Directions of Love #1 (END) ✓

By Kanalda_ok

3.7M 179K 3.9K

TAHAP REVISI Kenan memiliki kekasih dan juga istri. Ia ingin menceraikan istrinya, tetapi wanita itu lebih du... More

Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36

23

71.3K 4.5K 94
By Kanalda_ok

Happy Reading

VOTE!

Dhan pernah ke tempat tadi, meskipun hanya satu kali saat tim basket sekolahnya mengadakan perkemahan. Bahkan ia pernah bermalam di tempat tersebut, merasakan dinginnya puncak Bukit Rong.

Waktu itu adalah hari penyambutan anggota tim baru dan juga pemilihan kapten tim. Hanya dua malam, minggu sore mereka kembali ke rumah masing-masing. Bundanya pernah ke sini bersama Zara untuk mengantarkan sate ayam kesukaannya. Waktu itu Dhan dicap sebagai anak mami.

Saat itu pelatih mereka bukanlah Coach Odhi. Pria tersebut baru menjabat sebagai pelatih dua bulan yang lalu.

Perjalanan pulang kembali ke pusat kota Semarang memakan waktu hampir satu jam, jika mereka tak menghentikan perjalanan untuk makan malam dan juga salat isya.

Dhan menghela napas lega. Itu berarti tinggal satu tempat tujuan mereka, yaitu simpang lima. Ia tak tahu apa istimewanya tempat itu bagi Kenan, sampai-sampai Simpang Lima masuk dalam daftar kunjungan mereka. Merepotkan.

Ia duduk diapit oleh kedua orang dewasa itu, mereka sedang duduk di bangku yang berada di trotoar. Anak muda seumuranya berlalu lalang bersama kekasih mereka, sedangkan Dhan lagi-lagi harus rela terlihat seperti anak SMP yang berjalan bersama kedua orang tua.

“Kamu ingat, Nad.” Kenan membuka percakapan. “Minggu lalu kita ketemu di sini.”

Dhan menautkan kening, ia melirik kedua orang dewasa itu secara bergantian. “Kok aku nggak tahu?” Pertanyaan itu spontan keluar begitu saja.

Bundanya tersenyum sebelum berujar, “Minggu lalu Bunda lagi bantuin Nenek Ima jualan. Kamu ingat, nggak?” Dhan hanya membulatkan bibir, ia sangat ingat.

“Jadi kamu bantuin doang?” Kenan menoleh ke arah Nada, wanita itu mengangguk.

“Anaknya Nenek Ima sakit, jadinya aku bantuin. Waktu itu Rian temannya Dhan lagi nginep di rumah, jadi aku bisa bantuin,” jelas Nada.

“Besok malamnya sama besok malamnya lagi aku balik ke sini nyariin kamu, tapi kamu nggak ada.”

“Anaknya Nenek Ima sudah sehat, jadi aku nggak bantuin lagi.”

“Nenek Ima siapa?” tanya Kenan.

“Tetangga, waktu kecil dia yang ngurusin Dhan.”

Kenan mengangguk-angguk mengerti. “Sejak kapan kamu pakai hijab?"

Nada tersenyum simpul mendengarkan pertanyaan Kenan. "Sudah mau tujuh tahun," ujarnya.

“Bunda makin cantik, kok, kalau kayak gini. Dhan suka,” celetuk Dhan membuat Nada memeluknya kemudian mengecup pelipis.

“Bilang aja Dhan suka gara-gara si doi berhijab juga,” cetus bundanya. Ia langsung salah tingkah. “Benar, ‘kan?”

“Apaan, sih, Bun,” kilahnya. “Nggak bener itu. Si Rian bohong.”

Kenan mengacak rambutnya, membuat ia mendelik. Pria itu sama sekali tak peduli. “Jadi anak Ayah sudah mulai suka-sukaan?”

Dhan berdecak, ia melirik ke arah Kenan. Ingin sekali ia mencakar wajah pria itu yang sok akrab padanya. “Kapan kita pulang? Capek, nih,” keluhnya.

“Namanya Khanza.” Bunda menepis permintaannya.

“Kamu nggak mau kenalin ke Ayah?” Kenan menatap Dhan yang telah mencebikkan bibir tak suka dengan topik yang mereka angkat.

“Jangankan, kamu. Aku aja belum pernah dikenalin,” Timpal Nada.

“Serius?” Kenan tertawa geli. “Anak Ayah payah, nih,” Ejeknya.

Dhan mendesis. “Aku jijik, Om. Nggak usah sebut diri Om itu ayah saya. Bikin kesel tahu nggak kalau ingat itu.”

Hening tercipta sekian detik. Bundanya tak berkutik ketika pria itu mengisyaratkan untuk mwmbiarkan sikapnya tadi.

“Dhan, sebelum Ayah pergi. Boleh Ayah tahu kenapa kamu marah?”

Ia berdecak, kemudian lebih memilih menyibukkan diri dengan melihat orang-orang yang berlalu-lalang.

“Dhan, jawab,” desak bundanya.

Dhan menghela napas, sebisa mungkin ia menahan emosi agar tak meledak di tempat ramai. “Saya nggak marah Om baru datang sekarang, saya nggak marah Om mau nikah lagi.” Ia memberikan jeda.

