Blood and Rose

By diahsulis

33.6K 4.1K 750

[SPIN OFF ARUNA SERIES] Seluruh koran dipenuhi pembunuhan brutal yang meneror Batavia, pembunuhan yang me... More

Prolog
1. Pembunuhan yang Aneh
2. Pemuda yang Aneh
3. Hutang dan Balas Budi
4. Zen: Pilihan Paling Buruk
5. Penjelasan yang Tak Berarti
6. Kehidupan Palsu
7. Para Pria Asing
8. Zen: Bahaya yang Datang
9. Zen: Pria Paling Beruntung
10. Masalah yang Mencuat
11. Zen: Kegagalan
12. Wujud Kepercayaan
13. Zen: Jatuh
14. Serangan Malam
15. Zen: Bahu Membahu
16. Pertarungan di Luar Nalar
17. Zen: Luka untuk Sebuah Luka
18. Pagi yang Baru
20. Zen: Laki-laki
21. Menghindar
22.Zen: Saling Menerima
23. Undangan
24. Batavia
25. Teman yang Cemburu
26. Kemarahan Zen
27. Zen: Kesulitan yang Tidak Biasa
28. Pesta
29. Kejutan
30. Pilihan yang Menakutkan
31. Keputusan Berisiko
32. Keluarga Baru
Epilog: ???
Fun Facts

19. Tahapan Baru

731 112 9
By diahsulis

[PRAKATA}

Hanya untuk berjaga-jaga, chapter di bawah ini dapat mengakibatkan ulu hati yang sakit, kontraksi berlebihan pada perut, imajinasi yang berlebihan, dan mungkin sedikit gangguan jantung.

Untuk rafikaparamita25 diharap tidak membaca chapter ini. 

-

"Akhirnya mendidih juga!" seruku riang saat Zen memindahkan kuali dari tungku dan memadamkan apinya. "Sekarang tinggal tunggu hangat."

"Ternyata bisa juga ya," Zen memandangi sup yang masih mengepul dari dalam kuali. Air mukanya tampak puas. Dia menutup kuali itu lagi dan memandangku dengan senyum masih bertakhta di wajahya. "Terima kasih atas bantuan kamu, Rini."

Aku membalas ucapan ramah Zen dengan satu senyuman yang sama ramahnya. "Sama-sama."

Kemudian sesuatu terlintas di benakku.

Diam-diam, mataku turun ke kemeja Zen yang terkancing rapi. Rasa penasaranku tergelitik.

"Ada apa?" Aku mendongak, bertukar pandang dengan Zen yang sepertinya menyadari peralihan perhatianku.

"Em...." Selama sesaat, aku kehilangan kata-kata, lupa ingin berkata apa. Pikiranku dipenuhi rasa malu karena sudah tertangkap basah mengamati dirinya. "Apa luka Raden tidak apa-apa?"

Zen mengerjap. "Ya," jawabnya sedikit bingung. "Bukankah sudah aku bilang lukanya sudah pulih?"

Pipiku menghangat. Sebisa mungkin aku terus menatap Zen, meski mataku berulang kali berpindah ke berbagai sudut di dapur. "Boleh ... sekarang saya melihatnya?"

Keraguan tampak di wajah Zen. "Kamu yakin?"

"Saya rasa sekarang tidak akan apa-apa," ujarku menenangkan. "Selain itu, saya perlu melihat kondisi luka Raden dan memastikannya sendiri."

Zen memalingkan mata. Ekspresinya menjadi tidak terbaca. Entah dia keberatan ataukah tidak senang, aku tidak tahu. Tanpa bicara, dia berdiri menghadapku. Tangannya membuka tiga kancing bawah kemeja putih yang ia kenakan sementara aku ikut bangkit berdiri. Ia menyingkap pakaian sejauh yang bisa diperlihatkan tiga kancing yang terbuka itu.

Sebisa mungkin aku menenangkan diri, meredam debaran yang menghantam-hantam dadaku dan berusaha untuk tidak berpaling.

Ini Zen. Pikiranku berulang kali menggaungkan kalimat itu selagi mataku memerhatikan dengan seksama tubuh Zen yang bersih tanpa ada satu pun luka di dalam balutan pakaian itu.

Mulutku hampir terperangah.

Zen benar. Tidak ada luka. Bahkan tidak ada parut yang tertinggal. Seakan-akan tidak pernah ada pedang yang semalam baru saja menembus perutnya.

"Ri-ni!"

