Tuan Rasa [Completed]

By tmameliya

766K 66.2K 1.9K

Ini perihal yang pertama, yang datangnya tiba-tiba lalu pergi tanpa aba-aba. Semua dimulai dari ketidaksenga... More

1. Kenalkan Aku, Nessa
2. Si Sepatu Hijau
3. Balasan Pertama
4. Sepenggal Nama
5. Kejadian Dini Hari
6. Panik
7. Mengungsi
8. Kekacauan di Kelas
9. Tiga Plester
10. Without Smartphone
11. Mendung
12. Satu Pihak
13. Hari Penuh Penasaran
14. Awal Permainan
15. Sebuah Perasaan
16. Kali Pertama
17. Awal Sebuah Teka-Teki
18. Malam Minggu
19. Salah
20. Cerita Arga
21. Posesif
22. Perang Kedua
23. Senja dan Keajaibannya
24. Makan Malam
25. Cemburu
26. Persekutuan
27. Firasat?
28. Aku Butuh Percaya
29. Jejak Kelam
30. Arti Sahabat
32. Official
33. Senin dan Misterinya
34. Hilang
35. Mencoba
36. Memulai Kembali
37. Gagal
38. Mengisahkan Luka
39. Sebuah Kesungguhan (End)
Nona Rasa (Extra Part)
Pasutri (Extra Part)
Ending (Extra Part)

31. Pikiran Buruk

15.1K 1.4K 8
By tmameliya

Makasih udah sabar nunggu hari Sabtu😊 Selamat membaca.

--------

Baru kali ini suasana di sekolah terasa sangat membosankan bagiku. Dira yang duduk di sebelahku pun selama pelajaran berlangsung turut merasakan hilangnya semangat dariku ini. Seluruh teman kelasku mengetahui jika Arga berhalangan hadir karena sakit. Tidak seutuhnya berbohong, bukan?

Saat ini sudah jam pulang sekolah, aku dan Dira memutuskan untuk pulang bersama.

"Ternyata gini ya rasanya jadi lo selama ini, Dir. Gak satu sekolah sama Bian." Aku mencoba menyuarakan perasaanku secara tersirat.

"Yaa awalnya sih emang rada aneh, secara pas SMP sekelas mulu. Tapi udah kebal gue sekarang. Kan masih banyak temen-temen yang seru, Nes."

Aku mengangguk menyetujui pendapat Dira.

"Emang Arga sakit apaan sih? Gue kira dia gak bisa sakit."

"Nessa!"

Sebuah kebetulan yang membuatku tidak perlu bersusah payah mengarang cerita ketika suara Kak Nugi terdengar memanggil namaku.

"Pulang bareng aku aja ya, Nes. Kita perlu bicara."

Gawat, gak bisa, nih. Setelah apa yang dilakukan Kak Nugi ke Arga Sabtu malam itu ngebuat gue secara gak langsung jadi il-feel sama dia. Jelas-jelas dia gak ada rasa peduli sama Arga.

"Aku udah janji pulang sama Dira, Kak. Yuk, Dir." Aku sudah menarik tangan Dira namun langkahku terhenti ketika Kak Nugi turut menahan tanganku.

Aku sontak melepas tanganku dari kakak kandung Arga ini.

"Bisa denger omongan aku barusan, kan?" Aku mempertegas pernyataanku tadi yang lebih memilih pulang bersama Dira.

"Itu wajar kalau kamu marah sama aku, Nes. But please! Give me a chance ada yang harus kita omongin." Kak Nugi terlihat turut terpancing oleh ucapan sinisku dan membuat Dira melepaskan tangannya dariku.

"Dia udah segitu frustasinya, Nes. Baru kali ini suaranya pake oktaf setinggi itu. Kelarin dulu deh masalah kalian, gue duluan ya." Dira berbisik sebelum benar-benar meninggalkan aku dengan Kak Nugi.

