Tuan Rasa [Completed]

By tmameliya

766K 66.2K 1.9K

Ini perihal yang pertama, yang datangnya tiba-tiba lalu pergi tanpa aba-aba. Semua dimulai dari ketidaksenga... More

1. Kenalkan Aku, Nessa
2. Si Sepatu Hijau
3. Balasan Pertama
4. Sepenggal Nama
5. Kejadian Dini Hari
6. Panik
7. Mengungsi
8. Kekacauan di Kelas
9. Tiga Plester
10. Without Smartphone
11. Mendung
13. Hari Penuh Penasaran
14. Awal Permainan
15. Sebuah Perasaan
16. Kali Pertama
17. Awal Sebuah Teka-Teki
18. Malam Minggu
19. Salah
20. Cerita Arga
21. Posesif
22. Perang Kedua
23. Senja dan Keajaibannya
24. Makan Malam
25. Cemburu
26. Persekutuan
27. Firasat?
28. Aku Butuh Percaya
29. Jejak Kelam
30. Arti Sahabat
31. Pikiran Buruk
32. Official
33. Senin dan Misterinya
34. Hilang
35. Mencoba
36. Memulai Kembali
37. Gagal
38. Mengisahkan Luka
39. Sebuah Kesungguhan (End)
Nona Rasa (Extra Part)
Pasutri (Extra Part)
Ending (Extra Part)

12. Satu Pihak

16.4K 1.5K 58
By tmameliya

Mendung memang pertanda hujan.

Belum rasanya sepuluh menit aku dan Arga menembus keramaian jalanan kota, namun kini hujan telah mengharuskan aku melewati waktu sedikit lebih lama lagi bersama Arga.

Arga memilih menepikan motornya di sebuah ruko yang tengah tutup hari ini. Aku segera turun dari motornya dan membuka jaket Kak Nugi yang telah sedikit menghindari kulitku dari rintik hujan. Arga? Dia basah akibat tidak mengenakan jaket, terlebih bagian depan tubuhnya.

Aku masih belum mengeluarkan suaraku semenjak terakhir aku menanyakan dia perihal SMS di kelas tadi. Saat ini aku dan dia hanya menikmati suara hujan dan langit yang bergemuruh.

Aku sudah sangat merasa bosan, hujan bukannya berhenti malah melebatkan diri. Aku mengeluarkan smartphone dari dalam tasku. Piano tiles pasti bisa membantu.

"Sial! Pake habis batre lagi!" Aku memasukkan kasar layar tipis itu kembali ke dalam tasku.

"Mau main ular-ularan?"

Mataku membelalak melihat bukti langsung dari segala hal yang dikatakan Dira mengenai Arga dan smartphone. Benar-benar telpon genggam saat aku kelas tiga SD.

"Lo anak tiri ya?" Hanya itu pertanyaan yang terpikir di kepalaku saat ini.

"Bukan." Arga menjawab santai dan mendekatkan kembali handphonenya ke arahnya.

"Kok abang lo bisa punya hp yang paling canggih dan lo malah dapat yang paling butut."

"Kegunaan hp apa? Nelpon. Sms. Udah kan? Intinya komunikasi, ini udah lengkap." Arga dengan santainya menjelaskan hal itu lalu memasukkan kembali handphonenya kedalam tas sekolahnya.

"Lo main internet?"

"Nyari tugas."

"Facebook?"

Arga menggeleng.

"Twitter?"

Juga menggeleng.

"Instagram?"

Kembali menggeleng.

"Hmmm.." Aku berpikir media sosial apa yang sedang booming-boomingnya.

"Gue cuma punya e-mail. Itupun karena dulu ada tugas komputer."

"Lo emang lebih pantas hidup di zaman batu, lebih tepatnya mesolithikum, tinggal di gua-gua terus tiap hari berburu makanan. Ini udah zaman modern, teknologi diciptakan buat mempermudah segalanya tapi elo, cuma sibuk sama buku sketsa lo itu."

