Supranatural High School [ En...

By rainsy

2.6K 91 35

Mereka berpikir, aku gila. Aku selalu diasingkan. Bahkan orangtuaku sendiri pun sampai pernah mengirimku ke R... More

Kertas Selebaran
Teror (1)
TEROR (2)
Malam Satu Suro (1)
Malam Satu Suro (2)
Selamat Berjuang
Ujian Masuk
Pintu Rahasia
Peraturan Sekolah
Dia Telah Kembali
Topeng yang Terlepas
Kisah Lampau
Kutukan Sedarah
Gerhana Bulan
Hari yang Baru
Pelatihan
Museum yang Terabaikan (Penjajah)
Bangkitnya Cay Lan Gong
Kesurupan Massal
Ritual
Rajah
Makanan Sesaji
Segel Pentagram
Gerbang Gaib
Gending Jawa
Dedemit
Arthur Samuel (Khodam)
Baron Bagaskara
Dylan Mahardika
Ernest Prasetyo
Ziarah
Welthok
Kelas Utara
Timur & Barat
Kelas Selatan
Helga Maheswari
Santet
Timbal Balik
Jenglot
Kuncoro
Umpan
Hira
Kuntilanak Merah
Taktik Licik
Penyelamatan
Jerat
Lolos
Membunuh atau Dibunuh
Tugu
Mata Batin

Museum yang Terabaikan (Noni Belanda)

162 5 5
By rainsy

Sebuah mobil Bus pariwisata tampak tangguh membelah jalanan curam nan berkelok di tengah kelamnya malam. Kabut tebal yang terus mengikis jarak pandang sang pengemudi, seolah tak mempengaruhi konsentrasi sang sopir untuk terus berfokus pada laju jalan, sembari mendendangkan nyanyian jawa yang justru menjadi bius bagi para murid SHS yang menjadi penumpangnya agar pulas terlelap.

Untuk kesekian kalinya, Sonita yang duduk berdampingan dengan Chester menoleh ke belakang; memastikan bahwa sunyinya suasana di dalam kendaraan yang mereka tumpangi, tidak lain tidak bukan adalah karena semua anak muridnya tengah menikmati waktu istirahat singkat mereka, selepas mengikuti serangkaian pelatihan di Sekolah.

Bibir merah guru Asrama Putri itu mengembang, kala ia menyapu wajah damai dari tiap anak didiknya yang sedang tertidur di kursi mereka masing-masing, menggunakan bola matanya. Sadar bahwa sejak tadi, seorang lelaki berwajah tirus yang duduk bersamanya tengah memperhatikan Sonita, guru wanita bertubuh bak seorang model itu pun menarik diri untuk kembali merilekskan punggungnya, bersandar santai pada sandaran kursi.

"Menurutmu, berapa persen dari anak-anak itu yang akan berhasil melewati ujian terakhir ini?"

Suara serak Chester yang menggema di telinga kanan Sonita, memaksa guru cantik itu untuk membuka lebar kelopak matanya yang sempat terpejam tadi. "Mungkin hanya 50% atau 35%. Tapi semakin kecil kesempatan mereka untuk berhasil, maka semakin besar pula mereka akan sadar betapa pentingnya kita untuk mendalami ilmu kebatinan," sahut Sonita yang mencoba kembali menutup matanya. Melihat lawan bicaranya mulai terpejam, Chester pun ikut serta menyiapkan diri menuju alam mimpi.

Hal berbeda justru tampak pada kursi sebelah kiri di deretan ketiga dari belakang. Tempat di mana Helga, Hira dan Rucita duduk. Gadis berparas innocent yang mendiami jok dekat jendela itu, baru saja terjaga dari tidurnya setelah suara dentuman terdengar keras dari atap mobil.

"Jangan khawatir, itu hanya keusilan kecil dari hewan di sekitar jalan ini aja. Jadi lo gak perlu bangun dari tidur lo."

