SEMPURNA [END]

Por callmenaliya

569K 44.5K 642

Rahayu Audya. Seorang editor majalah wanita. Menyukai puisi dan membaca novel dan segala hal yang puitis. Tap... Más

Prolog
Bab 1 : Berawal dari sini
Bab 3 : Masuk ke Dalam Fantasi
Bab 4 : Pria yang Sama?
Bab 5 : Satu Langkah Lebih Dekat
Bab 6 : Begitu Sama Tapi Terasa Berbeda
Bab 7 : Jauhi atau Dekati?
Bab 8 : Garis Batas
Bab 9 : Masalah Baru
Bab 10 : Melewati Batas
Bab 11 : Bintang Tersesat
Bab 12 : Saatnya Jujur
Bab 13 : Selesaikan
Bab 14 : Sesuatu Yang Baru
Bab 15 : Pengakuan
Bab 16 : Perubahan Kecil
Bab 17 : Sulit Dijelaskan
Bab 18 : Sulit Dikatakan
Bab 19 : Ketika Semua Terungkap
Bab 20 : Sesuatu Yang Seharusnya Tidak Terjadi
Bab 21 : Bunga Tidur
Bab 22 : Merindukanmu
Bab 23 : Pangeran Tercinta dan Belahan Jiwaku
Epilogue
Note from Author
Bonus : Triple Sweet Date
Bonus : Triple Sweet Date 2
From Author : Hi! Bye!

Bab 2 : Takdir?

34.7K 2.3K 23
Por callmenaliya

Besok paginya. Aku langsung pergi menuju tempat Miranda, di mana dia akan melakukan pemotretan. Pagi-pagi aku sudah menghubungi manajer Miranda lebih dulu, dan mereka minta aku untuk langsung datang saja ke tempat pemotretan mereka itu. Sebelumnya aku juga sudah chat dengan mbak Lilian kalau aku enggak bakal ke kantor dulu tapi langsung menemui Miranda.

Tempat pemotretannya dilakukan di sebuah kafe. Begitu masuk nuansa klasik namun mewah langsung terasa. Ruangan dominan berwarna hitam memberi suasana terkesan mewah.

Suasana kafe masih sepi pengunjung, karena ini masih terlalu pagi juga. Aku pun berjalan semakin masuk ke dalam kafe, terdengar suara orang-orang sedang mengobrol dan tertawa. Di salah satu pojok kafe ternyata ada beberapa orang sedang asyik mengobrol di salah satu sofa. Dan yang buat aku kaget adalah, ada Dennis di situ.

Dia duduk di samping seorang wanita yang berpakaian cukup seksi, dan wanita itu bukan Karina, aku rasa dia juga bukan Miranda. Meskipun rambutnya sama-sama panjang dan berwarna agak kecoklatan, tapi dari wajahnya yang aku lihat sekilas, itu bukan Miranda. Tapi masalahnya, kenapa Dennis ada disini? Oh iya... Aku dengar dari Karina kalau Dennis kerja sebagai photographer. Mungkin itu alasannya kenapa dia ada disini.

"Permisi." akhirnya aku memutuskan untuk bersuara.

Dengan hanya satu kata ini suasana yang tadinya penuh tawa tiba-tiba jadi sunyi. Dan ketika Dennis melihat ke arahku, raut wajahnya langsung menjadi pucat, seperti orang yang tertangkap basah.

I got you!

"Cari siapa ya?" tanya salah seorang pria yang juga berada di kelompok itu.

"Saya dari majalah Ladies. Saya datang ke sini untuk mewawancarai mbak Miranda. Kebetulan saya sudah janji dengan beliau bertemu di sini."

"Oh, dia lagi di make up di dalam. Tunggu aja di sini, bentar lagi juga dia keluar. Silakan duduk dulu." ujar pria itu.

"Iya, terima kasih."

Aku melihat-lihat ke sekeliling mencari kursi kosong, ada satu kursi kosong yang posisinya berhadapan dengan Dennis. Malas banget kalau aku duduk di situ, selain harus berhadapan dengan Dennis, aku juga enggak nyaman duduk dengan orang-orang ini. Jadi aku memilih duduk di kursi lain yang membelakangi mereka.

Menunggu beberapa menit jadi terasa sangat lama saat kamu berada di saat dan tempat yang enggak nyaman. Selagi menunggu, aku cek handphone saja. Aku lihat foto profil di chat-nya Karina, foto dia dan Dennis tentunya.

Apa mereka enggak pergi bulan madu ya? Aku enggak sempat tanya-tanya ke Karina sih, apa mereka langsung pergi bulan madu setelah menikah. Tapi kalau Dennis ada disini, apa itu artinya mereka menunda bulan madu mereka?

Sementara aku memikirkan ini, orang yang bersangkutan malah asyik ketawa dan mengobrol sama perempuan seksi di sebelahnya. Well... Sebenarnya enggak masalah mau dia duduk di antara para wanita secantik dan seseksi apapun, tapi tadi aku lihat dengan jelas walaupun sebentar, kalau salah satu tangan Dennis merangkul bahu perempuan di sebelahnya itu. Dan waktu Dennis melihat kedatanganku tentu saja dia langsung melepas rangkulannya itu.

