurku bersamanya dan Minjung. "Punyaku isinya begini... Ini dari The Purbs ?"

Aku mengernyitkan dahi saat ia mengatakannya. The Purbs?  aku belum pernah mendengar nama merek itu. Tapi bingungku terhempas saat ia menumpahkan seisi tas kecilnya ke atas kasur. "Oh... Purbasari..."

"Iya... The Purbs, aku menyebutnya begitu biar kesannya internasional, hahaha..." selorohnya. Vanessa mengatakannya penuh percaya diri. Giliranku yang takjub dengannya. "Mulai dari pembersih, pelembab, pensil alis, bedak, foundation, sampai shadow  aku punya semua... Kau tahu harga foundie-nya berapa?"

"..." aku menggelengkan kepala.

Vanessa tersenyum lebar. "Hanya 10 ribu rupiah..."

"What?  Kau serius?" sekarang mulutku yang terbuka lebar di akhir kalimat.

"Aku mengenakannya sekarang. Bagaimana kelihatannya?" Ia mendekatkan sekujur wajahnya padaku. Memamerkan setiap inci kulit wajahnya yang sama cantik dengan dirinya. "Bagus, kan? Cantik itu tidak harus mahal, lho..."

"Memang tidak perlu mahal, Vanessa kan wanita murahan! Bedak murah, baju murah, sepatu murah..." timpal Minjung. "Apa saja murah..."

"Yang penting tetap cantik dan membahana..." balas Vanessa dengan aksen centilnya.

"Cih, dasar..." pungkasku. Lalu kami bertukar tawa setelahnya.

Rasanya seperti mimpi, aku tidak pernah membayangkan jika aku, Vanessa dan Minjung bisa sedekat ini. Kami tertawa, bercanda, memoles wajah satu sama lain, window shopping lewat aplikasi ponsel, bahkan menggunjingi isi Instagram artis sama-sama. Ini diluar ekspektasiku dan ekspektasinya. Tapi bisa kurasakan kalau mereka tulus padaku, tidak ada perasaan aneh saat aku dekat keduanya. Mereka terasa seperti teman lama yang baru kutemui lagi. Mengingatkanku pada teman-teman masa kecilku waktu SD. Perasaan yang sama, aroma udara yang sama, tawa yang sama. Aku senang mereka ada disini.

"Raizel, sebelumnya aku ingin minta maaf..." Vanessa tiba-tiba memotong perhatian kami yang tadi terpusat ke layar ponsel.

"Maaf kenapa?" aku mendongak ke arahnya.

"Aku, sering galak padamu. Menyalahkanmu hanya karena kau tidak bisa tepat janji. Padahal bukan sepenuhnya salahmu..." tuturnya.

"Uhm, tidak apa-apa. Memang salahku yang bilang soal perasaanmu ke Fabian. Kalau Fabian tidak tahu perasaanmu, ia pasti bisa dengan mudah kupertemukan denganmu. Seperti yang kalian lihat sendiri tadi... Fabian canggung dengan kalian. Aku yang harusnya minta maaf..."

"Tetap saja, Rai... kalau aku tidak over-reacted  kita pasti sudah berteman sejak awal. Kalau aku tahu kau se-menyenangkan ini, aku tidak akan bertingkah seperti itu di kampus..."

"Sudahlah, Van... tidak apa-apa... Yang penting kita bisa berteman sekarang."

"Ah, iya..." Vanessa menunduk, sedikit mengerut dalam duduknya. "Kau beruntung, banyak laki-laki yang mendekatimu. Sementara aku? Huh."

Aku dan Minjung berganti tatap, tak mengatakan apapun. Firasatku bilang Minjung ingin mengatakan sesuatu namun urung dilakukannya. Lalu perhatian kami tertancap ke ambang pintu, seseorang dengan piyama kuning bergambarkan Pikachu lengkap dengan topi kuning yang ada buntutnya itu melongok ke dalam.

"Hey, kalian sedang apa?"

"Pfft..." Vanessa dan Minjung menahan tawa melihat Martin.

"Boy mana?" Martin celingak-celinguk mencari Boy. "Aku bawa banyak mainan..." giliran tas miliknya yang isinya seabreg, terdampar di lantai.

"Boy di rumah bibi Han... Mama juga disana, mereka baru pulang kesini pukul 8 nanti."

Martin menggelembur, bersandar di ambang pintu. "Yaaa... tidak seru..."