"Mau ngomong apa sih, Kak?" Aku membuang mukaku dari Kak Nugi. Melihat wajahnya hanya akan membuatku kesal.

"Masalah Arga."

"Masih peduli?" Aku menyindir secara terang-terangan saat ini.

"Jelas aku peduli, dia adik aku." Kak Nugi kembali mengeluarkan suara tegasnya itu.

"Peduli? Kalau emang peduli seharusnya kakak ngelerai Arga sama Om Fardan. Dan wajah Arga nggak akan lebam separah itu. Seharusnya kakak gak ninggalin dia gitu aja, kakak gak ngeliat gimana terlukanya dia?" Aku sudah berani menatap tajam kedua mata yang dilindungi oleh kacamata itu.

"Kamu gak ngerti, Nes. Menilai sikap seseorang dari pandangan kamu tanpa ngerti posisi orang itu, jelas penilaian yang salah."

Aku merasa benar-benar membuang waktu, bertengkar dengan laki-laki ini di parkiran sekolah dan sudah membuat beberapa murid memandang curiga.

"Aku jelasin semuanya, sekarang ikut aku." Lagi-lagi Kak Nugi berusaha meraih tanganku. Namun dengan begitu saja aku berhasil menggagalkannya.

"Aku lagi gak bisa ngomong sama kakak." Tanpa menunggu tanggapan Kak Nugi, aku telah berjalan cepat ke arah gerbang sekolah.

Tio!

Tak jauh di depanku ini, Tio tengah berdiri di depan pintu gerbang sekolah yang terbuka lebar. Aku bermaksud untuk menghampirinya dan menumpang ikut ke rumahnya untuk menjenguk Arga.

"Jangan, Nes." Tiba-tiba saja suara yang tidak asing terdengar di telingaku dan selanjutnya menghentikan langkahku dengan menahan tanganku.

Suara Reno.

"Reno? Lo ngapain?" Aku berbisik pelan pada Reno yang masih mengenakan seragam sekolahnya yang dilengkapi sebuah jaket berwarna navy blue.

"Ada Bayu di depan. Lo ikut gue, Arga nunggu di gerbang belakang." Tanpa menunggu balasanku Reno telah menarik tanganku cukup kuat dan berjalan dengan cepat.

Pandangan curiga para murid kembali tertuju padaku apalagi jika bukan dikarenakan lelaki yang saat ini bersamaku. Sudah kubilang Reno sangat berpotensi menjadi laki-laki yang digilai oleh kaum Hawa.

Sebuah mobil berwarna merah telah terparkir tepat di depan gerbang belakang sekolah yang sepi ini.

"Mobil siapa?" Tanyaku bingung kepada Reno yang berada di sampingku ini, sambil berusaha melepas tanganku darinya ketika sedikit lagi mencapai gerbang itu.

"Astaghfirullah, khilaf Nes." Reno segera melepaskan tanganku ketika melihatku yang sudah kesusahan melepas diri. Dia berkata dengan nada penyesalan namun diikuti tawa. Dia memang aneh.

"Mobil gue, tuh pacar lo nunggu, masuk aja. Gue pulang bareng Tio. Dia butuh gue sekarang." Reno sudah mengiring langkahku lalu membuka pintu mobil mempersilahkanku masuk.

"Hai." Suara sapaan Arga menyambutku ketika pintu mobil terbuka.

Wajahnya cukup segar jika dibandingkan hari kemarin. Dia masih saja mempesona meski bekas pukulan di wajahnya masih belum benar-benar hilang.

"Kamu ngapain ikutan ke sini?" Aku melayangkan pertanyaan ketika telah duduk di kursi samping kemudi dengan pintu mobil yang sudah ditutup sempurna oleh Reno.

Arga membunyikan klakson yang disambut ancungan jempol dari tangan kanan Reno. Selanjutnya mobil ini melaju meninggalkan sekolah.