Suara tercekat itu menyadarkanku. Mendongak, aku mendapati Zen yang sedang mengerutkan dahi. Kerutan itu sangat dalam sampai-sampai dua alisnya hampir menyatu. Matanya berkabut, tampak tidak fokus, sementara semburat merah muncul di wajahnya. Napas Zen yang sebelumnya teratur, entah sejak kapan berubah kacau.

Eh, tunggu sebentar. Sejak kapan wajah Zen jadi sedekat ini?

"Hen-tikan itu!" Genggaman erat itu menarikku kembali ke kenyataan, menyadarkan posisiku sekarang ini.

Dan aku langsung malu luar biasa karenanya.

Tanganku.

Menyentuh.

Zen.

Tidak hanya sebatas jari, seluruh telapak tanganku, menyentuh perut Zen, menyusup ke balik bajunya yang terbuka. Napasnya yang tidak beraturan dan dentaman aneh yang entah berasal dari siapa di antara kami, mengalir sejelas-jelasnya lewat telapak tanganku, memperparah debaran yang kini bergemuruh di dalam tubuhku.

Tangan Zen tidak lagi memegangi bajunya yang terbuka. Sebelah tangan itu memegangi tanganku sementara tangan yang lain mengepal kuat-kuat, menggantung di sisi tubuhnya dengan kaku, seakan siap menghajar benda terdekat yang berani cari masalah dengannya.

"Ma-maafkan saya!" Aku terlonjak mundur dan kakiku terantuk alas duduk yang tadi kami gunakan untuk duduk di depan kuali.

"Hei, hati-hati!" Lengan Zen lebih dulu menangkapku sebelum tubuhku terantuk dan menyenggol kuali yang tentunya mungkin akan berdampak lebih parah nanti. Sebelah pundakku berdenyut nyeri sementara tanganku bergantung pada pundak Zen.

Sambil menghela napas lega, aku pun sedikit menjauh dari Zen. "Maaf," Aku menunduk lesu. "Sekali lagi ... maaf."

"Kamu terlalu banyak meminta maaf hari ini."

"Habisnya saya...." Kata-kataku tenggelam di hadapan wajah Zen yang sedemikian dekat.

Ini tidak asing, perasaan itu berbisik ke dalam kepalaku.

Di mana aku pernah melihat Zen sedekat ini, dari bawah seperti ini ya?

Ah ya, saat pernikahan kami. Saat itulah aku melihatnya dari dekat dari posisi seperti ini, saat kami sama-sama berdiri.

"Ada apa?" Zen bertanya dengan bingung.

Saat ia bicara, justru aku terbawa ke malam kami kedua kalinya bertemu, malam saat aku mengetahui kalau Zen bukanlah manusia. Saat itu, aku begitu memerhatikannya saat membuka mulut, memerhatikan taringnya yang sebelumnya tampak sangat panjang, entah bagaimana bisa kembali normal seukuran taring manusia biasa.

Terdorong oleh rasa penasaran yang sekali lagi muncul, aku pun memutuskan. "Raden bisa tolong ... jangan bergerak sebentar?"

Ekspresi Zen berubah tegang, kelihatan telah siap mengantisipasi hal-hal yang paling buruk. "Kamu ... mau apa?"

"Menyentuh itu." Tangan kananku terangkat pelan-pelan. Zen kelihatannya tahu apa yang aku maksud karena ia lekas memalingkan wajah dariku dan menutup mulutnya rapat-rapat. "Raden?"

Zen diam. Kelihatan enggan.

Tidak bisa begini Biar bagaimanapun, aku perlu memastikannya. Aku perlu memastikan sendiri kenapa tadi aku sampai takut di akan menggigitku seperti dua orang itu. Aku harus meyakinkan diri sendiri kalau dia tidak akan melakukannya.

Aku perlu meyakinkan diri, bahwa dia punya banyak kesempatan selama enam bulan lebih pernikahan kami tapi tetap tidak pernah mencoba membunuhku seperti yang dilakukan dua orang itu. Dia bisa saja menyakitiku seperti yang dilakukan oleh dua orang itu, tapi tidak ada satu pun perlakuan buruk yang aku terima darinya di sini.

Tanganku yang gemetar terasa semakin lemah saat ada di depan mulut Zen yang menutup rapat. Dia tidak memberikan pengiyaan, tapi tidak pula memberikan perlawanan ataupun penolakan. Ia hanya terdiam di tempatnya, sambil masih memalingkan wajah dariku.

