SEMPURNA [END]

By callmenaliya

569K 44.5K 642

Rahayu Audya. Seorang editor majalah wanita. Menyukai puisi dan membaca novel dan segala hal yang puitis. Tap... More

Prolog
Bab 1 : Berawal dari sini
Bab 2 : Takdir?
Bab 3 : Masuk ke Dalam Fantasi
Bab 4 : Pria yang Sama?
Bab 5 : Satu Langkah Lebih Dekat
Bab 6 : Begitu Sama Tapi Terasa Berbeda
Bab 7 : Jauhi atau Dekati?
Bab 8 : Garis Batas
Bab 9 : Masalah Baru
Bab 10 : Melewati Batas
Bab 11 : Bintang Tersesat
Bab 12 : Saatnya Jujur
Bab 13 : Selesaikan
Bab 14 : Sesuatu Yang Baru
Bab 16 : Perubahan Kecil
Bab 17 : Sulit Dijelaskan
Bab 18 : Sulit Dikatakan
Bab 19 : Ketika Semua Terungkap
Bab 20 : Sesuatu Yang Seharusnya Tidak Terjadi
Bab 21 : Bunga Tidur
Bab 22 : Merindukanmu
Bab 23 : Pangeran Tercinta dan Belahan Jiwaku
Epilogue
Note from Author
Bonus : Triple Sweet Date
Bonus : Triple Sweet Date 2
From Author : Hi! Bye!

Bab 15 : Pengakuan

13.8K 1.4K 19
By callmenaliya

Hari-hari yang berat dan penuh beban akhirnya berlalu. Sekarang aku melewati hari-hari dengan kesibukan seperti biasanya. Kerja, kerja dan kerja. Work work work work work. Ups, sorry...

"Jadi kemarin Dennis benaran ikut temenin kamu pergi check kehamilan ke dokter?" tanyaku dengan enggak percaya.

"Iya, dia ditelepon mamahku. Mamah bilang kalau kita berdua mau pergi check ke dokter, terus mamah tanya dengan galaknya apa Dennis mau ikut. Pas dia bilang mau ikut, aku pikir kalau Dennis ikut secara terpaksa karena ajakan plus ancaman dari mamah. Tapi waktu di depan dokter, Dennis kelihatan gugup banget, malah melebihi aku. Terus kita kan dikasih lihat keadaan janinnya di monitor, walaupun Dennis enggak bilang apa-apa tapi keliatannya dia terkesima."

"Mungkin Dennis sendiri juga merasa tersentuh dan speechless ngelihat calon bayi kalian."

"Iya..."

"Bayi? Bayi apaan? Siapa yang hamil? Kalian berdua hamil?" seru Gita yang tanpa aku dan Karina sadari, sepertinya dia sudah cukup lama mendengarkan pembicaraan kita.

"Kamu hamil, Yu?" Gita bertanya sekali lagi.

"Enak aja! Ngaco kamu! Gimana aku bisa hamil, kalau cowok aja enggak punya. Lagian aku masih waras ya." gerutuku.

"Jadi yang hamil...?" Gita menggantung kata-katanya. Aku dan Gita pun bersamaan melirik kepada Karina.

"Ya ampun! Karina! Selamat ya!" seru Gita dengan riangnya. Senangnya Gita bahkan melebihi Karina sendiri waktu pertama kali dia tahu sedang hamil.

"Makasih, Ta." balas Karina dengan tersenyum bahagia.

Teriakan dan keramaian Gita itu membuat seluruh orang di kantor jadi datang menghampiri, dan ketika mereka tahu kabar gembira ini mereka pun satu per satu memberi selamat kepada Karina. Inilah alasannya kenapa aku dan Karina tidak memberitahu yang lain, terutama pada Gita, karena sudah terbayang kegaduhan yang akan dia buat. Tapi teman seperti Gita juga diperlukan untuk memeriahkan suasana. Lagi pula berita baik memang seharusnya dibagi-bagi agar kebahagiaannya terasa berkali-kali lipat.

"Permisi!" teriak seseorang yang langsung menghentikan keramaian di ruang kerja.

"Saya mencari Audy. Apa orangnya ada di sini?" tanya wanita itu.

