Hujan Bulan Desember

Bởi daffoguy

2.6K 272 174

Menjadi seorang nomad bukanlah tujuan hidup Andreas Hestamma. Setelah sekian lama berpindah tempat tinggal da... Xem Thêm

P R A K A T A
Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Epilog
D A N K S A G U N G

Bab 4

85 12 7
Bởi daffoguy

Rachel menatap dua orang di depannya yang saling bertukar pandang. Ia sudah berteman dengan Adhira dan satu kelas dengan wanita itu sejak semester pertama, dan dia tahu betul siapa orang yang kini tengah ditatap sahabatnya itu.

"Adhira?"

"Andreas," gumam Adhira pelan.

Keduanya saling menyebut nama masing-masing.

Pria tinggi yang sekarang tengah berdiri di depannya bernama Andreas. Pria yang pernah masuk untuk waktu yang singkat dalam hati Adhira, namun meninggalkan luka yang sangat dalam pada wanita itu.

Andreas dan Adhira pernah menjalin hubungan, yang tidak lama diketahui, ternyata hanya karena sebuah permainan iseng dan nakal anak laki-laki. Rachel tahu sampai saat ini Adhira sudah berusaha sangat keras untuk bisa melupakan Andreas dan segala hal menyakitkan yang ditinggalkan pria itu pada dirinya. Dan sekarang pria berengsek tersebut muncul tepat di depan Adhira, dan berani-beraninya menyebut nama Adhira dengan raut wajah polos, seolah tidak pernah melakukan hal buruk pada Adhira.

"Apa kabar?" tanya Andreas sambil menyunggingkan senyum.

Rachel tahu, Andreas sangat tampan. Dan tersenyum semakin membuat wajahnya terlihat menarik. Tapi alih-alih merasa terpesona pada pria itu, yang ingin Rachel lakukan sekarang adalah memukul wajah pria itu sampai berdarah, membuatnya babak belur, dan kalau bisa kehilangan aset paling berharga yang pria itu miliki.

Ketika dirinya sudah mengangkat tangan kirinya, bersiap untuk melayangkan pukulan pada Andreas, dengan cepat Adhira menahannya. "Aku baik," jawab Adhira datar. "Sangat baik malah," lanjutnya dengan penekanan, cukup membuat Andreas menyadari bahwa Adhira tidak senang bertemu dengannya.

Andreas tersenyum kikuk. Dia tidak menyangka hanya dengan menanyakan kabar akan membuatnya merasa canggung dan didominasi. Dia sadar pernah menyakiti wanita di depannya ini dulu, namun dia tidak pernah menyangka bahwa wanita tersebut akan secara keras namun implisit menolak kehadirannya lagi.

Sedari awal dia tahu bahwa hal ini tidak akan mudah. Maka sedari awal pula ia menghidupi dirinya dengan pelarian. Tentu ia merindukan saat-saat bertemu dengan wanita itu seperti sekarang, namun selama ini dirinya pun tidak pernah berusaha untuk memenuhi kerinduannya itu. Bahkan kedatangannya kembali ke Indonesia pun, sudah jelas bukan untuk menemui wanita yang tengah berdiri di hadapannya ini.

Karena bagi Andreas, Adhira adalah paranoia. Adhira terlalu banyak memunculkan rasa gundah dan perasaan tidak nyaman bahkan hanya karena setiap kali ia mengingatnya. Dan Andreas mengingat Adhira setiap saat, terlebih setiap kali ia menatap butiran air yang turun dari langit penuh awan abu berarak, mengingatkannya pada sebuah kejadian di kafe beberapa tahun lalu.

Ia tahu ia rindu, namun sama sekali tidak berharap untuk bertemu. Ia terlalu takut untuk menghadapi kenyataan, menghadapi reaksi Adhira ketika bertemu dengan dirinya. Yang mana juga berarti, ia harus siap menghilangkan rasa rindu tersebut karena telah terbayar dengan bertemu muaranya.

Benci untuk mengakuinya, Andreas tahu bahwa ia seorang masokhis. Ia terlalu menikmati rasa rindunya, tidak peduli rasa gundah dan tidak nyaman yang selalu ia rasakan selama ini datang menyergap. Dan sekarang ia merasa kacau, terlebih ketika mengetahui reaksi Adhira yang sesuai dengan ekspektasinya.

"Sudah ya, aku mau pulang," ucap Adhira lagi kemudian membuyarkan lamunannya, sambil menggandeng tangan Rachel. "Permisi," ucapnya lagi, meminta agar Andreas menyingkir dari hadapannya dan memberinya ruang untuk berjalan.