"Jangan sentuh ujung-ujungnya," Tiba-tiba Zen berpesan. "Racunnya akan keluar sendiri. Tidak akan berbahaya jika tidak terluka, tapi sejauh ini, belum pernah ada yang berhasil menyentuh taring kami tanpa terluka, jadi aku minta dengan sungguh-sungguh, jangan sentuh ujung-ujungnya."

"Baik," jawabku tanpa keraguan.

Perlahan dan dengan enggan, Zen menghadapkan wajahnya kepadaku, pada akhirnya menghadapiku langsung dari depan. Matanya menutup, seiring dengan mulutnya yang membuka, memberikanku izin untuk menyentuhnya.

Seperti dugaanku, taring Zen memang seukuran taring manusia biasa.

Jariku menyentuh bagian depan salah satu taring itu dan terkesiap saat keempat taringya, secara bersamaan, tumbuh memanjang. Aku hampir tak siap menyaksikan taring yang keluar tiba-tiba itu dan hampir saja menggoreskan jariku ke salah satu ujungnya yang tajam.

Mataku mengawasi keempat taring itu dengan seksama, memerhatikan dua taring di atas menunjukkan perubahan yang lebih mencolok dibanding dua taring di bawah.

Sewaktu kecil, seekor ular sendok pernah masuk ke griya. Romo memukul ular sendok itu sampai mati. Selagi Romo mengambil sapu dan karung untuk membersihkan ular itu, aku sempat bermain-main dengan bangkainya.

Dengan tongkat, aku membuka mulut ular yang patah, melihat taringnya yang berbalutkan kulit. Aku terus mengamatinya, mendorong kulit itu sampai seluruh bagian taringnya terlihat.

Dan benak kecilku waktu itu menyimpulkan, taring ular tersembunyi, berbeda dengan taring kucing. Karena itulah ular berbahaya dan Romo menyuruhku untuk menjauhi mereka.

Taring Zen mirip dengan taring ular, tersembunyi dan bisa keluar saat dibutuhkan.

Perlahan, aku menutup mata, merasaka taring itu dalam sentuhanku sambil mengingat-ingat semua kenangan buruk yang kualami selama ini, sejak aku mengenal Zen. Kesan tajam taring Zen semakin terasa. Rasanya seperti memegang pisau pemotong daging ... malahan mungkin taring ini lebih tajam dari pisau pemotong daging.

Benar, itu mungkin saja.

Karena taring ini sama seperti taring yang sama yang sudah melukaiku beberapa hari lalu.

Taring ini mampu menarik sangat banyak darah dari dalam tubuhku.

Taring ini bisa merenggut nyawaku.

Kuresapi kengerian-kengerian yang datang bersamaan dengan semua pikiran buruk itu, membiarkan mereka mengalir ke dalam diriku selagi tanganku masih terus menyentuh taring Zen, berpindah ke taring bawahnya.

"Raden ... tolong tutup mulut Raden." Pundak Zen semakin tegang. Terdengar geraman tak suka darinya. Bisa kubayangkan wajah kesalnya dan deretan protes yang siap dilontarkannya jika saja ia bisa menggerakkan mulutnya sekarang. "Raden tidak perlu memberitahu saya waktunya. Bisa sekarang, bisa nanti, bisa juga tiba-tiba." Kata-kata ini hanya membuat Zen bergerak gelisah, seakan-akan dia siap untuk mundur. Namun aku mengelus pundaknya satu kali, menghentikan rontaan lemahnya. "Saya tidak akan biarkan diri saya sendiri tergigit. Saya janji, Raden."

Satu tangan lain jatuh di atas tanganku yang memegang pundak Zen. Tangan itu meremas tanganku dan aku tersenyum, membayangkan bagaimana ekspresi Zen sekarang ini. Salah satu jariku ada di dalam mulutnya, menunggu.

Tiba-tiba, mulut itu mengatup rapat.

Dan tidak ada rasa sakit yang aku rasakan.

Sambil tersenyum, aku pun membuka mata, langsung bertemu pandang dengan Zen yang berjengit tak suka.

"Yang tadi itu untuk apa?" gerutunya kesal seperti kakek-kakek jariku sudah keluar dari mulutnya.

"Ujian untuk saya sendiri." Sejujurnya, aku sedikit merasa tak enak hati karena harus meminta padanya lagi setelah apa saja yang kuminta padanya hari ini saja. Tapi demi lebih dari satu pihak, aku harus menghilangkan rasa takut konyol itu dari diriku selamanya.

