SEMPURNA [END]

By callmenaliya

569K 44.5K 642

Rahayu Audya. Seorang editor majalah wanita. Menyukai puisi dan membaca novel dan segala hal yang puitis. Tap... More

Prolog
Bab 1 : Berawal dari sini
Bab 2 : Takdir?
Bab 3 : Masuk ke Dalam Fantasi
Bab 4 : Pria yang Sama?
Bab 6 : Begitu Sama Tapi Terasa Berbeda
Bab 7 : Jauhi atau Dekati?
Bab 8 : Garis Batas
Bab 9 : Masalah Baru
Bab 10 : Melewati Batas
Bab 11 : Bintang Tersesat
Bab 12 : Saatnya Jujur
Bab 13 : Selesaikan
Bab 14 : Sesuatu Yang Baru
Bab 15 : Pengakuan
Bab 16 : Perubahan Kecil
Bab 17 : Sulit Dijelaskan
Bab 18 : Sulit Dikatakan
Bab 19 : Ketika Semua Terungkap
Bab 20 : Sesuatu Yang Seharusnya Tidak Terjadi
Bab 21 : Bunga Tidur
Bab 22 : Merindukanmu
Bab 23 : Pangeran Tercinta dan Belahan Jiwaku
Epilogue
Note from Author
Bonus : Triple Sweet Date
Bonus : Triple Sweet Date 2
From Author : Hi! Bye!

Bab 5 : Satu Langkah Lebih Dekat

15.9K 1.7K 28
By callmenaliya

Para mahasiswa atau anggota panjat tebing mulai saling bergantian memanjat tebing. Sementara salah satu memanjat, yang lain memegangi tali yang mengikat dengan pemanjat. Aku enggak begitu tahu atau familiar sama panjat tebing. Ini pertama kalinya aku melihat langsung latihan panjat tebing, karena sebelumnya aku hanya lihat di TV saja.

Selama menunggu aku cari kesibukan sendiri, baca ulang daftar pertanyaan, baca buku yang aku bawa, tulis apapun yang ada di pikiranku sekarang di buku harian, dan lainnya.

Cukup lama juga waktu sudah berlalu. Latihan seperti ini pasti makan banyak waktu, apalagi kalau sampai keasyikan. Karena aku merasa haus jadinya aku mengambil minuman dari kotak yang dibilang Nico tadi. Banyak jenis minuman yang ada di dalam kotak, tapi aku milih botol air putih saja. Lagipula aku merasa enggak enak karena ini kan gratis. Cuman air putih juga cukup, yang penting dingin!


Setelah mengambil botolnya, ada seorang laki-laki yang jalan mendekat.

"Mau ambil minum ya? Silakan." tawarku sambil membukakan kotak tempat minumannya. Sebenarnya aku enggak perlu menawarkan juga, lagi pula ini kan tempat latihan mereka.

"Mbak yang mau wawancara kak Nico ya?" tanyanya setelah mengambil salah satu botol minuman dari kotak.

"Iya." jawabku dengan agak bingung.

Apa Nico yang cerita ya?

"Jadi mbak wartawan ya?" tanyanya lagi.

"Yaa... bisa dibilang gitu, lebih tepatnya aku bekerja sebagai editor. Tapi pekerjaannya kurang lebih sama seperti wartawan, menulis artikel juga."

"Oooh..."

"Memangnya kenapa?"

"Oh? Enggak... Mbak terlalu cantik aja buat jadi wartawan. Aku kira mbak model atau pacarnya kak Nico." ujarnya. Aku hanya bisa ketawa saja.

"Hei, Leo! Kalau kamu udah ambil minumnya cepat balik lagi ke sini!" teriak Nico dari jauh.

"Iya, kak!" sambil senyum-senyum laki-laki bernama Leo itu pergi kembali ke teman-temannya.

Tadinya aku mau kembali duduk lagi, tapi tiba-tiba...

"Mbak wartawan!" teriak seseorang. Aku yang merasa dipanggil jadi menengok, dan ternyata yang berteriak itu Leo.

"Ayo sini! Coba panjat tebing juga!" lanjutnya.

Apa?! Apa aku enggak salah dengar?

Belum rasa kaget aku hilang, si Leo itu berlari ke arah aku.

