Angel membuka mata perlahan. Silau cahaya yang bersumber dari jendela kamar membuat matanya berkali-kali mengerjap, berusaha menyesuaikan cahaya nan silau itu dengan mata hazelnya. Angel mengangkat tangan memegangi kepalanya yang terasa berdenyut. Apa yang terjadi? Yang Angel ingat, dia duduk di bar dan hampir dilecehkan oleh seorang pria, kemudian yang dia tahu hanya kegelapan... Kenzo?
Angel menoleh dan melihat jarum jam di dinding kamar.
Jam 8?!
Angel bangkit dari atas tempat tidur. Tanpa alas kaki Angel berlari meraih pintu, lalu keluar kamar.
Angel berlari menuruni tangga spiral menuju pintu besar berwarna abu-abu yang berada di sebelah kamar tamu.
"Kenzo?!" Angel membuka pintu kamar.
"Kenzo?!" Angel kembali memanggil nama lelaki itu. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Ranjang dan segala perabotan tampak tertata rapi di segala sisi. Ransel dan jaket hitam yang biasanya teronggok di sofa, kini telah lenyap. Kosong tanpa penghuni.
Ada rasa kecewa yang dirasakan oleh gadis dengan gaun tidur potongan rendah itu. Kenapa Kenzo tidak membangunkannya? Bahkan tidak adakah niat dari lelaki itu untuk bertanya kepadanya?
Tanpa sadar matanya yang telah bengkak, kini mulai menitikkan air mata. Kepalanya yang pusing, kini semakin kuat menusuknya.
"Nona sudah bangun?" Suara Marta, kepala pembantu rumah tangga keluarga Russell, mengejutkan Angel.
Angel buru-buru menyeka buliran lembut di pipinya, "Iya."
"Saya sudah siapkan sarapan..."
"Angel tidak lapar."
"Tapi, tuan muda..."
"Angel bilang tidak, berarti tidak!" Tolak Angel dengan nada kecewa. Lalu tanpa menghiraukan kehadiran Marta, Angel kembali berlari menuju kamar tidurnya.
Hampir belasan tahun, Marta mengasuh dan menjaga Angel. Gadis yang kini telah menginjak usia remaja dan telah cukup dikatakan dewasa. Memiliki wajah serupa dengan mendiang nyona Mariana.
Semenjak Mariana meninggal karena penyakit jantung yang telah lama mendera, Tuan Michael mulai memanjakan Angel, anak satu-satunya dari rahim Mariana sekaligus pewaris keluarga Russell. Anak yang kini tumbuh begitu bergantung dengan keluarganya, termasuk Kenzo, pemuda yang sudah bertahun-tahun bersamanya.
Kenzo Rich Alterio, anak dari sahabat Tuan Michael.
***
Russell School
Seorang pemuda dengan rambut acak-acakan berjalan melewati koridor ramai. Jaket Hoodie gelap dengan tas terselempang asal di bahunya menatap secarik kertas kecil di tangan kanannya.
Kelas sejarah?
Kenzo menyipitkan matanya agar melihat dengan jelas papan kecil di atas pintu yang berada di samping tangga. Dan benar, memang itulah kelasnya.
Kenzo melewati sekumpulan gadis yang tengah duduk di samping kelas, lalu masuk ke dalamnya. Ruangannya cukup luas dengan 20 kursi berjajar rapi. Dinding yang dipenuhi dengan foto para tokoh sejarah.
Kenzo melihat ke seluruh ruangan yang siang ini masih dipenuhi sebagian junior. Mereka yang saat itu tengah bergosip, mulai berbisik-bisik tak jelas dengan pandangan terpusat pada lelaki dengan rambut acak-acakan itu.
"Siapa yang di kelas ini bernama Salsa?" Pertanyaan Kenzo dijawab dengan kebisuan mereka.
"Hei! Aku sedang bertanya! Siapa di kelas ini yang bernama Salsa?"
"Sa-saya..." seorang gadis dengan kacamata tebal mengangkat tangannya, takut.
Kenzo berjalan menghampiri Salsa dan berhenti tepat di hadapannya.
"Benar kau bernama Salsa Hefner?"
"I-iya."
"Tidak perlu takut, aku hanya ingin meminta sesuatu darimu."
"Sesuatu? Dariku?"
"Aku dengar, ayahmu pemilik Luxury Movie? Benar begitu?"
"I-iya, memangnya ada apa?"
Kenzo menarik kursi di sampingnya, lalu mendekatkannya pada Salsa. Sementara, Salsa tampak semakin gugup dengan wajah merah padam.
