[As Aaron Torres in Media]
Author's POV
"Kembaran? Maksudmu?" Aaron menautkan kedua alisnya dan menatap Kendra heran.
Kendra terus mengangguk, terdengar gila, tapi apa salahnya bertanya?
"Kau tinggal dimana sebelumnya?" Tanya Kendra lagi penasaran.
"Brooklyn" sebutnya.
"Kau kenal denganku di masa remajamu?" Kendra menatapnya intens, tidak sabar menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut Aaron.
Aaron mengernyit, tertawa dengan keras, seolah pertanyaan Kendra terdengar lucu olehnya, "Ada apa kau ini?"
Kendra bergeming, mengerucutkan bibirnya, dari raut wajahnya terlihat seperti ia sedang mengambek.
"Kau lupa kita bertemu di kelab malam itu? Perlu kuingatkan lagi memangnya?"
"Jangan bercanda!" Jawabnya kesal.
"Jadi, apa ini alasanmu sekarang ikut denganku ke bandara? Untuk menginterogasi aku?" Tanya Aaron sembari meliriknya.
"Fokus menyetir, aku hanya ingin bertemu dengan dad!" Alasannya lalu kembali memandang ke jendela.
Sesampainya disana, Kendra segera menarik Aaron ke salah satu kios untuk membeli gelato yang sedang menjadi favoritnya belakangan ini.
Kendra menikmati gelato-nya, Aaron sudah persis seperti asisten pribadinya. Berjalan membuntuti Kendra, membawakan tas wanita itu dan membersihkan cemotan di wajahnya.
Kendra tidak pernah meminta pria itu untuk melakukan semua itu, pria itu yang kesal sendiri melihat Kendra kesusahan makan gelato sambil berjalan.
Mereka berjalan menelusuri koridor khusus para pekerja di bandara. Hampir seluruh pasang mata memperhatikan keduanya.
Kendra tidak terlalu menutup wajahnya, tapi ia hanya menggunakan topi penutup kepala jaketnya agar tidak kelihatan terlalu mencolok.
"Hey! Bintang!" Seru seorang wanita paruh baya di depan mereka.
Keduanya sempat tersentak kaget, lalu kembali tersenyum lebar.
"Ms.Lin!" Sahut Kendra semangat. Sedangkan, Aaron hanya menatap mereka bergantian.
"Feel great? Ada babu yang bisa kau bawa kemana-mana" Ledek wanita itu sambil melirik Aaron.
"Kulihat pertemuan dengan perusahaan sebelah sudah dimulai daritadi," Sindir Aaron sambil menunjuk belakangnya.
Wanita itu tersentak kaget, "Apa?! Aku harus pergi! Sampai jumpa!" Teriaknya lalu berlari meninggalkan keduanya.
Kendra hanya tertawa kecil melihat kelakuan Ms.Lin yang masih bersemangat layaknya anak muda di usianya yang sudah terbilang cukup tua.
"Rasakan itu," Gumam Aaron sambil menahan tawa, masih melihat ke arah dimana terakhir kali wanita itu menghilang.
"Jangan bilang kau menipunya?" Ucap Kendra tak habis pikir.
Aaron terkekeh dan Kendra langsung tahu apa jawabannya. Aaron benar-benar menipu Ms.Lin hanya karena wanita itu sudah meledeknya tadi.
"Itu sudah biasa, kami sudah sering begitu," Sahutnya.
"Bukannya kau juga harus pergi?" Tanya Kendra ketika ia benar-benar menghabiskan gelatonya.
Aaron mengangguk pelan sembari mengembalikan tas Kendra.
"Sampai jumpa," Balas Kendra dengan lambaian kecil. Setelah mereka memutuskan untuk berpencar, Kendra langsung melangkah menuju ruangan kerja ayahnya.
Sesampainya disana, ruangan ayahnya itu terlihat sangat sepi, setahunya Abercio sudah pulang sejak tadi pagi sekali. Tapi sekarang, ayahnya itu sedang tidak berada di ruangan seperti biasanya.
Setelah mengemasi beberapa barang yang tampak berantahkan, Kendra memutuskan untuk meninggalkan ruangan. Berpikir mungkin ayahnya sedang dirumah.
Bunyi telepon menghentikan langkahnya. Kendra segera mengangkatnya dan menempelkan telepon berkabel itu ke telinganya. Belum sempat mengucapkan salam, orang itu sudah menyelanya.
"Abercio! Kau tidak lupa dengan janjimu, kan? Kapan kau tiba? Aku sudah meunggumu dari seminggu yang lalu, kau tahu?" Suara berat itu terdengar tidak asing.
"Erhm, maaf. Ini dengan siapa?" Tanyanya berhati-hati.