"Ayo mbak!" serunya dengan girang sambil menarik lenganku untuk mendekat ke gerombolan mereka.

"Tapi... aku enggak bisa." kataku dengan nyali yang ciut.

"Ya kan, dicoba dulu. Daripada diem aja kan?" aku enggak bisa menolak ajakan si Leo ini. Tenaga aku tentu saja kalah dengan dia yang tinggi besar.

"Udah dibilang jangan. Dasar kamu tuh!" ujar Nico sambil memukul bahu Leo ketika kami berdua mendekat.

"Kasihan kan mbak wartawannya didiemin aja, daripada sendirian duduk di sana mending gabung sama kita di sini." balas Leo.

"Maaf ya, anak satu ini memang suka jahil dan enggak pernah ada yang bisa ngelarang dia karena saking bandelnya." ucap Nico kepadaku. Aku sih hanya bisa senyum-senyum saja. Senyum pahit.

"Tapi kalau kamu enggak mau juga enggak apa-apa kok kita enggak akan maksa." lanjut Nico.

Yaa... Mau gimana lagi? Kalau nolak juga aku terlanjur sudah di sini.

"Enggak kok. Aku juga penasaran mau coba." jawabku dengan setengah tulus. Sebenarnya aku memang penasaran, tapi enggak begitu penasaran sampai ingin coba juga.

"Kamu pernah coba panjat tebing sebelumnya?" tanya Nico. Aku menggelengkan kepala.

"Apa kamu pernah mendaki gunung atau puncak sebelumnya?" tanya Nico lagi. Aku menggeleng lagi.

"Apa kamu punya phobia ketinggian?" untuk pertanyaan Nico ini juga aku menggelengkan kepala.

"Oke, kalau gitu. Enggak masalah kalau kamu belum pernah panjat tebing atau mendaki sebelumnya. Setiap orang juga mulai belajar sesuatu tanpa pernah melakukan sebelumnya kan."

Apa seharusnya aku bilang kalau aku takut ketinggian aja ya?

Leo mengambilkan alat pengaman yang harus digunakan. Nico membantu memasangkannya ke aku. Karena ini pertama kalinya jadinya aku merasa sangat kikuk dan hanya bisa diam berdiri dengan tegang. Dan ditambah, ini pertama kalinya aku berada sangat dekat dengan Nico. Aku bahkan bisa mencium wangi parfumnya. Kok bisa ya dia masih wangi, padahal dia sudah di bawah terik matahari sejak tadi. Ya ampun... Kenapa aku jadi malah kepikiran wangi parfumnya sih?

"Untungnya hari ini kamu pakai sepatu kets. Kalau kamu pakai high heels mungkin kamu ada alasan untuk enggak coba panjat tebing." ucap Nico.

Iya ya, mungkin seharusnya aku pakai high heels aja. Kalau tahu begini lebih baik kaki jadi lecet daripada harus panjat tebing. Huhu... nasib, nasib.

Setelah pengaman selesai dipasang dan Nico memastikan alatnya sudah terpasang dengan baik, Nico menjelaskan cara panjat tebing yang baik dan benar sambil melakukan gerakan pemanasan denganku.

Jujur, apa yang dijelaskan Nico enggak semuanya masuk ke dalam otak aku, karena saat ini aku masih dalam keadaan panik dan bingung. Tapi aku lumayan mengerti sedikit, yang penting genggaman tanganku harus kuat dan enggak perlu takut jatuh, karena ada orang yang memegang tali yang terikat dengan kita, jadi katanya kalau pun jatuh enggak akan langsung jatuh dengan cepat tapi akan tertahan sebentar lalu diturunkan pelan-pelan. Meski begitu tetap saja aku merasa gugup.

"Gugup?" tanya Nico.

"Sedikit." aku berusaha tersenyum, tapi pastinya senyumku ini terlihat sangat dipaksakan.

"Enggak usah gugup. Karena ini bukan pertandingan jadi kamu naiknya pelan-pelan aja. Kamu pakai tebing yang sebelah kiri itu ya, soalnya tebing itu lebih mudah daripada tebing yang kanan."

Mau semudah apa pun pasti masih sulit untuk aku yang pertama kalinya mencoba.

