Another Secret Admirer

By reaprianti

140K 5.2K 250

RANKING #19 DIKATEGORI REMAJA! Kirana "Yes, i'm an invisible girl who loved by invisible boy." Ka... More

KIRANA #1 - Secret Admirer
KIRANA #2 - Tawuran
Kirana #3 - Sparkling Boy
Kirana #4 - Tidak Ada Surat Cinta
Kirana #5 - Plagiat
Kafka #1 - Jiwa
Kafka #2 - Kirana
Kafka #3 - Anaia
Kirana # 6 - Broken Heart
Kirana # 7 - Touch
Kafka # 4 - Destiny
Kafka # 5 - Flashback
Kafka #6 - Wake Up?
Kirana #8 - Diary
Kirana #9 - A Truth
Kirana #11 - A Favor
Kirana #12 - On The List
Kirana #13 - Never Come
Kirana #14 - Missing You
Kafka #7 - Miracle
Kafka #8 - Finding You
FINAL CHAPTER - Not A Stranger
HALO HALO
EXTRA PART
LOVE IN ERROR (NEW STORY)

Kirana # 10 - Feels Like a Dream

4.5K 198 3
By reaprianti

Entah hal ini melegakan atau menyedihkan untukku. Setelah semua kebiasaan-kebiasaan jelekku yang sudah diketahui Kafka, kini cowok itu melupakannya. Bukan disengaja tapi rupanya dia nggak ingat semua kejadian saat jiwanya terpisah dari raganya. Kini Kafka seperti orang asing. Dia seperti nggak mengenalku.

Harusnya aku lega karena kebiasaan burukku nggak ada yang tahu, seperti aku sering kentut kalau sedang tidur. Atau aku sering joget-joget sendiri setiap dengar lagu iklan di tv. Harusnya aku lega dan senang karena Kafka telah bersatu lagi dengan raganya.

Tapi... Kenapa hatiku terasa sesak, ya?

Kamu nggak boleh kayak gini, Kirana. Nggak boleh! Kamu harus senang karena Kafka bukan lagi sebuah jiwa yang tanpa tujuan. Dia sudah kembali pada raganya dan bisa melanjutkan hidup dengan normal. Kamu nggak boleh sedih apalagi berpikiran kalau Kafka lebih baik hanya sebuah jiwa...

Aku menggelengkan kepala kuat-kuat untuk mengusir pikiran jahat itu. Aku bukan orang jahat meskipun aku juga bukan orang yang baik.

"Kirana," sebuah suara berat melafalkan namaku.

Aku menoleh. Chandra melangkah menghampiriku dan duduk di kursi besi yang sedang ku duduki. Karena Kafka sedang bersama keluarganya, aku memutuskan untuk ke luar sebentar. Memberi mereka privasi. Di sinilah aku, di taman belakang rumah sakit yang sepi.

"Kak Chandra," aku menyapa. "Nia dimana?"

"Dia mau beli roti katanya," sahut Chandra. Aku mengangguk dan kembali menunduk memandang tanganku yang saling bertaut di pangkuan.

"Cerita kamu tadi pagi - "

"Kak Chandra boleh nggak percaya, kok!" potongku sebelum mendengar dia mengataiku gila. Seperti teman-temanku jaman SD yang mengataiku gila karena aku bermain dengan temanku yang sudah meninggal.

"Aku percaya," ujar Chandra.

Aku menoleh memandangnya.

"Aku justru mau berterima kasih karena sudah menemani Kafka saat dia... Terpisah dari raganya." Chandra menarik napas panjang. "Tapi harusnya kamu bilang saat pertama kali kita bertemu. Ah, tapi aku maklum sih, kalau kamu bingung bilangnya gimana. Iya, kan?"

Aku mengangguk.

"Apa sebelum dia bangun dari koma, dia memang pemalu gitu kalau berhadapan sama kamu?"

Aku menggeleng pelan. "Kafka yang aku kenal, dia orangnya ramai, cerewet, bawel, kadang omongannya pedas." Aku tersenyum mengingatnya. "Sepertinya dia nggak ingat kejadian saat jiwanya terpisah."