Dasar... Aku kira dia sudah berubah, setidaknya sedikit saja, dia ubah sikapnya yang ramah kepada semua orang itu, terutama para wanita. Dan kenapa juga harus aku yang menyaksikan ini?!

"Hai, kamu yang dari majalah Ladies itu kan?" tiba-tiba suara seorang wanita menyapaku. Dan ketika aku berdiri, ternyata orang itu adalah Miranda.

Dengan wajahnya yang sudah didandani dan rambut panjang coklat kemerahannya yang tergerai. Meski dia hanya memakai casual long dress berwarna abu-abu, tapi yang namanya model mau pakai baju sebiasa apapun pasti tetap terlihat stylist.

"Iya, saya editor dari majalah Ladies. Nama saya Rahayu Audya. Anda bisa panggil saya Audy."

"Audy... Salam kenal. Senang bertemu dengan kamu." Miranda mengulurkan tangannya, dan aku pun menjabat tangannya. Bahkan tangannya begitu halus, beda dengan tanganku yang sekasar tangan kuli bangunan ini.

"Jadi gimana? Mau kita mulai wawancaranya sekarang?" tanyanya.

"Boleh, kalau mbak Miranda ada waktu sekarang."

"Panggil aja Mia. Aku merasa udah tua banget kalau dipanggil mbak."

"Oh, iya... Mia..." aku merasa dia enggak jutek seperti yang mbak Lilian ucapkan ke aku. Mungkin karena bentuk wajah dan raut wajahnya yang membuatnya terlihat seperti angkuh atau jutek.

"Kita duduk di sebelah sana aja ya. Soalnya orang-orang ini suka pada ikut ngerumpi kalau aku lagi diwawancara." Miranda menunjuk ke sekelompok orang-orang yang sedang mengobrol dari tadi itu, termasuk Dennis.

"Kalau ada pertanyaan yang Mia enggak mau jawab, tanya saya saja. Saya udah tahu sedalam-dalamnya Mia!" celetuk salah satu pria di kelompok itu.

"Gue juga tahu siapa Mr. Perfect-nya Mia yang lagi diomongin banyak orang itu tuh!" pria yang lain ikut menyambar dan menggoda Miranda.

"Jangan pada asal ngomong aja deh!" akhirnya Miranda membela diri.

"Ciee... Cieee... Mukanya merah tuh! Pasti langsung kepikiran Mr. Perfect lo itu kan!" wanita yang duduk di sebelah Dennis pun enggak kalah ikut menggoda Miranda.

"Shutt! Diem! Udah yuk, kita duduk di sana aja, daripada kelamaan ngeladenin orang-orang ini." Miranda pun mengajak aku duduk di pojok kafe lain yang cukup jauh dari kursi orang-orang itu.

Aku dan Miranda duduk saling berhadapan.

"Oh iya, ini beberapa pertanyaannya. Silakan dilihat dulu. Kalau ada pertanyaan yang tidak ingin anda jawab akan saya coret dan tidak akan saya masukkan ke daftar pertanyaannya." aku memberikan dua lembar kertas yang berisi print pertanyaan-pertanyaan yang aku buat semalam.

Pada akhirnya aku membuat dua jenis pertanyaan, pertanyaan yang standar dan sederhana, dan pertanyaan yang agak berani dan to the point.

"Karena saya enggak tahu pertanyaan seperti apa yang bisa anda terima, jadi saya membuat dua jenis pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang ada di halaman pertama adalah pertanyaan yang sederhana, dan yang di halaman kedua... agak lebih dari sederhana." ujarku.

Miranda membacanya dengan cukup serius, dan ketika dia membaca halaman yang kedua tiba-tiba dia tersenyum. Mudah-mudahan enggak ada yang salah sama daftar pertanyaanku itu. Atau, di antara pertanyaan itu ada yang berlebihan ya? Hah... Harusnya aku bikin pertanyaan yang standar saja kali ya.

"Mmm... Menarik. Ini pertama kalinya aku menerima daftar pertanyaan yang dibuat rapi dan di print di kertas kayak gini. Biasanya wartawan kasih lihat daftar pertanyaan yang mereka tulis di buku catatan mereka sendiri."

"Saya juga sudah menulis semua pertanyaan itu di buku catatan saya. Tapi karena mbak Lilian minta untuk memperlihatkan daftar pertanyaannya kepada anda lebih dulu, jadinya saya pikir akan lebih baik saya print pertanyaannya untuk anda."

"Oke, kita mulai wawancaranya sekarang."

"Sekarang...? Apa tidak ada pertanyaan yang mau mbak Miranda pass atau coret dari daftar?" aku lumayan bingung dan kaget karena Miranda sepertinya tidak masalah dengan daftar pertanyaan yang aku buat.

Well... Seharusnya aku merasa senang, cuman aku enggak sangka saja.

"Enggak ada. Aku oke sama semua pertanyaannya. Kamu boleh tanya yang mana aja kok." Miranda mempersilahkan.

"Oke... Kalau begitu saya akan mulai wawancaranya."

Aku mengeluarkan alat perekam dan menaruhnya di atas meja di antara aku dan Miranda. Setelah menekan tombol record, wawancara pun dimulai.