Nico lalu memasangkan helm ke kepala aku.

"Perlu pakai helm juga?" tanyaku.

"Keamanan dan keselamatan perlu diutamakan. Kalau kepala kamu sampai terbentur kan lebih baik pakai helmnya, untuk memperkecil kemungkinan gegar otak." aku langsung kaget mendengar ucapan Nico itu.

"Aku bilang kan 'kalau' sampai terjadi. Lebih baik mencegah kan?" sepertinya Nico berusaha menenangkanku setelah melihat reaksiku.

Nico lalu menyodorkan sebuah kantong yang aku sama sekali enggak tahu apa isinya itu dan untuk apa.

"Apa ini?"

"Ini namanya chock bag, isinya magnesium karbonat. Ambil secukupnya. Ini supaya tangan kamu enggak licin karena keringat." jelas Nico.

Aku pun mengambil secukupnya, teksturnya seperti tepung. Aku meratakannya di seluruh telapak tanganku.

"Aku taruh ini di belakang kamu ya." Nico pun mengaitkan kantong yang namanya... apa itu tadi... Cok, chock bag, di celanaku di bagian belakang pinggangku.

"Aku bakal pakai tebing yang kanan. Jadi good luck ya!"

Hah! Nico bakal panjat tebing juga?

Entah kenapa perasaanku jadi campur aduk, semakin takut tapi juga agak bersemangat. Sayangnya aku enggak akan bisa melihat Nico saat dia panjat tebing. Walaupun aku berada di sampingnya tapi sepertinya aku enggak akan berani menengok ke samping, karena nanti aku akan sibuk dengan diri sendiri.

▪▪▪

Ini Dia
Saatnya tiba. Sudah terlambat untuk mundur, karena tebing ini sudah ada di depan mata. Nico mempersilakan aku untuk memanjat lebih dulu. Like a gentlemen.

Pfuuuhh... Bismillah...

Sedikit demi sedikit, aku masih merasa bingung dan kikuk harus mulai dari mana. Tapi yang jelas karena di budaya kita terbiasa memulai sesuatu dengan kanan, jadi aku mulai meraih pegangan di tebingnya dengan tangan kanan dan naik dengan kaki kanan. Tapi sepertinya gerakanku ini salah, aku bisa merasakannya. Apalagi orang-orang di belakangku terdengar ada yang tertawa meskipun suara tawanya kecil.

Aku enggak bisa menyerah sekarang, jadi aku menyemangati diriku sendiri untuk melakukannya dengan baik. Akhirnya lama-lama aku mulai terbiasa, meraih dengan tangan kanan dan naik dengan kaki kiri, lalu sebaliknya meraih genggaman selanjutnya dengan tangan kiri dan naik dengan kaki kanan.

Pfuuh... Waktu yang aku habiskan terasa sangat lama, tapi entah sudah berapa tinggi yang aku capai sekarang ini. Aku juga enggak berani melihat ke samping apalagi ke bawah, atau ke mana pun. Rasanya aku sudah sampai cukup tinggi, tapi sepertinya masih belum sampai setengah dari dinding tebing.

"Jangan dipaksa! Kalau kamu udah capek, kamu bisa berhenti sampai sini aja!" seru Nico yang sepertinya berada di sampingku. Tapi aku enggak berani menengok.

"Enggak apa-apa! Aku masih bisa!" ucapku sambil hanya menatap dinding tebing.

"Kalau tangan kamu udah terasa licin atau keringatan, coba pakai lagi tepung yang ada di kantong di belakang kamu itu. Pakainya satu per satu aja, tangan kanan dulu baru tangan kiri. Jangan langsung dilepas dua-duanya!" karena ucapan Nico itu entah kenapa tiba-tiba aku ingin ketawa.

"Tentu aja aku enggak bakal lepas tangan dua-duanya! Aku enggak sebodoh itu!" teriakku sambil masih tertawa.

"Bisa aja karena saking bingungnya terus kamu kelupaan jadi lepas tangan dua-duanya. Soalnya pernah ada beberapa kejadian kayak gitu."

"Hahaha! Ada-ada aja!"

"Oh! Akhirnya kamu nengok juga!"