"Ga, aku nanya loh."

"Yah mau jemput aja, kebetulan feeling aku lagi gak enak jadi aku minta tolong Reno nemenin ke sekolah dan bener aja ada Bayu yang ternyata nunggu di depan sekolah, untung mobil Reno yang ini belum dikenalin platnya sama tuh anak."

Sepertinya Reno memang pencinta warna merah dari motor hingga mobil semuanya serba merah.

"Dia ngapain?" Suaraku mulai terdengar panik saat ini.

Aku selalu merasa was-was ketika nama Bayu disebut.

"Kayanya dia mau nyari tahu tentang aku di sekolah ini."

Benar saja perkataan Arga membuatku merinding. Hampir sembilan dari sepuluh orang di sekolah ini yang lantas akan menyangkutpautkan aku ketika membicarakan Arga.

"Tenang aja, ada aku. Dan aku pastiin dia gak bisa ganggu kamu." Arga sepertinya bisa membaca ketakutanku.

"Kita makan dulu, ya."

"Modus ya? Feeling gak enak atau emang mau ngajakin aku makan?" Sepertinya tingkat kepercayaan diri yang tinggi itu memang bisa menular dengan mudah, seperti aku saat ini.

"Nggak modus. Awalnya emang feeling aku gak enak tapi pas udah ngeliat kamu gini bawaanya mau diajak lari aja."

Emang aku apaan? Yang bisa dilariin gitu aja.

"Aneh, makan siang bareng pacar tapi pake mobil orang." Aku meledek Arga yang sepertinya santai saja menggunakan mobil Reno ini.

"Emang kamu mau naik motor aku yang lagi bonyok itu?" Arga tersenyum jahil ke arahku.

"Ya mau-mau aja dong, dia tuh udah jadi saksi bisu hubungan kita."

Arga tertawa mendengar kalimatku barusan.

"Bener banget, saksi bisu. Gak nyangka."

"Gak nyangka apa?"
Aku membalas cepat kalimat Arga yang sepertinya memang tidak ingin ia selesaikan.

"Dulu ada yang ngaku-ngaku bukan fans aku di depan motor itu. Terus pake gak mau jadi pacar aku, sampe udah aku tembak dua kali masih aja gak jawab. Tapi sekarang malah keseringan muji-muji aku, terakhir kemarin dia bilang aku ganteng berapa kali gitu." Aku segera melayangkan tasku ke arah bahu Arga.

Dia hanya menjawab perlakuanku itu dengan tawa hingga kedua bahunya ikut berguncang.

"Jadi beneran udah suka sama aku, nih?"

Pertanyaan Arga benar-benar membuatku ingin menciut saat ini lalu membuka kaca mobil dan melompat ketika seekor kucing menyebrang jalan. Mengendarai kucing lebih baik sepertinya daripada harus menghabiskan waktu lebih lama dengan Arga yang sudah bisa membaca perasaanku.

"Kok gak ngomel sih? Biasanya kan kerjaan kamu ngomel mulu, udah sepanjang tol Jakarta--Bandung, kecepatannya juga hampir setara balap formula one. Diamnya cewek memang selalu iya, ya?" Arga mengacak pelan rambutku yang membuatku bergantian mengacak rambutnya.
.
.

Saat ini aku dan Arga memutuskan untuk makan siang di salah satu kafe yang tidak jauh dari rumahku. Kami membicarakan banyak hal random sedari tadi. Dimulai dari adik Tio yang terus saja mengintip Arga dan mondar-mandir sambil beralasan membersihkan kamar Tio hingga ceritaku tentang hujan badai dari kedua mata Rian yang menyatakan cinta pada Dahlia namun berakhir dengan sebuah penolakan.

Ini adalah salah satu momen yang menyenangkan di mana Arga terlihat telah melepaskan seluruh bebannya.

"Aku masuk besok." Ucapan Arga membuatku membulatkan kedua mataku.