"Baik, pertanyaan pertama. Bagaimana mbak Miranda..."

"Mia. Tolong panggil aku Mia aja."

"Oh iya, maaf, maksud saya Mia."

"Dan kamu juga enggak usah terlalu formal gitu ngomongnya. Santai aja."

"Saya memang biasa bicara formal dengan narasumber, tapi anda boleh jawab senyamannya anda."

"Oke." sepertinya Miranda merasa tidak masalah.

▪▪▪

Let's Start the Interview
Pertanyaan pertama aku mulai dengan pertanyaan standar mengenai dunia modeling. Karena konsep majalah Ladies adalah para wanita yang menginspirasi wanita lainnya, berarti aku harus fokus dengan kesuksesan karir Miranda sebagai seorang model dan bagaimana dia hidup mandiri di negeri asing. Mungkin dia bisa memberikan semangat kepada para wanita muda lainnya yang sedang bekerja keras mewujudkan mimpi mereka.

"Memang seringnya orang-orang menganggap remeh kesuksesan seseorang, karena mereka enggak pernah tahu seberapa panjang dan berat perjalanan yang harus aku lalui sampai berada di posisi sekarang ini. Meraih mimpi itu enggak ada yang mudah. Ada orang yang bilang, mimpi itu bagaikan bintang di malam hari atau awan di pagi hari. Mungkin seperti enggak akan pernah bisa kita raih, tapi kalau kita bayangkan mimpi kita itu seperti bangunan tertinggi di dunia sekalipun, mimpi itu akan terasa seperti bisa kita raih." ujar Miranda.

"Maksudnya?"

"Mmm... Misalnya kita ingin pergi ke puncak gedung tertinggi itu. Pilihannya ada dua, pertama lewat lift yang tertutup dan dengan mudahnya tanpa tahu apapun kita sudah sampai di puncak gedung itu. Atau pilihan kedua, lewat tangga yang sangat panjang dan tinggi membuat kamu sangat kelelahan tapi kamu bisa melihat pemandangan di luar yang sangat indah lewat jendela kaca sepanjang tangga itu. Melakukan segala sesuatu itu pasti melelahkan, tapi kalau kamu bisa lihat sisi positifnya kamu akan menemukan sesuatu yang indah yang membuat kamu bersemangat lagi melalui perjalanan sepanjang dan seberat apapun. Ya... Intinya berpikirlah positif."

Setelah menanyakan beberapa pertanyaan seputar karir dan kehidupannya sehari-hari, sekarang saatnya aku memberi pertanyaan tentang kehidupan Miranda yang lebih pribadi, alias kisah cintanya. Miranda tidak pernah mau bercerita mengenai kisah cintanya kepada publik, satu-satunya yang dia ceritakan hanyalah dia sudah mempunyai Mr. Perfect-nya.

"Banyak yang menganggap kalau cerita tentang Mr. Perfect itu hanyalah karangan anda untuk mencari sensasi, bagaimana pendapat anda tentang itu?"

"Iya, aku juga pernah baca beberapa komentar mereka itu. Itu sih pendapat mereka, mau aku balas komentar mereka gimana pun juga enggak mungkin aku bisa mengubah pemikiran mereka begitu aja kan. Lagian awalnya kenapa aku bilang udah punya Mr. Perfect itu karena bosen terus-terusan ditanya wartawan tentang siapa pacar aku. Kadang mereka coba menghubung-hubungkan aku sama cowok yang cuman sahabat, dan bahkan mereka membuat gosip aku dekat dengan cowok yang sama sekali enggak aku kenal. Jadinya daripada mereka bikin gosip lagi, aku bilang aja udah punya Mr. Perfect sendiri. Awalnya aku kira bisa ngebuat wartawan berhenti memberitakan tentang kisah cinta aku, tapi akhirnya malah jadi begini. Aku juga enggak nyangka."

"Kalau saya tanya siapa Mr. Perfect itu, apa anda mau menjawabnya?" akhirnya aku menanyakan hal ini juga, meskipun dengan agak ragu-ragu sebenarnya.

Miranda tertawa kecil.

"Masalahnya, aku sendiri belum cerita perasaan aku ini sama orang itu secara langsung. Jadi kalau aku lebih dulu kasih tahu siapa Mr. Perfect itu ke wartawan, pastinya cowok itu bakal kaget banget kan? Daripada aku bikin cowok itu shock duluan sebelum aku menyatakan cinta, lebih baik identitasnya aku rahasiakan sampai aku menyatakan cinta."

"Kalau tidak salah anda pernah bilang Mr. Perfect itu adalah teman dekat anda. Tapi apa selama ini setiap kali anda berbicara tentang Mr. Perfect, teman anda itu tidak menyadarinya sama sekali kalau dialah yang sedang anda bicarakan?" tanyaku penasaran.

"Enggak, dia sama sekali enggak sadar tuh kayaknya. Dia emang termasuk orang yang kurang peka tentang hal begini. Sifatnya terlalu cool, tapi itu yang aku suka, dia selalu tenang dan dewasa dalam menghadapi masalah apapun. Dan dia bisa bikin orang merasa nyaman di dekat dia." Miranda terlihat berbunga-bunga ketika menceritakan sang Mr. Perfect-nya itu, bisa terlihat jelas betapa dia menyukai pria itu. Pria yang sangat sempurna baginya.