"Gue bukan anti teknologi canggih. Gue masih main ps, gue gunain teknologi sesuai apa yang gue butuh. Ngapain juga ngabisin waktu di dunia maya, emang lo bayangan."

"Alah lo aja kali yang emang gaptek."

Arga hanya tertawa mendengar ucapanku. Lagi-lagi aku tidak mengenal siapa dia sebenarnya. Dia bisa begitu dingin, menyebalkan, lucu dan masih banyak lagi. Tapi sejauh ini yang mendominasi adalah menyebalkan.

"Lo pasti udah tahu duluan kan kalau gue emang gak pake barang canggih?"

Aku mengangguk.

"Kayanya semua tentang lo emang udah jadi konsumsi publik apalagi cewek-cewek genit. Hati-hati aja kalau di kamar lo bahkan kamar mandi lo udah ada cctv yang diam-diam dipasang sama salah satu dari butiran-butiran fans lo itu." Aku kembali memasang jaket pinjaman dari Kak Nugi, udara semakin dingin.

"Lo sendiri?"

"Apa?" Aku tidak mengerti dengan pertanyaan Arga.

"Bukan salah satu butir fans gue?"

"Gue bakal jadi fans lo jika dan hanya jika lo udah bisa bangun candi dalam waktu semalam. Lebih baik ya, ini cuma saran gue sih. Kalau lo mau bebas dari penggemar-penggemar lo itu, cari pacar sana. Biar patah hati semua, seenggaknya hidup lo bakal sedikit terjaga kembali privasinya."

"Yaudah kalau gitu."

Saat ini Arga sepertinya sedang hobi mengeluarkan kalimat gantung.

"Yaudah? Lo kok kaya gak nyambung ya gue ajak ngomong." Aku mendengus sebal.

"Yaudah lo pacar gue sekarang."

Dia kira dia aktor ternama, penyanyi terkenal, pria paling ganteng di dunia, atau yang paling kaya sejagat raya. Enak aja ngomong gitu.

"Sorry ya. Lo bukan tipe gue. Jadi jawabannya no. Very big no!"

"Gue lagi gak nanya. Itu pernyataan." Jawaban Arga saat ini telah membuatku ingin melipat tubuhnya menjadi perahu kertas lalu aku arung di selokan yang tak jauh dari letak aku berdiri saat ini.

"Lo kira gue cewek apaan?"

"Lo cewek gue sekarang."

"Lo mimpi ya, gak inget lo? Lo bilang kalau gue ini bukan tipe lo, gue standar dan lo di atas rata-rata. Terus sekarang udah sadar sama pesona gue?" Aku sengaja menyombongkan diri. Menyikapi orang sombong haruslah dengan cara yang sombong.

"Lo gue jadiin pacar gue karena lo gak suka sama gue. Nanti kalau lo udah suka sama gue baru kita putus."

"Lo udah gila ya? Gue gak akan mau ngejadiin lo pacar pertama gue."

"Oh jadi gue yang pertama?" Arga menatap ke arahku sambil tersenyum miring.

Masih berlakukah pertanda buruk jika dia sudah tersenyum seperti ini?

"Lo juga yang pertama." Arga mengacak rambutku.

"Gak waras beneran ya lo!"

"Kayanya bakal berhenti lama nih hujannya. Kita terobos aja ya, udah kepalang basah." Arga mengabaikan kemarahanku lalu kembali naik ke atas motor.

"Buruan, Ca. Baru hujan air bukan batu."

Aku sudah lapar saat ini hanya memilih menerobos hujan.
.
.

Aku segera mandi begitu sampai di rumah Tante Yasmin. Setelahnya mengisi perutku dengan makan siang.

"Kalau tahu hujan gini biar tante aja yang jemput kamu, maaf ya Ca." Tante Yasmin menyodorkan secangkir teh ke arahku yang telah menyelesaikan makan siangku.

"Gakpapa, Tan. Cuaca emang lagi gak menentu."