Suara Rucita yang membuat kecemasan Helga sedikit berkurang, tak lantas membuat gadis pendiam itu untuk dapat kembali memejamkan matanya. Helga justru membiarkan sepasang netranya terbuka, guna menikmati pemandangan perkebunan yang kini tersaji di depan jendela Bus, seraya memikirkan ke mana gurunya akan membawa Helga dan teman-temannya pergi. Dengan bermoduskan 'Rekreasi malam', rasanya sulit untuk Helga percaya jika perjalanan ini memang hanya diperuntukan sebagai ajang liburan para murid SHS saja.

Tak jauh berbeda dengan yang Helga lakukan. Dylan CS, Aiden dan Raga pun tampak tak terpengaruh oleh bius dari tembang jawa yang sang sopir dendangkan, meski masih dalam posisi duduk seperti orang yang tengah tertidur, namun rupanya mereka juga sepemikiran dengan Helga. Walau kemungkinan liburan yang akan mereka dapatkan merupakan jebakan, Baron, Arthur, Raga dan Ernest tetap berharap bahwa mereka semua memang hanya akan diajak ke sebuah tempat wisata untuk bersenang-senang. Di balik kekhawatiran beberapa murid di dalam kendaraan pariwisata yang sedang melaju itu, di lain tempat ... tepatnya di atas atap mobil besar tersebut tampak seorang lelaki berhoodie panda, tengah duduk bersila menikmati permen lolipop di tangan kanannya dengan begitu santai. Sesekali ia tersenyum kecil, mendengar kegelisahan hati dari pentagram emas bernyawa yang baru saja diselamatkannya dari seekor siluman ular berkepala manusia yang sempat mengincar Helga sebagai santapan lezatnya.

©Rainsy™


Setelah tiga jam lebih terlewati, mobil besar yang mengangkut puluhan siswa SHS dari pusat kota Yogyakarta itu akhirnya tiba di Semarang. Tepatnya di pelataran sebuah gedung tua megah yang terletak di Simpang Lima Tugu Muda. Hampir semua murid yang turun dari kendaraan tersebut memasang ekspersi wajah serupa, tatkala mengetahui bahwa tempat yang katanya akan menjadi lokasi mereka berwisata adalah Lawang Sewu.

"Yaaah ... kena PHP'an deh," keluh Baron yang terduduk lesu di tangga masuk Bus.

"Wisata apaan. Ini mah pasti kita disuruh uji nyali!" gerutu Arthur yang duduk memberengut di atas hamparan tanah.

"Harusnya mulut gue bilang mau tidur aja tadi di Asrama. Gak usah nyeplos pengen ikut wisata segala, kalo ujung-ujungnya cuma dimodusin kayak gini doang!" Ernest misuh-misuh, mengacak rambut klimisnya frustasi yang malah direspon kekehan geli oleh Dylan.

"Udahlah Sob, jangan pada hilang semangat gitu kenapa. Ini tuh salah satu risiko kecil kita aja yang sekarang statusnya jadi murid SHS." Dylan merangkul leher Ernest dengan satu lengannya, berusaha menghibur kekecewaan kawan dekatnya itu dengan mengiming-imingi mungkin saja setelah masuk ke dalam gedung, mereka akan benar-benar diberi kejutan yang menyenangkan oleh pihak Sekolah, seperti diadakannya sebuah pesta penyambutan atau yang lainnya.

Namun, apa yang Dylan katakan untuk menghibur hati para sahabatnya itu juga tak berujung manis. Pasalnya, setelah mengumpulkan seluruh murid SHS yang ikut berwisata, Chester menginformasikan bahwa ini adalah ujian terakhir bagi semua anak didik SHS, sebelum akhirnya mereka dilepas untuk menangani kasus-kasus mistis yang sebenarnya. Dari puluhan murid yang mengikuti pelatihan terakhir tersebut, mereka dibagi menjadi beberapa regu; yang dalam satu regunya di isi oleh sembilan orang. Dan sembilan murid dari SHS tersebut akan ditugaskan untuk mencari satu bendera merah putih yang tersembunyi di salah satu ruangan dalam bangunan warisan Belanda yang luasnya mencapai 2,5 hektar tersebut. Dan tiap regunya, akan diberi waktu untuk menjelajahi gedung tersebut selama dua jam.