Andreas dengan refleks menyingkir, membiarkan Adhira keluar bersama Rachel, dan menatap punggung Adhira ketika wanita itu melenggang keluar melewatinya. Sebelum dua orang tersebut menghilang di belokan yang mengarah ke tempat parkir, Andreas memanggil, "Adhira!"

Dan dengan refleks, Adhira menghentikan langkahnya, lalu menoleh sambil memasang wajah yang seolah berkata apa?

Andreas kembali memasang senyumnya. "Senang bertemu lagi denganmu," ucapnya ramah. Atau lebih tepatnya, berusaha untuk terdengar ramah dan tenang, seolah ia tidak merasa didominasi.

Adhira tersenyum mencemooh dan menjawab, "Yang benar saja." kemudian kembali berbalik dan mendengus.

Melihat hal tersebut, Andreas menghembuskan napasnya dengan berat. Matanya masih menatap punggung Adhira sampai wanita itu menghilang di belokan yang mengarah ke tempat parkir.

Pada saat itu keduanya mulai menyadari sesuatu. Andreas menyadari bahwa dirinya memiliki kontrol pribadi yang kuat, ia mampu menekan rasa groginya ketika berhadapan dengan Adhira setelah sekian lama. Sedangkan Adhira menyadari bahwa Andreas adalah orang yang sangat tidak tahu malu.

"Sepertinya parah ya?" gumamnya pelan, lalu berbalik dan masuk ke dalam kafe. Dan sore itu, pergi keluar kantor yang mestinya membuat dia merasa segar setelah menekur di depan meja seharian menjadi sebuah ide buruk yang sukses menghancurkan suasana hati juga harinya.

***

Sudah hampir jam sepuluh malam, Luna berjalan keluar dari ruangannya, melewati ruangan-ruangan lain yang lampunya sudah dipadamkan, berjalan lurus menuju lift yang berada di ujung kanan gedung ini. Dia memencet tombol turun dan menunggu, sambil memandangi layar kecil di sebelah tombol lift yang menunjukkan di lantai berapa kini lift itu berada.

Tidak pernah ada yang menyenangkan dari kerja lembur. Tenaga dan pikiran terasa diperas dan tidak ada teman yang bisa diajak mengobrol barang sebentar untuk sedikit mengurangi rasa penat. Luna meregangkan otot lehernya. Memutarnya ke arah kiri dan kanan, sambil jari tangan kanannya sedikit memijat-mijat tengkuknya.

Ketika lift itu berbunyi dan pintunya terbuka, sedikit terkejut namun tidak sampai berekspresi berlebihan, Luna menatap seorang pria berjas hitam yang masih rapi mengenakan dasi berwarna merah polos sedang berdiri di salah satu sudutnya. "Arian," gumam Luna pelan.

Pria yang sedang menunduk itu seketika mengangkat kepalanya, ketika mendengar suara seorang wanita menyebut namanya. Ketika dilihatnya Luna tengah berdiri di depannya, dan kemudian masuk ke dalam lift, pria itu menyunggingkan senyumnya sambil bertanya, "Hai Lu, kerja lembur?"

Luna mengangguk, lalu balik bertanya, "Kamu juga?" sambil memencet tombol satu, dan tidak lama kemudian pintu lift tertutup.

Arian menggeleng. "Aku baru pulang nemenin dewan direksi makan malam," jawabnya yang langsung ditimpali dengan anggukan oleh Luna. "Kamu mau pulang? Bareng saja," ajak Arian.

Luna seketika menoleh, kemudian memastikan, "Memangnya boleh?"

"Bolehlah." Arian tertawa pelan mendengar pertanyaan Luna.

Ketika lift itu sudah sampai di lantai satu, tidak ada dari keduanya yang keluar, bahkan Luna yang semula memencet lantai ini mengurungkan niatnya untuk keluar. Keduanya tetap diam dan turun menuju basement.

***

Adhira mengendarai motornya dengan hati-hati. Sudah hampir jam sebelas, namun perutnya keroncongan minta diisi. Rachel menginap di rumahnya, wanita itu bercerita banyak hal selama lebih dari dua jam, dan mendengar curhatan sahabatnya itu membuat Adhira lupa makan malam, dan baru mencari makan selarut ini. Lisa dan Afif pergi tadi siang ke rumah neneknya di Bandung, jadi tidak ada yang memasak hari ini.

Rachel tidak ikut pergi dengan Adhira. Dia bilang, dia tidak nafsu makan. Dan memang sudah kebiasaannya, tidak makan lebih dari jam delapan malam.