"Andra belum pulang? Kehujanan juga?"

"Bang Andra ada rapat OSIS."

Tante Yasmin mengangguk paham.

Suara ketukan pintu membuat tante Yasmin meninggalkanku di ruang makan.

Dan tidak lama kemudian,

"Eca.." Tante Nana berseru memanggil namaku setelah tiba di ruang makan bersama Tante Yasmin.

"Ini tante bawain kue buat kamu." Tiga cupcake cantik yang masih dalam bungkusan itu telah disodorkan ke arahku.

"Ya ampun tante, aku kan cuma kehujanan lagian bukan salah Arga. Kita sepakat buat nerobos hujan."

Tante Nana dan Tante Yasmin tertawa bersama mendengar ucapanku.

Perasaan gue lagi gak ngelawak.

"Tadi Arga senyum-senyum sambil kebasahan masuk rumah. Tante tanya tumben dia seneng hujan-hujanan terus dia bilang baru jadian. Jadi ya kue ini buat kamu, pacar pertama Arga."

Selanjutnya suara tepuk tangan terdengar dari Tante Yasmin dan Tante Nana.

"Kayanya mba, kita harus telpon Gita deh, ayuk mba video call aja deh lewat laptop aku."

Aku hanya menganga entah sudah selebar apa.

"Argaaaaaaa!" Aku berteriak dalam hati.

Bagaimana ini benar-benar terjadi? Aku bahkan mengira semua perkataan Arga tadi tidak serius tapi keadaannya malah jadi begini.

.
.

Pagi ini mobil Bang Andra baru diderek oleh salah satu pegawai bengkel langganan papa. Dan aku terpaksa harus kembali pergi ke sekolah bersama Arga.

Awalnya aku sudah meminta Dira untuk menjemputku namun karena ini adalah tanggal 23 dimana hari jadi Dira dengan Bian maka dia tidak membawa motor. Hari ini dia akan diantar jemput oleh Bian bahkan mereka akan jalan-jalan sepulang sekolah. Mereka menawarkan aku untuk ikut seperti biasanya dan mentraktirku, aku mengiyakannya. Aku telah mempersiapkan hari yang kira-kira akan lebih buruk lagi dengan meminta Dira menjagakan bangkuku di sebelahnya.

"Jadi kalian beneran pacaran? Pantesan kemarin pas gue mau ngantar Nessa balik, lo bilang gue dipanggil Bu Iis padahal Bu Iis gak manggil gue sama sekali." Kak Nugi menyambut kehadiranku dengan bertanya pada Arga yang saat ini tengah memasang tali sepatu.

Apa?! Jadi Si Agar ini kemarin bohong!

"Kemarin-kemarin aja bilangnya nggak." Bang Andra tak berhenti meledek ku sejak makan malam.

"Eh jangan digodain mulu dong yang baru pacaran." Tante Nana keluar dari rumah membuatku merasa sangat malu.

"Iya nih, udah merah tuh muka dua-duanya." Tante Yasmin menimbali.

"Arga berangkat ya, Ma." Arga menyalami Tante Nana membuatku mengikuti.

"Banyakin sabar ya, Ca ngadepin Arga."

Kayanya sabar nggak bakal cukup, Tan.

Aku hanya tersenyum mendengar ucapan Tante Nana.

"Mana pacar Arga?" Kali ini seorang pria yang menurutku beberapa tahun umurnya di atas papaku itu telah keluar dari rumah besar ini.

Bokap Arga? Ganteng! Sebelas-dua belas sama papa. Pantesan anak-anaknya gini.

"Ini loh, Pa. Imut kan? Anaknya Gita sama Dean."

Papa dari Arga dan Kak Nugi itu hanya tersenyum ke arahku lalu akupun mendekat untuk menyalaminya.

"Arga berangkat, Pa." Kini giliran Arga berpamitan dengan papanya.

Selanjutnya aku menyalami Tante Yasmin diikuti dengan Arga.

