Brown Eyes

By KeavyCollins

479K 6.1K 159

Usianya baru 30 tahun. Tampan dan gagah. Dia seorang Dokter Orthopedi di Rumah Sakit Orthopedi Nasional. Dia... More

Brown Eyes - Chapter 1
Brown Eyes - Chapter 2
Brown Eyes- Chapter 3
Brown Eyes - Chapter 4
Brown Eyes- Chapter 5
Brown Eyes - Chapter 6
Brown Eyes - Chapter 7
Brown Eyes Chapter 8
Brown Eyes - Chapter 9
Brown Eyes -Chapter 10

Brown Eyes - Chapter 11

19.3K 542 79
By KeavyCollins

ENJOY !!! and hope you like it ....

Chapter 11

Ciarán masih terpaku setelah Sarah menghilang di balik pintu. Ia harus memastikan kembali yang baru saja terjadi, Dokter Sarah benar-benar mengunjunginya.

Baiklah, seperti yang ia harapkan, tapi tidak dengan situasi seperti ini. Tidak dengan Karen yang berada di sini. Kenapa juga dia harus ke sini di saat yang tidak tepat? Butuh beberapa saat untuknya tersadar dari keterpakuannya.

"Ci...," suara halus Karen masuk menyadarkannya.

Ciarán terkesiap dan menengok datar pada Karen.

"Kau menyukainya?"

Tembakan langsung Karen membuatnya terkatup, dan langsung menggeleng gusar,

"Aku baru saja mengenalnya, tidak lebih dari dua hari ..."

"Yea?" Karen tak percaya.

"Apa yang kau harapkan...?" cetus Ciarán sedikit ketus.

Karen menghela nafas, "Dia datang menjengukmu, jauh-jauh dari Kerry, dan kau terlihat senang..."

"Aku tidak ingin membahasnya...," potong Ciarán pelan tapi pasti.

Karen terdiam. "Baiklah...," menyerah. "Aku hanya _" kalimatnya terpotong dengan masuknya wanita yang melahirkan Ciarán ke dalam kamar.

"Sayang ..., maaf mengganggu kalian, tapi Maa bawakan makan siang untukmu... Kau juga makan siang di sini, Karen?"

"Ng _"

"Karen akan segera pulang, Maa...," sela Ciarán pelan dan cepat, cukup mengatupkan Karen.

Karen terdiam canggung. Terbaca sekali ia telah diusir dari kamar ini.

"Oh..." Raut wajah kecewa Maureen tampak di sana. "Cepat sekali."

Karen menengok Ciarán yang memberinya tatap datar dan dingin. Terlihat jelas di sana.

Ditariknya nafas dalam-dalam meredam rasa kecewanya. Ia dan tersenyum paksa, "Yea... saya harus ke rumah sakit, kembali bekerja..." Karen mencari alasan.

Maureen tersenyum sesal. "Sayang sekali..."

Karen tersenyum hangat, dan kembali pada Ciarán, "Aku akan kembali besok...," ucapnya pelan, berharap mendapat jawaban dari Ciarán. Tapi sosok itu tak menyahut hanya memberinya mata datar seperti biasanya.

Karen mencoba untuk mengecup pipi Ciarán, namun tertahan dengan tatap dingin dari Pria yang telah ia kecawakan. Karen menerimanya, dan mengangguk.

Ia memberi pelukan hangat Maureen untuk berpamitan.

"Terima kasih telah datang...," Maureen berucap hangat.

Karen mengangguk, dan segera keluar dari sana.

Ciarán masih bersikap dingin setelah Karen pergi. Ibunya memandangnya dengan terheran. Tapi melihat dirinya yang enggan untuk membahasnya, Ibunya lebih baik mengalah, dan tidak berucap apa-apa.

*

Finnian meyakini sosok yang baru saja berpapasan dengannya dan terlanjut masuk ke dalam lift di samping lift ia keluar adalah sosok yang tidak asing;

"Karen?" Finnian mengingatnya sekilas.

"Siapa?" Ray yang berada di samping tertarik perhatiannya.

"Mantannya Ci."

"Mantannya? Kukira dia tak pernah punya pacar..." Ray tak percaya.

"Yaa..., dari pacar yang pernah ia miliki, tetap pacar nomor satunya adalah yang berkaki empat di istal belakang, dan itu yang membuat pacar berkaki duanya mundur... " cetus Finnian cuek

UHUK! Ray hampir tertawa jika tidak ingat ia sedang berada di rumah sakit.

Tapi akhirnya Finnian yang terlepas tertawa geli sendiri. 'Adik yang kurang ajar.'

Finnian masih memastikan ingatanya. Tapi benarkah dia yang menjenguk Ciarán? Untuk apa ia menjenguk Ci?

Eh ...? tiba-tiba ia menyadari sesuatu, dengan pertemuannya dengan Sarah di bawah tadi.

Ada kekasihnya yang menemaninya ia ingat Sarah mengatakan itu tadi. Berarti? Ups... Dipercepat langkahnya menuju kamar Kakaknya.

"Ci ...., aku melihat Karen masuk lift tadi ...," ucapnya langsung saat masuk ke dalam kamar. Sementara Ray langsung mendapat pelukan hangat dan Ibunya.