Biasanya, di gerbang luar kompleksnya banyak penjual makanan yang berjejer menjajakan beraneka macam hidangan. Sebenarnya jarak antara rumahnya menuju gerbang kompleks tidak begitu jauh, namun dia rasa cukup tidak nyaman dan waswas jika dia harus berjalan kaki di jalanan kompleks yang sudah sangat sepi.

Pertemuannya dengan Andreas tadi benar-benar membuatnya terkejut, dan sukses menyita pikirannya sekarang ini. Kenapa pria itu kembali muncul di hadapannya, dan bertingkah seolah tidak pernah terjadi sesuatu di antara mereka? Ya, pada dasarnya Andreas mempunyai hak untuk pergi ke mana saja pria itu mau, Indonesia bukan milik Adhira, dia tidak punya hak untuk mengatur hidup orang lain di negara ini.

Ponselnya yang dia masukkan ke dalam saku celananya, tiba-tiba bergetar dan berbunyi, memecah lamunan Adhira tentang Andreas. Dengan cepat dia segera menepikan motornya, mematikan mesinnya dan memarkirkannya di bawah pohon dekat pos satpam. Adhira merogoh sakunya, dan menatap layar ponselnya yang menunjukkan sebuah nomor tidak dikenal. Siapa malam-malan begini telepon? pikirnya penasaran, sambil mengusap ikon hijau pada layar ponselnya.

"Halo?" sapa Adhira.

"Ya halo. Adhira, ini aku Rangga," jawab orang yang menelepon itu.

Mengetahui bahwa ternyata Rangga yang meneleponnya larut malam seperti ini, Adhira tahu apa tujuan pria itu. Akhirnya dengan raut wajah yang malas, dia menimpali, "Oh kamu Rang. Ada apa?"

"Rachel lagi sama kamu? Aku khawatir, jam segini dia belum pulang. Aku telepon dia dari tadi nggak diangkat," timpal pria itu yang langsung balik bertanya.

Tepat yang seperti dipikirkan Adhira. Rangga hendak menanyakan Rachel. "Ya, dia ada di rumahku," jawab Adhira datar.

"Syukurlah," timpal Rangga. Adhira bisa mendengar embusan napas lega pria itu yang terdengar melalui ponselnya. "Aku ke rumahmu ya, mau jemput Rachel."

Untuk sesaat Adhira terdiam. Beberapa pertanyaan muncul dalam benaknya. Apa mungkin akan lebih baik kalau Rachel segera bertemu dengan Rangga, dan membicarakan masalah yang tengah mereka hadapi? Atau justru lebih baik jika membiarkan Rachel menjauh dari Rangga untuk sementara, dan memberikannya waktu untuk sendiri? Adhira mengerutkan keningnya, berpikir keras dan menimbang-nimbang, sampai kemudian dia menjawab, "Bisa kita ketemuan sekarang juga Rang? Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu."

"Ha? Ada apa Dhir? Ini udah malem banget. Lagi pula kan kita bisa ketemu di rumahmu pas aku jemput Rachel," timpal Rangga.

"Please Rangga. Ini penting. Banget." Jawab Adhira dengan penekanan pada akhir kalimatnya.

Untuk sesaat Rangga terdiam. Tidak ada sahutan darinya, mungkin pria itu tengah berpikir. "Oke kalau begitu. Tapi abis itu aku langsung jemput Rachel. Mau ketemu di mana?"

"Aku tahu restoran yang masih buka jam segini dekat kantormu. Aku kirim alamatnya nanti," jawab Adhira. "Dan masalah Rachel, lebih baik kita bicarakan nanti saja kalau sudah sampai," lanjutnya.

Dari apa yang diucapkan Adhira, Rangga mencium sesuatu yang tidak beres dan berhubungan dengan Rachel, sehingga dengan cepat dia menimpali, "Ada masalah dengan Rachel Dhir? Dia kenapa?" tanyanya terdengar khawatir.

Adhira yang mendengarnya hanya mengerling malas, sambil menggeleng-gelengkan kepala, mendengar Rangga yang sok-sok an khawatir pada Rachel. Mendengarnya saja sudah membuat Adhira geli dan jijik, tidak terbayangkan apa yang akan dia rasakan nanti ketika dia bertemu dengan Rangga. "Kita bicarakan nanti. Sudah ya, aku kirim alamatnya sekarang," jawab Adhira buru-buru, dan langsung menutup panggilan itu tanpa mendengar jawaban Rangga sebelumnya.

