Somewhere in November

Por ViCross

195 18 6

Kehilangan merupakan bagian dari cerita hidup manusia. Namun ketika ada kesempatan kedua yang datang, akankah... Más

PROLOG
Chapter 1 - Mei
Chapter 2 - First Time Ever Since
CHAPTER 3 PEP TALK
CHAPTER 5 LEAVING
CHAPTER 6 SAYAKA
CHAPTER 7 MISSING
CHAPTER 8 CLOSER
Chapter 9 GETTING TO KNOW YOU
CHAPTER 10 THE DAY BEFORE THE D DAY
CHAPTER 12 MEET THE FAMILY MEMBER
YOU, ME AND HER = US
CHAPTER 14 CLOSER AND CLOSER
CHAPTER 15 THE TRUTH
CHAPTER 16 - SILENT PAIN AND LOUD TEARS
CHAPTER 17 WILL I EVER SEE HER AGAIN
CHAPTER 18 MEET HER FAMILY
Untitled Part 19
CHAPTER 20 - HIS PAST
CHAPTER 21 UPSIDE DOWN

CHAPTER 4 HER PAST

9 1 0
Por ViCross

"Izumi-san, bolehkah aku bertanya sesuatu?" tanya Shinjiro saat acara minum-minum itu. Pertanyaan ini sudah ada di ujung bibirnya, namun tidak pernah ia utarakan. Izumi mengangguk. Shinjiro menelan ludah. Pertanyaan ini mungkin saja akan membuatnya kehilangan seorang teman bicara yang menyenangkan selamanya. 

"Waktu itu secara tidak sengaja aku menemukan album foto di kamar Mei. Aku melihat isinya dan menemukan banyak sekali foto. Aku... hanya penasaran mengenai foto-foto itu." Izumi terdiam, air mukanya berubah. Ia menunduk sambil memandangi gelas sake yang digenggamnya. Hal itu membuat Shinjiro diliputi rasa bersalah. 

"Izumi-san, kalau kau tidak mau menceritakannya juga tidak apa-apa. Maaf bila aku bertanya yang tidak-tidak. Aku.." Shinjiro benar-benar merasa tidak enak sekarang, tapi Izumi hanya menunjukkan telapak tangannya ke depan Shinjiro. Memintanya untuk berhenti berbicara. Akhirnya selang beberapa detik, Izumi mengangkat kepalanya kemudian tersenyum simpul. "Apa kau mau mengetahui cerita di foto-foto itu? Kalau kau mau, akan kuberitahu." Ujar Izumi.

Shinjiro mengangguk. Rasanya senyum Izumi terlalu dipaksakan. Ada apa sebenarnya? Izumi menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya dengan perlahan. Ekspresinya terlihat lelah. Dia bangkit berdiri kemudian berjalan masuk ke kamarnya. Shinjiro mengerutkan kening. Tak berapa, dia keluar sambil membawa sebuah benda berbentuk persegi panjang berwarna merah bata.

Ternyata benda yang dipegang Izumi adalah sebuah bingkai foto. Dia menyerahkan bingkai itu pada Shinjiro. Di dalam foto itu empat orang. Sebuah foto keluarga dengan sepasang suami istri dengan kedua orang anaknya.  Kedua anak di foto itu kembar.

"Kau pasti bisa menebak yang mana diriku." Kata Izumi lagi. Shinjiro mengangguk kemudian menunjuk sang wanita. 

"Aku menikah dengannya pada waktu berumur 27 tahun dan suamiku berumur 35 tahun. Kami bertemu ketika aku sedang menghadiri suatu seminar dan pelatihan di Guang Zhou selama seminggu. Saat itu sedang waktu isitirahat, aku sedang berjalan ke toilet dan ketika aku masuk, aku sangat terkejut karena ada seorang pria di dalam toilet itu. Pria itu juga sama terkejutnya denganku."

"Aku langsung keluar kemudian melihat tanda tertera di luar pintu toilet itu. 'ini toilet wanita, tapi mengapa laki-laki itu ada di sana? Jangan-jangan..' Itulah yang kupikirkan di luar toilet, akhirnya aku masuk kembali kemudian memberitahunya kalau toilet yang ia masuki adalah toilet wanita. Ia terlihat sangat malu kemudian meminta maaf padaku. Saat dia keluar, aku tertawa sekeras-kerasnya. Aku bingung padahal toilet pria dan toilet wanita sangat berbeda. Untung saja, tidak ada orang lain di toilet itu." Izumi tersenyum geli.