"Dia hanya ingat kalau kamu adalah cewek yang disukanya diam-diam," kata Chandra.

Aku menoleh cepat. Chandra tadi bilang apa? Kafka menyukai aku diam-diam?

Chandra memandangku dengan matanya yang melebar. "Ah... Kamu belum baca buku harian Kafka yang aku kasih, ya?" Dia menggaruk tengkuknya. Salah tingkah.

"Kayaknya aku salah ngomong, nih..." gumamnya.

Kafka menyukaiku diam-diam? Kafka... K... Apa jangan-jangan...

"Apa surat cinta dengan inisial K itu Kafka yang nulis?" tanyaku.

Chandra bergumam lama. Dia seperti ragu mau menjawab tapi kemudian mengangguk. "Tapi jangan bilang Kafka kalau aku yang kasih tahu, ya..."

Aku mengangguk.

"Jadi sehari sebelum kejadian Kafka koma, aku dan dia bikin taruhan. Siapa yang berani ngajak ngomong langsung cewek yang kita sukai, dia menang," ujar Chandra. Matanya sedikit menerawang mengingat kejadian masa lalu.

Aku menengadah memandang langit jingga. Bandung hari ini cukup cerah dan udaranya sangat nyaman. Angin semilir menyapa wajahku perlahan, membawa kembali kenangan saat Kafka marah karena aku menjiplak surat cintanya untuk kuberikan pada Kris. Lalu saat aku membaca surat cinta itu di depannya.

Aku terkekeh. Waaah... Luar biasa. Rahasia Tuhan benar-benar luar biasa.

Ternyata unfinished business-nya Kafka adalah aku. Lalu Tuhan memberi kesempatan padanya untuk dekat denganku agar aku sadar bahwa ada orang yang benar-benar menyukaiku. Dan itu Kafka.

Pandanganku menjadi buram dan air mata yang telah berkumpul meleleh ke pipi. Aku menyusutnya namun air mata seperti turun bersahutan tanpa henti. Tangisku pun pecah.

Rasanya hatiku sakit. Kenapa aku mengetahuinya saat jiwa Kafka sudah bersatu dengan raganya? Dan kenapa Kafka melupakan semua kenangan saat bersamaku?

Chandra mengusap bahuku pelan. Berusaha menenangkanku. Tapi bukannya tenang, tangisku makin menjadi. Aku bersandar pada bahu Chandra dan menenggelamkan wajahku di sana.

*

Langit sudah gelap. Chandra sudah pulang bersama Nia pukul tujuh tadi. Aku melirik jam tangan dan kini waktu sudah berlalu satu setengah jam sejak Chandra, Nia, dan orangtua Kafka pulang. Aku melangkah menyusuri lorong rumah sakit dan memutuskan menaiki tangga untuk mencapai kamar rawat Kafka.

Aku membuka pintu kamar Kafka dan melangkah masuk. Kafka sedang terlelap. Aku berdiri di samping tempat tidurnya. Memandangi wajah tirusnya yang nampak damai.

"Kenapa aku harus bisa melihat jiwamu, Kafka?" tanyaku pelan. Air mata menitik lagi ke pipiku. "Kenapa kamu harus melupakan kenangan itu, Kafka? Apa kita harus memulainya lagi dari awal?"Aku meletakkan tanganku di pipinya. "Kalau begitu, ayo kita mulai lagi dari awal."

Aku menarik tanganku. Memandangi lagi wajahnya lalu beranjak pulang. 

*

Sesampainya di rumah, aku duduk di depan meja belajar. Memandangi puluhan pucuk surat cinta yang diberikan Kafka. Kebayang gimana perasaan Kafka waktu aku menyalin surat cintanya untuk diberikan pada Kris. Dia pasti sangat sakit hati.

Terlebih karena aku selalu membicarakan Kris di depannya dengan menggebu-gebu. Maafin aku ya, Kafka. Andai aku tahu perasaanmu sebelumnya ke aku. Seandainya aku juga sadar perasaanku ke kamu sebelum kamu bersatu lagi dengan jiwamu. Ah, tapi seandainya dia tahu perasaanku sebelum bersatu dengan raganya, dia akan melupakannya saat jiwanya bersatu. Nggak ada happy ending untuk kisah cinta dengan sebuah jiwa.

