Author's POV
"Apa yang mereka lakukan?" Tanya Olivia melihat Kendra yang mulai melemah setelah beberapa saat bereaksi dengan suntikan itu.
"Penenang, Dr. Martin bilang Kendra mungkin akan depresi nanti" Jawab Abercio.
"Kenapa? Memangnya apa yang akan berubah?" Tanya Olivia dengan alis berkerut sebal.
"Tenang lah, Oliv. Kau tidak melihatnya menangis dan terus menggila tadi? Aku juga tidak tahu harus bagaimana lagi. Lagian kondisi Aaron juga belum dapat dipastikan," Jelas Abercio, ia merangkul istrinya dan mengecup kening Olivia.
👑
High line park di musim semi selalu terlihat indah, pemuda bertubuh tinggi dan tampan itu berdiri di tengah-tengah jembatan sambil melambaikan tangannya, "Kendra!" Teriaknya semangat. Gerakan tubuhnya seirama dengan lambaian tangannya yang kencang.
Gadis itu segera berlari mendekatinya.
"Surprise!!" Aaron mengeluarkan boneka teddy berwarna coklat dan setangkai mawar merah.
Gadis itu hanya memberikan raut wajah tersipu lalu menatap hadiah dan wajah lelaki itu bergantian.
"Katakan sesuatu! Kau tidak suka?" Cibir Aaron.
"Tidak, tidak, aku sangat menyukainya" Ucap Kendra sembari menerima boneka dan bunga itu.
"Kukira kau tidak menyukainya, temanku memberi hadiah seperti ini kepada pacarnya, lalu pacar temanku itu sangat terkejut, ia langsung memeluk dan mencium--" Aaron menghentikan ucapannya saat Kendra tiba-tiba mengecup pipinya.
Aaron tampak sedang menyembunyikan senyum tersipunya dan memberikan salah satu pipinya yang belum dikecup oleh Kendra, agar Kendra mengecupnya lagi.
Kendra menepuk pipinya itu dengan pelan lalu mencibir, "Aku sudah bosan dengan high line! Ayo kita cafe saja" Keluh Kendra sembari menarik lengannya, memaksa Aaron mengikuti langkahnya.
"Ayolah, sayang. High line park tidak pernah bisa kita temukan di Brooklyn!" bujuknya, tapi akhirnya ia tetap saja menurut dan mengikuti langkah gadis itu.
👑
Kendra's POV
...
"Kendra"
Aku mengerjap dan perlahan membuka mataku yang rasanya sangat-sangat berat, ternyata yang kualami barusan itu hanyalah mimpi. Sudah entah berapa hari aku tidak sadarkan diri berbaring di kasur yang kaku ini.
Pengelihatanku masih buram, mimpi maupun pikiranku hanya dipenuhi oleh sosok Aaron.
Seseorang dari tadi menggenggam pergelangan tanganku yang tidak diberi infus. Aku berusaha memutar kepalaku walaupun nyatanya sedikit sulit.
"Aaron?" Aku mengerjap satu kali, tidak menyangka apa yang kulihat sekarang.
Apa pria itu nyata? Atau apakah aku juga sudah menyusulnya? Sudahlah, Aku tidak peduli. Meskipun ini hanya mimpi, aku sangat ingin memeluknya.
"Merasa lebih ba--"
Aku langsung memeluk tubuh pria tinggi itu dengan erat, rasanya begitu nyata. Aku kagum tubuhku yang lemah ini berhasil meraihnya dalam dekapanku dan memeluknya erat.
"Aku disini, Ken"
Bahkan ia berbicara? Apa aku ini sudah gila?
Tubuhku terlalu lemah, meskipun aku masih ingin memeluknya. Kemana hilangnya semangat dan energiku yang kuat itu?
"Kendra?" Aaron menangkapku tubuhku yang nyaris terjatuh, ia kemudian membaringkanku kembali ke kasur dengan pelan.
"Jangan pergi, Aaron! Aku mencintaimu, jangan pergi, kumohon!" Aku meraih tangannya, entah kenapa kata itu keluar dari mulutku begitu saja.
Tapi yang jelas aku tidak akan membiarkannya pergi kemana-mana lagi.
