Naga Angin 1

By bordineo

2.2K 84 12

Sakti diangkat menjadi prajurit Laskar Naga Angin, menggantikan Indraja sebagai Naga Timur. Segera dia menyad... More

1. Di Besalen
3. Soma Bersaudara
4. Kedatangan
5. Persiapan
6. Gelagat
7. Pertemuan di Penghujung Hari
Telah Terbit, Novel "Naga Angin 1"
[Pengumuman] Revisi Novel Pamor: Perubahan Nama dan Lainnya
Promo Merdeka!

2. Menuju Hutan Besar

326 14 0
By bordineo

SAKTI SENDIRIAN meninggalkan desa. Setelah menemui dirinya, Indraja mengambil jalur lain, menghindari jalan desa. Selalu begitu. Indraja tidak pernah mau lewat di jalan desa bersama-sama. Indraja senantiasa beralasan mereka bukan teman main, dan akan menimbulkan kecurigaan bila mereka tiba-tiba menjadi akrab.

Bagi Sakti, alasan itu mengada-ada. Jika dirinya masih di tingkat awal, tentu alasan Indraja bisa diterima. Namun, sekarang dia berada di tingkat lanjut dan murid tingkat lanjut setidak-tidaknya mengenal murid lainnya, walau itu hanya sekadar tahu. Terlebih lagi, mereka sama-sama berguru pada Empu Gatta untuk mendalami bahasa dan ilmu tata praja. Wajar jika mereka saling mengenal dan berteman. Dan, siapa pula yang akan curiga melihat mereka berlari bersama melintasi desa? Telah menjadi kebiasaan murid-murid Perguruan Naga, berlari mengelilingi desa untuk meningkatkan kecepatan dan ketahanan tubuh.

Sakti sampai duluan di kebun desa. Tentu saja. Dia bisa leluasa berlari di jalan desa yang sepi di siang hari. Lebih mudah dan lebih cepat daripada menerobos semak belukar. Jika Indraja mau melintas bersama, dia tidak perlu menunggu.

Kadang Sakti berpikir memang Indraja yang aneh. Meski Indraja cukup terkenal di kalangan murid tingkat lanjut, dia tidak pernah melihat Indraja membaur dengan murid lainnya. Penyendiri, mungkin.

Panjang umur, Sakti membatin. Lalu, terdengar langkah kaki yang mendekat.

“Ayo!” ajak Indraja tanpa menghentikan langkah.

Sakti mengekor di belakang.

Mereka berlari cepat meninggalkan kebun desa, mengitari Gunung Naga, Gunung Besar, Gunung Kecil dan sampailah mereka di Hutan Besar.

Indraja langsung melompat ke puncak pepohonan. Sakti pun demikian. Sekarang mereka melintas cepat dengan menapak pada cabang-cabang tertinggi dan pucuk pepohonan. Rapatnya pepohonan memudahkan langkah mereka.

Baik Indraja maupun Sakti terlihat lincah berlompatan seperti bajing. Keduanya benar-benar menguasai medan yang dilalui. Di sini terlihat bahwa Sakti sudah mampu mengimbangi kecepatan dan kelincahan gerak Indraja. Gerakannya pun sudah selayaknya prajurit Naga Angin. Secepat angin, sesunyi bayangan.

“Hoi, Indraja!” panggil Sakti. Indraja menoleh ke belakang sekilas. “Kenapa kau tidak pernah lagi menggunakan linuwih[3]-mu?”

Indraja memang punya linuwih bisa menghubungi seseorang dari jarak jauh melalui pikiran. Namun, setelah peristiwa setengah tahun silam, yang membuatnya terluka parah hingga harus dirawat selama empat bulan, Indraja sepertinya tidak pernah lagi menggunakan linuwihnya. Begitulah yang Sakti tahu, karena sesudah pulih dan ditugaskan menjadi pendampingnya dalam latihan, Indraja tidak pernah menggunakan linuwihnya, bahkan ketika dia sengaja abai terhadap jadwal latihan.

“Hemat tenaga,” jawab Indraja. Entah benar, entah asal.

“Bukannya terbalik? Jarak dari desa dengan markas cukup jauh, seharusnya tenaga yang diperlukan untuk melintasinya lebih besar daripada menggunakan linuwihmu itu.”

“Tahu apa kau?” Indraja menukas. Lalu pemuda itu turun dari ketinggian, mengayun anggun pada cabang pohon yang lebih rendah dan dengan mantap menapak di tanah. Sekejap kemudian Sakti mendarat di sampingnya.

“Atau… hilang sudah kekuatan itu akibat luka-lukamu?”

Indraja tidak menjawab, membiarkan Sakti menerka-nerka. Namun Indraja keliru. Sakti tidak ambil pusing. Dia hanya sekadar bertanya.

“Sekarang, kau yang memimpin jalan,” kata Indraja. “Kita lihat sejauh mana perkembanganmu.”

“Kau meremehkanku.”