"Oh, maaf, aku jadi keterusan ceritanya. Kadang aku bisa jadi keterusan cerita banyak kalau ditanya tentang dia." wajah Miranda berubah jadi tersipu malu.

"Kalau begitu mungkin sudah cukup saya bertanya mengenai Mr. Perfect anda itu. Tapi bagaimana anda menyikapi kisah cinta anda? Maksud saya... Apa anda termasuk wanita yang agresif dalam hal cinta? Atau anda termasuk wanita yang mengikuti keinginan pria anda?"

"Mmm... Sebelumnya aku pikir aku termasuk wanita yang agresif, karena sama teman-teman pria aku juga bersikap agresif. Selama ini aku hidup mandiri dan semua keputusan diambil sendiri, jadi aku enggak pernah kepikiran bakal membiarkan seorang laki-laki menjadi leader di hidupku. Tapi mungkin itu yang namanya cinta, bisa membuat hal yang enggak mungkin jadi mungkin. Setiap di depan dia rasanya aku selalu membiarkan dia yang mengambil keputusan. Kalau menurut mbak..."

"Audy."

"Kalau menurut mbak Audy, aku lebih baik agresif atau membiarkan dia yang jadi leader?"

"Mmm... Sebenarnya itu kembali lagi tergantung bagaimana anda sendiri merasa nyamannya. Tapi kalau menurut pandangan saya, karena pria pada akhirnya akan menjadi kepala keluarga, jadi ada benarnya kalau anda ingin mengikuti keinginan pria anda dan membiarkan dia yang memimpin anda. Tapi anda juga jangan melupakan sikap kemandirian anda, karena sewaktu-waktu anda juga masih harus mengambil keputusan sendiri." setelah aku mengeluarkan pendapatku yang lumayan panjang ini, Miranda terlihat tertegun melihatku.

"Maaf. Pendapat saya terlalu panjang ya? Atau, anda tidak setuju dengan apa yang saya ucapkan barusan?" aku khawatir apa aku salah berucap.

"Enggak. Apa yang tadi mbak Audy bilang itu benar kok. Aku setuju."

"Panggil saja saya Audy. Waktu saya mencari informasi tentang anda, ternyata anda dan saya seumuran."

"Oya? Wah... Kebetulan yang menyenangkan kalau gitu. Terima kasih untuk pendapat kamu barusan ya, Audy."

"Sama-sama."

Karena semua pertanyaan yang diperlukan menurut aku sudah cukup, aku pun mematikan alat perekamnya.

"Terima kasih juga, mbak... Maksud saya Mia, atas wawancaranya."

"Udah selesai wawancaranya? Wah... Enggak terasa ya. Wawancara ini lebih menyenangkan daripada yang aku kira. Aku harap lain kali kita bisa mengobrol lebih banyak, mau itu untuk wawancara atau obrolan santai. Dan aku juga harap kalau kita bertemu lagi kamu bisa bicara lebih santai sama aku, tanpa pakai bahasa 'saya-anda'."

"Baik. Sekali lagi terima kasih untuk waktunya. Dan untuk pemotretan cover majalahnya mbak Lilian menyerahkan kapan waktunya terserah anda, begitu pesan beliau."

"Oh... Oke. Kamu bisa obrolin itu sama manajer aku. Tentang konsep pemotretan aku serahin sama orang-orang dari majalah kalian. Tapi aku harap enggak bikin aku kelihatan aneh atau jelek ya."

"Mana mungkin kami membuat konsep yang aneh untuk anda. Anda tidak perlu khawatir akan terlihat jelek, karena konsep majalah kami adalah membuat wanita memancarkan kecantikan alaminya."

"Oke kalau gitu, aku percaya sama kata-kata kamu."

"Terima kasih. Mmm... Oya, maaf, toilet di sebelah mana ya?" tanyaku dengan agak berbisik.

Sebenarnya dari tadi aku menahan ingin ke toilet. Miranda tertawa kecil. Mungkin karena pertanyaanku ini ya.

"Di lorong sebelah sana lurus aja, terus belok kiri. Ada tulisan toilet kok di pintunya."

"Iya. Terima kasih. Oya, semoga berhasil untuk pemotretan hari ini." ucapanku ini membuat Miranda tertawa lagi. Apa ada yang aneh ya sama kata-kata aku?

"Thanks. Sampai ketemu lagi."

Setelah pamit dengan Miranda aku pun pergi menuju toilet sesuai dengan yang diberitahu oleh Miranda tadi.

▪▪▪

Enggak Bisa Dihindari
Keluar dari toilet, aku lihat Dennis sedang bicara di telepon di lorong dekat toilet.

"Iya, sayang, aku minta maaf. Tapi mau gimana lagi temen-temenku yang maksa jadi aku enggak bisa nolak. Mereka juga minta aku ajak kamu, tapi ini kan acara laki-laki, aku takut kamu ngerasa enggak nyaman. Tenang aja, aku enggak bakal pulang larut malam. Nanti aku telepon kamu lagi ya, aku harus balik kerja sekarang. Dah sayang. I love you, too." Dennis lalu menutup teleponnya.