"Dr. Martin. Tolong sampaikan kepada bos-mu, supaya ia segera ke klinikku, ya!" Jawabnya sambil terkekeh.
Belum sempat bertanya, pria itu sudah memutuskan panggilannya. Sebelum ia bekerja untuk mengambil scene di malam hari, Kendra memutuskan untuk pergi mencari ayahnya. Klinik? Apa ayahnya punya semacam penyakit yang tidak pernah diketahui olehnya?
Taxi yang ia tumpangi melaju melewati Rockaway Boulevard. Berhenti disalah satu klinik yang sudah ia cari sebelumnya di internet dengan nama Dr. Martin Orthon.
Dan salah satu tempat yang paling memungkinkan ialah klinik psikologi berlantai tiga ini.
Desain minimalis dan interior yang mewah membuat Kendra melongo, tidak membayangkan semua interior unik itu dapat ditempatkan dalam satu bangunan sekecil ini.
"Apa ada pasien bernama Abercio Damaris?" Tanya Kendra di meja terdepan, letaknya tepat berhadapan dengan pintu masuk.
"Aku putrinya, bisa aku langsung menemuinya?" Tambah Kendra yang terlihat sedikit tergesa-gesa.
"Mereka sedang mengobrol di meja depan, silahkan saja, ma'am" Jawab wanita itu kemudian menunjuk ke sebelah kanan. Ruangan tengah tanpa pintu itu.
"Kau sudah boleh memberitahu semuanya kepada Kendra, Ab!" Kendra menghentikan langkahnya saat mendengar namanya itu disebut.
"Aku takut terjadi sesuatu lagi padanya!" Jawab suara yang sangat ia kenal.
"Apa ia tidak pernah mengeluh? Seperti pusing? Mimpi? Bayangan, mungkin?" Tanya Dr.Martin lagi.
"Ia sudah menikah, dengan Aaron."
Dr.Martin terkejut, "Hah? Apa Kendra benar-benar tidak mengeluh soal apapun?" Tanyanya lagi.
Abercio menggeleng saja.
Martin berdecak prihatin, "Kelihatannya kau yang telah memaksa mereka menikah!" Tebaknya yang juga ternyata sangat tepat.
Dokter berkacamata yang kelihatannya banyak mengetahui tentang dirinya, berhasil membuat Kendra penasaran setengah mati.
"Hidup Kendra mungkin akan kacau saat ia mulai membuka hatinya, mencintai Aaron. Kau perlu terus mengawasinya," Lanjutnya lagi.
"Janji, aku akan memberitahunya segera!" Jawab ayahnya kemudian menghirup secangkir teh hijau.
"Kau mempersulit dirimu sendiri, Ab. Kau harus terus mengawasinya untuk saat ini," Ucap Martin dengan semangat.
Abercio mengangguk saja, Martin tahu meskipun pria paruh baya itu tidak menjawab, Abercio akan selalu mendengarkan apa katanya.
"Cinta itu hal yang menakjubkan, Ab. Kendra dulu sepertiku, kau tahu, bukan? Bahwa istriku selalu berada disisiku. Aku mengalami halusinasi dan depresi berat saat aku mulai mencintainya. Entahlah, hanya binggung kenapa aku tidak jadi orang gila," Jelasnya sambil terkekeh.
"Jadi Kendra masih mungkin bisa kehilangan kewarasannya? Begitu?" Abercio melongo.
Seorang perawat mengetuk, ternyata ia hendak mengantarkan minuman kepada Kendra. Keduanya otomatis menoleh ke belakang dan mendapati Kendra disana.
Kendra jelas mendengar semuanya.
"Dad?" Lirih Kendra.
Keduanya saling menatap. Terkejut dengan kedatangan wanita itu secara tiba-tiba. Sejak kapan dia disana?
"Apa yang terjadi? Apa yang tidak boleh kutahu? Kenapa aku bisa jadi gila?" Tanya Kendra penasaran.
"Dad! Jawab aku!" Lanjutnya.
"Uhm, Kendra" Pria berkacamata dengan jas panjang berwarna putih itu mendekatinya.
"Ayo semuanya ke ruanganku saja," ajak Martin merangkul keduanya dan menarik mereka pelan. Otomatis keduanya mengikuti langkah dokter itu dan masuk ke ruangannya yang sangat luas.
Mereka duduk di sofa di tengah-tengah ruangan, perawat menuangkan teh hangat ke dalam ketiga cangkir itu dan segera meninggalkan ruangan.
Martin menatap Abercio, seolah bertanya melalui tatapan.
Abercio mengangguk pasrah, Martin langsung tahu bahwa Abercio menyetujui hal itu, ia memutuskan akan memberitahukan semuanya kepada Kendra, sekarang juga.
TBC
Don't forget to vote and comment ! ;)
👑