"Terus nanti kalau ada yang nanyain muka kamu bisa berwarna gitu, gimana?"

Arga tertawa setelah menyeruput es cappucino pesanannya itu karena pertanyaanku barusan.

"Arga." Tiba-tiba saja sebuah suara menghentikan tawaku.

Kak Nugi kini telah bergabung di mejaku dan Arga. Kami memang memilih tempat duduk dengan empat kursi di cafe ini. Kak Nugi duduk tepat di sebelahku.

Hebat juga radar adik-kakak mereka sampe bisa tahu Arga di sini.

"Segitunya lo niat nyari masalah?" Arga terdengar sinis saat ini.

"Gue ngikutin Nessa sampe masuk ke mobil itu."

Oh bukan kebetulan.

"Lo pulang ya, Ga." Suara Kak Nugi kembali seperti saat pertama kali aku mengenalnya. Bukan jenis suara seperti tadi ketika aku berbicara dengannya di parkiran.

"Mama gak berhenti berusaha ke rumah Tio setelah kami pulang, tapi yang mama lakukan cuma ngebuat papa marah dan ngurung mama di kamar. Hari Minggu, papa yang akhirnya milih keluar dari rumah, gue gak tau kemana papa pergi. Gue mohon banget, Ga. Mama sakit sekarang and she needs you."

Aku melemparkan tatapku pada Arga yang sedari tadi memang menatap ke arahku pula. Dia sepertinya juga menghindari tatapan Kak Nugi.

Aku menganggukkan kepalaku. Memberikan isyarat agar Arga kembali ke rumah untuk menemui mamanya.

"Gue masih gak tau sebenarnya apa yang ngebuat papa semarah itu sama lo. Tapi kalau emang lo ngebantu temen lo itu, gue gak heran papa bisa mukul lo sampe gini. Lo cuma ngerusak nama baik keluarga."
Aku bisa melihat wajah Arga yang mulai dirundung emosi saat ini.

"Gue pulang ke rumah murni karna mama. Bukan karena lo apalagi ayah lo itu." Arga telah tersenyum miris dan masih menjaga nada bicaranya. Sepertinya dia tahu jika menaikkan suara hanya akan mengundang perhatian banyak pengunjung kafe ini.

Aku ikut berdiri saat Arga telah membawa tanganku dalam genggamannya. Tanpa seutuhnya menghabiskan makan siang kami, aku dan Arga telah menuju ke arah mobil Reno.
.
.

Arga dan Kak Nugi tengah berada di kamar orang tua mereka yang terletak di lantai atas rumah ini. Aku memilih menunggu di ruang tamu bersama Reno dan Tio yang juga telah bergabung. Mereka berdua tengah fokus menatap papan catur.

"Gimana, Ga? Mama kamu baik-baik aja, kan?" Aku segera berdiri dan berjalan ke arah Arga yang baru saja menuruni tangga rumahnya itu.

Arga mengangguk sambil mengusap rambutku.

"Maag nya kambuh karena gak makan dari kemarin. Tapi udah minum obat, kok."

"Syukurlah kalau gitu, aku pulang, ya. Udah sore." Aku berkata sambil berjalan menuju ruang tamu. Jam ditanganku telah menunjukkan pukul setengah empat sore dan aku juga hanya izin pada mama untuk makan siang bersama Arga.

"Pulang bareng gue aja, Nes." Reno bersuara sambil berjalan ke arahku membuat Tio mengambil kesempatan merubah posisi beberapa pion di papan hitam putih itu.

Aku tidak menjawab hanya melirik ke arah Arga yang tampak sedang menimbang-nimbang sesuatu.

"Lo fokus ke nyokap lo aja dulu, Nessa gue jamin aman. Lagian searah sama rumah gue."

Mendengar kalimat Reno jujur saja membuatku merasa tidak enak jika harus merepotkan Arga dengan mengantarku pulang.