Berbekal tiga senter dalam satu grupnya, Dylan CS, Helga, Aiden, Rucita, Raga dan Hira yang kebetulan bergabung menjadi satu tim itu mulai memasuki gedung yang kini telah dipugar menjadi sebuah Museum sejarah tersebut. Pertama kali mereka bersembilan menapakkan kaki di lobi utama, udara dingin langsung menyapa kulit para murid spesial SHS yang ditutupi pakaian hangat tebal tersebut. Tak adanya pencahayaan yang memadai untuk mereka mengetahui seluk beluk tempat itu secara luas, membuat Aiden, Raga dan Rucita yang bertugas membawa senter langsung mengarahkan alat penerangan minim itu ke segala penjuru arah, cemas akan penampakan pertama macam apa yang harus mereka hadapi di dalam gedung tua bekas pusat perkeretaapian Belanda di Indonesia tersebut, sembari bergandengan tangan.

Batu marmer yang menjadi lantai dalam lobi tersebut mungkin adalah salah satu jawaban kenapa udara di dalam bangunan terasa begitu mencekam, ditambah lagi gaya arsitektur khas Eropa yang terlihat kental sekali dalam ruangan. Berjejernya kayu-kayu jati raksasa berusia ratusan tahun yang membuat bangunan ini menjadi kokoh, menciptakan delusi mewah bagi Dylan CS yang kini bak berada di dalam sebuah kastil luar negeri yang sudah lama kosong. Suara decit sepatu Ernest yang enggan melepaskan ujung sweater Dylan, menjadi penyemarak di tengah sunyinya ruangan luas yang mereka jejaki.

"Ini, efek abis dipugar apa karena emang belum nongol aja ya? Kok yang begituan belum kita liat sejak kali pertama lewatin pintu masuk? Padahal menurut sebagian besar artikel tentang Lawang Sewu yang sempet gue baca, sejak di halaman depan ... harusnya kita udah disambut penampakan tangan raksasa gitu. Terlebih lagi, mata batin kita 'kan udah pada dibuka, ya toh?" seloroh Arthur yang disambut lirikan tajam dari Baron yang melangkah beriringan di sampingnya.

"Lo, jangan sok berani deh, Ar! Lo belon pernah di smack down sama gue sih ya? Gue biasanya kalo panik suka smack down-in orang," timpal Baron memamerkan wajah sangar khas premannya.

Alih-alih takut akan gertakan sang junior yang memiliki tubuh bongsor itu, Raga yang mendengar ocehan Baron justru meremehkan ucapannya. "Halah! Smack down-in orang udah gak zaman kali. Kalo lo beneran pernah jadi preman sekolah yang punya nyali gede, coba nanti kalo ada hantu pertama nongol, lo smack dah tuh hantunya. Berani gak?" tantang Raga. Dan tepat setelah pemuda jangkung itu menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba saja suara dentang jam yang begitu nyaring, terdengar menulikan telinga.

Ernest yang merasa itu adalah salah satu tanda bahwa di tempat seperti ini dilarang sesumbar dalam berbicara, segera meminta Baron dan Raga untuk menutup mulut mereka, sebelum ada hantu sungguhan yang muncul hanya untuk menantang Raga dan Baron beradu sumo.

PRANGG!!!

Baron, Arthur, Hira, Ernest dan Dylan melonjak kaget kala indera rungu mereka mendengar suara keras seperti benda jatuh dari lantai dua, bersamaan dengan usainya pemuda sipit itu mengeluarkan banyolan; yang awalnya hanya Ernest gunakan untuk menghibur diri sendiri.