“Setahuku,” Indraja menerawang, “kau belum pernah mencapai markas melalui usahamu sendiri.”

“Tidak ada yang memberi tahu aku soal tandanya.”

“Tapi kau sudah tahu soal sirep-nya.”

Selama ini Hutan Besar terkenal sering menyesatkan. Setelah menjadi bagian dari Laskar Naga Angin, Sakti tahu sebabnya. Itu karena Simpang Siur, salah satu bentuk Sirep Pelindung, yang sengaja dipasang para prajurit Naga Angin untuk melindungi markas mereka.

Murid tingkat awal dan anak-anak banyak yang tidak tahu-menahu soal sirep ini sehingga menganggap Hutan Besar angker. Namun tidak demikian dengan murid tingkat lanjut. Mereka sadar akan adanya sirep yang ditanam di Hutan Besar. Mereka mencurigai kemungkinan adanya tempat rahasia di dalam Hutan Besar. Kebanyakan menduga tempat itu adalah markas Laskar Naga Angin, yang membuat mereka dengan serta-merta juga menduga cerita mengenai pasukan rahasia yang bekerja untuk desa benar adanya.

Banyak murid tingkat lanjut yang penasaran dan mencoba menerobos Hutan Besar. Karena itulah Sirep Pelindung di sekitar markas diperbarui secara berkala. Karena keberadaan sirep ini pula, selalu ada seorang prajurit Naga Angin yang bertugas jaga di Hutan Besar untuk membantu orang yang tersesat di dalamnya. Dan setelah semakin banyak murid yang mencoba menerobos Hutan Besar, serta desas-desus adanya pergerakan bawah tanah di kalangan murid tingkat lanjut yang mencoba mengungkap sekaligus menentang keberadaan Laskar Naga Angin, sekarang dua orang prajurit Naga Angin yang menjaga wilayah ini.

Sakti tidak pernah kebagian tugas menjaga Hutan Besar, karena yang dibutuhkan dalam tugas itu adalah prajurit yang ilmu sirep-nya mumpuni.

“Ya, sudahlah. Ayo!” Sakti merendahkan tubuh, mengambil ancang-ancang. Namun sejurus kemudian, dia kembali menegakkan badan. Pandangannya terpaku ke depan.

Beberapa tombak jauhnya di depan mereka, apa yang sebelumnya tampak sebagai batang pohon, perlahan-lahan berubah menjadi sosok tubuh manusia.

“Bunglon…,” gumam Sakti. Kemunculan sosok tersebut mengingatkannya pada hewan penyamar itu.

Sakti mengenali sosok yang baru muncul dihadapannya. Orang itu adalah rekannya, sesama prajurit Naga Angin. Naga Selatan. Salah satu prajurit Naga Angin yang memiliki kemampuan sirep yang tinggi. Keberadaannya di sini pastilah karena sedang berjaga dan, tentu saja, memperbarui sirep yang terpasang.

“Apa?” tanya Naga Selatan yang samar-samar mendengar gumaman Sakti.

“Tidak apa-apa,” jawab Sakti. “Apa kau mengubah tandanya?”

“Ya. Letak maupun bentuknya.”

“Jika tidak berubah, sama saja tidak memperbarui sirep-nya,” Indraja menyahut. “Itu intinya.”

“Aku tahu,” sergah Sakti. “Lalu, kenapa kau masih di sini, Sela?”

Naga Selatan, yang akrab dipanggil Sela oleh rekan-rekannya, tersenyum. “Kenapa? Sudah jelas, bukan?”

Senyum Sela semakin lebar. Kemudian Sakti berpaling ke Indraja. Juga tersenyum. Senyum kambing.

“Terserahlah.” Sakti lantas melangkah pergi.

Beberapa langkah berlalu, Sakti merasakan perasaan aneh merasuk tubuhnya. Dia sadar telah masuk ke dalam Simpang Siur.

Satu hal khas dari Simpang Siur, hingga dinamai secara khusus, adalah kenyataan bahwa salah satu bentuk Sirep Pelindung ini meniru daerah sekitar dengan sangat sempurna. Di saat yang bersamaan, apabila ada orang yang masuk ke dalamnya, maka dengan sendirinya akan terjadi penyesuaian demi penyesuaian pemandangan yang ada untuk menggiring korban agar berjalan berputar-putar tanpa disadari.

Sakti menghentikan langkah. Kemudian mengedarkan pandang ke segala arah.

“Kebalikan dari Sirep Penidur, Sirep Pelindung lebih sulit diindrai karena tidak menyerang kesadaran. Tahu-tahu kau sudah terjebak di dalamnya.” Sakti mendengar Sela mengoceh di belakang.

Sakti tidak menanggapi Sela. Perhatiannya terpusat untuk menemukan tanda yang dibuat oleh si pemasang sirep. Tanda ini sengaja dibuat sebagai panduan agar para prajurit Naga Angin bisa leluasa menuju atau meninggalkan markas. Tanda ini bentuknya bermacam-macam dan bisa berupa apa saja. Tidak mencolok, tetapi terasa janggal dan tentu saja, tidak mudah ditemukan.