Aku meraih pulpen yang tergeletak di atas meja, berdampingan dengan kertas surat merah muda yang sedari tadi aku biarkan terbuka. Aku menarik napas lalu mulai menggoreskan pulpenku. Merangkai kata-kata jujur meskipun bukan kata-kata yang puitis. Aku menjawab surat cinta yang Kafka berikan.

Dan keesokan harinya, aku menitipkan surat cinta balasanku pada Chandra sepulang sekolah. Setelah memberikannya di lobi rumah sakit, aku segera membawa mobilku pergi.

Apa Kafka akan senang mendapat suratku? Apa justru dia malah ilfil?

Ponsel yang aku taruh di atas pangkuan, berbunyi. Aku menunggu berhenti di traffic light sebelum membukanya.

Love letter delivered. - Chandra.

Aku tersenyum lalu mengetik balasan.

Apa dia kelihatan senang? - Kirana

Tentu saja! ^^ - Chandra.

Aku menghela napas lega. Aku menyalakan music player yang sedari tadi aku biarkan mati. Musik hip hop langsung menghentak mobilku. Aku pun langsung bergoyang mengikuti irama. Hatiku sedikitnya sudah lebih lega!

*

Selama satu minggu aku rutin mengirimi surat untuk Kafka. Setiap hari aku bertemu Chandra di lobi rumah sakit untuk menitipkan surat cintaku. Kali ini aku datang bersama Nia. Kurasa sahabatku itu mulai tertarik pada Chandra. Karena sering sekali dia menanyakan Chandra.

"Apa keadaan Kafka semakin membaik?" tanyaku pada Chandra.

Chandra mengangguk. "Ini surat balasan terakhir?"

"Rencananya sih gitu..." kataku. "Kalau aku membalas semua suratnya bisa-bisa aku nggak ketemu dia selama setahun! Hahahaha!" Aku tertawa garing. Yaaa... Sebanyak itulah surat yang Kafka kirimkan untukku. Dan sebanyak itu aku mengabaikannya.

Saat tawaku telah mereda, Chandra memandangku dengan senyum dikulum. Nia hanya berdiri disampingku, memperhatikan obrolan kami.

"Jadi, sekarang perasaan Kafka terbalas?" tanya Chandra. Dia tersenyum padaku, Tapi bukan senyum mengejek melainkan senyum penuh perasaan. Sepertinya dia bahagia kalau Kafka bahagia. What a true friend.

Aku mengalihkan mataku dari Chandra. Gimana aku harus menjawabnya, ya? Apa aku juga suka sama Kafka? Tapi... Aku nggak tahu pasti juga gimana perasaan aku. Aku nyaman sama Kafka, aku nggak mau Kafka jauh dan melupakan aku. Apa itu bisa disebut suka?

"Aku... Aku cuma nggak mau Kafka lupa sama aku, kak..." ujarku. "Rasanya baru kemarin aku bercanda dan bertengkar dengan Kafka. Tapi semua itu kayak mimpi kalau diingat sekarang." Mataku terasa hangat dan pandanganku mulai buram.

Aku nggak boleh nangis.

Aku mengerjapkan mataku lalu tersenyum. "Pastikan Kafka nerima suratnya ya, kak." Aku tersenyum lalu pamit pulang dan minta maaf pada Nia karena aku nggak bisa mengantarnya pulang. Aku sedang ingin sendiri. Semoga Nia maklum.

Aku masuk ke mobil dan menghela napas. Masih jelas di ingatanku saat Kafka tahu-tahu ada di dalam mobil. Atau saat dia muncul tiba-tiba di sebelahku. Atau saat pertama kali Kafka muncul dan membuatku mengerem mendadak dan ditabrak dari belakang.

Aku kangen kamu, Kafka.

Lamunanku buyar ketika seseorang mengetuk kaca jendela mobil dari luar. Aku menoleh dan astaga... Itu bukanya... Siapa tuh nama arwah cewek yang pernah dikenalkan Kafka? Ana... Anaia. Ah, iya! Anaia!

Aku menurunkan jendela.

"Maaf, mbak. Mau keluar?" tanyanya.