Karena Dennis berdiri tepat di tengah jalan, jadi aku agak canggung untuk pergi melewatinya. Dan ketika Dennis berbalik, dia pun akhirnya menyadari keberadaanku yang ada di belakangnya.

Untuk sesaat kita berdua hanya saling pandang. Aku tentu saja memandangnya dengan sinis. Begitu Dennis membalikkan badannya untuk pergi, entah kenapa aku langsung mengeluarkan apa yang ada di pikiranku selama ini.

"Aku harap kamu memperlakukan Karina dengan baik." ucapanku ini membuat Dennis kembali membalikkan badannya ke arahku.

Lalu Dennis tersenyum. Aku enggak pernah suka dengan senyumannya itu, seperti senyuman yang meremehkan.

"Akhirnya lo mau ngomong juga sama gue. Kenapa? Padahal dari pertama kali Karina ngenalin gue ke lo, lo bersikap enggak kenal gitu sama gue. Dan lo juga enggak peduli sama hubungan gue dan Karina kan?"

"Aku emang enggak peduli sama kamu, tapi aku peduli sama kebahagiaannya Karina. Jadi aku mohon sama kamu, jangan pernah nyakitin perasaan Karina. Karina, dia tulus cinta sama kamu."

"Lagian dari mana lo tahu kalau gue nyakitin perasaan Karina? Gue selama ini ngelakuin apapun keinginan dia kok. Ah... Apa karna omongan gue barusan? Tentang gue pergi sama temen-temen gue? Ya elah... Itu kan cuman kumpul-kumpul biasa. Apa setelah nikah gue jadi enggak bisa kumpul sama temen-temen gue lagi?"

"Tapi kamu bohong. Kamu bilang itu acara laki-laki, padahal perempuan tadi yang duduk di sebelah kamu dan teman-teman ceweknya itu juga ikut kan?" tebakanku ini membuat raut wajah Dennis berubah.

Pastinya tebakan aku ini benar. Sesaat Dennis hanya diam dan terlihat bingung, seakan dia memikirkan bagaimana untuk membantahnya.

"Berbohong. Itu salah satu bukti kamu udah menyakiti perasaan Karina." lanjutku.

"Terus... Apa mau lo? Lo mau laporin gue ke Karina kalau gue bohong gitu?"

"Enggak. Aku kan udah bilang kalau aku enggak peduli sama apapun yang kamu lakuin, meskipun aku peduli sama Karina. Tapi aku enggak mau ikut campur sama kehidupan kalian berdua, apalagi kalian udah menikah sekarang. Dan itu jadi pengingat buat kamu Dennis. Kalau kamu udah nikah sekarang. Kebohongan yang kamu pikir hal biasa aja waktu kamu masih pacar-pacaran, bukan sesuatu yang bisa disepelekan saat kamu nikah. Jadi aku mohon sama kamu, jadilah kepala keluarga, suami dan calon ayah yang baik untuk Karina." aku sungguh dengan tulus mengatakan hal ini kepada Dennis.

Tapi Dennis tiba-tiba tertawa kecil.

"Gue enggak nyangka kalau lo itu Audy yang pernah gue kenal dulu. Sekarang lo banyak berubah ya?"

"Seseorang berubah jadi lebih dewasa itu wajar. Aku malah kaget ngelihat sikap kamu yang enggak berubah sama sekali, masih sama persis kayak waktu kamu masih SMA." ucapan ini sama sekali bukan sebuah pujian, tapi ejekan untuk Dennis yang masih bersikap kekanak-kanakan seperti waktu dia masih SMA.

Dan sepertinya Dennis butuh waktu cukup lama sampai dia mengerti maksud dari ucapanku itu. Setelah akhirnya Dennis terlihat mengerti maksudku, aku pun pergi meninggalkan dia yang tertegun seolah enggak percaya dengan apa yang aku ucapkan tadi.

▪▪▪

Saat Pemotretan
Sebelum aku benar-benar pergi, aku mengobrol dengan manajer Miranda, yaitu mbak Erika, mengenai jadwal pemotretan Miranda untuk cover majalah Ladies. Sementara itu pemotretan Miranda di sini sudah dimulai. Dengan memakai burgundy long dress, rambut Miranda yang bergelombang dibiarkan terurai, dan dengan memakai beberapa perhiasan berwarna emas, Miranda terlihat sangat anggun dan berkharisma. Meskipun tertutup gaun tapi kaki Miranda terlihat jenjang, sudah aslinya tinggi dia memakai high heels tambah terlihat tinggi saja.

Dan ternyata memang Dennis yang menjadi photographer pemotretan hari ini. Dennis bersikap seperti photographer profesional. Entah bisa terlihat dari sisi mananya. Mungkin dari sikapnya? Postur atau bahasa tubuhnya? Atau dari sikap dia yang memberi pengarahan kepada Miranda tentang pose-nya? Setidaknya Dennis terlihat bersikap profesional saat sedang bekerja.

"Hai, Nik. Kamu datang juga?" tiba-tiba terdengar suara dari salah satu kru yang menyapa seseorang yang sepertinya baru datang.

"Iya, mas. Mia minta aku datang ke sini. Kebetulan ada waktu luang jadinya aku mampir." jawab pria itu. Aku enggak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena hanya bisa melihatnya dari pinggir.

