A Prince For Rented #1st

Oleh NeetaSahara

548K 27.7K 1.5K

Nada Fajria Salsabila tidak pernah menyangka bahwa kaburnya dia ke Bali karena menghindari perjodohan dengan... Lebih Banyak

Prolog
1. Time To Hunting
3. Adaptasi
4. Before The Day
5. The Past
6. Siapa Kau Sebenarnya?
7. Prince From Fairytale
8. Dunia lain, Lelaki Lain
9. Istana Al-Arkhan
10. Di sisimu
11. Melodi Tengah Malam
12. Untuk Pertama Kalinya
13. Hantu Masa Lalu.
14. Gaun Merah
27. Bad Bye!
E-Book
SE-FRUIT PENGGALAN
PDF sale lagiiii
NAIK RANJANG
READY ALL THE TIME

2. Too Handsome Too Handle

21.7K 1.8K 55
Oleh NeetaSahara


     Nada menatap surat perjanjian yang telah ditandatangani dalam genggamannya. Lalu menoleh ke samping, Pada lelaki yang tanda tangannya juga sudah terbubuh pada secarik kertas bermaterai yang sesaat lalu dia pandang. Benarkah semuadah ini?

Dengan linglung, Nada kembali menolehkan pandangan, ke atas meja kali ini. Paspor dan tanda pengenal lain yang berbasis UEA milik lelaki itu masih berserakan di sana. Beberapa saat lalu Echa memeriksanya demi ke amanan. Lelaki ini bukannya tidak punya uang, dilihat dari halaman paspornya yang penuh dengan cap dari berbagai negara, serta penampilannya yang jauh lebih baik dari saat dia melihatnya di restoran cepat saji, lelaki ini bukan gembel seperti yang Nada cari. Tapi, mengapa dengan mudahnya lelaki itu menyetujui perjanjian ini? ditambah lagi lelaki itu terlalu tampan, terlalu sempurna.

"Cha, semua ini gak bener!" katanya dengan bahasa indonesia agar Alden, lelaki itu, tidak mengerti.

Echa yang sedang ngobrol obrolan basa-basi, menoleh dengan bingung. "Apanya yang gak bener?"

"Ayo kita ke toilet dan bicara!"

Echa menghela nafas sebal, sebelum bicara pada Alden untuk meminta ijin. "Sorry if we leave you for a while. Indonesian ladies never go to the toilet alone."

"Oh ya, nope." Lelaki itu tersenyum sebelum menoleh pada Nada, yang dibalas Nada dengan canggung.

Dia dan Echa berdiri, lalu langkah mereka berderap menuju toilet wanita yang tersedia di caffee tempat mereka bertemu dengan Mr. Tampan.

"Kenapa lagi sih, Nad?" tanya Echa langsung, sesaat setelah mereka masuk ke dalam toilet. Hanya ada seorang wanita yang sedang mencuci tangan di sana.

"Kamu gak ngerasa ini terlalu mudah? Cha, dia itu ganteng pake banget! Liat isi paspornya, penuh sama cap dari berbagai negara. Belum lagi penampilannya, kamu liat logo kaosnya kan? Tau harga kaos dengan logo itu harganya berapa?" terdengar suara dengungan pengering, sebelum wanita yang tadi di dalam bersama mereka keluar, meninggalakan Nada dan Echa berdua saja.

"Emang sih agak aneh. Tapi kenapa kamu baru ngerasa curiga setelah tanda tangan kontrak? Lagi pula kaos itu bisa aja palsu."

"Kamu yang nyuruh aku, Cha! Ya aku mah nurut aja! Yakin kaosnya plasu?"

"Aku sih yakin itu asli. Tapi kalau aku suruh kamu cium si Alden, bakalan kamu cium gitu?"

"Echa!"

"Udahlah, Nad, gak usah hawatir. Justru penampilannya yang dandy jadi nilai plus. Kayaknya dia emang gemar deh keliling dunia. Sepuluh ribu dolar kan lumayan buat dia pake berpelesir kenegara-negara tetangga kita. Sampe mabok malah. Lagi pula, untung lah dia, selama sebulan kamu yang tanggung hidupnya. Dia bisa dateng dan nyoba hidup di daerah kecil di satu negara. Itu akan jadi pengalaman menarik buatnya."

"Itu kan persepsimu."

"Hey, hey, aku ini penulis, sedikit banyak aku bisa tau karakter orang saat ngobrol sama orang itu."

"Tapi tetap, Cha, aku takut. Sesuatu yang terlalu mudah di dapatkan, akan mudah hilang juga."

"Hello, Nada! Semakin mudah suami bo'ongan kamu ilang, akan semakin baik. Emangnya kita susah-susah buat cari suami sewaan untuk apa? Bukan untuk selamanya kamu nikah sama dia, Nad!"

Kenapa omongan Echa selalu benar? Dan kenapa, untuk kebenaran omongannya kali ini membuat Nada merasakah sesuatu yang sangat tidak nyaman. 28 tahun, dan Nada harus membayar untuk mendapatkan seorang lelaki yang mau mengucapkan ijab kabul. Tidakkah itu terdengar menyedihkan?