"Ga, mama manggil." Suara Kak Nugi yang berdiri di pertengahan tangga membuatku benar-benar tidak seharusnya membuat fokus Arga pada mamanya hilang.

"Yo, lo antar Nessa, ya." Arga mengabaikan tawaran Reno dan lebih memilih percaya pada Tio.

"Mendung, bro. Yakin lo? Ntar cewek lo demam gue juga ikut sakit karena lo." Langit di luar memang sudah mulai bergemuruh dari tadi.

"Aku bisa pesan taksi." Aku baru saja ingin mengeluarkan smartphone ku namun Arga menahan tanganku.

"Yaudah, awas ya lo kalau berani macam-macam." Arga telah menatap tajam ke arah Reno.

"Santai, bro." Reno menepuk-nepuk pundak Arga.

.
.

Tidak ada yang bersuara selama perjalanan pulang menuju ke rumahku, baik aku dan Reno. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri.

Apa Bayu benar-benar ingin melakukan sesuatu pada Arga?

Entahlah, aku memang belum bisa memastikannya tapi pikiranku selalu saja mengaitkan Bayu dengan segala hal buruk yang akan menimpa keluarga Arga. Tapi jika benar, aku tidak begitu paham pula mengapa Bayu ingin merusak ketentraman hidup Arga. Lagipula jika dia membocorkan rahasia Om Fardan tidak menutup kemungkinan itu akan menjadi senjata yang turut membunuhnya hidup-hidup.

Seorang pejabat yang terseret kasus narkoba di negeri ini bisa menjadi headline selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan sampai keputusan penahanan telah dikeluarkan oleh hakim pengadilan, tentunya aparat kepolisian akan dituntut untuk mencegah hal ini kembali terulang maka bisa saja sindikat dari ayah Bayu dapat ditaklukan kali ini.

"Nes, kita udah sampe dari lima menit yang lalu." Tangan Reno yang menyentuh pundakku membuat aku kembali meraih kesadaranku.

"Eh udah sampe ternyata, makasih ya, Ren." Aku mulai melepas seatbelt.

"Iya, sama-sama. Gue gak ditawarin mampir?" Reno telah menggerakkan alisnya naik-turun membuatku hanya teringat pada seorang tokoh kartun anak-anak beralis mencolok.

"Nggak, lo pulang aja." Aku tidak ingin mencoba bersikap ramah pada Reno. Hanya akan membuat Arga kembali menjadi seorang pecemburu.

"Tega amat, gue kan mau kenalan sama nyokap lo. Bokap juga deh sekalian, kalau abang lo udah hari Minggu kemaren."

Aku sudah berusaha membuka pintu mobil ini namun semuanya hanya sia-sia. Ternyata Reno masih menguncinya.

"Nanti aja, tunggu lebaran. Sekarang buka pintunya, Ren." Aku beralih pada Reno yang sudah menyeringai tidak jelas itu.

"Gue buka tapi minta id line lo, ya." Aku menghembuskan nafas kasar.

"Lo mau jadi setan atau gimana? Punya satu cowok itu kemungkinan ribetnya banyak banget, Ren. Apalagi dua."

Aku masih berusaha berpikir keras untuk menemukan cara terlepas dari Reno. Seharusnya aku lebih bersikeras pulang dengan taksi atau meminta Bang Andra menjemputku.

"Gue bukan tipe yang ribet, kok. Id line doang, Nes. Kalau lo gak mau yaudah gue lanjut nyetir sampe ke rumah."

Aku tetap tidak akan membiarkan Reno mendapatkan keinginannnya itu. Aku mengeluarkan smartphone ku dan mencari kontak seseorang di sana.

"Lo mau nelpon siapa?"

"Mama." Jawabku enteng dan bersiap menekan tombol hijau. Namun tindakan itu tidak perlu kulakukan ketika mendengar tanda pintu mobil sudah tak lagi dikunci.

