SIDE (YOU)

By arikasatika

4.7K 803 314

[ UPDATE tersendat batu] Ayay seorang gadis yang siap memulai hidup berumah tangga dengan pacarnya bernama Sa... More

Absen ^-^
1 - Beginner
2 - Feel
3 - Care
4 - Why
5 - Other

6 - Open Secret

260 19 7
By arikasatika

Hai ^^ saya kembali
Maaf lama menghilang ~

SIDE (YOU)  sekarang akan update setiap kamis ^^

Boleh minta pendapatnya setelah baca bagian ini? Karna saya butuh pandangan orang lain agar karya ini bisa berkembang baik ^^ karna saya merasa cerita ini kurang diminati T.T

Terima kasih sudah setia menunggu dan membaca cerita saya

Selamat menikmati kisah Ayay dan Leon ♡♡
====================

Langkah demi langkah digeraknya dengan berlahan. Suara sehalus goresan benang enggan dikeluarkan olehnya. Giginya sibuk menggigit bibir bawahnya, gelisah dengan pilihannya. Matanya celingak-celinguk mengawasi sekitarnya yang kala itu gelap gulita.

Orang itu adalah Ayay yang tengah mengendap-endap di kediamannya sendiri. Karna rasa penasaran terhadap Leon yang terys menggerogoti dirinya, Ayay nekat mengendap-endap dirumahnya sendiri.

'Jangan ada suara, kumohon...' mohon Ayay dalam hati seraya terus melangkah pelan mendekati kamar Leon.

Ayay menarik napas sangat pelan bahkan beberapa kali dirinya rela menahan nafas, enggan membiarkan udara menciptakan suara yang sedari tadi dihindarinya. Sesampainya, Ayay berlahan-lahan membuka pintu kamar Leon.

Grekkkk, suara pintu.

'Aish! Apa ini pintu tua? Kenapa bunyinya nyaring sekali?!' Ayay memejamkan matanya seraya mengumpat kesal.

Tangan dengan erat masih menggengam gagang pintu, tak ingin suara yang lain kembali muncul.

Setelah merasa aman, Ayay mulai mengintip di celah pintu. Gelap, bahkan lebih gelap dari ruangan yang baru saja dilaluinya. "Apa dia selalu tidur dalam kegelapan?" ucap Ayay berbisik.

Merasa tak ada apapun yang dapat menjadi petunjuk, Ayay berhenti mengintip dan hendak kembali menuntup pintu.

"Berhenti mengganguku!"

Sebuah suara berhasil membuat Ayay membeku di tempat. Tubuhnya dengan refleks tiarap dilantai dengan posisi tangan menutupi kepalanya.

'Apa aku ketahuan?' tanyanya dalam hati dengan mata tertutup.

"Hahaha... Kau berkata seolah aku ini anak kecil yang akan patuh," balas suara lain.

'Suara lain?'

"Sejak awal kau memang anak-anak, SAI-YEN!"

"Namaku Saen. SA-EN. Bukan nama kekanakan itu!" balas suara itu lagi.

Mata Ayay membulat kaget mendengar nama yang familiar dipendengarannya. Dengan gesit dirinya mengintip di celah pintu yang kala itu belum tertutup sempurna olehnya.

Hanya seperdetik tubuhnya mengkaku ditempat. Tubuhnya yang sebelumnya tegang berlahan-lahan bergetar. Antara mata dan otaknya sibuk mensikronisasikan apa yang tengah terjadi.

Matanya kini fokus kearah cahaya redup di dekat cermin yang kala itu tengah memantulkan bayangan Leon dan seorang yang tak pernah diduganya akan dilihatnya, Saen.

"Saen?" ucap Ayay tak sadar.

Leon yang kala itu memandang tajam Saen sontak menoleh kearah sumber suara. Ayay tak bergeming, tubuhnya mematung dengan kaki yang bergetar halus. Matanya masih fokus pada cermin yang kini sudah tak memantulkan bayangan Saen lagi.

"Apa yang kau lakukan?!" bentak Leon seraya mendekat kearah Ayay.

Menyadari mulutnya berucap tanpa permisi, Ayay berlari pergi menjauhi kamar Leon, lebih tepatnya menjauhi rumahnya.

Dirinya hanya terus berlari tanpa menyadari dirinya sudah menerobos kegelap malam yang kala itu menyelimuti jalanan. Seketika bulu kuduknya merinding. Langkahnya yang mantap seketika merosot drastis.

"Sudah cukup aku takut melihat mereka. Kumohon... Jalanan ini jangan juga ikut menakutiku." Ayay menekuti tubuhnya seraya merunduk karna takut.

Tiba-tiba sebuah tangan kekar menariknya. "Ahhhhh!!!," teriak Ayay dengan mata yang tertutup rapat.
Sebuah tangan langsung menutup mulutnya. "Diamlah, kalau kau tak ingin membuat orang terbangun dengan teriakanmu."