Setelah kembali duduk bersama Alden, Echa dan lelaki itu terlibat obrolan menyenangkan. Beberapa kali Echa ataupun Alden memancing Nada untuk turut dalam obrolan mereka, tapi karena canggung dan gugup, Nada tak pernah bisa masuk dalam setiap obrolan mereka. Dia lebih baik jadi pendengar, yang ikut tersenyum ketika mereka tertawa. Atau ikut menganggukan kepala ketika salah satu dari mereka membicarakan sesuatu yang butuh persetujuan.

Namun rupanya Echa tidak mengerti, atau terlalu mengerti, jika Nada tidak bisa berbincang bersama Alden dengan santai. Memangnya siapa sih yang bisa jika harus berhadapan langsung dengan mata paling memikat yang pernah Nada lihat? Setiap kali bicara lelaki itu akan merendahkan dagunya, sepenuhnya menaruh perhatian pada lawan bicaranya. Ya Tuhan, bisa lumer wajah Nada karena panas.

Kecuali Echa tentu saja. Nada tidak mengerti bagaimana temannya itu sama sekali tidak terpengaruh berada di dekat Alden. Apa karena terbiasa dengan Adit? Pacarnya itu walau orang Indonesia tulen cakepnya luar dalem. Yah, mungkin saja karena itu, Echa bisa membawa dirinya menjadi teman bicara yang menyenangkan. Alden tidak salah paham dengan mengira partner kerjasamanya adalah Echa, kan?

"Jadi, Nad, karena ada yang ingin aku cari dulu, kamu bisa pulang dianter Alden." Kata Echa membuyarkan lamunannya.

"Apa? Apa yang mau kamu cari?"

"Nad, selama kita ngobrol bertiga, usahain pake bahasa Inggris, biar Alden gak tersinggung."

"Sorry. Tapi apa yang mau kamu cari? Kita kan bisa cari bareng."

"Oh, ngga perlu." Echa meraih tas nya dan berdiri. "Aku mau cari sendiri. Alden, titip temanku, ya. Jangan macem-macem, polisi di Bali sadis-sadis loh."

Alden terkekeh. "Benarkah? Aku hanya perlu mengeluarkan beberapa lembar lima puluh ribuan rupiah, dan mereka akan membuka jalannya."

Echa tertawa, "Sayang sekali kau sudah tau. Kau pasti pernah ditilang. Bagaimanapun, jaga temanku. Karena aku sudah mengkopi semua data-datamu." Echa mengajungkan ponselnya, di mana foto dari setiap identitas Alden tersimpan di sana.

"Jangan hawatir."

"Ya sudah, sampai berjumpa lagi." Echa pergi dengan melambai dan senyuman penuh arti terlukis penuh di wajahnya.

Nada berdehem pelan, menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal. Tidak yakin harus berbuat atau bicara apa pada mahluk yang duduk di sisinya ini.

"Mau pulang sekarang?" tanya Alden mengangetkan Nada. Padahal suara lelaki itu begitu lembut, tikus yang sedang mencuri kejupun rasanya tidak akan berlari pergi ketika mendengar suara lelaki itu.

"Ah, ya!" Nada berdiri, gerakannya terlalu terburu-buru sehingga pinggulnya membentur meja. "Aw!" pekiknya, menghusap-husap pinggulnya yang terasa sakit. sementara Alden yang belum berdiri dengan sigap meraih gelas yang oleng dan hampir jatuh.

Setelah memastikan gelas-gelas itu tidak jatuh dan membuat keributan, lelaki itu berdiri. "Are you oke?"

"Ya... ya... I'm so sorry."

"No need to sorry. Kecelakaan bisa menimpa siapa saja."

Nada tersenyum. "Tapi yang itu bukan kecelakaan, namun kecerobohan." Nada mengehela nafas dengan keras. "Jujur saja, bersama denganmu membuatku gugup."

Alden tertawa pelan. "Kenapa? Aku tidak berniat menculikmu." Dia memberikan isyarat dengan tangannya, agar Nada mulai berjalan, dan Alden turut berjalan di sisinya.

"Jelas bukan karena takut kau culik. Ini karena kau terlalu tampan." Setelah sadar apa yang baru saja dia katakan, Nada mengingit bibirnya, menyesal. Sementara Alden hanya tertawa, membuat Nada berusaha mencari topik lain untuk diobrolkan. "Hm, kita pulang naik apa?"

"Kau menyebut "kita pulang", membuatku merasa kita sudah benar-benar menikah."

Salah lagi? "Maafkan aku, maksudku..."

"Kenapa kau canggung sekali?" potong Alden, senyuman tak pernah lepas dari wajahnya. "Aku hanya bercanda."

Tampan, humoris, dia bisa membawa dirinya dengan sangat baik. Dengan semua itu, dia bisa mendapatkan segalanya yang dia inginkan, tapi kenapa dia mau terikat pada perjanjian demi sepuluh ribu dolar? Antara masuk akal dan tidak, semuanya tergantung pada perekonomiannya. Apa pantas masalah itu untuk ditanyakan? Pikir Nada.