Zen berjengit. "Kenapa ... kamu menjadikanku ujian?"

Menyadari perubahan suasana hati Zen, aku buru-buru menunduk. "Maaf jika saya menyinggung perasaan Raden," ucapku pelan-pelan. "Saya hanya tidak ingin ... ketakutan lagi pada orang yang sudah menyelamatkan saya, yang sudah bersedia melindungi saya, dan yang sudah...." Pipiku menghangat. "Bersedia mengambil saya sebagai seorang istri."

"Selain itu, sebelumnya Raden juga sudah pernah berada sedekat itu dengan saya, tapi ... saya bisa-bisanya ketakutan tadi," imbuhku. "Saya tidak ingin itu terjadi lagi. Itu tujuan saya yang sebenarnya. Maaf jika membuat Raden tidak nyaman."

Tangan Zen menangkup kedua sisi wajahku, mengangkat kepalaku untuk mendongak, menatap matanya langsung.

Ekspresi Zen tidak terbaca. Sorot yang terpancar dari kedua matanya sekarang ... kelihatan berbeda dari semua sorot yang pernah ia berikan selama ini. Pipiku sekali lagi terasa hangat. Kemudian, sebelum aku sempat mengerti apa yang terjadi, Zen mendekat dan menggigit pelan hidungku.

"Ra-raden?!" Untuk kedua kalinya hari ini, aku terlonjak mundur, namun tangan Zen menahanku di tempat.

Zen tidak tampak peduli dengan jeritanku yang pertama karena ia sama sekali tidak menjauh. "Ra-raden!" pekikku sekali lagi. Tanganku bergerak dengan cepat, memegangi kedua tangan Zen yang menangkup wajahku, berusaha baik-baik untuk melepaskan diri, sambil mengabaikan rasa sakit yang baru datang beberapa saat setelahnya. "A-apa yang Raden—

"Jangan bergerak."

Suara itu datang dengan nada mutlak yang tidak bisa dibantah. Semua pergerakanku berhenti. Semua perlawanan, semua tindak pemberontakan yang tadi sudah tersusun dalam kepalaku, sirna oleh satu perintah itu. Nada perintah yang baru kali ini digunakan oleh Zen kepadaku.

Zen menarik diri, menatapku baik-baik dengan sorot mata yang semakin tidak terbaca. Ibu jarinya bergerak mengelus lembut pipiku.

"Pejamkan matamu," suruhnya lagi.

"Eh?" Bukannya mengiyakan atau menolak, aku malah linglung. "A-apa? Kenapa saya harus tutup mata, Raden?"

Sekali lagi, Zen berjengit, kelihatan lebih kesal dari sebelumnya. "Tutup saja."

Aku menggigit bibir, terjebak antara ragu dan sangsi untuk menutup mata dengan seorang laki-laki berada sedekat ini denganku. Tapi sekali lagi kuingatkan diri, Zen tidak akan menyakitiku.

Dengan berat hati, aku akhirnya menutup mata. Dan tidak sampai satu detik kemudian, gigitan kecil terasa di pipiku, kanan dan kiri secara bergantian. Gigitan itu bergerak turun di sepanjang pipi hingga ke rahangku sebelum naik kembali.

"Turunkan tangan kananmu," Zen menyuruh lagi sembari menggigit pipi di dekat mataku. "Tangan itu sakit sekarang kan?"

Dia benar. Pundakku memang sudah berdenyut nyeri sejak tangan ini bergerak dan semakin nyeri saat memegangi tangan Zen, tapi aku tidak mau melepas tangan ini karena rasanya ... kakiku akan jatuh tak berdaya ke tanah kalau aku sampai tidak berpegangan pada sesuatu.

Zen menghujani seluruh wajahku dengan gigitan-gigitan kecil. Dalam gerakan perlahan yang membuat sekujur tubuhku lunglai saking gelinya, gigitan kecilnya bergerak ke pipi, kuping, rahang, dagu, bahkan turun hingga ke leherku, tepat ke atas nadiku yang berdenyut.

"Ra-raden!" Tak sanggup lagi hanya diam, aku pun memekik, meski tidak bisa memberikan perlawanan.

"Ada apa, Rini? Apa kamu merasakannya?" tanya Zen dengan suara sepelan bisikan. Napasnya berembus di atas leherku. "Apa kamu merasakan taringku ini berkali-kali nyaris menggores kulitmu?"