Bang Andra masih menunggu Kak Nugi yang baru mulai memakai sebelah sepatunya.

Setelahnya Arga kembali menyodorkan helm ke arahku kali ini dengan cepat aku ambil dan aku pasang sendiri pengaitnya.

"Hmm Kak Nugi, jaketnya besok aku kembaliin ya." Sebelum naik ke motor Arga aku memberitahukan Kak Nugi untuk merelakan jaketnya kucuci terlebih dahulu.

"Iya, santai. Kalau sama kamu lama-lama gakpapa, Nes." Kak Nugi lagi-lagi dengan senyumnya mampu menghalau badai di hatiku.

"Jangan genit sama pacar gue dong, Bang."

Seruan penuh godaan terdengar dari Tante Nana, Tante Yasmin dan Bang Andra.

Tunggu gue meledak, Agar!!

Status sepihak ini masih menjadi kabar bagi dua rumah ini saja. Tidak. Orang tuaku yang sekarang masih berada di Paris pun telah mengetahuinya, selama berhari-hari asyik berbulan madu, tadi malam akhirnya papa dan mama menelpon aku dan Bang Andra, aku kira mereka telah lupa dengan anak-anaknya, panggilan dari mereka itupun hanya untuk membahas hubunganku dengan Arga. Orang tuaku memang membebaskan anaknya berpacaran jika telah masuk SMA. Bang Andra pun sudah tiga kali membawa pacarnya ke rumah namun dia terpaksa putus dengan pacarnya saat naik kelas dua belas katanya ingin fokus UN dan seleksi masuk PTN. Klise!
Untuk Dira aku tidak menceritakan tentang hal ini karena aku yakin Arga tidak seserius itu.

.
.

"Apa-apaan sih lo? Kita kan gak pacaran." Aku harus membesarkan suara karena berbicara di motor yang sedang melaju ini.

"Kita pacaran, kan gue udah bilang."

"Nggak! Gue lompat nih kalau lo masih bilang gitu."

"Kita pacaran." Arga sepertinya memang sedang tidak waras.

"Gue lompat nih!" Aku kembali melayangkan ancaman.

"Kita pacaran." Seperti rela melihatku mati Arga memberikan jawaban yang membuatku mual.

Andai saja aku kucing dengan sembilan nyawa tentu aku akan segera melompat dari motor hitam ini.

"Gue gak mau jadi pacar lo!" Aku memukul punggung Arga. Cukup keras hingga motornya sempat oleng beberapa saat.

"Kita pacaran." Arga masih saja berkeras kepala hingga membuatku tidak tahu lagi harus bagaimana.

.
.

Sesampai di sekolah untunglah tidak terlalu banyak orang berada di sekitar parkiran. Aku melesat meninggalkan Arga begitu saja.

"Tega lo, Nes. Jadi kita ini apa?" Kedatanganku disambut dengan omelan Dira disaat aku baru saja melangkah masuk.

"Nessa!" Teman-teman perempuanku telah buru-buru mengepungku.

Pasti nanyain klarifikasi kejadian pulang sekolah kemarin.

"Nanti gue jelasin, okay? Sekarang minggir ya." Aku menerobos kepungan teman-temanku.

Aku meletakkan tasku di atas bangku yang tepat berada di samping Dira.

"Ini apa?" Aku bertanya pada Dira yang menyodorkan ke arahku sebuah kertas yang bertuliskan menu-menu makanan di kantin.

"Siapa yang lagi ulang tahun? Sampe bikin daftar menu pesanan gini?" Aku meneruskan pertanyaanku.

"Lo pake nanya siapa? Kenapa lo gak bilang kalau lo sama Arga pacaran? Gue kira kita tuh sahabat sejati selamanya, Nes. Tapi apa? Lo gak cerita apapun ke gue. Sana lo, jangan duduk di samping gue."

Aku merasakan petir menyambarku saat ini. Teman sekelasku telah tahu tentang status sepihak ini?

"Jadi ini, ini menu apa?" Aku tidak menghiraukan kekecewaan Dira.