Dia kemudian segera menyalakan kembali mesin motornya dan menjalankannya keluar dari gerbang perumahan.

***

Adhira duduk sambil menyantap salad buah di depannya. Rangga belum datang, dan perutnya sudah sangat keroncongan. Peduli setan dengan Rangga, perutnya sudah berteriak-teriak sedari tadi.

Sampai kemudian manik mata Adhira menangkap sosok pria yang tengah di tunggunya di pintu masuk depan restoran. Sosok seorang pria berpotongan rambut pendek rapi yang masih mengenakan pakaian kantor. Adhira melambaikan tangannya, yang kemudian di balas oleh lambaian tangan pula oleh pria itu. "Sorry, nunggu lama ya?"

"Gak apa-apa," jawab Adhira sambil mengunyah potongan anggur dari saladnya. "duduk dulu Rang. Maaf aku makan duluan, lapar banget," lanjutnya mempersilakan Rangga untuk mengambil tempat.

Rangga mengangguk, dan menarik kursi kayu yang berhadapan dengan Adhira, lalu kemudian bertanya, "Ada apa Dhir?"

Adhira menatap Rangga lekat-lekat, membuat pria itu bingung dan salah tingkah. "Aku cuma mau bilang, sebaiknya untuk beberapa hari ini kamu jangan dulu berhubungan dengan Rachel," ucap Adhira to the point sambil menaruh sendok yang sedari tadi dia pegang di atas mangkuk saladnya.

Rangga mengernyitkan alis, tidak mengerti akan apa yang baru saja Adhira katakan. "Maksudmu apa Dhir? Dia itu istriku, kenapa aku harus ngejauh dari Rachel?" tanyanya bingung.

"Udahlah Rangga, apa susahnya sih buat kamu jauhin Rachel cuma sementara?" jawab Adhira memaksa. Seharusnya jika Rachel memang sudah tidak berharga lagi di mata Rangga, menjauhi Rachel tidak akan sulit bagi Rangga. Begitu pikir Adhira.

"Sekali lagi aku tanya, maksudmu itu apa Dhir?" Rangga mengulang pertanyaannya, dan kali ini nada suaranya sudah mengeras.

Adhira membuang muka. Sedari tadi dia memang menghindari mengatakan alasan dari permintaannya itu. Bukan karena dia tidak berani mengatakannya pada Rangga, hanya saja dia tahu bahwa urusan ini, sekalipun Rachel sudah bercerita panjang lebar dengannya, adalah urusan yang seharusnya Rachel dan Rangga selesaikan sendiri. Tapi melihat Rachel menderita seperti siang tadi, membuat Adhira geram dan ingin ikut campur dalam urusan rumah tangga mereka.

Adhira diam, tidak menjawab.

Rangga, kali ini dengan wajahnya yang mengeras, kembali bertanya, "Apa alasannya? Dan ada apa dengan Rachel?" nada suaranya terdengar mengintimidasi.

Adhira mengangkat wajahnya dan menatap Rangga dengan tatapan menantang. Seolah mengatakan bahwa menginterogasinya seperti itu sama sekali tidak membuat dirinya takut.

"Aku hanya ingin memperbaiki hidup Rachel karena ulahmu."

Rangga semakin mengernyit, dan memicingkan matanya. "Ini keluargaku, dan tidak ada urusannya denganmu Dhir," ucapnya tajam.

Ya, sekali lagi Adhira sadar bahwa hal ini bukan urusannya. Tapi kembali ke alasan awal, melihat sahabatmu menderita, dan yang kamu bisa lakukan hanyalah diam dan menonton, rasanya sangat sakit.

"Kamu ngaco," ucap Rangga kemudian, sambil kemudian berdiri dari duduknya hendak pergi. "Aku akan jemput Rachel sekarang."

Mendengar hal itu, malah membuat Adhira terkejut. Dan tanpa sadar dia juga ikut berdiri, lalu memukul meja. "Kamu gak bisa datang seenaknya ke rumah orang!" ucap Adhira setengah berteriak.

Rangga menoleh. "Kamu juga gak bisa seenaknya nyekap istri orang," timpalnya, lalu kembali melanjutkan langkahnya.

Adhira mengatur napasnya yang tidak teratur karena marah. Setelah dirasa dirinya sudah cukup tenang dan bisa mengatur kembali napasnya pada tempo yang normal, dan ketika Rangga sudah berdiri di ambang pintu, memegang kenopnya, Adhira kembali bersuara,"Fine! Tapi ingat, kalau kamu buat Rachel nangis lagi, aku nggak akan segan-segan buat perhitungan denganmu dan Kania si pelacur sialan itu!"