Sontak Ayay membuka matanya dan menangkap wajah Leon di lensa matanya.

"Ke..na..pa.. Kau.." Ayay meneguk salivanya. "A..da.. di.. si..ni..?" ucap Ayay gugup. "Aku..  sung..guh.. tidak.. melihat apa..pun."

Leon menjungkitkan salah satu alisnya. "Pulang sekarang".

Leon menarik tangan Ayay untuk mengikutinya, namun Ayay mengeraskan seluruh tubuhnya sebagai tanda penolakan. Kerutan-kerutan halus memonopoli wajah Leon. Tanpa aba-aba Leon mengangkat badan Ayay seolah dirinya adalah karung beras.

"Ahhhh!" lagi-lagi Ayay tak bisa menahan teriakannya.

"Jika kau terus berteriak, aku akan mengikatmu dibawah lampu jalan yang mati itu," ancam Leon yang tentunya tak berhasil membuat teriakan Ayay berakhir.

Tak putus ide, Leon menurunkan tubuh Ayay dari bahunya lalu membukam mulut Ayay dengan bibirnya. Ya, Leon menciumnya.

Meski sempat memberontak, tak lamanya Ayay justru terhanyut dalam lembutnya sentuhan bibir Leon pada bibirnya. Ayay lupa dengan kegelapan dan keadaan mencengkram yang baru saja dialaminya, seolah ciuman itu memberi cahaya dan ketenangan padanya.

"Aku suka saat kau diam," ujar suara bariton yang tak lain adalah suara Leon.

Ayay tertegu, tersadar kalau dia sudah terjebak pesona Leon. Tanpa aba-aba Leon kembali membawa Ayay di bahunya, kembali menjadikannya karung beras tapi kali ini tanpa teriakan dan hanya kebisuan. Ayay tak ingin mengambil resiko jika dirinya berteriak.

Sesampainya dirumah Leon langsung meletakan Ayay disofa dan menatapnya tajam. Ayay bagaikan mangsa yang baru saja di dapat si singa dan kapanpun siap di menerkam dirinya.

"Kau melihatnya bukan?" tanya Leon tanpa melepas pandangan dari Ayay.

"Aku tak melihat apapun," elak Ayay seraya membuang muka.

"Kau melihatnya. Kau menyebut namanya."

"Aku hanya mengguman. Aku tak melihat apapun."

Leon mengangkat dagu Ayay, membawa wajahnya menatap dirinya dekat.

"Kau melihatnya," tegas Leon dengan jarak wajah yang hanya beberapa senti dengan Ayay.

Ayay mengepalkan tangannya, mengumpulkan kegugupannya di telapak tangannya. Dirinya diam membisu, tak lagi bisa menjawab ucapan Leon.

"Aku katakan padamu bahwa itu bukanlah ilusimu. Itu nyata."

'Dia bohong, aku hanya berilusi. Mungkin aku merindukan Saen dan itulah mengapa aku menggangap pantulan Leon adalah Saen.' yakin Ayay dalam hati mengabaikan perkataan Leon.

Leon menjauhkan tangannya dari dagu Ayay lalu menatap kosong kearah photo pernikahan mereka.

"Itu memang dia. Dia sekarang roh halus yang rakus dengan ragaku. Kau tau kenapa?" Leon menatap Ayay, "Karna dia sudah mati dan tak bisa melakukan apapun tanpa raga," Jelas Leon.

Gemetar yang menyelimutinya seketika berhenti. Bagai patung hidup. Meski mulutnya sulit berkata, Ayay berusaha menggerakan mulutnya, memantulkan kata-kata yang dapat menunjukan kalau dirinya tak terpengaruh.

"Jangan mengarang cerita yang..." Belum selesai Ayay berkata, Leon langsung memotong perkataan.

"Dia sudah mati..."

Ayay mempererat genggaman tangannya. Meski sudah berusaha mengendalikan dirinya jantungnya terus berdegup kencang dan keringat dingin dengan jahil menyelip keluar dari pori-porinya.

Hening seketika menghantui. Keduanya hanya diam. Yang satu memandang mangsanya dan satunya sibuk beraduk dengan pikirannya.

Jika situasi antara dunia nyata dan gaib berada pada line yang sama, apa yang harus kamu lakukan? Percaya? Atau justru menepis semua? Semua itu butuh waktu untuk bepikir, begitupun untuk Ayay. Otaknya tidak cukup canggih untuk memproses mana ilusi dan mana yang nyata.

Tiba-tiba Leon yang tadinya juga membisu, meremas kepalanya. Dirinya merasakan pusing yang teramat dalam. Tangannya terus meremas keras kepalanya yang membabi-buta berdenyut keras. Kakinya lunglai, berganti dengan lutut sebagai penopang tubuhnya.