Ciarán membalasnya dengan dingin. Finnian bisa membacanya.

"Apakah sama dengan apa yang kuperkirakan ...?"

Ciarán masih tidak menjawab, tapi adiknya sudah dapat mengartikannya, dan mengangguk mengerti

"Waktu yang tidak tepat..."

Ciarán hanya menghela nafas pasrah, dan tersenyum pada Ray, sahabat kental dan juga kekasih Adiknya.

"Hey, Ray..., terima kasih sudah datang..."

"Ci ..., bagaimana keadaanmu sekarang?"

"Lumayan, dan akan menjalani hari yang membosankan.." Ciarán tersenyum tipis.

Ray hanya terkekeh, "Minta temani Finn, dia bisa menjadi pelipur kebosananmu..."

Ciarán harus tersenyum geli, sementara yang punya nama hanya mendelik.

"Untuk apa dia datang?" Finnian mengalihkannya

"Siapa?"

"Si pirang..."

Ciarán terkatup.

"Dia dengan suaminya ...?" selidik Finnian.

Ciarán menggeleng. "Sudah bercerai ..."

"Heh !!? Finnian terkaget, "Oh ya ...?"

Sahutan yang juga membuat Ibunya terkatup.

Ciarán mengangguk datar. "Tolong jangan ada yang berpikir macam-macam..." sergahnya gusar.

Finnian tercenung sesaat, kemudian diambilnya ponsel dari saku celananya. Ia menekan sesuatu dan memberikannya pada Kakaknya.

Ciarán berkerut kening tak mengerti, tapi diterimanya ponsel Adiknya. Sebuah nama terlihat di layar. Ciarán terdiam, menengok Adiknya. Sejak kapan dia menyimpan nomornya?

"Telepon dia ....," usul Finnian seperti yang dapat membaca isi kepala Kakaknya.

"Untuk apa?"

"Menjelaskan semuanya ..."

Sesaat Ciarán ragu. Diliriknya ibunya yang tersenyum menunggu. Dihelanya nafas dan ditekannya tombol itu.

*

Sarah tak juga dapat menghentikan isaknya. Perjalanan kembali ke Kerry yang hanya 2 jam dengan kereta, terasa lama dan menyiksa. Ia sendiri tak mengerti kenapa dia menangis? Sudah jatuh cintakah dia pada dokter muda itu? Atau apakah karena dia sudah ada yang memiliki?

Well, itu artinya dia tidak menyukaimu. Lihat saja perempuan yang menjadi kekasihnya itu; pirang, cantik, pinter, dokter spesialis, sangatlah bukan tandingannya. Jadi untuk apa ia mengharapkannya, dan untuk apa dia menangis?? Membuang tenaga dan air mata saja! Ayolah..., seistimewa itukah dia?? Dia bukan siapa-siapa..., jadi jangan berharap apa-apa. Berhenti bermimpi. LUPAKAN DIA!

Diliriknya ponselnya. Berharap ia berbunyi dan sebuah nama yang ia kenal dan ia tunggu muncul di sana. Atau mungkin ia yang akan meneleponnya. Tapi untuk apa ? dan tidak akan gunanya, hanya akan memperburuk keadaan.

Ditariknya nafas dalam-dalam, merutuki diri. Baru sekali ini ia merasakan seperti ini. Tiba-tiba ia merasa bodoh, sangat bodoh. Sarah tersenyum sendiri. Disekanya air matanya, dan geleng geleng sendiri. Betapa bodohnya dia, dan ia tidak ingin bertambah bodoh lagi.

Dipasangkannya headphone ke telinganya, dan membiarkan suara Michael Bubble masuk menghiburnya.

*

Finnian terkatup saat melihat Kakaknya menekan tombol close dan mengembalikan ponselnya padanya, tanpa berucap. Kediaman Ciarán sudah berarti banyak. Finnian hanya menghela nafas dan mengangguk. Terkadang ia harus menerima Kakaknya sulit untuk jujur pada hatinya sendiri.

"Mhmm, ada yang lapar...!?" Maureen berseru dengan tersenyum canggung, mengagetkan semuanya, mencairkan ketegangan yang terasa di kamar ini.

TBC

Mohon maaf, postingan Brown Eyes di sini, hanya sampai Chapter 11. Untuk kelanjutan ceritanya, sudah ada dalam bentuk buku cetak  299 halaman, yang dapat dipesan langsung padaku.

Untuk pemesanan bisa langsung menghubungiku melalui No WA :  08986764284. 

Terima kasih :)

Dan terima kasih banyak sudah membaca, menyukai dan memvote cerita ini. I really appreciate it :)

Regards

Keavy :)



Continue Reading

You'll Also Like

5M 921K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.❞▫not an au Started on August 19th 2017 #4 1...
1.3M 35.5K 8
Di balik dunia yang serba normal, ada hal-hal yang tidak bisa disangkut pautkan dengan kelogisan. Tak selamanya dunia ini masuk akal. Pasti, ada saat...
32.2M 2M 103
1# Mavros Series | COMPLETED! MASIH LENGKAP DI WATTPAD. DON'T COPY MY STORY! NO PLAGIAT!! (Beberapa bagian yang 18+ dipisah dari cerita, ada di cerit...