Aku juga tanpa sadar sudah menengok ke samping ke arah Nico. Karena merasa malu aku kembali menatap dinding tebing.

"Jangan terlalu tegang, nanti leher kamu sakit. Aku naik duluan ya!" ujar Nico.

Sementara Nico kembali memanjat, aku berhenti sejenak sambil mengatur nafas. Aku mencoba melepas genggaman di tangan kananku untuk mengambil tepung yang berada di kantong di belakangku itu. Dengan perlahan akhirnya bisa, tapi ketika aku coba tangan kiri, aku enggak bisa meraih kantongnya. Karena sepertinya genggaman tangan kananku sudah enggak kuat, aku pun menyerah. Dan ketika tangan kiriku coba meraih pegangannya lagi, entah kenapa aku kehilangan keseimbangan lalu genggaman tangan kananku juga terlepas.

"AKH!"

Semuanya terjadi begitu cepat, aku terjatuh, dan rasanya enggak ada yang menahanku. Dalam keadaan panik aku coba meraih tebingnya lagi, tapi karena terlalu cepat dan aku juga enggak tahu harus bagaimana, kaki kanan aku enggak sengaja terkilir karena berusaha meraih tebing tadi. Aku mendengar semua orang berteriak panik. Dan ketika aku berpikir hal yang buruk akan terjadi akhirnya aku merasakan ada yang menahanku juga. Sepertinya orang-orang yang memegang tali berhasil menahan jatuh aku supaya berhenti.

"Audy! Kamu enggak apa-apa?" entah bagaimana Nico sudah ada di sampingku lagi. Dia dengan cepat dan mudahnya turun sampai berhasil berada di dekatku. Aku enggak bisa berkata apa-apa, karena masih sangat kaget dengan kejadian tadi.

"Pegang tangan aku. Kita turun sama-sama." ujar Nico yang mengulurkan tangannya.

Aku hanya bisa menuruti ucapan Nico karena enggak bisa berpikir apa-apa. Aku pun menggenggam tangan Nico. Tangannya terasa hangat. Untuk sesaat aku tiba-tiba merasa tenang.

"Ayo, turunin kita berdua pelan-pelan!" perintah Nico kepada orang-orang yang berada di bawah. Dan dia masih menggenggam tanganku.

Di saat seperti ini harusnya kamu merasa canggung untuk berpegangan tangan dengan orang asing, tapi anehnya aku merasa nyaman.

Akhirnya aku dan Nico bisa turun dengan selamat.

"AH!" begitu kakiku menapak tanah, kaki kananku yang memang terasa sakit sejak di atas tadi semakin terasa sakitnya.

"Kenapa? Kaki kamu sakit?" Nico kelihatan panik dan langsung melihat keadaan kakiku.

"I... iya, tadi pas coba pegangan ke tebing lagi aku nahan pakai kaki, tapi karena terlalu panik kayaknya kakiku jadi terkilir."

"Cepat ambil kompres es sama spray penghilang rasa sakit!" teriak Nico kepada yang lain. Mereka pun langsung pergi menuruti perintah Nico.

Lalu tanpa bisa aku hindari tiba-tiba Nico menggendongku.

"A... Aku masih bisa jalan kok." ucapku dengan agak gelagapan.

Meskipun aku menolak tapi Nico masih terus menggendongku dan membawaku sampai ke kursi di bawah payung besar itu. Nico menurunkanku tepat di atas kursi dengan perlahan. Nico lalu jongkok untuk mengecek keadaan kaki kanan aku.

"Aw!" walaupun kakiku baru diangkat sedikit rasa sakitnya langsung terasa.

"Sakit banget ya?" tanya Nico dengan suara yang halus.

"Mmm... Lumayan."

"Ini kak kompres esnya." salah seorang anggota datang membawakan sebuah handuk yang diikat dengan es di dalamnya. Nico langsung mengompres kakiku.

"Tadi siapa yang pegang talinya?! Kenapa kalian enggak langsung menahannya pas jatuh?" teriak Nico dengan nada bicara yang tegas.

"Maaf kak, tadi kita lagi ngobrol jadinya kita agak telat pas mbaknya jatuh."