Ayay menatap cemas kearah Leon, " Kau tak apa?" Ayay memegang tangan Leon.

Leon tak menjawab membuat Ayay mempererat gengamannya di tangan Leon, "Hei, jangan bercanda," ucap Ayay yang kini dibasuhi keringatnya.

Beberapa menit belalu, berlahan-lahan Leon kembali tenang namun dia hanya diam dengan tatapan kosong. Ayay yang melihat keanehan pada Leon mengayunkan tangan didepan wajah Leon.

Tiba-tiba Leon menangkap tangan Ayay yang bermain-main didepan wajahnya dan kemudian menggengamnya erat. Ayay yang kala itu tak siap mental, terkejut dan menarik tangannya namun sayang tak mudah baginya melepas genggaman pria kekar maskulin dihadapannya ini.

"Ayay..." Panggil Leon lembut.
Leon melepaskan gengaman tangan Ayay pelan lalu mengelus pipi Ayay. "Aku senang kau sudah sehat."

Ayay terdiam membatu. Nada, suara, dan tatapannya tidak seperti Leon, justru... mirip dengan Saen.

"Aku... Saen..."

Kali ini Ayay merasa jiwanya hampir saja melayang pergi meninggalkan raganya karna serangan kekagetan yang bertubuh-tubuh menabrak dirinya.

"Argh!" Geram Leon yang berhasil membuat Ayay kembali menarik bayangan jiwanya yang melayang ketubuhnya.

Leon kembali meremas kepalanya, kali ini lutut tak mampu menopang tubuhnya. Tubuhnya tumbang ke lantai bagai ulat bulu yang kepanasan.

"Leon! Kau tak apa?" teriak Ayay khawatir seraya terus berusaha menenangkan Leon.

******

Pagi ini matahari terjebak di balik awan hitam, meski ingin keluar dan bersinar, awan dengan serakah menutup cahayanya. Matahari bagaikan dirinya yang terjebak dalam teka-teki hitam.

Cuaca hari ini mendung semendung hatinya yang tengah dilema. Secangkir teh hangat menjadi teman setianya dalam melamuni setia kejadian semalam yang terus saja mengahantuinya.

#Flashback.

Suara gemericik air memonopoli suara di rumahnya. Ayay tengah memeras kain basah.

Setelah berputar-putar kesakitan tak karuan, Leon pingsan ditempat. Ayay sekuat tenaga memopang Leon yang kala itu sudah sepenuhnya tak sadarkan diri. Leon bukanlah anak-anak ataupun remaja yang ramping, otot-ototnya bagaikan besi berat yang harus di angkutnya jika ingin membawa Leon kekamarnya dan itulah yang Ayay lakukan. Rasanya seluruh tulang-tulang remuk, membawa Leon sama dengan membawa batu besi.

'Bagaimana pria bisa pingsan?! Kalau dia ringan, itu tidak masalah tapi dia sangat.... Ah lupakan. Jika nantinya aku dihadapkan dengan situasi yang sama aku hanya akan meninggalkannya dilantai. Aku bukan wonder women yang bisa mengangkat besi,' gerutuk Ayay seraya meletakan kain basah di atas kepala Leon.

"Kau senang melihatnya?" tiba-tiba Leon berucap.

Ayay yang kala itu dalam zona tenang sontak kaget. Ayay menggengam tangannya menumpuk amarahnya dalam kepalan tangannya. "Berhenti membuatku terkejut," kesal Ayay.

"Apa kau senang melihatnya?" tanya Leon lagi sarkastik.

"Kau harus minum obat. Aku sudah menyiapkannya dan kau jangan pergi ke kantor dulu," ucap Ayay seraya meletakan obatnya disisi kasur Leon, mengalihkan pertanyaan Leon.

"Kau bahkan tak bisa menjawabnya," Leon membuang muka, menatap langit-langit kamarnya. "Dia sudah mati tapi terus mengganguku. Aku tak ingin mengatakan ini tapi karna kau sudah tau, aku tak perlu menyembunyikannya lagi. Kau tak akan tau saat aku yang jadi boneka atau dia yang jadi boneka, aku yang dihadapanmu atau dia yang dihadapanmu."

Ayay menatap Leon prihatin, seolah pria dihadapannya ini tengah pupus akan harapan.

"Kau senang melihatnya?" tanya Leon ketiga kalinya.

Ayay membisu, memilih beranjak dari tepi kasur, hendak pergi. Bukan tak ingin menjawab tapi karna dirinya benar-benar tak bisa menjawab. Ayay bahkan belum apakah itu benar-benar Saen atau hanya ilusinya.

"Memalukan, aku terlihat lemah. Kau bisa mengejekku sesukamu."