Anak itu menggusur tasnya lalu duduk di sofa dengan bibir mengerucut. Belum genap satu menit, Daryl muncul dengan sekeresek minuman dingin. Menyimpannya di dekat sofa, lalu berbaring malas di atas karpet bulu, terlentang menatap langit-langit. "Huh... untung ada aku. Kalian tidak akan mati kehausan sekarang..."

Daryl terlambat satu jam dari yang seharusnya. Huh...

"Ih... nyendul tuh!" Minjung menunjuk selangkangan Daryl yang mengenakan celana boxer  kain super pendek. 

"Memangnya kenapa? Mau!?" dampratnya. "Nih!"

"..." Minjung hanya bergidik saat Daryl memegang 'anunya' sendiri di depan kami.

"Disgusting!  Kenapa sih kau pacaran dengan orang seperti itu?" keluh Vanessa padaku.

"Iya, masih mending Martin..." sempil Martin yang membicarakan dirinya dari sudut pandang orang ketiga.

"Percaya diri sekali, kau!" tembak Daryl.

"Ada yang mau main Ouija ?" celetuk Martin dengan senyum merekah, mengabaikan Daryl yang alisnya menukik tajam.

"No, thank you... we already have things in mind..." Vanessa menyeringai.

-|❉|-

Satu jam kemudian, kami pindah ke dapur. Aku, Martin, Fabian dan Daryl sudah bersiap mengenakan celemek masing-masing. Vanessa yang juga berperan sebagai juri kami sudah bersiap dengan bahan-bahan makanan yang sudah disusunnya di atas meja masak. Minjung, dia menjadi timer sekaligus pengawas kami selama berkompetisi. Boy dan mama... datang dua jam lebih awal dari yang seharusnya. Makanya, dapur jadi penuh sesak sekarang.

"3,2,1... mulai!" teriak Vanessa berapi-api.

Ada banyak bahan yang sudah Vanessa siapkan untuk masing-masing kontestan. Setiap kontestan mendapat sepotong ayam fillet,  satu sachet saus teriyaki, 3 sendok tepung maizena, empat buah telur, segelas susu, tiga dadu kecil keju dan seledri utuh yang perlu diiris.  Kami boleh menggunakan semuanya atau sebagian dari semua bahan itu. Tapi, sialnya untuk mendapat tambahan 30 poin, mau tidak mau kami harus menggunakan semua bahan tersebut.

Sebenarnya tidak sulit untuk membuat semua bahan tersebut menjadi makanan yang layak makan. Tapi otakku tidak bekerja dengan baik kalau diburu waktu seperti ini. Bagaimana tidak, Vanessa hanya memberi kami 15 menit untuk berjuang. Aku sendiri nyaris menyerah saking kelimpungannya. Apalagi aku harus berebut lahan dengan Daryl yang kerjanya berantakan.

Fabian tentu sudah dua puluh langkah lebih awal dari aku dan lainnya. Ia spontan menggoreng daging dengan saus teriyaki, menambahkan air dan tepung maizena ke dalam sausnya, Mencampur susu, telur dan keju yang telah diparut dalam mangkuk. Menambahkan irisan seledri, lalu digoreng di atas teflon dan voila... Dia membuat omellete susu keju dengan toping ayam teriyaki hanya dalam sepuluh menit.

And you know what ? Aku, Daryl dan Martin meniru semua yang dilakukan. Hasilnya? gagal... omellete milikku hancur, milik Martin hangus sebagian, milik Daryl hanya tersisa setengahnya karena setengahnya lagi jatuh ke lantai karena kecerobohannya. Untuk ayam teriyaki milikku, buatanku tidak kalah rapi dengan milik Fabian... tapi aku tidak tahu apakah milikku overcooked atau undercooked. Jelasnya, milik Martin yang paling parah karena belum sempat dibumbui dengan baik. Warnanya pucat dan kering.

"Kak Izel! Ayoo kakak..." Boy berseru gemilang ketika Vanessa mulai menghitung mundur.

"9, 8, 7, 6, 5, 4, 3, 2, 1! STOOOP!"

"YEAAAAH!!! Kami berempat melonjak-lonjak di udara meski sadar kalau masakan kami kacau balau. Ya, terkecuali miliknya Fabian. Miliknya terlihat wajar dan menggiurkan.

Teng Teng Teng... Minjung mengetuk piring dengan sendok. Sorak-sorai yang tadi memekakkan telinga berhenti, digantikan rasa gugup para kontestan dan penonton.