Sakti melesat dengan kecepatan tinggi. Tidak ada gunanya berdiam diri. Tanda yang ada tidak cuma satu. Ada banyak dan membentuk jalur menuju markas. Jika dia terus bergerak sembari menajamkan pengidraan dan kepekaan yang menjadi keunggulannya, dia yakin akan menemukan salah satu tanda. Lagi pula, dia sepenuhnya sadar, meski bergerak lurus, bisa saja dia sedang berputar-putar.

Sakti tidak kunjung menemukan satu pun hal aneh yang bisa dijadikan petunjuk. Sakti berhenti dan beristirahat di salah satu dahan. Tangannya menyandar pada batang pohon yang kering dan mulai mengelupas kulitnya. Napasnya ngos-ngosan. Lumayan lama dia melesat di antara pepohonan. Tidak. Hanya merasa lama. Bisa saja waktu yang dilaluinya baru sebentar.

Sakti mendengar suara menapak di belakangnya. Ternyata dua orang itu masih setia mengekor.

“Bagaimana? Menyerah?” tanya Indraja.

“Cerewet!” teriak Sakti sambil menoleh ke belakang. Hanya ada Indraja di sana. “Eh, ke mana Sela?”

“Melaksanakan tugasnya.”

Itu berarti ada yang berusaha menerobos Hutan Besar.

Sakti berkecak pinggang. Tangan kirinya menyentuh warangka keris yang tersembunyi di dalam bajunya. Baru dia ingat dengan senjata berpamornya itu.

“Kau pikir bisa,” tanya Indraja yang bisa menebak apa yang akan Sakti lakukan, “menghapus sirep ini?”

Dulu, awal-awal menjadi prajurit Naga Angin, Sakti pernah mencoba menghapus Sirep Pelindung yang mengelilingi markas, yaitu dengan menghunjamkan keris ke tanah dan menyalurkan tenaga dalam—cara yang sama untuk memasang Sirep. Akan tetapi usahanya itu tidak menghasilkan apa-apa. Sekarang, meski kemampuannya menggunakan dan menyalurkan tenaga dalam telah meningkat, bukan berarti dia mampu menghapusnya.

Simpang Siur di sekitar markas bukanlah sembarang sirep. Sirep Pelindung ini dirancang khusus, yang tidak hanya membelokkan kenyataan, tetapi juga tenaga dalam yang hendak menghapusnya. Teguran Indraja sepertinya mengingatkan Sakti akan hal itu. Bahkan pendekar setingkat Indraja saja tidak mampu langsung menghapusnya.

Sakti berdesah. Tidak ada jalan lain. Dia harus menemukan tandanya.

Sakti membalik badan. Dari sudut matanya dia sempat melihat Indraja tersenyum kucing. Sialan! Indraja tidak akan mau membantu dirinya. Malah mungkin Indraja menikmati kebingungannya.

Setelah sempurna berbalik arah, Sakti tercenung. Dia menyadari sesuatu.

Sakti memeriksa batang pohon dari dahan tempatnya hinggap. Tangannya meraba batang pohon itu. Kulit pohon itu retak-retak hampir mengelupas. Sakti meraba bagian lain. Kulitnya masih bagus dan utuh. Pohon tempatnya bertengger setengah mati setengah hidup!

Sakti tersenyum sendiri. “Cerdik sekali.”

Sakti melesat pergi. Arah yang dia tuju adalah arah hadap bagian yang hidup dari pohon yang dia temukan.

Begitu menemukan satu tanda, menemukan tanda lain terasa lebih mudah. Sakti mengikuti semua tanda itu yang menuntunnya menuju markas. Perjalanannya menjadi lancar dan menyenangkan. Yah, walau rasa senangnya lebih karena dia untuk pertama kalinya bisa menembus sirep yang melindungi markas.

Di suatu tempat di selatan Hutan Besar, Sakti turun dari ketinggian hutan, mengayun dari satu dahan ke dahan lainnya yang lebih rendah. Begitu menapak di permukaan tanah, sekelebat tangan menyergap lehernya….

________

[3] Linuwih = Anugerah / kelebihan yang didapat tanpa dipelajari.

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 106K 32
Kaylan Saputra anak polos berumur 12 tahun yang tidak mengerti arti kasih sayang. Anak yang selalu menerima perlakuan kasar dari orangtuanya. Ia sel...
301 105 27
"Aksa, hidupmu masih panjang. Jangan terpaku pada duka yang menyakitkan. Tetaplah melangkah meski itu sulit. Tetaplah menjadi Aksa yang begitu aku ci...
100K 7.2K 76
Di sinilah tempat Limelights berkumpul untuk bertukar opini, tanggapan, teori-teori dan hal-hal berbau 5 cogan yang tergabung dalam MAN-BAND Why Don'...
403 73 19
DENATHAN'S SIXTH SENSE SERIES 1