"Apaan lagi tuh?!" Ernest ketar ketir. Pupil matanya menatap lurus ke arah kaca patri bergambar dua orang putri di tengah tangga menuju lantai dua yang seolah hidup oleh cahaya Bulan purnama yang menyinarinya. Dan kini, dua putri itu sedang memerhatikan aktifivitas Ernest juga kawan-kawannya.

Hira; gadis mungil yang berjalan di belakang Ernest, menarik sedikit lengan pemuda Tionghoa itu agar tubuhnya sedikit condong ke belakang. Dengan menutupi sisi depan menggunakan satu tangannya Hira berbisik, "Kayaknya ... penghuni gedung ini gak suka deh, kalo mereka dijadiin bahan guyonan kayak gitu sama Kakak."

Ucapan gadis yang tinggi tubuhnya paling pendek di antara murid lain dalam regu itu sontak membuat Ernest menegang, takut jika ia akan kena tulah nantinya, Ernest refleks menepuk beberapa kali mulut lemesnya seraya meminta maaf atas kesalahannya tersebut, masih dengan mata Ernest yang sesekali melirik ke arah kaca patri itu lagi.

"Eh, kalian pada berisik mulu ya dari tadi! Pada niat ngelarin ujian terakhir ini gak sih?!" tegur Aiden dengan nada tinggi, kesal pada timnya yang tampak tak berpotensi tersebut.

Semua bungkam. Tak ada yang berani menimpali atau melawan ucapan sang Leader yang terkenal memiliki tempramen buruk itu. Tungkai mereka kembali berayun, melangkah semakin jauh memasuki lorong gelap yang mulai menimbulkan bau-bauan aneh.

"Wah, kayaknya mereka mulai ngasih kode kedatangannya nih, Kak. Bau udara yang kita cium udah mulai gak jelas nih," lirih Dylan yang dibenarkan oleh Helga juga Hira.

"Kalian inget 'kan gimana cara nyelesain game terakhir ini? Di antara kita bersembilan gak boleh ada yang sampe kalah ngelawan kekuatan mereka. Gak boleh ada yang sampe kerasukan apalagi sampe kebawa iba sama makhluk astral penghuni gedung. Tugas kita di sini, cuma buat dapetin bendera yang guru kita sembunyiin, dengan keadaan tim yang masih utuh dan tanpa cacat sedikit pun," ujar Rucita mengingatkan pada anggota timnya akan peraturan dalam ujian terakhir.

"Tapi ... apa gak bakal ngebuang-buang waktu ya kalo kita terus berkumpul kayak gini? Guru 'kan cuma ngasih waktu ke kita dua jam. Kalo saling berpencar, mungkin waktu yang kita miliki bakal jauh lebih efisien."

"HELGA!" Baron, Dylan, Ernest dan Arthur menyentak kompak. Keempat remaja lelaki itu tampak tak setuju dengan usul dari gadis berhidung kecil itu.

"Cewek yang satu ini mah, aneh. Saat diajak bercanda ... dia diem mulu. Giliran mulutnya kebuka, malah ngasih usul ekstrem," sindir Arthur yang langsung dihadiahi sebuah jitakan oleh Dylan.

"Tapi, ada benernya juga sih apa yang Helga katakan. Gimana kalo kita mencar aja? Biar cepet dapet bendera yang kita cari dan gak memakan waktu banyak. Tim kita, dibagi lagi jadi tiga ya? Gue, Dylan sama Arthur bakal meriksa lantai atas. Lo, Ga dan dua curut lo, ngecek di luar ya? Soalnya di halaman depan gue sempet liat ada lorong bawah tanah yang mesti lo periksa. Terus, buat para cewek. Telusurin isi lantai ini aja deh ya? Kayaknya lantai ini lebih aman buat kalian," tukas Aiden menyetujui usulan Helga dan langsung memerintahkan anggota timnya untuk mulai melakukan penelusuran.

Meski sebenarnya tak ingin berpisah dengan yang lainnya, mau tak mau Dylan CS tetap harus mengekor di belakang para senior mereka masing-masing.