Selama ini Dhan tidak pernah mengutarakan apa yang ia rasakan pada orang yang baru dikenal. Ia tak suka memberikan kesan lemah, di awal perkenalan. Menurutnya itu akan berlanjut sampai kapan pun, orang-orang akan mengenalnya sebagai sosok yang lemah.

“Saya marah karena terlahir dalam hubungan seperti ini,” imbuhnya.

Kenan menepuk puncak kepalanya. “Yang penting bukan hubungan tanpa pernikahan.”

Dhan mengernyit, ia menatap Kenan yang tersenyum lembut. “Kalian menikah?” tanyanya ragu.

Sejak hari itu, ia berpikir hal aneh tentang hubungan orang tuanya. Mengapa ia ada, tetapi tak diketahui sang ayah. Bukankah itu berarti dirinya ini terlahir dari hubungan tanpa pernikahan?

“Ayah belum pernah cerita?” Kenan beralih pada Nada. “Kamu nggak pernah cerita, Nad?”

Nada menggeleng. “Aku hanya bilang dia punya Ayah. Mungkin karena sudah semakin dewasa, Dhan kepikiran tentang status.”

“Kalau kamu nggak percaya, Ayah bakalan nunjukin buku nikah kami, tapi Ayah harus balik dulu ke Jakarta.”

“Nggak perlu,” tukas Dhan cepat. “Om sudah janji, habis ini nggak bakalan ganggu aku sama bunda lagi.”

“Dhan,” tegur Nada tak suka dengan ucapan putranya.

“Nggak apa, Nad.” Kenan malah menegur kembali wanita itu.

Nada menghela napas, menatap Dhan dan juga Kenan secara bergantian. “Bunda mau dengar, kamu manggil Ayah ke Ayah,” pintanya. saat Dhan menatap Nada, wanita itu tersenyum penuh permohonan. “Sekali aja,” pintanya lagi.

“Bun—“

“Sekali aja, Dhan. Ayah besok sudah mau pulang,” potong Nada sebelum ia protes.

“Nad, jangan kayak gini, deh. Kita sudah sepakat nggak bakalan maksa Dhan,” sela Kenan memperingatkan pada Nada tentang apa yang mereka bahas selama berada di ruang yang sama.

“Tapi aku mau dengar, Ken.” Nada masih memohon. “Bunda mau dengar, Sayang,” desaknya pada Dhan.

Bundanya begitu memaksa. Dhan tak berkutik, ia tatap Kenan sembari menghela napas. “Ayah,” katanya kemudian membuang pandangan. Pria itu menyinggungkan senyum yang membuatnya jijik.

“Ayah senyum bukan karena ngeremehin kamu yang mengalah. Ayah senyum karena bahagia.” Tangan terangkat membelai rambut hitam legam Dhan. “Makasih.” Hanya itu yang bisa Kenan ucapkan untuk saat ini.

“Kita sudah bisa pulang?” Dhan bertanya sambil menoleh pada bundanya.

Nada menggeleng. “Ini malam terakhir kita bisa bareng. Jangan pulang dulu, ya.”

“Bun.” Ia ingin memprotes, tetapi tatapan penuh permohonan bundanya membuat ia lemah lagi.

“Kamu masih marah sama Ayah?” tanya Nada. “Apa yang bikin kamu marah sama Ayah, bilang.”

Padahal tadi ia sudah menjawab, tetapi bundanya bertanya lagi. Jika dijabarkan kembali, ada banyak kemarahan yang menumpuk di dadanya. Mungkin saja ini sudah menjelma menjadi benci.

Dhan menoleh pada Kenan. “Saya bukan cuma marah, tapi benci,” akunya tajam pada Kenan.

“Dhan,” tegur Nada.

“Biarin dia ngomong, Nad,” sela Kenan memberikan kesempatan kepada Dhan untuk mengucapkan hal apapun. “Kenapa kamu benci Ayah? Ayah buat salah?”

Dhan mendengkus. “Habis ini jauh-jauh dari aku dan Bunda,” desisnya. “Aku malu punya ayah kayak Om.”

“Apa lagi salah Ayah? Bilang."

Pria itu terlihat sangat ingin tahu. Dhan bersiap menjawab. Lebih dari 24 jam ia menanggung kebencian ini, Kenan harus tahu agar semua jelas di antara mereka.

“Teman sekelas saya tahu, Om bakalan nikah lagi.” Dhan akhirnya mengatakan apa yang membuatnya sangat benci pada pria yang sedang ia tatap ini. “Dia lihat Om sama Tante Viona di hotel."

VOT

Continue Reading

You'll Also Like

88.7K 3.6K 63
Kupikir, Riko adalah orang yang tepat untukku. Kami sudah menjalin hubungan hampir tiga tahun. Akan tetapi, waktu bukanlah penentu. Selama apa pun se...
3.1M 119K 21
Ketemu lagi sama mantan? Mungkin itu adalah suatu 'kebetulan' atau 'hal' yang sangat tidak Nabilla inginkan. Namun, sayangnya, suatu kebetulan itu ha...
900K 25.3K 62
Gadis cantik bernama Indhy yang selalu ceria seketika hidupnya hancur karena ulah dari adik pacarnya sendiri. Kehormatannya direnggut paksa oleh Dave...
8.6M 570K 59
Ara hanyalah seorang gadis biasa-biasa saja. Usianya baru 17 tahun. Pelajar, dan punya dua sahabat yang sangat populer di sekolah. Yang mereka tidak...