Melihat wanita itu, sepertinya aku kenal... Oh! Kalau enggak salah dia manajernya Miranda.

"Mbak Erika?" seruku sambil berjalan menghampirinya. Begitu aku memanggilnya, dia pun melihat kepadaku dan tersenyum.

"Boleh kita bicara sebentar?" pintanya.

"Iya. Aku permisi sebentar ya." aku pun pergi keluar dari ruangan kerja bersama mbak Erika.

"Udah lama kita enggak ketemu ya." ucap mbak Erika.

"Iya, mbak. Ada keperluan apa mbak cari saya?"

"Mmm... kalau enggak mengganggu dan kalau kamu ada waktu, bisa ikut aku temuin Mia sebentar?" permintaan mbak Erika itu cukup membuatku bingung.

"Miranda? Memangnya dia ada di sini?"

"Iya, dia lagi ada pemotretan di atas. Jadi gimana? Bisa?"

Sebenarnya aku agak ragu untuk menjawabnya. Lagi pula kira-kira ada urusan apa ya Miranda cari aku?

"Aku sendiri juga enggak tahu kenapa Mia minta bawa kamu buat nemuin dia." ujar mbak Erika yang seperti tahu apa yang sedang aku pikirkan.

"Ya udah, kalau gitu kita temuin Miranda sekarang?" akhirnya aku memutuskan untuk menemui Miranda.

"Enggak apa-apa nih? Kita enggak ganggu kerjaan kamu?"

"Kalau sebentar aja enggak apa-apa kok, Mbak."

Aku dan mbak Erika pun pergi ke lantai dua menemui Miranda. Mbak Erika berjalan lebih dulu, dan membawaku ke ruangan rias di dekat studio foto, tempat biasanya diadakan pemotretan. Sepertinya Miranda masih bersiap-siap di ruang rias.

Mbak Erika mengetuk pintu ruang rias.

"Masuk." jawab seseorang di dalam.

Mbak Erika membuka pintu dan kita berdua masuk.

"Nih, aku udah bawa orang yang pengen kamu temuin ke sini." ujar mbak Erika.

"Oh, hai!" seru Miranda yang sedang duduk dan dirias.

"Hai." sapaku juga.

"Semuanya boleh keluar dulu sebentar. Soalnya aku perlu ngomong berdua aja sama Audy." pinta Miranda.

Meskipun orang-orang yang ada di ruang rias tampak kebingungan dengan permintaan Miranda ini, begitu juga juga dengan aku, tapi mereka semua keluar dari ruangan satu per satu.

"Emangnya mau ngomongin apaan sih? Kayaknya rahasia banget. Aku juga harus keluar nih?" mbak Erika juga sepertinya enggak tahu apa yang ingin Miranda bicarakan dengan aku.

"Tentu aja, aku kan bilang berdua aja sama Audy. Soalnya ini urusan cewek." ucap Miranda.

"Emangnya aku bukan cewek?" gerutu mbak Erika yang terlihat agak kesal. Miranda hanya melototi mbak Erika tanpa bicara sepatah kata pun.

"Iya deh, aku keluar. Tapi cepetan ya, pemotretannya udah mau dimulai tuh. Audy juga kan harus balik ke ruang kerjanya." ujar mbak Erika.

"Iya aku tahu." balas Miranda. Setelah Miranda bicara seperti itu mbak Erika pun keluar dari ruang rias dan menutup pintunya.

Entah kenapa tiba-tiba aku merasa agak takut dengan situasi ini. Sempat terlintas di pikiranku kalau Miranda akan melakukan sesuatu yang buruk terhadap aku. Tapi setelah aku pikir-pikir. Untuk apa Miranda mau melakukan hal buruk sama aku? Efek terlalu banyak nonton drama.

"Ayo duduk. Kamu enggak pegel berdiri di situ terus? Soalnya yang mau aku omongin ini agak lama, jadinya lebih baik kamu duduk." ujar Miranda.

Aku pun menurut dan duduk di salah satu kursi yang ada di ruangan itu. Duduk saling berhadapan dengan Miranda.

Sebelum bicara, Miranda mengambil sesuatu dari tas, lalu memberikannya kepada aku.

"Ini, untuk kamu." ucapnya. Aku menerimanya.

Sebuah kertas atau kartu? Kartu undangan?