Bagaimana tidak gugup? Kenzo, senior tampan yang digilai para gadis di kampus ini berada begitu dekat dengannya. Saat Salsa menoleh ke sekeliling, nampak wajah penuh kecemburuan dari para teman sekelasnya, karena Salsa begitu beruntung mendapat perhatian dari Kenzo.
"Boleh aku menggunakan salah satu ruangan itu malam ini? Berapapun harga sewanya, aku akan membayarnya."
"Ehm..."
"Ayolah, aku mohon." Kenzo meraih tangan Salsa, berniat memohon padanya.
Salsa terkejut bukan main. Tangannya baru saja digenggam oleh tangan hangat Kenzo. Tatapan tak kalah serius di tunjukkan oleh para siswi di belakangnya dengan pekikan histeris.
"Ba-baiklah..."
"Terima kasih." Kenzo mengulum senyum. Dia kembali berdiri, lalu merogoh saku celananya.
Kenzo membuka dompetnya dan mengeluarkan sebuah kartu kecil pada Salsa.
"Hubungi aku, jika kau sudah mendapatkan ijinnya."
"I-iya,"
"Bagus." Kenzo melayangkan senyum di wajah tampannya pada Salsa, sebelum akhirnya melangkah pergi meninggalkan kelas.
***
Kenzo melemparkan tasnya di jok belakang, berniat masuk ke dalam mobil, namun suara Tom berhasil memecah ketenangannya.
"Kenzo!"
"Apa lagi?"
"Belum juga bilang, nada suaramu sudah membuatku kesal."
"Apa? Cepat katakan." Sahut Kenzo tak sabar.
"Pelatih baru saja menelpon, latihan di ajukan sore ini."
Lagi?
"Tidak. Aku tidak bisa." Kenzo mengerutkan dahinya. Sudah cukup janjinya dia langgar karena ini.
"Kenapa begitu?"
"Tidak bisakah aku absen untuk hari ini?"
"Kau kapten, bagaimana..."
"Aku juga punya kehidupan pribadi yang tidak bisa aku abaikan terus menerus." Kenzo mulai berang.
"Bullshit! Jangan bilang karena gadis manja—" Sebelum Tom dapat menyelesaikan makiannya, Kenzo sudah meraih kerah leher Tom.
"Tutup mulutmu, Tom. Aku tidak suka kau menghina Angel!" Kenzo melepaskan cengkeramannya ketika wajah Tom berubah merah karena kehabisan udara.
Tom menyeka lehernya dengan wajah pucat.
"Aku keluar." Kenzo meraih tas di jok, lalu merogoh isi tasnya. Dia mengeluarkan sebuah pin merah, bertuliskan kapten lalu dilemparkannya pada Tom.
"Ke-keluar?" Tom bertanya dengan ekspresi terkejut.
Kenzo masuk mobil, mengabaikan keterkejutan Tom. Dia menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata.
***
Setengah jam perjalanan, membuat Kenzo lelah. Tidak seperti biasanya, Kenzo membiarkan mobilnya berada di depan halaman. Moodnya saat ini dalam status berbahaya.
Kenzo menanggalkan jaketnya dan merebahkan tubuhnya di sofa. Mencoba mengistirahatkan tubuh dan pikirannya yang terasa melelahkan.
Suara langkah kaki yang semakin dekat membuat Kenzo kembali membuka mata. Laki-laki itu bangun dan menoleh ke arah sumber suara.
Angel menuruni tangga tanpa menoleh sedikitpun pada Kenzo. Gadis dengan hot pants itu berjalan mendekati mini bar, yang berada tak jauh dari tempat duduk Kenzo.
Kenzo berdiri dan mengikutinya dari belakang.
"Kenapa diam?"
Masih tanpa suara, Angel membuka lemari es, meraih sebotol jus jeruk kesukaan Angel. Dia menuangkannya ke dalam gelas bersih yang berada di atas meja.
"Aku bertanya padamu." Kenzo meraih gelas dari tangan Angel.
Angel menggigit bibir bawahnya. Berusaha untuk mengabaikan Kenzo, Angel kembali mengambil gelas di dalam rak.
Baru saja meraihnya, Kenzo kembali mengambilnya. Namun, kali ini laki-laki itu melemparkanya hingga suara pecahan kaca itu menggema.
Prang!
"Apa kau bisu?!"
Angel mundur hingga punggungnya menempel di pintu lemari pendingin. Wajahnya pucat pasi. Kenapa Kenzo marah? Bukankah Angel yang seharusnya marah?
--TBC--
Susah ada versi cetak dan ebook ya ...
Klaim di atas dapat potongan harga ya .. jadi 16.500 ...