Ayay menghelapkan napas berat lalu menoleh ke arah Leon, "Aku tidak akan mengejek suamiku."

#FlashEnd

Ayay menghelapkan napas berat sejenak setelah mengingat kejadian tadi malam.

"Dar!!!" tiba-tiba Nei datang, menepuk bahunya.

Seketika Ayay merasakan jantungnya memompa kencang, mengalirkan darah ketubuhnya seperti kilat.

"Aku tidak menyangkah kau akan seterkejut itu" ucap Nei seraya duduk dihadap Ayay. "Memang, apa yang kau pikirkan?"

"Aish! Kenapa semua orang terus membuatku terkejut?!" geram Ayay seraya mengacak-acak rambutnya.

"Eh sobat, tenang." Nei menyisir halus rambut Ayay yang sudah tak karuan dengan hati-hati. "Kau harus cerita padaku. Tak biasanya kau rela mengacak rambut kesayanganmu itu."

Ayay menghelap napas, mungkin berbicara dengan Nei akan memberikan titik terang padanya.

" Apa roh bisa memasuki raga orang hidup? Atau justru orang hidup yang berbohong tentang Roh ?" tanya Ayay.

"Arah pertanyaanmu aneh." Nei meraih roti kering dihadapannya, " roti ini mati, tapi tanpa disadari dia bergerak. Kenapa? Karna aku menggerakannya. Menurutku roh itu seperti roti kering kaku yang tidak bisa bergerak, meski udara kencang bisa memindahkannya tapi dia tidak bisa meraih apapun, butuh perantara seperti tanganku ini untuk dapat bergerak."

Nei melahap roti kering dihadapnnya, "roti tadi bisa masuk ke mulutku karna aku yang memasukannya tapi tidak menutup kemungkinan roti tadi bisa masuk ke mulutku karna ada orang lain yang memaksa memasukannya ke mulutku."

"Luar biasa, roti kering berhasil membuat kepalaku lebih sakit."

"Aw..." Nei menjitak kepala Ayay.

"Aku tau arah pembicaraanmu jadi jangan khawatir, aku tidak mengatakan apapun yang diluar dari arah pertanyaanmu.

Ayay mengelus-elus dahinya yang berdenyut karna benturan tangan Nei di dahinya.

"Coba pikirkan dulu dan jangan sampai sakit." Nei beranjak dari kursinya, " Aku pergi dulu, profesor pasti menungguku. Aku akan mendengar detail ceritamu nanti. Oke?"

Nei berlari kecil meninggalkan Ayay seraya melambai-lambai padanya.
Ayay kembali menghenduskan napas berat. Sepertinya menghenduskan napas telah menjadi kebiasaan rutinnya sebelum berpikir, saat berpikir, dan sesudah berpikir.

"Pilih satu dan jangan serakah." Tiba-tiba Ayay mendengar sebuah suara menggema di telinganya, suara lelaki tua yang pasti berhasil membuat jantungkan kembali memopah kencang.

********

Ayay pulang dengan membawa sepasang kantong plastik yang masing-masing berada di setiap tangannya. Dirinya menyempatkan diri berkunjung ke supermarket untuk membeli beberapa bahan masakan.

Seperti biasa suasana rumahnya sepi dan mungkin sekarang bisa dikatakan sedikit mencengkram karna kejadian kemarin.

Ayay membuka sepatunya dan menggantinya dengan sandal rumah.

Baru akan melangkah, tiba-tiba Leon muncul dari sudut gelap di tangga dan menatapnya penuh cinta. Cinta?

"Bona"

Belanjaan yang sedari di pegangnya sontak jatuh kelantai.

"Apa kau..." Ayay meneguk salivanya. "Sa...en...?"

Leon menjungkitkan kedua sudur bibirnya keatas, tersenyum lembut.

Note: Terkadang apa yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin didunia ini

Continue Reading

You'll Also Like

6.7M 574K 72
|| FiksiRemaja-Spiritual. || Rabelline Maheswari Pradipta. Wanita bar-bar, cuek dan terkadang manja yang terpaksa masuk pesantren sang kakek karena k...
4.9M 295K 60
[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Hana di deskripsikan sebagai gadis nakal pembuat onar dan memiliki pergaulan bebas, menikah dengan seorang pria yang kerap...
59.7K 2.7K 29
"Wanita itu suci, bagaikan sajadah. Karna, diatas wanita lah lelaki akan beribadah." Fatimah mengerutkan keningnya. "Maksudnya? Perempuan dijadikan s...
Hakim By ul

Spiritual

1.3M 77.4K 51
[Revisi] Kalian percaya cinta pada pandangan pertama? Hakim tidak, awalnya tidak. Bahkan saat hatinya berdesir melihat gadis berisik yang duduk satu...