"Itu kartu undangan acara ulang tahun aku. Acaranya sabtu ini. Kamu enggak ada acara lain kan sabtu malam nanti?"

"Enggak ada kayaknya. Tapi... kamu benaran kasih kartu undangan ini untuk aku?" aku masih enggak percaya Miranda mengundang aku ke acara ulang tahunnya.

"Iyalah beneran. Kartu itu khusus cuman untuk kamu. Kamu lihat ada bar code di kartunya kan. Kalau di scan bakal muncul nama kamu. EO yang aku pakai ini sama dengan EO yang mengurus acara launching bukunya Nico waktu itu, karena itu idenya sama. Oya, undangannya untuk dua orang, walaupun kartunya atas nama kamu tapi kamu boleh ajak yang lain untuk nemenin kamu."

"Oh... iya."

"Dan... sebenarnya ada yang mau aku tanyain sama kamu. Akhir-akhir ini setiap ketemu Nico, dia kelihatan murung kayak lagi mikirin sesuatu gitu. Apa kamu tahu kenapa dia berubah jadi gitu?"

"Mmm... tapi kenapa kamu tanya itu ke aku?"

"Yaa... soalnya... kelihatannya kalian berdua akrab banget akhir-akhir. Jadi aku pikir mungkin aja dia cerita sesuatu sama kamu."

"Aku enggak tahu apa-apa."

Bukannya aku bermaksud berbohong. Tapi alasan kenapa aku enggak menceritakan masalah Nico dengan ayahnya kepada Miranda, karena rasanya bukan hak aku untuk menceritakannya. Berbeda dengan waktu aku cerita masalah Karina dan Dennis kepada Nico. Aku merasa perlu menjelaskannya kepada Nico, karena Dennis sudah mengacaukan acara Nico saat itu. Dan kalau Nico benar-benar menganggap Miranda sebagai teman dekatnya, mungkin suatu saat Nico akan menceritakan masalahnya dengan ayahnya kepada Miranda. Apalagi mereka berdua sudah berteman sejak lama.

"Oya, satu hal lagi yang mau aku omongin sama kamu. Alasan kenapa aku undang kamu ke acara ulang tahun aku nanti, karena mungkin kamu bisa dapat berita baru di sana. Soalnya... akhirnya aku memutuskan bakal menyatakan perasaan aku sama si Mr. Perfect."

Jujur, aku sangat terkejut setelah mendengar ucapan Miranda itu. Karena sekarang sudah jelas, kalau perasaan Miranda kepada Mr. Perfect-nya, yaitu Nico, lebih dalam dan bukan hanya sekedar rasa suka biasa.

Jadi... akhirnya Miranda akan menyatakan perasaannya kepada Nico di acara ulang tahunnya?

"Aku enggak tahu apa ini moment yang tepat. Apa lagi dia kelihatan murung akhir-akhir ini. Tapi ngelihat dia kayak gitu, membuat tekadku jadi bulat. Aku semakin yakin ingin menjadi orang yang lebih dari sekedar teman buat dia. Dan menemani dia di saat-saat sulit, seperti yang lagi dia alami sekarang ini." Miranda lalu sedikit menundukkan kepalanya sambil memainkan jari-jarinya.

"Tapi sejujurnya, aku masih enggak tahu gimana caranya menyatakan perasaanku sama dia. Aku bingung banget. Setiap kali aku mikirin itu rasanya gugup banget, jantungku kayak mau copot." saat ini pun Miranda terlihat sangat gugup dan kebingungan.

Aku belum pernah melihat sisi Miranda seperti ini. Miranda yang terkenal sebagai wanita mandiri, penuh percaya diri ketika berjalan di catwalk, dan sempurna ini. Menjadi terlihat tidak berdaya. Jatuh cinta membuatnya menjadi wanita biasa. Aku enggak bisa membayangkan bagaimana perasaan dia sekarang ini. Akhirnya dia menyatakan perasaannya yang selama ini disimpannya kepada Nico. Pastinya membutuhkan keberanian yang besar.

"Aku bicara masalah ini sama kamu, karena kamu satu-satunya orang yang tahu tentang siapa sebenarnya Mr. Perfect itu. Bahkan mbak Erika juga enggak tahu. Dan karena itu juga, cuman kamu satu-satunya orang yang bisa aku minta pendapat tentang ini. Semoga aku enggak membebani kamu ya?"