Meskipun suaraku serak, kurasa Aaron bisa mendengar dengan jelas apa yang kuucapkan barusan. Please, jika ini mimpi, aku ingin berada disini saja.
"Aku tidak akan kemana-mana," Ucapnya lagi. Aaron duduk disampingku di ujung kasur tempatku berbaring.
"Kendra!" Dad dan mom datang.
Aku berusaha bangun kemudian duduk lalu mereka langsung datang dan memelukku dengan erat.
"Kalian lihat Aaron? Dia disini." aku melepaskan pelukan mereka dan menarik lengan Aaron.
"Tentu saja, sweetheart!" jawab mereka.
Ada apa ini? Memangnya bisa kenyataan terbalik seratus delapan puluh derajat? Ini bukan mimpi kan?
Kini aku dapat merasakan bahwa tidak ada lagi suasana yang menekan seperti beberapa hari yang lalu, memangnya apa saja yang terjadi saat aku tertidur?
"Katakan sesuatu, Aaron! Apa aku mimpi lagi?" Aku mengguncang tubuh Aaron, meskipun aku tidak punya lagi tenaga untuk itu. Aku menatapnya, tak ku sangka aku sudah sangat merindukan mata biru keabuan itu.
"Lagi? Kau terus memimpikanku, huh?" Guraunya.
Semua orang disana terkekeh, kecuali aku, satu-satunya yang terlihat kusut dan masih linglung.
"Aaron!" lirihku, aku memeluk lagi Aaron yang sedang duduk menyamping disampingku dengan erat.
"Lihatlah dia! Langsung sehat kembali" ledek dad.
"Tapi, bagaimana bisa?" Aku terlalu senang sehingga mengabaikan kedua orangtuaku lagi.
"Jika aku yang membawa pesawat itu, hal ini tidak akan terjadi. Ceritanya panjang, nanti kuceritakan semuanya padamu," jelas Aaron.
Aaron begitu manis, apa mungkin ia melakukan semua itu hanya karena dad dan mom ada disini?
Dad berdeham, ia menggandeng mom dan hendak melangkah keluar dari ruangan, "Kami akan pergi mengurus administrasinya dulu," Ucap mereka.
Setelah melihat mereka meninggalkan ruangan, aku kembali memeluknya, aku tidak akan peduli lagi apa yang akan Aaron pikirkan.
Aku terlalu merindukannya.
"Kau bilang kau mencintaiku?" Bisiknya di dekat telingaku, membuatku merinding setengah mati.
Aku melepaskan pelukan itu lalu terkekeh, "Aku? Hmm, kurasa t--" Ucapanku terpotong saat ia mulai mencium bibirku.
Oh, yang benar saja, ini titik kelemahan terbesarku.
Kendra sadarkan dirimu! Kau barusan menyangkal soal pernyataan cinta itu dan sekarang kau malah menikmati dan membalas ciumannya.
Aku sengaja menjauhkan diriku, Aaron langsung sadar dan menghentikan ciuman itu.
"Kau kenapa, Aar?" Tanyaku ragu.
"Mencium istriku," Sahutnya dengan raut wajah yang datar.
Wah, aku masih saja kagum dengan dirinya yang bisa mengatakan hal-hal seperti ini dengan mudah dan dengan wajahnya yang begitu datar.
Tiba-tiba saja suatu hal terlintas dipikiranku "Jangan lupa dengan perjanj--"
"Lupakan perjanjian bodoh itu!" Sela Aaron sembari tersenyum miring.
Apa yang membuatnya begitu baik padaku? Oh tidak, jantungku berdegup kencangnya bukan main.
"Kau akan menyesalinya," Tukasku.
Apa kepalanya habis terbentur hebat? Ada apa dengan sikapnya ini?
"Tidak."
Huh, kenapa wajahnya selalu saja datar?
Aku menyipitkan mataku, menatapnya intens mencoba mencari apa maksudnya dibalik semua ini.
Jangan terlalu lama menatapnya, Ken. Kau bisa hilang akal nanti, "Kau pasti akan menyesalinya," tegasku sekali lagi.
"Tidak akan," Jawabnya.
"Kau tahu, kan? Aku bisa saja menerkammu habis-habisan," Godaku.
"Silahkan saja."
TBC
👑