"Oh, Nico!" tiba-tiba mbak Erika yang berada di sebelahku memanggil pria itu. Pria itu pun langsung menengok ke arah kami.

Aku yang berada lebih dekat jaraknya dengan pria itu bisa langsung melihat wajahnya dengan sangat jelas.

Wajah yang terlihat bukan seperti wajah asli orang Indonesia, sepertinya dia punya darah campuran. Gaya pakaiannya terlihat simpel tapi tetap stylist dengan warna pakaian blazer, t-shirt dan celana serba hitam. Mungkin karena postur tubuhnya yang terlihat ideal dan tinggi itu. Ah... Aku harus cabut kata-kataku barusan, dia MEMANG sangat tinggi. Begitu pria itu berjalan semakin dekat, tinggi badannya itu pasti termasuk sangat tinggi. Mungkin 180-185 cm? Tinggi badan aku memang enngak terlalu tinggi, hanya standar. Tapi sekarang ini aku sedang memakai heels yang tingginya sekitar 11 cm, dan aku harus menegakkan kepalaku ke atas untuk bisa melihatnya. Apa dia model juga ya?

"Hai, mbak." sapa pria itu kepada mbak Erika.

"Kamu kesini karena permintaan Mia lagi?"

Pria itu menjawab pertanyaan mbak Erika hanya dengan tersenyum.

"Dasar, tuh anak. Dia terus aja ngeganggu kamu." gerutu mbak Erika.

"Enggak kok, kebetulan hari ini aku memang lagi ada waktu luang." pria ini terlihat perhatian dengan Miranda. Bahkan dia mau meluangkan waktunya untuk datang ke sini hanya karena permintaan dari Miranda, walaupun dia punya waktu kosong tapi kan enggak mudah untuk datang ke sini.

Pria ini juga punya suara yang bagus. Gimana aku menjelaskannya ya? Suaranya berat tapi kata-kata yang diucapkannya terdengar lembut. Bisa membuat perasaan jadi tenang hanya dengan mendengar suaranya. Eh, tunggu... Jangan-jangan pria ini...

"Oya, kenalin, ini Audy. Dia editor dari majalah Ladies." mbak Erika memperkenalkanku kepada pria ini.

"Oh... Yang mau wawancara Mia hari ini ya? Apa kabar? Salam kenal, saya Nicholas, panggil saja saya Nico." pria bernama Nico itu mengulurkan tangannya, lalu aku pun balas menjabatnya.

"Salam kenal juga, saya Audy." oya, bukannya mbak Erika sudah mengenalkan namaku ya? Dasar, bodohnya aku.

Sepertinya Nico dan Miranda sangat dekat, bahkan Miranda memberitahukan Nico tentang wawancara hari ini.

Tiba-tiba saat Nico melihat ke arah depan dia tersenyum dan melambaikan tangannya. Dan setelah aku lihat ternyata Nico melambaikan tangannya kepada Miranda yang juga sedang melihat ke arah Nico.

Tatapan mata Miranda itu, terlihat berbeda. Memang konsep pemotretan hari ini serius, jadi sejak tadi Miranda memperlihatkan ekspresi wajah yang berkharisma dan sama sekali tidak tersenyum. Tapi di hadapan pria bernama Nico ini, dia tersenyum lepas. Melihat kedatangan seorang teman biasa belum tentu terlihat begitu senang seperti Miranda saat ini. Dari tatapan matanya itu, cara Miranda menatap Nico terlihat berbeda, bukan seperti tatapan seorang sahabat biasa. Entah kenapa aku merasakan ini.

Pemotretan dihentikan sebentar karena Miranda harus berganti pakaian untuk pemotretan selanjutnya. Sebelum pergi berganti pakaian, Miranda berjalan ke arah kami.

"Hei! Akhirnya kamu datang juga!" ucap Miranda kepada Nico sambil tersenyum.

"Tentu aja aku harus datang. Orang yang minta aku datangnya pakai mengancam segala. Jadi gimana aku enggak datang?" balas Nico. Mereka berdua saling bercanda.

"Kamu akhir-akhir ini jadi sering banget minta Nico dateng ke tempat kamu lagi kerja. Jangan-jangan benar ya kata orang-orang kalau Nico itu Mr. Perfect kamu." celetuk mbak Erika. Miranda tidak langsung menjawabnya dan hanya tersenyum.

"Enggak mungkin, mbak. Akhir-akhir ini dia bilang kalau aku itu nyebelin, dan dia juga suka ancam persahabatan kita bakal berakhir kalau aku enggak datang. Kalau kayak gini caranya siapa yang lebih menyebalkan coba?" ujar Nico.

"Kan namanya juga sahabat, masa cuman tinggal datang aja enggak bisa. Kamu itu emang jadi cowok enggak peka!" gerutu Miranda.

Enggak peka, suara yang membuat tenang dan nyaman? Ini dia! Firasat aku ini mengatakan kalau Nico adalah Mr. Perfect-nya Miranda. Well... Mungkin aku enggak yakin 100%, karena masih banyak yang harus aku pastikan.

Ups... Kayaknya aku di sini sudah terlalu lama. Sekarang waktunya aku ke kantor dan menyelesaikan tugas.