"Pantesan Arga mencairkan diri, lo kebal pesona cogan ya?" Aku hanya tertawa ketika mendengar suara frustasi dari Reno.

"Makasih, Ren." Aku mengulang kalimat ucapan terima kasihku sebelum benar-benar meninggalkan Reno.
.
.

"Ca, Om Fardan sama Arga baik-baik aja, kan?" Saat ini aku, mama, papa dan Bang Andra tengah menyantap makan malam bersama.

"Hmm." Aku tidak berniat benar-benar menjawab pertanyaan mama dan memilih sibuk dengan ikan goreng di piringku.

"Tadi sore Tante Yasmin ke sini, sambil nganterin undangan temen SMA mama yang mau nikah lagi. Dia bilang malam Minggu, mama sama papa Arga berantem di halaman depan rumah mereka sambil bawa-bawa nama Arga. Itu waktu kamu malam mingguan sama Arga, kan?"

Aku tersedak saat mendengar penjelasan singkat dari mama. Pasti yang dimaksud Tante Yasmin adalah adegan setelah keluarga Arga itu pulang dari rumah Tio.

"Ma, jangan ngurusin orang lain. Kan wajar kalau suami-istri berantem, gak baik mikir yang aneh-aneh." Papa membuat hatiku sedikit lebih tenang saat ini.

"Itu bukan berantem yang biasa, Pa. Sampe ke halaman depan rumah lagi, kalau kita aja berantem mentok-mentok di ruang tengah. Mama kan khawatir juga kalau anak perempuan kita pacaran sama anak dari keluarga yang sering berantem gitu, bisa-bisa itu udah jadi pemandangan yang biasa buat anak mereka. Dan bukan hal mustahil kan, Arga bisa marah-marah gitu ke Eca?"

Ketenangan hatiku sepertinya benar-benar akan diuji setelah ini. Perkataan mama membuatku merinding dan percakapan antara aku bersama Arga di depan mushalla kembali disiarkan ulang oleh otakku. Pemikiran orang zaman sekarang, dalam sebuah keluarga kesalahan pada satu orang tidak menutup kemungkinan orang lain dalam keluarga itu dinilai turut bersalah. Dan mamaku sendiri juga berpikiran seperti itu.

Belum benar-benar menghabiskan makan malamku aku telah memutuskan kembali ke kamar dengan alasan pr yang menumpuk.

Pikiran buruk tentang kemungkinan terburuk itu kembali datang.

Bagaimana jika kasus Om Fardan tercium oleh aparat kepolisian dan media? Apa mama akan membenci Arga?
.
.

"Jadi motor kamu kapan selesai dibaikin?"

Hari ini Arga benar-benar menepati perkataannya di kafe kemarin. Menggunakan mobil Tante Nana dia menjemputku di rumah, membuat kehebohan pagi-pagi ketika mama histeris melihat wajahnya dengan luka lebam yang sudah semakin pudar. Tetapi berbeda dengan mama, papa menganggap lebam di wajah Arga adalah hal yang biasa untuk anak laki-laki seusianya.

"Mungkin lusa." Arga menjawab datar sambil tetap fokus menyetir.

"Kak Nugi gak sekolah? Mama kamu gak kerja?"

Arga hanya menggeleng. Membuatku bertanya-tanya mengapa dia bersikap sedingin ini.

"Arga, are you okay?"

Tidak ada jawaban untuk pertanyaanku kali ini. Aku pun turut larut dalam mood jelek Arga pagi ini di sepanjang perjalanan.

Aku ingin menanyakan perihal Om Fardan yang terakhir kuketahui pergi meninggalkan rumah mereka namun melihat sikap Arga sekarang ini hanya membuatku menelan kembali pertanyaanku.