Sejujurnya ya, tapi jangankan berbicara, bernapas pun ... saat ini terasa sangat sulit.

Napasku tersendat, terjebak antara pilihan keluar dalam ritme yang pendek dan cepat ataukah keluar dalam ritme yang panjang dan lama. Denyut nadi dan detak jantungku berubah kacau. Setetes peluh jatuh menuruni pelipisku saat kedua alisku bertaut.

Taring Zen berkali-kali menyentuh kulitku, menyapunya dengan sentuhan sedingin dan semenakutkan yang bisa dilakukan oleh sebilah pisau, tapi aku tidak terluka ... sampai detik ini.

Artinya Zen tidak bermaksud meluaiku. Tapi jika tidak ingin melukaiku, apa sebenarnya maksud Zen melakukan ini?

"Meleset sedikit saja, dan aku akan langsung menggigitmu, Rini," bisiknya lagi dengan suara yang kini berubah parau dan seakan keluar dari dalam perutnya. "Kamu akan merasakan sakit itu lagi. Kamu akan lumpuh. Kamu akan kehilangan banyak darah dan kehilangan kesadaran lagi. Dan mungkin aku akan kehilangan kendali sampai membunuhmu kalau menggigit sekarang, karena sejujurnya...." Napas Zen berembus ke telingaku. "Aku mulai haus lagi."

Ini aneh.

Kata-kata mengerikan yang diucapkan dengan nada yang mengancam, semua kelembutan perlakuannya yang berkebalikan jauh, sentuhan dingin tangannya, napas dingin yang terasa hangat di kulitku, kenapa ... meski seharusnya aku takut ... tidak ada ketakutan sama sekali yang muncul dalam diriku?

Napas Zen menjauh. Saat aku membuka mata, kedua mata kami bertabrakan. Napas kami berdua sama-sama tersengal.

"Itu wajar, Rini," ujarnya lirih. "Wajar sekali kalau kamu takut padaku. Wajar kalau kamu menjerit, marah, menolak, menepis, ataupun mengusirku dengan cara kasar. Yang tidak wajar itu justru sikapmu sekarang ini...." Sekali lagi Ibu jari Zen membelai pipiku. Berulang-ulang. "Kamu yang meminta maaf karena sudah takut, kamu yang menunduk dan merasa malu karena membuatku sakit hati, kamu yang berterima kasih, kamu yang tidak melawan, inilah yang aneh. Aku sudah siap dicaci, tapi untuk penerimaan seperti ini, Rini ... aku benar-benar tidak siap."

Tidak siap? Apa maksudnya itu? Dia lebih siap menerima murkaku ketimbang semua penerimaanku?

Perih menusuk perutku saat kenyataan yang bodohnya baru kusadari itu muncul ke dalam otakku yang ternyata tidak seberapa cerdas.

Gusti ... aku ... sebenarnya tidak mengenal pemuda yang kini jadi suamiku ini.

Aku tidak kenal siapa orang tuanya, aku tidak tahu pekerjaannya lebih dari sebatas seorang pedagang kaya, aku tidak kenal seberapa berat kehidupannya, aku tidak tahu siapa saja relasinya, dan aku tidak tahu ... seberapa banyak penderitaan dan rasa sakit yang sudah dialaminya.

Sedetik kemudian, tanpa aku pernah benar-benar sadar, tangan kiriku sudah berada di wajah Zen, membelai wajah itu dengan kelembutan yang sama dengan yang ia berikan padaku sekarang. Tangan kananku bergerak naik, membelai tangannya dan memeganginya, menahan tangan itu tetap ada di wajahku sambil bersandar kepadanya.

Perih yang terasa hangat menusuk belakang mataku selagi tatapan mata kami berdua saling mengunci.

"Kata-kata semenyedihkan itu ... sebenarnya apa saja yang sudah kamu lalui, sampai bisa mengatakan kata-kata sedih itu tanpa sedikit pun bergetar?" Suaraku sarat akan goncangan emosi yang mengancam untuk tumpah ruah.

Dua jariku bergerak turun, menyentuh bibir Zen yang terkatup. "Apa kata-kata itu ... benar baru saja keluar dari mulut ini?" Kedua mata Zen sudah terpejam. Tanganku merayap naik, mengelus pelupuk matanya yang tertutup. "Apa sorot mata sedih dan lelah yang selalu aku lihat itu ... benar berasal dari mata ini?"

Kedua mata Zen membuka, menampakkan sorot yang kumaksud itu sekali lagi. "Apa aku ... begitu terbaca?"