"Enggak kok, enggak apa-apa. Mmm... tapi sebenarnya aku sendiri juga enggak yakin bisa kasih masukan yang baik buat kamu. Soalnya aku juga enggak begitu tahu tentang hal kayak gini. Tapi... menurut aku, kalau kamu memang udah merasa yakin dan siap menerima apapun yang bakal terjadi nantinya. Kamu percaya diri aja. Apa lagi perasaan kamu ini udah kamu simpan lama dari SMA kan?"

"Hmmm... iya juga sih. Eh, tunggu. Dari mana kamu tahu aku suka sama Nico dari waktu SMA? Perasaan aku enggak pernah cerita tentang itu ke kamu."

Ups! Aku keceplosan. Aku malah teringat sama Mia yang ada di novel, karena dia kan suka sama Nico sejak SMA. Jadi... Miranda juga menyukai Nico dari SMA?

"Oh... itu... Aku cuman nebak aja. Setahu aku kalian udah kenal sejak SMA kan, jadi aku kira-kira aja kalau kamu udah suka sama Nico dari SMA. Emang tebakan aku benar ya?" aku coba cari-cari alasan.

"Iya, benar sih. Aku memang suka sama Nico dari kita masih SMA. Bukan cuman karena dia jadi cowok paling populer di sekolah, tapi juga karena semua sifat baik yang dia punya dan bakat-bakat dia yang selalu bikin aku kagum sama dia." Miranda memang benar-benar terpesona oleh Nico. Lagi pula siapa yang enggak?

"Saran dari aku cuman satu aja. Kalau kamu udah yakin dengan perasaan kamu. Nyatakan aja perasaan kamu kepada Nico dengan percaya diri seperti biasanya."

"Pfuuuhhhh... sebenarnya aku agak takut. Apa lagi ini juga mempertaruhkan pertemanan aku sama Nico selama ini. Aku takut bakal kehilangan Nico. Karena, kalau dia menolak perasaanku ini, kayaknya untuk kembali jadi temannya lagi bakal terasa sulit."

"Kamu itu Miranda Valerie. Kamu bisa tetap kuat menghadapi apapun yang bakal terjadi nantinya."

Miranda menghela nafas panjang.

"Makasih ya, Audy." ucap Miranda yang akhirnya bisa tersenyum.

Entah kenapa ucapan terima kasih dari Miranda itu membuat hatiku terasa berat.

▪▪▪

Sabtu Malam
Hari yang dinanti tiba. Sebenarnya aku mengajak Cici untuk menemani aku datang ke acara ulang tahun Miranda ini. Tapi sayangnya hari ini adalah hari yang penting juga untuk Cici. Karena... Cici dan Koko akan lamaran!

Kalau disuruh memilih, sebenarnya aku lebih memilih pergi ke acara lamaran Cici dan Koko. Tapi Cici sendiri malah menyuruh aku datang ke acara Miranda saja. Katanya bisa datang ke acara seorang model terkenal seperti Miranda itu kesempatan yang langka. Lagi pula acara lamarannya Cici hanya dihadiri seluruh anggota keluarga dari kedua pihak calon pengantin, jadi Cici khawatir aku bakal merasa canggung kalau berada di sana.

Tapi aku punya firasat, datang ke acara ulang tahun Miranda ini malah terasa lebih canggung untukku.

Sampai di salah satu hotel bintang lima yang sangat terkenal akan kemewahannya. Acara ulang tahun Miranda diadakan di hall hotel ini. Baru melihat tempatnya dari luar saja, aku sudah bisa membayangkan bagaimana mewahnya acara ulang tahun Miranda ini. Aku coba menyesuaikan penampilanku dengan acaranya. Meskipun aku enggak yakin apa dress navy blue berbahan beludru ini cukup pantas dipakai ke acara ini. Penampilanku kali ini enggak terlalu sederhana tapi juga enggak terlalu mewah.

Aku masuk ke dalam hall setelah menyerahkan kartu undangannya untuk di scan di alatnya. Wow... Hall ini sangat luas dan mewah. Ini terlihat bukan seperti acara ulang tahun yang biasa aku datangi, ini malah lebih seperti acara pernikahan atau lainnya.