"Setelah kejadian toilet, aku mengira tidak akan bertemu dengannya lagi, tapi ternyata perkiraanku salah. Dia juga adalah salah satu panitia seminar . Akulah yang duluan mengajaknya bicara. Ternyata benar, dia tidak tahu kalau itu toilet wanita karena terlalu terburu-buru. Kami bercakap-cakap sampai larut malam setiap sehabis seminar. Aku merasa nyaman bersama dengannya dan kami pun bertukar alamat e-mail karena aku harus kembali ke Jepang sedangkan dia tinggal di Guang Zhou. Dia bercerita padaku bahwa setelah lulus kuliah dia akan pindah ke kampung halamannya dan tinggal di sana."

Izumi menuangkan sake ke gelasnya lagi lalu menghabiskannya dalam sekali teguk. "Kami berhubungan lewat e-mail dan terkadang ia mengunjungiku ketika ia sedang berada di Jepang. Aku baru mengetahui ternyata dia adalah orang Jepang juga, tapi karena sesuatu hal, keluarganya harus pindah ke China. Namanya Izumi Mitsuhide, dia lahir di Jepang dan tinggal selama 15 tahun. Kedekatanku dengannya bermula dari saat itu."

"Dia adalah teman yang menyenangkan. Kami bersahabat baik selama hampir 3 setengah tahun. Kupikir dia hanya menganggapku sebagai teman, tapi ternyata perasaannya sama denganku. Akhirnya kami menemukan satu sama lain dan menikah."

"Sewaktu kami menikah, keadaan keuangan kami sangat mapan. Kami saling melengkapi satu sama lain dan saling membahagiakan satu sama lain. Banyak orang berkata bahwa kami adalah pasangan yang sangat serasi dan kami juga merasa seperti itu." Izumi tersenyum lembut sambil menatap bingkai foto yang digenggam oleh Shinjiro. Wajahnya kembali serius.

"Jadi apa yang terjadi dengan mereka?" Tanya Shinjiro setelah minum segelas sake. Mei masih tertidur pulas di kamarnya. Izumi terdiam sejenak kemudian mendesah. "Mereka telah pergi ke tempat yang sangat jauh, tempat yang tak pernah bisa kugapai. Ketiganya meninggal pada hari yang sama." Shinjiro terdiam, rasa sakit di dadanya kembali. Apa yang dialami Izumi sama dengan apa yang dialami oleh dirinya.

Izumi menuang gelas ketiga. Shinjiro merasa ingin minum sekarang. Ia perlu melupakan rasa sakit yang tiba-tiba menghantam dadanya. 

"Tepat 22 tahun yang lalu kami menikah, kami berdua sangat menyukai petualangan terutama memanjat tebing. Hal itu terhenti sampai akhirnya aku mengandung. Tentu saja, aku tidak bisa memanjat tebing untuk sementara. Tapi hal itu tidak menjadi halangan karena kedua putra kembarku menggantikan hal itu. Setelah mereka berdua lahir, kami memutuskan untuk mengajak mereka memanjat tebing dan mereka berdua juga menyukainya. "

"Kami berdua ingin membagikan hal yang menjadi kesukaan kami pada mereka berdua. Setiap kali ada hari libur, kami selalu pergi ke gunung. Mereka sudah cukup besar dan kuat untuk memanjat meskipun harus dibantu oleh kami berdua. Ini foto ketika kami berempat memanjat gunung bersama untuk pertama kalinya. Shiro dan Mikha waktu itu berumur 12 tahun." Izumi menunjuk salah satu foto di dalam album. Shinjiro mengangguk.

"Saat itu adalah ulang tahun kedua putraku yang ke 17. Dan seperti biasa, kami selalu membawa anak kami memanjat tebing dan merayakannya di atas gunung sambil berkembah di sana. Sesampainya di penginapan, aku terkena demam dan hanya bisa berbaring selama beberapa hari. Aku mengatakan pada mereka untuk pergi duluan, nanti setelah sembuh aku akan menyusul bersama dengan rombongan lain. Mereka menyetujuinya dan itulah terakhir kalinya aku melihat mereka bertiga..." Suara Izumi mulai bergetar.

"Kami semua tidak tahu bahwa cuaca buruk akan datang, setelah aku menyuruh mereka untuk pergi terlebih dahulu, datanglah hujan deras dan petir. Aku yang saat itu sedang berbaring tidak mengetahui apa yang sedang terjadi di luar. Keesokan paginya, ketika aku merasa lebih baik, aku mendapat kabar bahwa suami dan kedua putraku dinyatakan menghilang karena longsor yang terjadi kemarin malam. Aku merasa seperti disambar petir saat itu juga." Tangan Shinjiro mengepal, ia tidak akan menyukai arah cerita ini.

"Tim pencari dikerahkan untuk menemukan mereka. Aku sudah memaksa untuk ikut, namun suhu tubuhku yang saat itu belum turun menyebabkan diriku hanya bisa menunggu dan berdoa akan keselamatan mereka. Hari demi hari berlalu dan harapan itu sedikit demi sedikit mulai terkuras." Izumi menunduk. Matanya mulai berlinang. Shinjiro sampai tidak berani bernafas.

