[Hiatus] Random [Author's Boo...

By Healerellik

1.6K 198 900

Isinya hanyalah fanfict acak yang kemungkinan besar merupakan request/dare. Dan hak cipta kembali ke masing-m... More

The Fate
That's
A Rain
Ganbatte!
Reply
The Magazine
Jealous
Dark Side
Truth Or Dare?
Truth Or Dare? (2)
Truth Or Dare? (2): Omake
Misunderstanding
Partner War
The Fate: A Rainbow After Rain
Your (Un)Secret Admirer
A Rain: Recycle
From One Mistake
The Camping Insident
My Song For You [Aisozou Version]
About Author [So OOT. Don't Read if You Won't]
My Song For You [Shuuna Version]
The New Things About You
Because You Are A Part Of Me
Let Me Take Care of You
[OOT] Maybe Interesting for You
[OOT] Ask Your Opinion
It's Not Only About Her
Say It!
Never End
Siblings?
Catoptric Tristesse
[OOT] Novelet Fanfiction
I'm Here For You
The New Things About You (2)

Our Stories

54 7 2
By Healerellik

[Nijimura Shuuzou X Yousuka Ainawa]

.

Disclaimer: Tadatoshi Fujimaki dan Heaira Tetsuya.

Plot is mine.

And happy reading!

.

.

.

Sebuah tulang menjari memangku wajah itu. Mata yang terlapisi oleh setipis kaca bening menatap kosong ke depan. Entah peta apa yang dibawa oleh pikirannya hingga tersesat tak karuan di alam sana. Sedangkan jemari satunya tak sadar memberikan ujung polpen sebagai pelampiasan dari gigi yang selalu gemeretak itu.

Wangi urang aring menguar dari rambut sepinggang yang ujungnya masih basah itu. Namun si empunya tidak peduli. Walau -mungkin- ia sadar kalau lembaran bukunya sudah terhiasi oleh pulau abstrak dari helai kehitaman itu.

Entah sudah seberapa jauh pikirannya mengembara. Hingga hilang koneksi dengan raganya yang kini ditemani oleh seseorang. Sosok itu tak berusaha menyambungkan tali pengikat. Malah terus mengulur tali itu guna mencari sesuatu.

"Ai."

Suara berat pemecah keheningan terdengar. Namun tak memiliki cukup daya untuk mengembalikan sukma gadis yang masih membisu.

"Hm?" Letupan udara terdengar sebagai jawaban. Memberi keyakinan bahwa sosok itu tak kehilangan nyawa.

Lelaki bernama Nijimura Shuuzou itu hanya membuang napas. Sedikit kesal dengan sikap seorang Yousuka Ainawa yang mudah tersesat di labirin pikirannya. Ia memangku wajahnya menggunakan kedua tangan. Memandangi wajah -calon- kekasihnya itu dari samping.

Entah darimana asalnya pepatah itu datang. Mengungkapkan bahwa ini saat terkecil untuk seseorang berkata dusta. Dan Shuuzou menyeringai kecil. Ia yakin, kalau kata antah berantah itu benar.

"Hei, Ai. Kau sedang memikirkan apa?" tanyanya dengan nada seseduktif mungkin. Mencoba merayu pikiran terdasar gadis itu untuk mengambang. Dan sepertinya berhasil.

"Hm? Hanya pelangi yang menghiasi langit biru," ucap Ainawa -tentunya tidak sadar-. Membuat Shuuzou berjengit heran. Jawaban polos itu membuat badai di hatinya. Hei, bolehkah ia memeluk sosok mungil itu karena ia -sekali lagi tidak sadar- sudah mengungkapkan isi hatinya?

Namun pikirannya masih terhubung pada sambungan kalimat itu. Membuat Shuuzou sekali lagi harus menganalisis segala kemungkinan atas dua kata terakhir itu.

Hanya sesosok yang bisa menjadi kandidat langit biru dengan awan itu. Huh. Sekali lagi, Shuuzou merasa usahanya belum maksimal. Karena ternyata, ada gulma yang masih tumbuh di antara rerindang bunga utama.

Dan kini, kenyataan kembali menarik ulur. Menarik sukma itu untuk ikut menjauh dari raganya. Meyakinkan bahwa di sana ada cara untuk membuat sukma satunya ikut terjun dalam kubangan yang ia rasakan. Kubangan yang tak berdasarkan apa-apa.