©Rainsy™

Cahaya penerangan yang berasal dari senter milik Rucita kian meredup selepas ditinggal pergi oleh Aiden, Dylan dan Arthur ke lantai atas. Juga Raga, Baron dan Ernest ke bagian lain bangunan Lawang Sewu. Dengan silih berganti, sepasang kaki dari ketiga siswi SHS tersebut terus bergerak kompak dengan indera pengelihatan yang mereka arahkan ke setiap sudut ruangan; mencari tempat strategis yang memungkinkan bagi bendera itu untuk disembunyikan.

Udara dingin yang menyelusup masuk lewat puluhan jendela besar dalam ruangan itu membuat Hira dan Helga mengeratkan mantel mereka. Heningnya suasana saat itu seketika pecah, ketika ketiga siswi SHS tersebut mengangkap suara isak tangis seorang perempuan, disusul dengan nyala sebuah lampu bohlam di atas langit-langit lorong yang hidup-mati, seolah ada sesuatu yang sedang memainkannya.

"Seriusan 'kan ini lantai yang paling aman buat kita? Gak bakal ada hal ekstrem yang terjadi setelah suara tangisan itu dan lampu yang mati idup ini 'kan?" Raut ketakutan tercetak jelas di wajah Hira yang merapatkan pelukannya pada lengan kanan Helga.

"Kurang tahu juga sih. Meski Aiden bilang aman, tapi kita tetep gak boleh lengah. Siapa tahu ada makhluk yang tiba-tiba nyerang kita. Dan buat lo Hira, lo harus lebih ekstra hati-hati lagi. Jangan sampe lo ke-su-rup-an," timpal Rucita dengan kata terakhir yang ia tekankan.

Suara isak tangis yang semula terdengar samar kian mengencang seiring dengan semakin dekatnya langkah mereka bertiga menuju salah satu kamar dalam lorong panjang itu.

"Gue yakin, suara itu berasal dari sini." Rucita menunjuk salah satu daun pintu kamar dengan tinggi yang menjulang itu menggunakan jari telunjuknya. Sebelum di detik berikutnya, tangan yang ia gunakan untuk menyentuh knop pintu ditahan oleh Hira yang justru menggelengkan kepalanya cepat.

"Kak, inget 'kan kalo kita itu gak lagi nyari hantu, tapi lagi nyari bendera?"

Rucita menarik lalu mengembuskan napasnya panjang. Menyingkirkan tangan kanan Hira dari atas punggung tangannya seraya berkata, "Tanpa lo ingetin, gue juga udah tahu kok. Lagian bukan cuma rasa penasaran sama sosok yang nangis itu doang alasan gue pengen ngintip isi dalam ruangan tertutup ini. Tapi gue juga penasaran, pengen mastiin siapa tahu di dalam sana bendera yang kita cari disembunyiin. Dan sosok cewek yang nangis tadi itu adalah makhluk yang diperintah buat jaga itu bendera. Udah deh, Ra. Kalo lo takut mending lo di belakang gue aja." Rucita menarik satu lengan gadis kuncir dua itu supaya berdiri di belakangnya.

"Dan ... Hel!" Senior yang identik dengan shadow hitam di matanya itu melempar benda yang sedari tadi digenggamnya ke arah Helga. "Lo pegangin senternya dan langsung arahin ke dalem begitu gue buka lebar pintunya, oke?" Helga mengangguk, menerima arahan dari Kakak kelasnya tersebut.

Rucita mengeratkan genggaman tangannya pada knop pintu seraya merapalkan sebuah mantra. Mungkin salah satu mantra penangkal serangan hantu atau justru mantra pelindung yang pernah guru praktiknya ajarkan terhadapnya. Setelah memberi aba-aba pada Helga dengan kedipan mata dan anggukan kepala, gadis dengan rambut hitamnya yang dikuncir kuda itu langsung membuka lebar pintu kayu jati di hadapannya.