"Aku kan sudah bilang supaya kalian harus tetap konsentrasi saat menjaga orang yang sedang memanjat. Tugas orang yang menjaga lebih besar daripada yang memanjat, kalian tahu itu kan?" Nico bicara semakin keras dan tegas. Baru pertama kalinya aku melihat Nico marah seperti ini. Para anggota panjat tebing langsung tertunduk dan terlihat merasa sangat bersalah.

"Udah, enggak perlu marahin mereka lagi. Aku bener-bener cuman terkilir biasa kok, lagi pula ini juga salah aku sendiri karena belum terbiasa." ujarku kepada Nico.

"Walaupun cuman terkilir tapi kita harus periksa ke dokter, takutnya cederanya bisa lebih parah."

"Dokter? Enggak usah, aku bener-bener enggak apa-apa kok. Dikompres aja juga nanti sembuh sendiri."

"Tapi tetap saja kita harus periksa dulu supaya lebih pastinya. Aku bakal antar kamu periksa ke dokter. Tunggu sebentar, aku ambil tas dulu."

"Eh, tunggu, Nico! Beneran enggak usah!" teriakku, tapi Nico sudah keburu lari pergi mengambil tasnya.

"Udah mbak, ikutin aja apa kata kak Nico. Kak Nico paling rewel masalah begini, luka sedikit juga pasti kak Nico bakal panik dan marahin kita karena enggak hati-hati." ujar salah satu anggota.

"Aku minta maaf ya mbak. Aku bener-bener enggak sengaja, ini semua salah aku sampai mbak cedera kayak gini."

"Udah, enggak usah dipikirin, aku beneran enggak apa-apa kok."

"Latihan hari ini sampai di sini aja. Tolong kalian beresin semua peralatan yang ada. Kita ketemu lagi nanti sesuai jadwal seperti biasa." ucap Nico saat kembali setelah memakai tas ranselnya.

"Ini tas kamu kan?" tanya Nico sambil menunjuk tasku yang ada di atas meja.

"Iya." setelah aku menjawab Nico langsung mengambil tasku dan membawanya di bahunya. Lalu Nico pun menggendongku, lagi.

"Tu... tunggu, turunin aku! Aku masih bisa jalan sendiri kok."

Rasanya sangat memalukan, apalagi dilihat banyak orang seperti ini. Di sinetron atau drama korea, adegan seperti ini terlihat sangat romantis dan membuat iri yang melihatnya. Tapi tidak dengan aku. Rasanya sangat maluuuu sekali!

Nico tidak memedulikan protesku dan terus berjalan sambil tetap menggendongku.

Kita berdua sudah jalan semakin jauh dari keramaian para anggota panjat tebing. Enggak ada yang berbicara, baik aku maupun Nico. Di saat seperti ini mungkin Nico akan sulit untuk bicara, karena kesulitan menggendongku yang berat ini. Tapi ini sangat canggung dan super kikuk. Ada beberapa mahasiswi yang melihat kita berdua selama perjalanan, mereka berbisik-bisik sambil tersenyum-senyum.

"Kamu bisa turunin aku sekarang. Kamu pasti kecapean kan? Apalagi aku juga berat." aku memelankan suaraku saat mengucap kalimat terakhir.

"Memang berat." ucapan Nico itu langsung membuatku tanpa sadar melotot kepadanya.

"Maksud aku, bawa dua tas dan satu orang itu memang rasanya berat." jelasnya.

Oh... Aku kira yang Nico maksud cuman aku.

"Lagi pula aku kan harus tanggung jawab, karena alasan kamu jadi terkilir kayak gini juga sebagian besar salah aku." lanjut Nico.

Entah kenapa jantungku langsung berdegup dengan kencang, aku hampir susah untuk bernafas. Aku baru menyadari kalau sekarang ini aku sangat dekat dengan Nico, dalam arti yang sebenarnya. Aku belum pernah digendong seperti ini oleh seorang pria. Terakhir kali mungkin waktu aku masih sangat kecil. Aku ingat pernah terjatuh sampai lututku berdarah, dan saat itu ayah menggendong aku di punggungnya sampai rumah. Aku sangat merindukan rasanya digendong oleh ayah, punggungnya yang terasa hangat dan lebar, rasanya sangat nyaman dan membuatku merasa aman.