Rangga seketika menoleh, menatap Adhira dengan tatapan terkejut. Matanya yang melotot seperti akan keluar itu menunjukkan rasa terkejutnya yang sangat besar. Dan melihat ekspresi Rangga sekarang, Adhira hanya memberi laki-laki itu senyuman licik. "Kamu kaget?" tanya Adhira. "Mungkin kamu nggak akan pernah bisa membayangkan ekspresi terkejut Rachel yang lebih dari ekspresimu sekarang, di saat dia tahu tentang hubunganmu dengan wanitamu itu."

Rangga menelan ludahnya. Dia tidak bergeming dari tempatnya sekarang. Terkejut, sudah pasti.

Adhira kembali duduk di tempatnya, ketika Rangga tiba-tiba saja memutar langkahnya, berjalan menghampiri Adhira. "Kamu kasih tahu Rachel tentang hal ini?" tanya Rangga dengan nada penuh amarah dan ekspresi wajah yang sulit digambarkan.

Adhira menggeleng. "Justru Rachel yang cerita padaku."

"Shit!!!" Rangga menendang kursi kayu yang ada di depannya. Beruntung ketika itu restoran sepi, tidak ada pelanggan lain selain mereka berdua dan pelayan yang kini menghampiri mereka, dan meraih kursi yang tadi ditendang Rangga.

"Jangan bertingkah bodoh," ucap Adhira mengomentari apa yang baru saja dilakukan pria itu, yang kemudian diikuti oleh pandangan tajam Rangga. Pria itu kembali mengambil tempat di depan Adhira.

"Kamu tahu, aku paling tidak suka dengan perselingkuhan?" Adhira melemparkan pertanyaan retoris. "Dan aku akan dukung Rachel seratus persen untuk menuntut cerai darimu," lanjutnya.

Rangga hanya bisa diam tak mengeluarkan sepatah kata pun. Pikirannya masih bercabang dan belum bisa fokus, ditambah ucapan Adhira yang sulit membuatnya menarik napas.

Adhira menatapnya, lalu kembali berkata, "Kecuali jika kamu bisa menjelaskan padaku, bahwa semua ini hanya salah paham."

Untuk beberapa saat suasana hening, pelayan yang tadinya hendak menghampiri mereka, mengurungkan diri. Rangga, dengan terbata-bata akhirnya mengangkat mulutnya, "Ngga. Itu semua benar."

Adhira tersenyum, mengangguk, lalu berkata, "Kamu harus segera menyiapkan diri di pengadilan."

Bersamaan dengan ucapan bernada tenang namun bermakna tajam itu, Rangga menatap Adhira dengan tatapan menyesal, sambil menggelengkan kepalanya, dan memasang alis yang mengerut, dia berkata, "Jangan. Aku mohon Dhir, tolong tahan Rachel. Aku nggak mau pisah sama dia."

Satu hal yang telah Adhira pelajari dari kebanyakan lelaki adalah raut wajah memelas mereka, seperti yang kini dipasang oleh Rangga. Laki-laki punya keahlian itu, berakting seolah mereka menyesal dan berjanji tidak akan mengulang perbuatan mereka, dan memuntahkan kembali janji mereka tersebut. Itu membuatnya jijik. Dengan tatapan kesal Adhira menatap Rangga, menatap manik mata pria itu dengan sejuta tatapan penuh kebencian.

Di mana saja, di dimensi mana pun, selalu seperti ini. Laki-laki tidak pernah bisa dipegang ucapannya. []

***

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

668 98 11
SUDAH DITERBITKAN (19 OKTOBER 2019) you can order in web www.guepedia.com "Selamat tinggal untuk semua yang aku sayangi. Ayah, Ibu, saudaraku Liana...
1.8K 384 9
Jika ada ungakapan, "Maut yang memisahkan." Maka bagi mereka, justru kebalikannya. Maut yang mempertemukan mereka. Menjadikan utuh dan melengkapi sat...
1.1M 54.5K 38
"Jalang sepertimu tidak pantas menjadi istriku, apalagi sampai melahirkan keturunanku!" Bella hanya menganggap angin lalu ucapan suaminya, ia sudah...
423K 24.7K 29
Story Kedua Neo Ka🐰 Duda Series Pertama By: Neo Ka Gayatri Mandanu itu ingin hidup simpel, tidak ingin terlalu dikekang oleh siapapun bahkan kadang...