Suara khas dari derit pintu usang yang lama tak terbuka itu terdengar seperti suara pekikan yang tertahan, bersamaan dengan itu ... tiba-tiba saja angin dingin yang berasal dari dalam ruangan tertutup tersebut menyerbu keluar, menyapa kedatangan Helga dengan memberi sentuhan kecil di pergelangan tangannya. Helga yang merasa ada sesuatu yang melilit tangannya, refleks menjatuhkan senter dalam genggamannya.

Pettzz....

Gelap.

Tak ada lagi alat penerangan yang bisa membantu Rucita, Helga dan Hira agar dapat melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi di sekitar mereka. Sadar hawa dingin yang mengelilingi mereka mulai dirasa tak keruan, Rucita buru-buru meminta pada dua juniornya untuk sesegera mungkin menemukan kembali senter yang terjatuh tadi. Tiga pasang tangan gadis itu mulai meraba lantai marmer yang bagaikan bongkahan balok es, mencari keberadaan senter yang entah jatuh menggelinding ke mana.

"Ini ... Kak! Aku menemukannya! Aku menemukan senternya!" seru Hira penuh semangat saat satu tangannya berhasil menggenggam sebuah benda. Di saat gadis mungil itu tengah berusaha menarik benda yang ia kira senter itu, sebuah cahaya kuning keemasan berbentuk lingkaran telah lebih dulu menyorotinya.

Pupil mata Hira melebar kala mengetahui saat ini Helga-lah sosok yang berada di balik cahaya senter yang sedang menyorotinya, dengan Rucita yang hanya dapat berdiri kaku menatap syok ke arah Hira yang masih dalam posisi berjongkok dengan tangan yang ....

"Aaarrrghhh!!!" Hira menjerit ketakutan saat wajah yang baru ia tolehkan ke belakang bertemu dengan wajah sosok wanita bule yang mulutnya melepuh dipenuhi darah yang mengucur bak air liur. Gadis itu langsung menghambur ke arah temannya, melepaskan satu tangannya yang sempat memegang kaki kanan sosok hantu wanita itu; yang hanya tinggal tulang tersebut.

Sosok seram berambut pirang nan panjang yang tengah berjongkok di sudut ruangan itu mulai bergerak menegakkan kepalanya, mata putih hantu Noni Belanda itu mendelik ketika Rucita, Hira dan Helga hendak berbalik menuju pintu. Namun belum sempat aksi melarikan diri dari ketiga siswi SHS itu berhasil, sosok yang sepertinya sudah lama mendiami ruangan tersebut menghilang dari tempatnya semula berdiam diri. Dan muncul kembali tepat di depan pintu yang hendak Rucita dan kedua juniornya lalui.

Suara teriakan kembali menggema tatkala satu tangan hantu itu memanjang dan melempar keras senter yang awalnya Helga genggam ke arah dinding.

PRAKK!!

Satu-satunya alat penerangan yang Rucita CS miliki kini telah remuk redam. Dan keadaan di sekeliling mereka bertiga mulai menggelap, semakin gelap dan akhirnya menghitam.

"hou je mond ...."

Bersambung

Continue Reading

You'll Also Like

50K 1.6K 70
Kumpulan lirik lagu-lagu rohani Kristen yang selalu disenandungkan di hatiku. Lagu-lagu yang selalu menjaga imanku, mengingatkan aku akan kasih karun...
8.4K 652 42
"Kita bisa keluar dari sini bareng-bareng kan?" •Not BXB!!!
63.2K 9.6K 41
SIHIR 2 - Genre: Horor, romance. Alur sulit di tebak, banyak teka-teki, percintaan rumit. [Deskripsi] Nyi Sihir kembali menjadi iblis jahat yang ingi...
42.7K 2.7K 20
Ini merupakan kisah baru ku. Tempat tinggal baru, kota baru, lingkungan baru, teman baru, dan petualangan mistis baru. Ini merupakan lanjutan dari ce...