"Maaf, sepertinya saya harus pamit. Saya harus ke kantor sekarang." ucapku.

"Oh iya, aku lupa minta maaf karena ngerepotin kamu datang ke sini cuman untuk wawancara aku aja." ujar Miranda.

"Enggak apa-apa kok. Saya sudah terbiasa mendatangi narasumber ke tempat mereka untuk wawancara. Dan ini memang sudah jadi tugas saya. Oya, masalah jadwal pemotretan sudah saya bicarakan dengan mbak Erika, dan pemotretan akan dilakukan di studio kami."

"Oke. Oya, apa nanti kamu bakal datang ke pemotretannya?" tanya Miranda kepadaku.

Aku lumayan bingung dengan pertanyaannya, karena aku jarang datang ke pemotretan untuk majalah kita meskipun itu adalah narasumber yang aku wawancarai. Kecuali waktu pemotretan dan wawancaranya di hari yang sama, pastinya aku harus datang.

"Mmm... Saya enggak yakin apa bisa datang, tapi karena pemotretannya dilakukan di kantor kami mungkin saya bisa datang dan melihat sebentar proses pemotretannya. Tapi memangnya kenapa?"

"Enggak apa-apa, aku cuman berharap saat kita ketemu lagi, kamu udah enggak bicara bahasa baku lagi sama aku, apalagi kita kan seumuran."

"Oh, maaf, ini sudah jadi kebiasaan saya selama bekerja. Tapi saya janji saat kita bertemu lagi saya akan bicara lebih santai. Kalau begitu saya pamit pergi sekarang, sampai ketemu lagi. Oya, kamu kelihatan sangat cantik, Mia."

"Thanks."

▪▪▪

Ke Kantor
Akhirnya aku tiba di kantor. Tempat yang terkadang enggak seperti tempat kerja, karena aku sangat menikmati pekerjaanku di sini seberapa pun susahnya tugas yang harus dikerjakan. Menulis, merangkai kata-kata, menjabarkan sesuatu lewat kata-kata yang aku buat, aku suka semua itu.

Saatnya aku duduk di meja kerja dan melakukan tugas hari ini, yaitu merangkai semua wawancara yang tadi aku lakukan dengan Miranda. Aku mendengar rekaman wawancara tadi dengan memakai earphone, lalu mengetiknya di komputer. Setiap pertanyaan dan jawaban diketik sesuai dengan apa yang aku dan Miranda bicarakan, tidak ada kata-kata yang ditambah atau dikurangi.

Waktunya istirahat makan siang. Aku dan beberapa editor lainnya makan siang bersama di kantin kantor. Kantin kantor ini disediakan baru-baru ini, karena demi menghemat waktu dan memberi kenyamanan para pegawai agar tidak perlu jauh-jauh pergi keluar mencari makan. Pilihan makanannya bervariasi tiap harinya, selalu ada satu atau dua menu makanan yang diganti. Meskipun begitu ada beberapa pegawai yang masih ingin mencari makan di luar. Tapi untukku sendiri lebih nyaman begini, jadi enggak perlu repot cari-cari makanan di luar. Kalau bosen paling aku beli cemilan dan bagi-bagi sama yang lain.

"Eh, Yu. Gimana wawancara sama Miranda tadi? Apa kamu tanya ke dia tentang si Mr. Perfect itu?"

"Iya, iya. Apa katanya, Yu? Apa dia kasih tahu namanya?" teman-teman kerjaku langsung mengerumuniku dengan pertanyaan.

Ya... Wajar saja, Miranda sedang sering dibicarakan oleh banyak orang akhir-akhir ini. Entah itu tentang karirnya ataupun kisah cintanya, terutama tentang Mr. Perfect-nya itu.

"Mmm... Dia enggak mau jawab siapa Mr. Perfect-nya. Aku juga enggak paksa dia buat bilang."

Nico. Kemungkinan besar dia itu sang Mr. Perfect. Tapi untuk saat ini aku akan menyimpannya di pikiranku saja. Lagi pula seperti yang Miranda bilang, dia masih menunggu waktu yang tepat untuk menyatakan perasaannya itu.

"Hahhh... Aku juga pengen punya Mr. Perfect aku sendiri." celetuk salah satu teman kerjaku.

"Udah kelamaan ngejomblo sih lo! Oya, Rin. Kapan kamu pergi bulan madu?"

"Terus gimana nih rasanya jadi pengantin baru sehari? Hihihi..." semua perhatian berbalik tertuju kepada Karina. Karina jadi tersenyum malu-malu.

"Aku kaget loh ngelihat kamu masih pergi kerja, padahal kamu kan bisa cuti kerja dulu walaupun belum ada rencana pergi bulan madu."

"Mmm... Iya sih. Mbak Lilian juga udah kasih izin cuti kerja setelah aku nikah, tapi karena Dennis masih ada kerjaan yang enggak bisa dibatalin jadinya dia harus kerja hari ini. Dan daripada aku bingung harus ngapain sendirian di rumah, jadinya aku milih masuk kerja juga hari ini." ucap Karina.