*****

"Jadi, bagaimana?"

"Aku ingin tetap di sini."'

"Tak keluar?"

"Iya."

"Bukankah ini akhir minggu? Kau seharusnya menghabiskan waktumu untuk bersantai."

"Tapi tak harus keluar kan? Di sini saja."

"Kupikir hiruk pikuk kota akan memberikan suasana baru padamu."

"Justru yang ada aku semakin stress!"

"Walau itu bersamaku?"

"Mungkin..."

"Jadi?"

"Aku tetap tak mau keluar. Di sini saja."

"Yakin? Kita bisa mencari makanan kesukaanmu lho."

"Yakin kok. Dan aku sudah kenyang. Jadi tak perlu."

"Hei, sejak kapan kau keras kepala, huh?"

"Entahlah. Aku tak tahu."

Ia hanya bisa mendesah. Membuang napas berat melihat sifat baru gadisnya itu; keras kepala. Entah darimana ia mempelajari sifat yang bertolak belakang dengan kepribadiannya itu.

Namun ia tak menyangkal. Ia pandangi wajah si gadis yang menatap lurus ke depan. Pandangannya kosong. Sudah ia duga. Pikiran setengah jiwanya itu tengah dirundung duka.

"Apa yang kau pikirkan?" Tanyanya. Berharap dapat membantu mengurai benang masalah yang ada.

Namun justru gelengan yang ia dapatkan sebagai jawaban. Sosok ringkih itu memilih menjadi pribadi yang lain di kencan mereka yang entah keberapa ini.

"Ayolah. Kutahu kau sedang ada masalah. Wajahmu itu terlalu polos untuk menyembunyikan segudang kelammu." Ia mendesak. Mencoba mengikuti sosok itu menjadi kepala batu.

"Tidak ada yang perlu kuungkap. Semuanya baik-baik saja." Ah. Ternyata benar-benar batu obsidian.

"Tapi wajahmu berkata lain. Dan aku lebih percaya raut mukamu daripada lisanmu sendiri."

Sosok itu tersenyum kecut lalu memandanginya dengan sayu. Ia membalas. Mencari kemungkinan secercah jawaban ada di sana.

Tak ada jawaban. Hanya iris yang mengembun, berkumpul, lantas berubah menjadi isak tangis. Sosok itu benar-benar ringkih dan rapuh sekarang. Seolah ia akan pecah jika tanpa kehadiran lelaki di sampingnya itu.

Tak ada yang bisa ia lakukan selain memberikan pelukan. Mencoba menenangkan walau harus menepis rasa penasaran. Dengan hati-hati, ia bergumam.

"Ada apa?"

Tak ada jawaban. Hanya air bergaram yang menderas membasahi dadanya sebagai pembungkam. Perlahan, ia pandangi langit malam. Ah, ternyata sama saja. Sama-sama kelam.

*****

Hilang tak berbekas yang ia rasakan kala maniknya menatap hamparan mega. Ya. Ia tahu bagaimana rasanya berpisah. Namun di saat yang sama, terpisah raga memang diperlukan.

Ainawa masih menatap kumpulan permen kapas itu. Mempertanyakan apakah sosok yang sudah mengudara di atas sana juga merasakannya. Padahal baru satu kali putaran jarum jamnya berlari, namun entah mengapa rasanya seperti sudah berhari-hari.

Entah bagaimana ia mengatasi hal ini. Lelah diejek oleh surya yang mengantuk membuatnya memalingkan tubuh. Menjauh dari bukit yang biasa ia gunakan sebagai alas tuk berdua dengan sosok itu.

Masih terlintas jelas dalam pikirannya. Bagaimana seribu janji yang sosok itu umbar demi redakan isak tangisnya. Janji akan menghabiskan waktu bersama jika benua Asia ia sambangi lagi. Dan ia percaya saja. Merelakan Asia-nya memeluk Amerika sana.

Ah, aliran asin itu mengurai lagi. Dengan cepat, ia mengelap pipi. Lantas tersenyum kecut. Ejekan si sosok yang mengatainya cengeng kini tak terbantahkan. Namun setidaknya, sebening kristal itu tak tertumpah sia-sia.

