Kertas Selebaran

443 16 8
                                    

Yogyakarta. Adalah salah satu kota di Indonesia yang kaya akan sejarah. Karena di kota gudeg inilah, Kerajaan Mataram pernah berdiri kokoh. Seni tari dan seni musik Nusantara juga berkembang pesat di sini. Dan para seniman kerajinan tangan pun, banyak yang terlahir dari kota yang terkenal dengan Malioboro sebagai destinasi wisatanya. Di balik beragam harta yang dimilikinya, kota Yogya juga memiliki sisi lain. Sebuah sisi yang menarik mata para penganut ilmu kebatinan, untuk singgah di sana. Gunung Merapi dan pantai Selatan adalah dua tempat yang paling sering dikunjungi para penikmat hal-hal mistis. Keberadaan Nyi Roro Kidul dan pasukan makhluk halus penunggu gunung Merapi yang dipimpin oleh seorang raja bernama Eyang Merapi, menjadi magnet kuat bagi sekelompok orang yang ingin membuktikan kebenaran mitos yang melegenda itu, atau hanya ingin mengutarakan maksud tujuan pribadi mereka. Dan di tempat inilah, orang-orang yang memiliki kemampuan istimewa itu berkumpul.

©Rainsy™

Aktivitas dua kelompok siswa berbeda kelas yang tengah bersaing memperebutkan bola di tanah lapang yang gersang di sebuah SMP itu terhenti sejenak. Kala teriakan gaduh, menggema dari sebuah lorong gelap; tempat yang biasa menjadi persembunyian para murid nakal untuk membolos saat jam pelajaran berlangsung.

Perhatian para pelajar yang tengah menikmati pertandingan bola yang tersuguh di depan mata, kini tertuju pada sepasang daun pintu bercat cokelat yang berada di ujung lorong gelap itu. Rasa penasaran yang kentara di wajah mereka, seolah menyiratkan kalimat tanya. Sebenarnya apa penyebab teriakan yang mampu mengalahkan kegaduhan para murid kelas VII dan VIII yang sedang melakukan kegiatan bersama itu? Puluhan pasang mata penghuni sekolah melebar, ketika pintu yang menjadi objek pandangan mereka didobrak paksa oleh segerombol kakak kelas mereka yang keluar dari ruang aula secara bersamaan dengan wajah sumringah, dan satu tangan mereka yang mengangkat tinggi selembar kertas putih.

"HOREE!!! GUE LULUUUS!!!" seru salah seorang murid lelaki kelas IX yang dibalas rangkulan bahagia dari beberapa teman-temannya dari belakang; teman yang tampak seberuntung dirinya.

Jauh berbeda dengan uforia para teman-teman seperjuangannya yang langsung menyusun rencana untuk merayakan kelulusan mereka dengan berkonvoi keliling Yogya, mencorat-coret seragam putih-biru mereka dengan berbagai warna, juga tanda tangan atau pesan dan kesan dari teman-temannya. Seorang gadis berparas innocent, justru lebih memilih untuk duduk merenung seorang diri, di bawah sebuah pohon beringin kecil yang tumbuh di halaman belakang sekolahnya.

Sesekali, gadis remaja itu mendesah pelan. Membaca kembali secarik kertas berisi deretan huruf yang dirangkai membentuk paragraf demi paragraf di pangkuannya. Kini, pupil hitam mata gadis itu berhenti bergerak. Setelah gadis berbibir tipis itu, menemukan kata LULUS yang tak dicoret pada pertengahan isi surat tersebut.

"Kamu lulus dengan nilai yang tinggi. Tapi, kenapa kamu terlihat murung seperti itu?" suara yang berasal dari belakang tubuh gadis itu muncul bersama semilir udara dingin yang membuat tatanan rambut salah satu siswi SMP tersebut menjadi kacau.

Helga terdiam. Gadis remaja si pemilik NEM tertinggi di kelasnya itu tak merespon sapaan dari suara yang ada di belakangnya.

"Saat pulang nanti, orangtuamu pasti sangat bahagia melihat kabar menggembirakan ini. Dengan nilai sebagus itu, tentu banyak SMA Favorite yang menginginkan kamu untuk menjadi keluarga baru mereka. Kamu akan diterima dengan mudah di sekolah-sekolah ternama kota ini." Suara itu kembali terdengar dengan kalimat bangga yang disamarkannya. Jelas sekali, suara itu ingin mengajak Helga; si murid introvert, untuk mengobrol.

Setelah beberapa detik menunggu, akhirnya bibir gadis yang diajaknya bicara mulai menunjukkan pergerakan. "Aku tidak yakin orangtuaku akan memelukku setelah membaca surat kelulusan ini. Mungkin benar, aku akan didaftarkan masuk ke sebuah SMA ternama. Hanya saja ... yang menjadi pertanyaan di benakku saat ini, apakah di sana aku akan mendapat teman? Sedangkan di tempat ini saja, semua orang menjauhiku. Masa tiga tahun adalah waktu yang terlalu singkat untuk teman-teman sekelasku mau bertegur sapa dengan orang sepertiku. Aku butuh waktu lebih lama lagi untuk dapat bersosialisasi dengan mereka. Dan berpura-pura seperti mereka."

Supranatural High School [ End ]Where stories live. Discover now