Terlihat juga banyak wartawan yang datang. Berada di sini seorang diri terasa seperti tersesat. Aku juga enggak mengenal siapa pun di sini. Sangat banyak orang yang datang. Mungkin karena itu Miranda memintaku mengajak seseorang untuk datang bersama ke acara ulang tahunnya ini. Karena kalau datang sendirian, kamu benar-benar akan merasa sangat kesepian.

Aku pergi berjalan-jalan keliling melihat keadaan. Lalu aku melihat sebuah meja dengan dua orang berpakaian kemeja putih dan celana hitam berdiri di samping meja yang penuh dengan kado-kado. Sepertinya ini tempat di mana orang-orang menaruh kado untuk Miranda. Aku pun menaruh kado ulang tahun untuk Miranda di tumpukkan kado lainnya yang jauh lebih besar dari milikku. Aku langsung merasakan perbedaan status yang sangat jauh karena ini. Yaa... tapi tidak apa-apa lah, yang penting kado ini tulus aku berikan untuk Miranda.

Beberapa saat kemudian acara dimulai. MC memberitahukan para tamu undangan untuk berkumpul. Tidak lama Miranda pun datang terlihat cantik dengan memakai long dress berwarna putih. Lampu ruangan diredupkan, lalu nyalanya lilin dari kue yang cukup besar dengan dibawa oleh dua orang terlihat bergerak mendekati Miranda. Nyanyian lagu ulang tahun terdengar di seluruh Hall ini. Setelah meniup lilin dan memotong kuenya, Miranda pun memberikan kue itu kepada orang-orang yang sudah berdiri di sampingnya, yang sepertinya adalah orang tua Miranda.

Tahapan acara yang selalu terjadi di semua acara ulang tahun pun selesai. Miranda berkeliling untuk menyapa setiap tamu yang hadir malam ini. Firasatku, sepertinya aku enggak akan dapat kesempatan untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepada Miranda secara langsung. Karena Miranda terlalu sibuk dengan tamu undangan lain yang sangat banyak ini!

Akhirnya aku mencari kesibukan seorang diri. Aku mencoba makanan dan minuman yang sudah disediakan.

Hmm... Apa aku pulang aja ya? Aku benar-benar enggak tahu harus apa di sini.

Lalu tiba-tiba terdengar suara musik.

"Eh, lihat tuh. Kayaknya Nico mau nyanyi." seru seorang wanita yang berada di samping aku. Karenanya aku pun melihat ke arah pandangan orang-orang sedang tertuju.

Ada sebuah layar yang cukup besar di sudut hall. Dan di layar itu terlihat Nico sedang bermain piano, para pemain band lainnya juga ikut mengiringi alunan musik. Nico pun mulai menyanyikan sebuah lagu dengan suara beratnya itu. Sebuah lagu yang rasanya aku pernah dengar. Oh! Lagu "Fall Again" Glenn Lewis soundtrack film "Maid in Manhattan". Aku sangat suka lagu ini dan juga filmnya.

Nico ternyata datang juga. Yaa... pastinya dia datang kan, apalagi Miranda berencana menyatakan perasaannya sama Nico malam ini. Atau Miranda sudah menyatakannya ya?

Kamera menyoroti bagaimana ekspresi Miranda saat ini. Sangat terlihat jelas betapa bahagianya Miranda saat ini. Sorotan matanya yang memandang Nico dengan tatapan penuh cinta.

"Romantis banget..." wanita yang tadi berkomentar.

"Kayaknya Nico nyanyiin lagu ini buat Miranda ya kan?" ujar wanita lainnya.

"Ah, masa sih?"

"Kamu tahu kan gosip tentang Mr. Perfect-nya Miranda. Salah satu kandidatnya itu kan Nico. Lagian di antara cowok-cowok yang ada di list kemungkinan siapa itu Mr. Perfect-nya Miranda, cuman Nico aja yang diundang ke pestanya ini, ya kan?"

"Iya juga ya. Tapi kalau benaran, mereka memang kelihatan serasi banget sih."