Tanpa terasa kita sudah sampai di tempat parkir. Nico terus berjalan mendekati sebuah mobil sedan berwarna merah, yang sepertinya ini mobilnya. Setelah menyalakan kunci mobilnya, Nico membuka pintu mobil dengan salah satu tangannya yang memegang bagian kakiku, lalu dengan perlahan Nico membantu aku duduk di kursi penumpang di sebelah kursi setir. Dari caranya yang terlihat tidak kesulitan atau canggung, sepertinya Nico pernah melakukan ini sebelumnya. Apa dengan Miranda ya?

Selagi aku berpikir yang aneh-aneh, Nico sudah duduk di kursi setir. Dan dia pun langsung menjalankan mobilnya.

▪▪▪

Saatnya Periksa
Kita sampai di salah satu rumah sakit yang tidak terlalu jauh dari kampus. Nico benar-benar mengurusi semuanya, yang aku lakukan hanyalah memberikan KTP aku kepada Nico untuk masalah pendaftaran.

Enggak menunggu terlalu lama, aku pun dipanggil masuk untuk diperiksa. Dan Nico pun ikut masuk, karena selain aku masih susah untuk berjalan sendiri, Nico juga merasa bertanggung jawab jadi dia ikut menemani aku masuk.

Ah, kali ini aku enggak perlu digendong oleh Nico. Aku duduk di kursi roda yang dipinjam setelah masuk ke rumah sakit.

Pemeriksaan seperti biasa. Aku disuruh duduk di tempat tidur dan kaki kananku diperiksa oleh dokter.

"Untungnya ini cuman terkilir biasa." ucap dokter.

"Apa enggak perlu di ronsen? Takutnya ada yang patah atau apa gitu, dok?" aku agak kaget karena Nico berinisiatif untuk bertanya lebih dulu.

"Enggak perlu lah, Nik. Kata dokter juga cuman terkilir biasa kan." ucapku.

"Ya, tapi kan tetep aja kita perlu periksa lebih jelas, kalau ternyata keadaannya lebih parah dari ini kan bisa jadi bahaya."

"Kalau adik ingin pacarnya diperiksa lebih jelas boleh saja kok."ujar pak dokter.

"Saya bukan pacarnya kok, dok!" aku langsung membantah. Sementara aku lihat Nico hanya senyum-senyum saja.

"Mau saya pacarnya atau bukan sebagai laki-laki harus bertanggung jawab kan, dok?" ucap Nico.

"Iya, tentu saja."

Eh, tunggu! Kok rasanya aku enggak asing dengan obrolan ini? Apa ya? Kok rasanya kayak deja vu. Aku kayak pernah mengalami ini sebelumnya, atau sepertinya aku pernah baca ini...

Ya ampun! Ini kayak cerita di novelku!

"Hah!" tanpa sadar aku teriak, dan langsung menutup mulutku dengan tangan.

"Kenapa? Apa masih kerasa sakit?" tanya Nico yang mungkin bingung kenapa aku tiba-tiba teriak.

"Eng... enggak, enggak apa-apa."

Nico dan pak dokter berbicara dan berkonsultasi sesuatu, sementara suster memakaikan perban elastis di pergelangan kakiku yang terkilir. Dan... pikiranku kembali memikirkan hal gila dan enggak mungkin masuk di akal.

▪▪▪

Di Mobil
Setelah periksa dokter selesai, bayar, dan mengambil obatnya, kita berdua pun pergi. Untung saja ada kursi roda, jadi Nico tidak perlu menggendongku lagi untuk kembali ke mobilnya.

Selama perjalanan yang ada di pikiranku saat ini hanyalah, bagaimana kejadian tadi bisa mirip dengan yang ada di novel. Aku ingat di novel kedua yang berjudul "My Lovely Hero" itu ada bagian saat Lova datang ke tempat Nico latihan panjat tebing, Lova yang coba memanjat saat itu terjatuh dan enggak sengaja kakinya jadi terkilir. Aku enggak ingat kaki mana yang terkilir. Kalau sama-sama kaki kanan...

Enggak, enggak. Bisa saja aku menulis kaki kirinya yang terkilir atau mungkin juga aku enggak menuliskan kaki mana yang terkilir.