Aku mengangguk. "Saya tidak bermaksud membaca Raden seenaknya. Saya pun tidak akan memaksa Raden untuk bercerita jika Raden tidak mau." Tapi jika tidak merepotkan, aku ingin kamu percaya padaku, tidak banyak juga tidak apa-apa, lebih kecil dari rasa percayaku pun tidak apa. Secuil pun tak apa-apa. "Tapi tolong jangan pernah tanggung semuanya sendirian. Tolong ... jangan buat saya tidak berguna."

Zen diam sejenak. "Jika...." Mulutnya kembali bersuara. " Jika aku menceritakannya, kamu yakin ... mau mendengarnya? Karena itu ... kisah yang sangat panjang."

Aku tersenyum. "Tidak masalah." Justru ... aku merasa senang jika dia banyak bercerita. Jika dia banyak bercerita, aku merasa berguna. Jika dia banyak berbicara mengenai dirinya, aku merasa dipercaya.

"Rini?"

"Apa?"

"Boleh tolong ... tutup matamu sekali lagi?" tanyanya. "Tapi ... mungkin kali ini akan agak lama. Tidak apa-apa?"

Sekali lagi aku tersenyum, meyakinkannya bahwa aku tidak keberatan tanpa perlu banyak berkata-kata. Entah kali ini apa yang akan ia lakukan, aku tidak memutuskan untuk bertanya dan lebih memilih langsung menutup mata saja.

Sayang, aku tidak pernah siap dengan apa yang terjadi berikutnya.

Kedua mataku membuka dengan terkejut saat sadar, sekali lagi, Zen menciumku.

Degup jantungku yang kukira sudah tidak akan bisa bertambah tinggi, ternyata masih bisa lebih gila dari ini. Gemuruh di dadaku, gemuruh yang kini menular ke dalam telingaku sekalian, menjadi tidak terkendali. Bibirku bergetar, tak siap menerima semua ini, sementara kedua kakiku menjadi lemah saking kagetnya.

Aku hampir saja memejamkan mata lagi, memutuskan untuk memercayai Zen sepenuhnya, ketika sekelebat pikiran itu datang menohok pikiranku kuat-kuat.

"Kamu memberiku, makhluk sepertiku, untuk menganggap serius pernikahan ini? Untuk menganggapmu benar-benar istriku? Kamu sadar betapa sintingnya kata-katamu itu?"

Dan sebelum aku benar-benar sadar, aku menarik diri dari Zen. Dengan paksa.

***

Catatan Pengarang:

Kejutan buat kalian semua. Chapter ini sedikit lebih romantis dari chapter biasanya. Saya harap kalian tidak bosan dan suasana di chapter ini tidak terasa picisan. 

Zen dan Rini sudah memasuki tahap baru dalam hubungan mereka. Tapi ... mungkin masih ada beberapa hal yang harus diselesaikan ya? Ada yang ingat Zen mengatakan kata-kata pedas itu di chap berapa? hohoho

Nah, bagi yang menebak jika sekarang Blood and Rose sudah memasuki tahap akhir, kalian tepat. Bisa dibilang ini adalah satu dari dua hal kecil yang harus mereka selesaikan. Tinggal chapter terakhir yang menyampaikan kehidupan Zen dan Rini setelah ini, lalu epilognya. 

Mohon bersabar dengan saya ya. See you next chap. 

-


Continue Reading

You'll Also Like

4.3K 675 22
Kamu pernah dengar tentang Aberessian? Kerajaan yang dipimpin oleh Alexander Zebediah Darius - Raja gila yang suka membeli budak dengan harga tinggi...
27K 5.5K 35
[𝐂𝐨𝐦𝐩𝐥𝐞𝐭𝐞𝐝] ❬ 𝗛𝗶𝗻𝗱𝗶𝗮-𝗕𝗲𝗹𝗮𝗻𝗱𝗮, 𝟭𝟵𝟮𝟳 ❭ Tiap garis hidup itu punya aksara masing-masing yang membikin itu hidup mau hitam ata...
2.6K 544 31
(Sebagian isi telah dihapus untuk kepentingan penerbitan. Bisa dipesan di Tokopedia dan Shopee) "Saat kau memasuki Shadowglass, kau akan menemukan ra...
4.4K 816 14
Dalam tujuh hari, putra mahkota Kerajaan Centauri--Pangeran Orion--akan berulang tahun. Demi menyambut perayaan tersebut, istana kedatangan tamu keho...