"Iyalah, dua-duanya sama-sama kelihatan sempurna gitu. Dari visual dan karir mereka yang sama-sama sukses. Kalau mereka disatuin udah jadi perfect banget deh. Haaah... jadi iri aku."

"Iya, mereka emang kelihatan serasi banget. Yang satu ganteng banget, yang satu cantik banget. Mereka bisa jadi pasangan yang sempurna tuh. Aku juga jadi iri."

Iya. Mereka memang akan jadi pasangan yang sangat sempurna.

Aku ini mikir apa sih?

Mungkin lebih baik aku pulang sekarang, kalau terlalu larut malam aku juga agak seram untuk pulang sendiri. Lagi pula udah enggak ada yang bisa dilihat lagi di sini. Semuanya berjalan dengan lancar, sesuai dengan apa yang Miranda inginkan.

Aku pun berjalan keluar dari Hall. Di depan pintu masuk hotel aku celingak-celinguk. Apa aku bisa minta taksi dari sini ya? Tapi petugasnya lagi sibuk melayani tamu hotel yang lain.

"Audy!" teriak seseorang. Dan ketika aku menengok ke belakang, ternyata Nico yang memanggil. Dia berlari menghampiri aku.

"Kamu mau kemana? Mau pulang?" tanyanya.

"Iya."

"Kamu ke sini sendiri? Kalau gitu aku antar kamu pulang ya."

"Enggak usah. Aku bisa pulang sendiri naik taksi kok. Aku duluan ya." tanpa menunggu ucapan Nico selanjutnya, aku langsung pergi untuk mencari taksi di pinggir jalan di depan hotel.

"Audy, tunggu! Ada apa sama kamu? Kenapa rasanya akhir-akhir ini kamu menghindar dari aku? Apa aku ngelakuin kesalahan sama kamu?" Nico berhasil menahan aku sebelum keluar terlalu jauh dari hotel.

"Enggak, kamu enggak salah apa-apa." aku membantah dan coba melepaskan genggaman Nico, tapi genggaman tangannya terlalu kuat. Nico seperti enggak mau melepaskan tangan aku.

"Terus kenapa kamu menghindari aku?"

"Aku enggak menghindar dari kamu. Aku cuman mau pulang aja. Aku... lagi enggak enak badan aja. Udah, mendingan kamu balik lagi ke dalam. Mia pasti nyariin kamu." aku coba mencari alasan agar Nico kembali ke dalam hotel.

"Kalau kamu lagi enggak enak badan, aku enggak bisa ngebiarin kamu pulang sendirian gitu aja. Aku bakal antar kamu pulang." Nico tetap memaksa untuk mengantar aku pulang.

"Udah aku bilang enggak usah. Aku naik taksi aja. Aku mohon Nico, kamu balik ke dalam aja ya." aku semakin memohon.

"Kenapa? Kenapa kamu maksa aku untuk balik ke dalam? Apa ada sesuatu yang kamu tutupin dari aku?" Nico sepertinya bisa menebak ada yang aneh dengan sikap aku ini.

Aku terdiam sejenak.

"Aku mohon Nico, berhenti bersikap kayak gini sama aku."

"Kenapa? Kenapa kamu menghindari aku kayak gini? Kamu kelihatan kayak takut sesuatu. Sebenarnya apa yang kamu takutin?" dengan nada bicaranya yang begitu lembut, aku bisa merasakan perhatiannya di setiap kata yang dia ucapkan. Aku enggak tahu harus bagaimana lagi.

"Aku takut... Aku takut kalau aku terlalu dekat sama kamu..." ucapku dengan menggantung, karena aku sendiri juga enggak tahu harus bicara apa.

"Apa maksud kamu? Kenapa kamu takut dekat sama aku? Apa kamu takut aku nyakitin perasaan kamu? Atau... kamu takut sama perasaan kamu sendiri?"

Mendengar pertanyaan Nico itu tanpa sadar aku menatap Nico. Dan dia balas menatap aku dengan tatapan yang enggak bisa aku jelaskan dengan kata-kata. Sepertinya kita berdua saling bertatapan cukup lama, tanpa ada yang bicara sepatah kata pun. Hanya dengan saling menatap seperti ini, muncul perasaan yang enggak bisa dijelaskan dan enggak pernah aku sangka sebelumnya.