Lalu selanjutnya, kalau enggak salah di novel, Nico juga membawa Lova ke rumah sakit untuk diperiksa. Dan mereka bertengkar karena Nico terlalu anggap serius cedera yang dialami Lova itu, sedangkan Lova sendiri bersikap biasa-biasa saja. Dan yang paling aku ingat adalah ucapan Nico tadi sama persis dengan Nico yang di novel, "Mau saya pacarnya atau bukan sebagai laki-laki harus bertanggung jawab kan, dok?"

Haahhh... Kepalaku jadi pusing rasanya.

"Kenapa? Kepala kamu pusing?" tanya Nico tiba-tiba yang membuatku langsung sadar dari lamunan.

Mungkin karena aku memegang dahi, jadinya Nico langsung bertanya seperti itu.

"Enggak, enggak apa-apa." jawabku.

"Kamu yakin enggak perlu aku antar ke rumah kamu aja? Apa kamu perlu balik ke kantor? Kamu kan bisa minta izin untuk enggak masuk kerja karena sakit, aku yakin pasti mbak Lilian bisa mengerti kalau kamu cerita apa yang terjadi."

"Aku bahkan enggak sempat ke kantor hari ini, dan aku juga enggak ngelakuin tugas untuk wawancara. Jadi gimana aku bisa langsung pulang ke rumah gitu aja."

"Apa perlu aku yang bilang sama mbak Lilian?"

"Enggak usah. Enggak apa-apa kok. Beneran."

"Aku benar-benar merasa bersalah. Karena aku kamu jadi kayak gini. Nanti aku bakal cerita semuanya ke mbak Lilian kalau aku yang bertanggung jawab bikin kamu jadi begini. Udah gitu minta izin sama mbak Lilian untuk enggak masuk kerja dulu sementara ini."

"Hah? Enggak usah, beneran kok enggak apa-apa. Kalau kamu ngomong kayak gitu ke mbak Lilian takutnya mbak Lilian jadi salah sangka."

"Jadi salah sangka gimana maksudnya? Apa kamu bakal tetap masuk kerja dalam keadaan kayak gini? Kalau gitu aku bakal antar jemput kamu setiap harinya ke tempat kerja sampai kamu benar-benar sembuh dan bisa jalan lagi. Gimana?"

Nico? Bakal antar aku kerja dan pulang kerja setiap hari?

"Mmm... Kalau gitu aku bakal minta izin enggak masuk kerja buat sementara ini." akhirnya ini pilihan aku.

"Sepertinya kamu lebih milih cuti kerja daripada diantar sama aku setiap hari ya? Apa sebegitu enggak sukanya kamu sama aku?" aku sama sekali enggak terpikir kalau Nico akan bertanya seperti ini.

"Eng... enggak, bukan gitu maksud aku. Maaf." entah kenapa aku jadi merasa bersalah.

Aku kira Nico akan marah atau merasa tersinggung karena ucapanku. Tapi ketika aku melirik ke arah Nico, dia terlihat tertawa kecil. Aku bingung apanya yang lucu? Entah apa yang dia tertawakan.












***
Mulai sekarang dan seterusnya setiap bab akan aku bagi jadi dua bagian. Untuk alasannya bakal aku jelasin nanti.
Jangan lupa vote dan tinggalin comment ya! Makasih! ~~~\{(°0°)}

Continue Reading

You'll Also Like

848K 65K 54
Irish ragu dengan apa yang ia lihat kali ini. Ia tidak minus. Seratus persen ia yakin pandangannya tidak bermasalah. Dia juga tidak punya kemampuan u...
12.7K 845 41
🌟Pemenang Kontes Flaming Woman by Wattpad Chicklit Indonesia🌟 Arosa Maharani, hampir berusia 25 tahun, dinilai oleh orang-orang sebagai sosok pemal...
97.9K 6.4K 33
[TAMAT] Terancam penalti kerja, Rissa mencari bermacam cara untuk dikeluarkan dari pekerjaannya yang menyebalkan. Sayang, semua trik yang dilakukan R...
31.7K 3.8K 23
[Yian-Damar GANTI JUDUL] 🙏 Kehidupan Yian, si guru bimbel yang super sibuk sedang berada di fase mumet-mumetnya karena pekerjaan dan percintaan. Pat...