Aku mengangguk pelan.

"Kebetulan parkir lagi penuh, jadi kalau mbak mau keluar, saya mau isi tempat parkirnya," katanya sambil tersenyum tipis.

"Ah... Iya," kataku.

Dia mengangguk lalu memutar badannya menjauh dari mobilku, menuju mobilnya.

"Ah, Anaia tunggu!" panggilku.

Cewek itu berhenti melangkah dan memutar badannya lagi menghadapku. Aku keluar dari mobil untuk menghampirinya. Keningnya berkerut bingung.

"Iya?" tanyanya. "Mbak kenal saya?"

"Anaia, kan?"

"Iya..." wajah Anaia nampak bingung.

"Kamu nggak ingat aku?"

Dia memandangku lekat, kemudian menggerak-gerakkan bola matanya nampak resah.

"Maaf, tapi apa sebelumnya kita pernah ketemu?" Pertanyaan Anaia membuatku kecewa. Dia nggak ingat aku. Sama seperti Kafka nggak mengingat saat-saat bersamaku ketika jiwanya terpisah.

Aku menghela napas kemudian tersenyum. Ya sudahlah. Berarti memang seseorang yang jiwanya telah bersatu lagi dengan raganya nggak akan ingat kejadian saat jiwanya terpisah.

"Maaf, sepertinya salah oarng," kataku. "Aku keluar sekarang, ya." Aku tersenyum kemudian memutar badanku kembali menuju mobil.

Aku membawa mobilku keluar dari area rumah sakit. Kepalaku suntuk sekali. Ingin pulang tapi malas. Akhirnya aku membawa mobilku masuk ke pelataran mal.

Aku memutar-mutar nggak jelas. Memasuki satu toko ke toko lainnya tanpa benar-benar melihat-lihat. Aku hanya ingin menghabiskan waktu saja dan membuat diriku lelah. Jadi begitu sampai rumah aku bisa langsung tidur.

Kakiku membawaku masuk ke area bioskop. Saat aku sadar, aku sudah berdiri di depan loket tiket. Mbak-mbak penjaga loket menyapaku dan bertanya film apa yang ingin aku tonton.

Hmmm... Film apa yang ingin aku tonton, ya?

Aku memandang daftar film di layar komputer lalu menyebutkan satu judul film komedi romantis yang sudah dimulai sejak sepuluh menit yang lalu. Setelah mendapat tiket, aku membeli minum dan popcorn caramel lalu masuk ke studio 3.

Aku duduk di kursi G8 dan mulai menikmati film sambil memakan popcorn-ku. Aku jadi ingat saat menonton bioskop bersama Kafka. Saat itu juga aku dan Kafka menonton film komedi romantis. Sepanjang film Kafka terus mengomentari soal akting para aktornya, seolah-olah dia itu aktor kawakan yang sudah mendapat banyak penghargaan.

Tanpa sadar ujung-ujung bibirku tertarik membentuk senyuman. Mataku terasa hangat dan setitik air mata mengalir turun hingga akhirnya aliran itu bertambah deras. Nggak tahu kenapa aku merasa sedih sekali. Dadaku terasa sesak seperti ruangan ini nggak ada lagi oksigen yang bisa aku hirup.

Isakkanku semakin keras. Kini aku benar-benar menangis dan ngga memedulikan orang-orang di kiri-kanan-bawah tempat dudukku menatapku aneh.

Continue Reading

You'll Also Like

13.1M 1M 74
Dijodohkan dengan Most Wanted yang notabenenya ketua geng motor disekolah? - Jadilah pembaca yang bijak. Hargai karya penulis dengan Follow semua sos...
13.3M 1.1M 81
♠ 𝘼 𝙈𝘼𝙁𝙄𝘼 𝙍𝙊𝙈𝘼𝙉𝘾𝙀 ♠ "You have two options. 'Be mine', or 'I'll be yours'." Ace Javarius Dieter, bos mafia yang abusive, manipulative, ps...
ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

2.1M 112K 59
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
4.1M 246K 60
[USAHAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Menikah di umur yang terbilang masih sangat muda tidak pernah terfikirkan oleh seorang gadis bernama Nanzia anata...