"Ya ini pesanan kita sekelas, tadi Tio ke sini, katanya Arga bakal neraktir kelas kita sama kelas Tio karena baru jadian sama lo. Selamat ya Nes, walaupun lo juga matahin hati gue tapi gakpapa lo pacar pertama yang seimbang buat Arga yang emosian gitu." Rentetan kata-kata dari Dahlia membuat kaki ku lemas seketika.

"Ijo! Lo berhasil juga ternyata menyadarkan Arga kalau gue sama dia gak bisa pacaran." Kini Tio ikut menambah beban dalam pikiranku saat ini.

Aku menatap ke arah Dira sambil menggeleng-gelengkan kepalaku.

"Gue tahu ada yang gak beres." Dira telah menarik tanganku keluar dari kelas.

"Kita harus ngomong berdua, nah di perpus aja." Dira menarik tanganku ke arah perpustakaan.

Perpustakaan adalah ruangan yang paling jarang didatangi oleh siswa karena ruangan ini baru selesai direnovasi dan belum semuanya dirapikan dan dibersihkan kembali.

"Gue gak pacaran, Dir. Dia cuma ngambil keputusan sepihak." Aku merasakan mataku memanas saat ini. Aku masih dalam hari-hari rentan baper dan menangis.

"Gila ya tuh Arga. Bisa-bisanya mentang-mentang dia ganteng dan lo biasa-biasa aja dia giniin lo."

"Lo baru tau dia itu gila. Selama ini lo cuma ditipu sama tampang dia. Semuanya udah tahu kalau gue pacarnya Arga. Sampe nyokap dan bokap gue dan bonyok Arga sama-sama tahu, Dir. Gue harus gimana?"

"Tapi kalau dipikir-pikir nggak ada masalah juga sih, Nes. Arga itu gantengnya luar biasa, bagus dong sebagai pacar pembuka buat lo." Dira seketika berubah menjadi ikut mendukung hubungan sepihak ini.

"Lo labil banget sih Dir! Lo harusnya bantuin gue untuk lepas dari status bohongan ini."

"Gak ada yang bakal percaya sama lo, Nes. Kalau Arga yang gak ngakuin lo sebagai pacar, orang sih bakal percaya. Tapi kalau lo yang gak ngakuin Arga pacar lo, semua orang gak ada yang percaya."

"Huaa! Gue mau kabur aja ke Jepang, nyari rumah Nobita terus minta Doraemon keluarin mesin waktu dari kantung ajaibnya jadi gue bisa balik lagi ke masa gue baru lulus SMP. Gue gak akan mau masuk di SMA ini."

"Gak ada cara lain, selain lo hadapin ini semua, Nes. Lo mutusin Arga kayanya mustahil, jadi buat Arga yang mutusin lo."

Mendengar saran dari Dira hanya membuatku merinding saat ini. Kata-kata Arga terngiang kembali di kepalaku.

"Lo gue jadiin pacar gue karena lo gak suka sama gue. Nanti kalau lo udah suka sama gue baru kita putus."

Continue Reading

You'll Also Like

1.6M 181K 41
Di usia yang nyaris kepala tiga, Terra masih tidak mengerti tujuan hidupnya apa. Selama lima tahun terakhir, dia merasa tidak ada yang berubah, waktu...
200K 15K 33
Ikut mengurus pernikahan mantan? Oh No! Tapi, Gwen harus profesional pada pekerjaannya, lalu apa dia bisa mengabaikan patah hati terdalamnya itu? Per...
1.6M 190K 37
Siapa yang gak tau tentang Remedial? Pasti sebagian dari kita semua pernah melakukan Remedial semasa sekolah? Bagi Arimbi, remedial bukanlah hal yang...
157K 9.9K 32
Hatinya sekeras batu, sedingin es. Tapi bagaimanapun caranya aku akan mencari cara agar bisa masuk - Gerald to Sonya. Aku menyukainya tapi aku tahu a...