"Iya, aku takut." jawabku dengan suara pelan. Entah Nico bisa mendengar itu atau enggak, tapi dia mengambil selangkah lebih maju mendekatiku.

Lalu tiba-tiba terasa rintik-rintik hujan turun, dan enggak lama hujan langsung turun dengan derasnya. Aku dan Nico langsung berlari kembali ke dalam hotel. Kita berdua basah kuyup.

"Aku bakal antar kamu pulang. Mau kamu suka atau enggak." ucap Nico, "Terserah kamu juga sih, kalau kamu lebih memilih kehujanan sampai dapat taksi. Tapi hujannya deras loh." aku merasakan ada sindiran di ucapan Nico ini.

Yaah... karena enggak ada pilihan lain, aku akhirnya setuju.

"Oke, aku ikut sama kamu." ucapku dengan pasrah. Karena pada akhirnya aku kalah dari Nico dan harus menuruti kemauannya.

Aku pun mengikuti Nico pergi ke lift, kita menuju ke tempat parkir yang berada di basement.

Di dalam lift tiba-tiba Nico memberikan jasnya kepada aku.

"Udah terima aja. Aku tahu kamu lagi kedinginan sekarang. Meskipun jasnya agak basah tapi lumayan buat nutupin tubuh kamu dari dingin."

Kali ini lagi-lagi aku kalah dari Nico. Tanpa membantah atau mengucapkan sepatah kata pun, aku memakai jas Nico itu. Ketika aku melirik ke arah Nico, dia terlihat sedang tersenyum. Tapi aku enggak merasa senang dengan senyumannya kali ini, karena aku merasa dia seperti sedang menertawakan aku.

"Kenapa senyum?"

"Enggak apa-apa." jawab Nico pendek, dan masih tersenyum.

Kita berdua masuk ke dalam mobil Nico, si sedan merah. Brrr... rasanya dingin banget. Entah karena Nico menyadari kalau aku kedinginan atau dia juga merasa kedinginan, Nico mematikan AC di dalam mobil.

Nico pun menjalankan mobilnya. Di luar hotel hujan masih turun dengan derasnya.

"Kayaknya hujannya masih deras. Gimana kalau kita ke tempat lain dulu, sebelum aku antar kamu pulang?" ujar Nico.

"Hah? Apa kita enggak bisa langsung pulang aja?"

"Yaa... aku sih mau aja langsung antar kamu pulang. Tapi kita lagi kebasahan kayak gini, lebih baik kita tunggu hujannya sampai agak reda baru lanjut perjalanannya. Gimana?" usul Nico. Aku ragu harus jawab apa.

"Di dekat sini ada kafe punya teman aku. Kita bisa nunggu di sana, sekalian menghangatkan diri dulu sambil nunggu hujannya agak reda. Daripada kita menggigil selama perjalanan. Terus jarak dari sini ke rumah kamu juga cukup jauh kan." lanjut Nico yang membuatku berpikir.

"Ya udah... terserah kamu aja." akhirnya aku pun pasrah. Selama aku menatap ke jendela mobil, aku bisa mendengar suara cekikikan Nico.

Haaahh... Rencanaku untuk kabur diam-diam gagal total.






































***
Spoiler.
Siap-siap untuk secuil sweet moment antara Audy dan Nico di bab selanjutnya.

Continue Reading

You'll Also Like

43.7K 7.5K 41
Ini kisah tiga yang berbeda. Tentang cinta, tentang hidup, tentang persahabatan, dan tentang mereka. Benang cerita terulur panjang, namun terjalin pa...
31.7K 3.8K 23
[Yian-Damar GANTI JUDUL] 🙏 Kehidupan Yian, si guru bimbel yang super sibuk sedang berada di fase mumet-mumetnya karena pekerjaan dan percintaan. Pat...
93.9K 6.5K 35
Berisi keseharian gadis bernama KRISTAL LIANA QUEEN DE ALBERT bersama keluarganya. menjadi permata dari keluarga mafia terkuat membuatnya harus selal...
68.5K 3.6K 18
"Kyung, gila lu sakit? Kok desah-desah gitu di toilet?" -Chanyeol. "Aaahhh.... Bacothh tolol nghhh..." -Kyungsoo. #2 of Chansoo (28062020) WARN! 18+ ...