"Ya udahlah, enggak apa-apa kalau kamu milih masuk kerja hari ini. Lagian enggak ada yang mengharuskan kalau pengantin baru harus langsung pergi bulan madu kan?"

"Iya, lagian malam pertama kan enggak perlu pergi bulan madu jauh-jauh. Cuman berduaan sama pasangan peluk-pelukan terus sayang-sayangan aja juga udah romantis rasanya kalau buat pengantin baru!"

"Dasar lo. Ngomongnya kayak yang udah ngerasain aja!"

Sementara yang lain asyik dengan cerita Karina dan Dennis. Aku sendiri hanya bisa menutup mulut ini, karena bingung harus bilang apa. Meskipun aku bilang ke Dennis kalau aku enggak akan ikut campur sama kehidupan mereka berdua, tetap saja hal ini cukup mengganggu pikiranku.

▪▪▪

Di Rumah
Hari ini aku merasa ingin lebih cepat pergi istirahat, karena itu aku pergi ke kamar lebih dulu sedangkan ibu masih menonton TV.

Merebahkan diri di tempat tidur. Meskipun badan ini terasa lelah, tapi aku masih belum merasa mengantuk. Mataku juga masih terbuka lebar.

Oya, buku-buku yang dari gudang! Mungkin dengan menghabiskan waktu sambil baca buku-buku itu bisa membuat aku mengantuk.

Buku-buku tulis ini isinya cerita-cerita atau mungkin bisa dibilang novel yang aku buat waktu kecil. Ada beberapa cerita pendek, dari tulisannya sepertinya aku buat ini waktu masih SD. Tulisannya masih sangat jelek, yaa... seperti anak SD kebanyakan.

Inti ceritanya tentang persahabatan dan lainnya, aku juga bahkan membuat sebuah cerita tentang pemeran utama yang punya kekuatan magis, seperti Harry Potter. Cukup memalukan dan geli juga ternyata membaca karya sendiri seperti ini. Kosakata dan ejaannya banyak yang salah dan dibuat seenaknya saja dengan gaya bicara anak SD. Tapi cukup menyenangkan juga membaca ini lagi. Bisa terlihat keterampilanku menulis berubah menjadi lebih baik, dalam hal merangkai kata-kata dan juga tulisan tangan yang semakin lebih bagus. Apa aku terlalu memuji diri sendiri ya? Haha!

Tanpa terasa aku selesai membaca tiga buku tulis dengan sekitar 50 lembar di setiap bukunya. Dan ternyata, dengan membaca buku-buku ini bukannya jadi mengantuk tapi aku malah semakin segar karena rasa antusias dengan nostalgia kecil ini.

Aku lanjut baca buku berikutnya. Tapi dari tulisannya yang sangat jauh berbeda dengan buku tulis yang sebelumnya, sepertinya ini tulisanku waktu lebih besar. Isinya masih sebuah cerita, tapi di halaman pertama bukannya langsung berisi tentang ceritanya aku malah menuliskan nama-nama tokoh dan deskripsi tentang mereka. Ada beberapa coret-coretan tentang pemilihan nama mereka.

Nicholas Gere X

Nama pertama itu aku coret-coret.

Nicholas Mahawira Darrell. Mahawira dari bahasa jawa berarti pahlawan besar. Darrell dari bahasa perancis berarti belahan jiwa. Penulis berbakat, ganteng, baik hati. Bisa melakukan segala hal, pintar berolahraga dan bisa memainkan alat musik. Pembawaan tenang, cool, dewasa. Punya senyuman yang lembut dan sorotan mata yang tajam.

Aaahh... Aku baru ingat! Dulu aku suka banget sama Nicholas Saputra dan juga Richard Gere. Karena itu aku terpikir memilih nama gabungan mereka berdua, yaitu Nicholas Gere. Tapi mungkin karena namanya terlalu bule, jadi aku memikirkan nama lain. Dan karena aku suka dengan nama Nicholas jadi aku memilih nama pertamanya dengan Nicholas dibanding dengan Richard.

Wah... Sepertinya cerita ini lebih menarik menarik dari cerpen yang aku baca sebelumnya. Aku juga jadi penasaran sama ceritanya, karena jujur aku sudah lupa apa isi ceritanya. Aku sama sekali enggak memperhatikan sudah jam berapa sekarang karena sudah semakin menghayati membaca cerita ini.


















Terima kasih. >>°o°<<

Seguir leyendo

También te gustarán

865K 65.8K 54
Irish ragu dengan apa yang ia lihat kali ini. Ia tidak minus. Seratus persen ia yakin pandangannya tidak bermasalah. Dia juga tidak punya kemampuan u...
93.9K 6.5K 35
Berisi keseharian gadis bernama KRISTAL LIANA QUEEN DE ALBERT bersama keluarganya. menjadi permata dari keluarga mafia terkuat membuatnya harus selal...
12.8K 1.2K 64
Kadang, sebuah cerita sengaja ditulis tanpa memiliki akhir. Cerita yang sengaja dibiarkan menggantung, terbang, melayang, dan hinggap, lalu kembali m...
97.9K 6.4K 33
[TAMAT] Terancam penalti kerja, Rissa mencari bermacam cara untuk dikeluarkan dari pekerjaannya yang menyebalkan. Sayang, semua trik yang dilakukan R...