"Untuk yang pertama ini, sepertinya kita perlu coba yang penampilannya terburuk. Dagingnya kelihatan alot, omelette-nya terlihat seperti muntahan kucing dan aromanya... euhm... busuk. Kita coba milik Martin." kata Vanessa dengan serius setengah mati.

"Tuhan... semoga enak... semoga enak..." Martin merekatkan tangan, berdoa komat-kamit di depan Vanessa. Lalu tangannya itu mengepal saat sendok Vanessa mengambil sedikit masakannya. Takutnya itu makin menjadi saat Vanessa mengunyah masakan buatannya.

"Uhm... Martin! omellete buatanmu?!..."

"Iya?" Martin membeku seketika.

"Tidak enak!"

"Hahahahaha!" Seisi ruangan tertawa melihat ekspresi datarnya Vanessa yang terlihat kocak di mata kami. Martin menunduk malu dengan wajah merah, lalu Boy bereaksi ~ berlari ke arah Vanessa. Memohon bantuan untuk naik ke atas meja, lalu mengambil sendok dan jadi juri additional  dadakan.

"Boy coba, ya..." cerianya. Susah payah memotong omelette dengan tangan kecilnya. Lalu... "Am... euhm... enyak kok... Boy suka... nilai celatus!"

Binar mata mereka beradu, Martin yang mendadak terharu dengan aksi Boy hanya bisa mengucapkan terimakasih sambil mencubiti pipi Boy yang empuk. "Terimakasih ya, Boy. Habis ini Martin janji akan belikan Boy mainan..."

"Tidak perlu... mainannya sudah banyak..." kataku. "Lagipula penilaianmu bukan di tangan Boy."

"Biar saja... Yang penting Boy suka masakanku... iya kan, Boy?"

"Uhuh!" kedua bocah itu bergetar dalam frekuensi yang sama. Sama-sama kekanakan dan polos.

"Yang kedua, porsinya lebih sedikit. Tampilannya tidak cocok untuk lauk. Tumis ayamnya lebih mirip kotoran anjing daripada makanan manusia. Punya Daryl..." seperti sebelumnya, aku dan seisi ruangan mengakak mendengar deskripsi Vanessa yang on-point. Sekaligus was-was akan kesehatannya Vanessa yang terancam akibat mencicipi masakannya Daryl yang kelihatan berbahaya untuk dimakan. "Uhm... actually not that bad. Hanya saja di omelette-nya banyak cangkang telur dan ayamnya terlalu matang..."

Boy kembali beraksi dengan sendoknya. Memakan omelette-nya Daryl dengan khidmat. Boy mengunyahnya pelan dengan ekspresi wajah datar. Lalu mimik wajahnya berubah beberapa detik kemudian. Lalu yang diramalkan Vanessa terjadi, Boy mengeluarkan lagi apa yang dimakannya. "Maaf... ini banyak pasirnya..."

"Hahahaha! Parah... Boy saja tidak mau makan... Hahahaa!" Martin membalas kekalahannya dengan menertawakan Daryl lebih kencang dari Daryl menertawakan dirinya.

"Next... masakan dengan presentasi so-so, tidak kelihatan bagus dan tidak kelihatan buruk. Punya Raizel..." Vanessa memakannya dengan lebih leluasa kali ini, milikku tentu tidak mengerikan seperti miliknya Daryl dan tidak gosong seperti miliknya Martin. "Uhm, ini enak... hanya tampilannya saja yang sedikit perlu dibenahi. Rasanya lumayan..."

"Iya... enyaaak!" Boy yang sudah ikut menyendoki masakanku bersorak girang. 

"Mama coba, ya?!" mama tiba-tiba nimbrung dan ikut mencicipi masakanku. "Uhm, kalau sedikit lebih terasa bumbunya, akan lebih enak..."

"Terakhir... yang paling bagus dari semuanya... masakannya Fabian!"

"HOOOOO!" barisan sakit hati menyoraki Fabian yang tersenyum kalem.

"Presentasinya rapi, kesannya meyakinkan... Langsung kita coba, ya!" Vanessa mengunyah masakan Fabian dengan penuh semangat. "Okay, this is definitely the winner..."

"Huuuuu!!!!" aku, Daryl dan Martin menyoraki Fabian sambil melemparinya dengan sisa tepung.

