[As Tasya in media]
[Part ini menjelaskan kejadian di Nz, sebelum kejadian pesawat terjatuh]
Author's POV
Wanita tinggi, berambut merah dikuncir satu, dan bermata hijau itu tampak sedang panik, "Uhm, Captain. Dia, Co-Pilot punya sedikit masalah, kau harus segera kesana" Ucapnya terengah-engah.
"Co-Pilot? Masalah apa?" Tanyanya lagi lalu berlari bersama dengan Tasya.
"Mr.Colins? Kau baik-baik saja?" Tanya Aaron saat tiba disana. Ia mendekati pria paruh baya itu dan mengecek kondisinya.
"Waktu Take off kurang dari lima menit, Captain," Bisik Tasya panik.
Pria paruh baya itu tampak kurang sehat, dengan kondisinya saat ini tidak memungkinkan bagi co-pilot untuk melanjutkan perjalanan.
Karena seorang captain dan co-pilot adalah satu. Terpaksa semua tim pilot dari penerbangan 234 harus mencari pengganti. Belum lagi karena mereka menolak untuk meninggalkan Mr.Colins yang sedang sakit sendirian di negara asing pula.
"Sampaikan penggantian tim, aku akan membawa Mr.Colins bersama dengan yang lain" Perintah Aaron.
Tasya segera pergi sesuai dengan perintah Aaron. Beberapa pramugara dan satu orang yang tersisa dari tim-nya membantu Aaron membawa Mr.Colins kembali ke dalam Sydney Airport.
Penerbangan oleh Captain Aaron Torres dengan tujuan New Zealand-New York dibatalkan hari itu juga.
👑
"Captain" Tasya menyodorkan sebotol air minuman kepadanya.
Aaron menerimanya, ia terlihat cukup lelah akan masalah tadi, "Kita sedang tidak bertugas," Ucapnya.
"Baiklah," Jawab Tasya yang langsung bisa menebak maksud ucapan Aaron.
Mereka duduk dalam keheningan, dalam ruangan yang diselimuti bau khas rumah sakit, beserta Mr.Colins yang sedang terbaring diatas kasur.
Tidak lama, Aaron kemudian memecahkan keheningan itu, "Tanda pengenalku." Aaron mengulurkan tangannya lurus-lurus kehadapan wanita yang berdiri disampingnya.
"Apa kau akan pulang duluan?" Tanya Tasya, jika tidak ingin membayar biaya yang mahal untuk perjalanan pulang ke New York, ia sangat membutuhkan tanda pengenal itu.
Aaron mengangguk.
"Tidak, bagaimana jika kita menghabiskan waktu disini? Kita masih punya waktu!" Serunya.
Tasya kemudian memelankan suaranya, saking senangnya, ia melupakan ada orang yang sedang sakit di ruangan ini.
"Tidak, Tasya. Aku harus--" Ucapan Aaron disela olehnya, "Bagaimana jika aku tidak ingin memberikannya padamu?" Godanya.
Aaron memejamkan matanya, wajahnya menyiratkan kekesalannya kepada wanita keras kepala itu. Tapi bagaimanapun juga, ia tidak berhak marah, kehilangan tanda pengenal itu termasuk kesalahannya sendiri.
"Hanya beberapa hari, kau tidak ingin menemani Mr.Colins?" Bujuk Tasya menatap penuh pengharapan.
"Kukira keluarga Mr.Colins yang ada di Melbourne akan datang sebentar lagi."
Aaron berpikir sejenak, lalu merogoh sakunya. Ia memegang semua bagian sakunya dan berusaha mencari ponselnya.
"Ada apa, kak?" Tanya Tasya lagi melihat tingkahnya yang gelagapan.
"Ponselku, kau lihat? Sepertinya aku meninggalkannya tadi," Jawab Aaron, ia menggaruk tengkuknya karena kebinggungan.
Beberapa jam setelahnya, kedua orang dengan perut kosong itu memutuskan untuk pergi keluar mencari sesuatu yang bisa mengatasi rasa lapar mereka.
"Kau punya uang?" Tanya Aaron kemudian berdeham menutup kecanggungan. Ia memalingkan wajahnya kemudian menatap deretan bistro di seberang jalan.
"Hanya segini." Tasya mengeluarkan beberapa lembar uang bermata uang dollar Australia dari tas selempang kecil yang selalu ia bawa kemana-mana.
"Sial! Kenapa semua barangku tertinggal di bandara?" Gerutunya.
Sekarang, rencananya untuk membeli tiket pulang ke New York dengan kelas ekonomi pun tidak memungkinkan lagi.
"Ini akan cukup untuk beberapa hari," Sahut Tasya, ia masih saja tersenyum lebar walaupun sebatang kara di negara lain.
Mereka memasuki bistro kecil dan memesan meat pie, salah satu makanan yang terkenal di Australia.
"Kau harus membayarnya!" Ucap Tasya disela makan mereka.
"Kupastikan itu" Jawabnya. Aaron terlihat sangat lapar, ia dengan cepat memotong dan memasukkan potongan-potongan pie itu dengan lahap.
Aaron lalu menghentikan makannya sejenak saat Tasya tiba-tiba menyentuh pipi bagian ujung bibirnya sambil terkekeh.
Aaron mengatupkan bibirnya seraya berdeham setelah mendapati Tasya barusan membersihkan sisa makanan yang mengotori ujung bibirnya itu. Ia menatap Tasya yang tersipu malu, tidak peduli, ia pun kemudian melanjutkan makannya.
Sehabis makan, mereka menggunakan taxi untuk sampai ke bandar udara Sydney. Ditengah-tengah perjalanan, tiba-tiba saja Tasya meminta sopir taxi itu untuk berhenti.
Tarif taxi-nya benar-benar mahal, untung saja Tasya menyadari digit-digit di monitor kecil yang mengalir bagaikan air dan meminta sopir taxi itu untuk berhenti. Jika tidak, entah bagaimana mereka akan membayar dengan uang yang pas-pasan itu.
"Itu hampir saja!" Seru Tasya setelah mereka melihat taxi itu pergi menghilang dari pandangan mereka.
"Too close! Kembaliannya bahkan sisa 50 sen!" Seru Aaron, hal itu membuatnya tegang sehingga membuat Tasya heran dan ikut tersenyum lebar.
Aaron berdeham kemudian berjalan pelan, ia menyesal, entah apa yang sudah membuatnya bertindak cukup konyol tadi.
"Kak senior berhutang padaku, satu makan malam, satu makan siang, dan ongkos taxi." Tasya menyusulnya sembari berhitung-hitung dengan jarinya.
"Panggil saja Aaron," Sahutnya.
Tasya mendongak, ia menoleh dan menatap Aaron. Berpikir apa ini artinya Aaron sudah cukup akrab dengannya?
"Jangan salah paham," Lanjutnya tanpa memandang ke wanita yang sedari tadi menatapnya dan berusaha menyesuaikan langkah kakinya yang panjang.
"Sebenarnya, tanda pengenalmu sudah kukembalikan." Ucapan Tasya sempat membuat Aaron menghentikan langkahnya sejenak.
"Tapi kusimpan didalam lokermu, di New York." Ucapnya ragu, sedikit merasa bersalah.
Aaron kembali berwajah datar, menghembuskan napas beratnya dan terus melanjutkan langkah mereka.
TBC
👑