Sesampai di sekolahpun Arga tetap saja bersikap dingin. Biasanya kami akan banyak mengobrol sepanjang perjalanan dari parkiran menuju depan koridor kelas sepuluh, Arga akan menungguku hingga masuk ke kelas, setelahnya baru ia bergabung dengan beberapa temannya di lapangan untuk bermain sepak bola. Namun hari ini dia tidak melakukan kebiasaannya sebelum jam pertama dimulai, kami hanya berjalan diiringi derap langkah kaki.

"Aku duduk sama Vino."

Aku hanya mengangguk dan beralih duduk di sebelah Rian. Dira telah terlebih dahulu duduk bersebelahan dengan Dahlia. Sahabatku itu hanya melemparkan tatap penuh tanya melihat sikap diantara aku dan Arga, aku hanya bisa menaikkan kedua pundakku.

Berbuah-buah pesan masuk di smartphoneku. Apalagi jika bukan obrolan di grup kelas yang dipenuhi kalimat tanya tentang kondisi wajah Arga saat ini.

Habis perang sama gue.

Satu pesan aku rasa cukup untuk membalas semua rasa penasaran mereka atau malah membuat mereka semakin penasaran. Selanjutnya aku memilih untuk menonaktifkan smartphoneku dan menenggelamkan wajahku di atas meja beralasakan tas sekolahku.

Sepertinya hari-hariku selanjutnya di sekolah memang akan ditakdirkan untuk ku hadapi dengan kebosanan yang luar biasa.

Arga kembali menyebalkan. Sangat menyebalkan.

"Yan, lo sama Vino aja, deh." Suara Arga terdengar di sampingku namun tetap membuatku enggan menegakkan kepala.

Krasak-krusuk perpindahan Rian mulai terdengar, maklum saja perutnya itu semakin hari semakin membesar, membuat dia harus memundurkan kursi hingga berjarak lebih dari empat ubin lantai, membuat kesal orang yang ada di belakang kursinya.

"Sorry." Aku bisa merasakan tangan Arga yang berada di puncak kepalaku sekarang.

"Mukanya mana, sih? Kok aku kaya ngomong sama orang tidur." Aku berdecak kesal ketika mendengar Arga yang berucap seakan dia tidak bertanggung jawab karena telah menularkan mood jelek kepadaku.

Apa benar yang pernah dikatakan Dira? Aku takut kehilangan Arga sehingga sikapnya yang buruk di mataku sepanjang perjalanan ke sekolah tadi membuatku khawatir itu merupakan sebuah tanda ketika Arga hendak meninggalkanku.

Arga yang masih menjatuhkan tangannya di puncak kepalaku mulai memberikan usapan di sana membuatku risih dan segera menyingkirkan tangannya.

Kemudian aku memperbaiki posisi dudukku. Menatap kedua mata Arga mencari sebuah kebenaran di sana.

Kelelahan terpancar di sana beserta sebuah pertanyaan yang muncul di kepalaku.

Siapa yang akan mengkhianati perkataannya? Arga yang pernah berkata tidak pernah bisa melepasku? Atau aku yang pernah berkata selalu ada untuknya?

Continue Reading

You'll Also Like

200K 15K 33
Ikut mengurus pernikahan mantan? Oh No! Tapi, Gwen harus profesional pada pekerjaannya, lalu apa dia bisa mengabaikan patah hati terdalamnya itu? Per...
362K 27.2K 48
Bisa jadi ini adalah cerita yang menunggu untuk kau temukan. So ya, terimakasih sudah menemukanku. Tentang cara semesta menarik benang-benang kusut...
1M 112K 67
Telah terbit. Cerita telah dihapus sebagian. Berikan review di goodreads yaa bagi siapapun yg udah beli bukunya :)
1M 109K 41
#1 Watty2018 (05/10/2018) #8 ChickLit (07/03/2018) Ganti judul : Dictator Boss -> Gamophobia -> MARRIAGEPHOBIA (DICTATOR BOSS 1st VERSION) Bera...