"Akhirnya hari ke enam aku mendapat kabar bahwa suami dan kedua putraku ditemukan dalam keadaan tewas karena hipotermia. Mereka terjebak di dalam sebuah goa tanpa makanan dan tanpa air. Oksigen yang ada juga semakin menipis karena goa tersebut sangat sempit dan terkubur di dalam tanah dan bebatuan yang menimpa goa itu. Air hujan dan kedinginan membuat suhu tubuh mereka turun dengan drastis." Bahu Izumi bergetar karena menahan tangis. Shinjiro mengambil sekotak tisu lalu memberikannya pada Izumi.

"Semua ini salahku, jika saja aku tidak menyuruh mereka untuk pergi duluan, kejadian itu tidak akan pernah terjadi. Seandainya aku tidak sakit, aku pasti sudah bersama mereka. Aku.. aku..." Butiran air mata mengalir pada pipi Izumi. Dia terisak pelan sambil memakai tisu yang diberikan.

Shinjiro hanya bisa menatapnya sedih, berusaha untuk meredam sakit yang muncul di dadanya. Apa yang dialami mereka berdua serupa namun tak sama. Dia juga tak dapat mengatakan apapun. Dia bahkan belum menyembuhkan luka hatinya sendiri bagaimana ia dapat menyembuhkan luka hati orang lain. Shinjiro dan Izumi berada pada keadaan tak berdaya dan merasa ditinggal oleh orang yang mereka cintai pada hari yang sama. 

"Maaf kalau aku membuatmu sedih. Sebenarnya aku tidak bermaksud menceritakan hal ini padamu." Kata Izumi ketika isaknya berhenti. "Aku tidak pernah menceritakan hal ini kepada siapapun bahkan kepada sahabat-sahabatku dulu. Mereka hanya tahu permukaannya saja, mereka tidak mengerti mengapa aku begitu menyalahkan diri sendiri, tapi aku memang tidak ingin menceritakannya karena mereka tidak akan pernah mengerti apa rasanya. Akhirnya aku memendamnya selama bertahun-tahun, menjauhkan diriku dari orang lain sampai akhirnya aku bertemu dengan kau dan Mei."

Shinjiro mengangkat wajah dan melihat eskpresi Izumi berubah. Tatapannya lembut.

"Semenjak kejadian itu, aku tidak mengerti tujuanku di dunia ini. Hidupku telah terampas di tempat itu. Di tengah kesendirianku, aku malah semakin terpuruk. Tanpa sadar waktu berlalu begitu saja. Tiba-tiba ketukan pintu itu datang. Kau dan Mei telah membawaku kepada harapan untuk hidup kembali. Terima kasih Shinjiro karena telah menitipkan Mei padaku. Aku tidak tahu apa rasanya memiliki anak perempuan, tapi sekarang aku tahu." Shinjiro hanya bisa terdiam, ia tidak menyadari bahwa ia telah menyelematkan jiwa seseorang. Kalau dengan kedatangan Mei dapat mengobati luka hati Izumi, Shinjiro akan dengan senang hati melakukan hal itu.

"Aku tidak melakukan apapun, Izumi-san. Meilah yang menyelamatkanmu. Kalau saja Mei tidak datang di kehidupanku hal ini tidak akan pernah terjadi."

"Ya, mungkin kau benar." Suara tangisan Mei menyadarkan mereka berdua. Shinjiro menoleh ke arah jam dinding.

"Wah sudah malam, besok aku harus bekerja." Shinjiro membawa Mei dan ketika berada di depan pintu..."

"Terima kasih Izumi-san. Perkataanmu membuatku menyadari sesuatu."

"Ya Shinjiro. Terima kasih juga atas waktumu karena telah mendengarkan orang tua ini bercerita." Mereka berdua tertawa kemudian mengucapkan selamat malam. Setelah meletakan Mei di atas tempat tidur, Shinjiro duduk di balkonnya dan menatap ke langit. Bahunya terasa ringan.

Sudah berapa lama aku tidak pernah melihat ke atas."Wah, aku tidak pernah menyadari kalau bintang-bintang bisa sebanyak ini. Ah! Ada bintang jatuh!" gumamnya. Dalam hatinya ia berharap bahwa Mei akan tetap berada di sisinya selamanya. 


Seguir leyendo

También te gustarán

3M 44.1K 30
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
16.9M 750K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
605K 26.2K 41
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
310K 24.8K 56
Elviro, sering di sapa dengan sebutan El oleh teman-temannya, merupakan pemuda pecicilan yang sama sekali tak tahu aturan, bahkan kedua orang tuanya...