Iris coklatnya kembali menatap langit yang merona malu. Masih dengan pertanyaan yang sama. Apakah sosok itu juga merasa keberatan karena sekarang mereka hanya terhubung oleh benang sukma? Padahal, siapa tahu benang itu tetiba saja terputus padahal mereka belum bersua, kan?

Memikirkan itu membuat neuron pikirannya menjadi kusut. Sekiranya, bagaimana bentuk gunting yang akan datang? Sepirang wanita khas sana kah yang akan menjadi srigala berbulu domba di antara mereka? Ah, lebih baik ia bertemu dengan kuchisake onna daripada hal itu menjadi nyata. Lebih baik ia mati karena sabetan gunting taman daripada mati karena terjangan orang ketiga yang tak diharapkan.

"Cepatlah kembali, Shuu. Aku akan menunggumu di sini," batinnya mulai merapalkan nama si sosok. Berharap sekelumit rapalan itu akan ikut mengudara dan mendarat di telinga belahan jiwanya itu.

*****

Langkahnya tersendat kala gerimis menerjang bumi. Ia menghembuskan napas. Kemudian kembali duduk di tempatnya semula.

Ainawa menggosokkan kedua telapak tangannya. Angin yang berhembus membawa uap dingin, menerpa gadis itu. Dan sesuai perkiraannya. Hujan pun segera menderas. Membasahi tanah dan pendengarannya.

Ia tersenyum. Wewangian khas dari peristiwa alam itu ia sesap perlahan. Membongkar memorinya akan sosok yang beraroma sama. Ya. Hujan selalu mengingatkannya pada sebayang itu. Sebayang yang membuatnya candu akan hujan.

Lekuk wajah itu perlahan terpatri pada benaknya. Membuatnya terkikik kecil. Ternyata, sampai sekarang ia belum bisa melupakan sosok yang sudah menghilang selama beberapa tahun itu. Lagi, ia membongkar memori. Menyusuri taman ingatan akan kenangan mereka berdua. Itu indah. Tapi ia tahu. Itu hanyalah fatamorgana. Dan tak akan menjelma di dunia nyata.

Senyum itu berubah getir. Ah, mengapa ujungnya ia harus bergelut sepi? Ia coba untuk menghalau perasaan itu. Tapi sukmanya malah memberontak. Menginginkan akan segenap jiwa raga itu tetap terpaku pada satu nama.

"Kapan kau kembali?" Naifnya pertanyaan itu terlontar dari jiwanya yang lelah terbelenggu rindu.

Lama ia berkubang memori. Hingga sarafnya tak peka akan seulas senyum yang tersampir di sampingnya.

"Tadaima, Ai." Bisikan kecil itu mengakar. Menariknya dari jeratan ilusi. Manik coklat itu membulat. Mengerjap untuk fokus pada sosok di sampingnya yang tersenyum lembut. Aroma hujan pun semakin menyeruak.

"Shuu..." Satu kata itu terlontar dan ditangkap oleh sapuan elang yang semakin menajam. Sosok hujan itu mengangguk. Membantunya menyadari bahwa fatamorgananya mendarah daging.

Rengkuhan itu semakin membuatnya gamang. Tidak. Ini pasti hanya uap hujan yang akan segera mencair. Namun deru napas yang menyapu tengkuknya berkata lain. Mengapa hujan selalu membuatnya bermimpi?

"O-okaeri, Shuu." Bisiknya selembut kapas.

Dan sekarang, dirinya pun melebur bersama serpihan hujan. Membalurnya dengan balutan rindu yang sudah tergenang dalam sukma bernama penantian itu.

.

.

.

Hanya sekadar mengumpulkan status di FB yang berserakan. Daripada kehapus, lebih baik diarsipkan di sini. Tidak bermaksud apapun.



Continue Reading

You'll Also Like

674K 35.5K 43
Ini adalah sebuah kisah dimana seorang santriwati terkurung dengan seorang santriwan dalam sebuah perpustakaan hingga berakhir dalam ikatan suci. Iqb...
103K 11.3K 18
[Content warning!] Kemungkinan akan ada beberapa chapter yang membuat kalian para pembaca tidak nyaman. Jadi saya harap kalian benar-benar membaca ta...
197K 3.2K 11
suka suka saya.
304K 377 4
21+