-|❉|-

Pukul 7 malam, kompetisi yang kedua setelah kompetisi pertama. Kali ini kami perlu menguji kesabaran kami dengan membuat rumah-rumahan dari kartu remi. Masing-masing dari kami diberi satu deck kartu dan bebas menentukan spot kami masing-masing.

Martin memilih meja ruang tamu. Daryl memilih lantai ruang tamu, di sudut ruangan yang tidak terganggu siapapun. Fabian juga memilih bagian lain ruang tamu untuk membuat rumah-rumahan miliknya. Aku membuat rumah-rumahanku di meja dapur yang jauh lebih kokoh dari sekedar meja kaca dan lebih nyaman untuk punggungku ketimbang lantai.

Kontras dengan sebelumnya, tidak ada suara apapun yang terdengar sekarang. Rumah benar-benar senyap dari suara. Boy dan mama berjalan mengendap-endap dari kejauhan menunggu waktu 10 menit habis. Minjung kembali jadi timer, kali ini hanya berbisik saat memberi hitungan mundur. "tiga, dua, satu..."

Kami mundur dengan hati-hati. Milik Daryl nyaris sempurna, hanya bagian puncaknya yang belum sempat ia buat, milik Fabian 11-12 dengan Daryl. Milikku, baru jadi bagian dasarnya saja, belum dua tingkat. Sudah jelas kalau aku kalah. Milik Martin... paling sempurna. Empat tingkat dengan puncak yang tersusun sempurna.

"Pemenangnyaaaa... Martin!"

"HUuuh Huuuh Huuuh!" Daryl yang kesal meniup kartu Martin hingga roboh.

-|❉|-

Permainan terakhir malam ini, kami lakukan pukul 9 malam. Jadwal kami terpotong karena Boy sempat mengajak main dan kami harus membereskan dapur bersama-sama. Untuk permainan yang satu ini, Boy dan mama tidak ikut menyaksikan. Boy sudah tidur dan mama perlu mengerjakan laporan di ruang tamu yang sekaligus ruang kerjanya. Dikarenakan hal tersebut, arena bermain terpaksa pindah ke halaman belakang.

"Brrr... dingin..." Daryl yang hanya mengenakan kaus oblong dan celana boxer  tipis memelukku dari belakang. Membuat Martin dan Fabian membuang muka dengan wajah masam.

"Untuk permainan kali ini, ada beberapa hal yang perlu kalian lakukan. Ini bukan tentang persaingan atau menciptakan rival. Ini tentang persahabatan. Tentang bagaimana kalian bekerja sama untuk menaklukan waktu dan tantangan, meski kalian... MUNGKIN... tidak menyukai satu sama lain...

"Kalian pasti pernah memainkan permainan ini sebelumnya. Caranya mudah... Kalian hanya perlu berdiri di atas kertas koran ini. Setiap dua menit, kertas ini akan dilipat menjadi lebih kecil. Kaki kalian harus muat di atasnya. Untuk membuktikan kalau kalian muat di atas kertas itu, kalian perlu bertahan selama 5 detik. Setelah itu, kalian boleh bubar dan mengatur rencana agar bisa muat di lipatan selanjutnya. Kalian mengerti?"

Kami mengangguk bersamaan. Pada awalnya permainan terasa mudah. Kaki kami tentu muat di atas dua halaman kertas koran yang besar. Lalu setelah lipatan kali ketiga, semuanya berubah. Kami berdesak-desakan agar bisa muat. Susunan tubuh kami berkali-kali nyaris roboh. Aku dan ketiga laki-laki ini makin lama makin rapat dari kaki hingga kepala.

"Lima, empat, tiga, dua, satu..." lalu lipatan yang selanjutnya... ukuran kertas lebih kecil dari kertas buku binder A5. Tidak lebih besar dari jangkauan telapak tanganku. Kami sudah berusaha berjinjit agar muat di atasnya. Kaki kami muat, tapi tubuh kami tidak nyaman. Harus berdesakan menyatukan diri dari kepala hingga kaki. Meski begitu, kami tidak menyerah. Kami mencoba dan mencoba. Hingga akhirnya Daryl memberi aba-aba... "Siap! Lima, empat, tiga, dua, satu"

Dan brug... kami tumbang ke tanah. Formasi yang kami buat penuh peluh dan kerja keras, pecah di hitungan terakhir. Napas kami ngos-ngosan, tubuh kami berkeringat, rasanya melelahkan dan gerah. Tapi hebatnya kami tersenyum puas... Tertawa pada satu sama lain... Menyingkirkan rasa iri, dengki, dan segalanya yang membuat kami kotor. Kembali seperti anak kecil yang tak pernah menghakimi orang lain. Bebas dari prasangka, berhati ringan seperti awan... Kami bahagia...

-|❉|-

"Waktu Martin masak, Martin lihat Daryl mengambil teflon punyanya Raizel. Mereka rebutan garam, woah... pokoknya berantakan. Telur Martin sampai pecah. Makanya omelette Martin benyek...."

"Oh, telurmu pecah? Tinggal sebelah dong... Ahahahaaha!" seloroh Daryl, disambut tawaku dan lainnya yang membuat Martin jengah.

"Telur Martin dua, tahu...."

"HAHAHAHA!" sekarang Vanessa yang terpingkal-pingkal melihat kepolosan Martin. Ia tak berhenti memegangi perutnya yang nyaris keram. Berguling-guling di atas kasur kamarku saking tak kuatnya menahan tawa.

"Waktu buat kartu ~ wajahmu itu seperti ini, lho!" Minjung menirukan wajah monyet. "Kau tidak sadar, sih?"

"Hahaha! Benar... wajahnya Martin seperti itu... Hahahaha!" sekarang jadi perutku yang sakit menertawakan Martin. Kalau kuingat, ekspresinya memang sedikit seperti itu. Bibirnya manyun dan keningnya mengerut. Martin kelihatan jelek kalau sedang berkonsentrasi.

"Semuanya senang?" Fabian menatapi kami satu persatu, menunggu jawaban. Semua mengangguk bergantian. "Aku harap kita bisa selalu seperti ini..."

Sedetik kemudian, wajah Fabian memerah. Mengerut. Pandangannya nanar dan berkaca. Fabian menangis.

"OOoooh...." Minjung menaruh tangannya di dada. Terharu melihat Fabian yang juga terharu menyaksikan keharmonisan seisi ruangan.  "

"Semuanya, terimakasih... ini hadiah ulang tahun terbaik yang pernah ada!"

Aku, Martin, Daryl dan Minjung bersitatap saat Fabian menyusuti air matanya dengan lengan bajunya, bingung dengan yang dikatakan Fabian. Aku sendiri lupa kalau ini hari ulang tahunnya. Lalu perhatian kami terpatri di wajah Vanessa yang tersenyum lembut sambil menitikan air mata. "Sama-sama... selamat ulang tahun, Fabian..."

"Oh... kita sepertinya perlu group hug..." Daryl menarik kami satu persatu untuk menghampiri Fabian yang duduk sendirian di sofa. Kami mengumpulkan diri untuk memeluknya. "Kau pasti rindu mama dan papamu, kan? Everybody sing! "

"Selamat ulang tahun... kami ucapkaaan..." beberapa dari kami nyaris menangis saat menyanyikannya. "Selamat panjang umur kita kan doakan...

"Selamat sejahtera, sehat sentosaaaa... Selamat panjang umur... dan bahagia... Yeeaaaaa!"

Fabian tertawa sambil menangis, kami menangis sambil tertawa. Kerja keras Vanessa terbayarkan sudah. Kerja keras kami, support dari mama dan Boy, serta kerja kerasnya Fabian sendiri untuk meramaikan malam ini berbuah manis. Rasanya menyenangkan... dadaku terasa hangat dan nyaman. This is the best slumber party... EVER!

-|❉|-

Author's corner : Hope you guys are as happy as them right now. Keep smiling, keep loving yourself and your surrounding.

Continue Reading

You'll Also Like

23.1K 2K 22
Kamu hanyalah fatamorgana yg akan selalu Amerta dalam diksi ku, Terimakasih atas segalanya dan selamat bahagia semesta ku
8.5K 1.1K 32
Ketika bertemu dengan Cyro Sexton, Harry D'Vasquez tahu bahwa ia akhirnya telah menemukan Mate-nya. Setiap kali mereka bersama, ikatan diantara merek...
277K 26.4K 22
Sequel of The Secret Housekeeper 1 Jika kalian bertanya apa yang membuatku bahagia. Jawabannya hanya satu, yaitu saat aku bertemu dengannya. Saat aku...
8.7K 1.3K 43
selalu di rebutin Lanang Ga pernah Cewek gitu? Agha Capekkk, Udah Mana Dia masuk Ke circle yang isinya Segrek semua, Harus Jadi Gey lagi Gara2 Para F...