"Kau tidak keberatan kita pulang naik motor, kan?" pertanyaan Alden berkesan tiba-tiba, membuat otak Nada yang sedang memikirkan hal lain lambat untuk mencernanya. "Motor?" tanyanya lagi. Kedua tangannya membantu seolah sedang memegang setang motor. Nada merasa seperti orang idiot yang membutuhkan sebuah visualisasi untuk hal-hal sepele seperti sebuah motor.

"Tidak. Sebenarnya saat datang ke sini juga aku menggunakan motor, bersama Echa."

Tapi ketika sampai di parkiran, bayangan motor matic yang ia gunakan, atau sebagian turis sewa untuk mengelilingi Bali pun musnah. Lelaki itu menunggangi motor gede dengan mesin 500cc.

"Agar lebih mudah, bisa kau masukan alamatmu? Biar aku mengikuti arahan GPS."

Nada menerima ponsel yang diberikan Alden. iPhone keluaran terbaru. Dengan cepat dia memasukan alamat pada aplikasi google maps, sebelum mengembalikan benda itu pada pemiliknya.

Di atas motor yang melaju cepat, benak Nada terus berputar-putar. Berapa harga sewa motor ini? dari semua informasi, bukankah seharusnya Nada menanyakan di mana lelaki itu menginap? Jika Alden menyewa sebuah motor yang seperti ini, maka seperti apa kamar yang ia sewa? iPhone keluaran terbaru, jam Rolex yang baru Nada perhatikan saat lelaki itu mengulurkan helm padanya. Selain celana training dan kaos kumal yang dikenakan pada saat bertemu di restoran cepat saji dulu, tidak ada indikasi lelaki ini kekurangan dan membutuhkan uang. Tapi, jika bukan karena uang, karena apa dia menyetujui perjanjian ini?

"Kita harus bicara." Kata Nada segera setelah dia turun dari motor. Helm bahkan masih terpasang di kepalanya.

Alden mematikan mesin motor yang masih meraung, lalu melepas helmnya. "Di sini?"

Nada memperhatikan tempat parkir kost-kostan nya. Agak kurang etis jika mereka bicara di sini. Tapi bukankah terlalu beresiko mengajaknya ke dalam kamar? Lelaki ini bisa jadi seorang perampok dan pembunuh kan? Nada bergidik, kenapa pikiran itu terbesit dibenaknya pada saat ini? saat kontrak sudah ditandatangani.

Nada terlonjak kaget, dan otomatis mundur ketika dirasakan tangan Alden di lehernya. "A-apa yang hendak kau lakukan?!" terdengar tuduhan dalam pertanyaannya.

"Kenapa terkejut begitu? Aku hanya ingin melepas helm yang kau kenakan." Tidak ada raut tersinggung, lelaki itu justru nampak hawatir, membuat Nada merasa bersalah.

"Maaf, biar aku saja." Dia membuka helm dan memberikan helm itu kepada Alden. "Bagaimana jika kita bicara di kamar?"

Alden yang tengah menyangkutkan helm di stangnya langsung melirik. Senyuman di sudut bibirnya penuh dengan makna. Nada jadi sadar jika perkataannya barusan terdengar seperti ajakan yang cabul.

"Ma-maksudku bukan begitu. Tempat tinggalku hanya satu ruang, jadi kami menyebutnya kamar. Ada kursi juga di dalam, selain kasur tentu saja. Jadi kita bisa bicara dikursi itu. Jadi... jadi..." Nada mulai mengigit bibirnya lagi. Sedang bicara apa sih dia?

Tapi melihat Nada yang salah tingkah, Alden justru terbahak. Lelaki itu mengayunkan kaki panjangnya untuk turun dari motor. "Kau memang orang yang canggung, ya? Ayo kita masuk. Dan bicarakan apapun yang ingin kau bicarakan."

Nada merasakan bulu tengkuknya meremang ketika membuka kunci pintu, sementara Alden berdiri di belakangnya. Apakah tepat mengajak lelaki itu masuk? Tapi sudah percuma memikirkan akibatnya sekarang bukan? Toh lelaki itu sudah melangkah masuk ke dalam, dan dengan santai duduk di salah satu kursi dari dua yang tersedia.

"Apa yang mau kau bicarakan?"

Nada menaruh kaleng soft drink yang baru saja dia ambil dari kulkas di meja kecil, di hadapan Alden seraya duduk di satu kursi yang tersisa. "Begini... hm... mungkin terlambat untuk menanyakan, karena kita sudah menyepakati kontrak. Tapi, bolehkah aku menanyakan apa alasanmu menerima kontrak ini?"

Untuk sesaat, Nada melihat ekspresi wajah Alden mengeras. Senyum hilang dari wajahnya, matanya bersorot dengan dingin. Namun hanya sesaat, sebelum sudut-sudut bibirnya kembali tertarik, membentuk senyuman. "Untuk uangnya tentu saja. Sepuluh ribu dolar hanya dengaan sebulan? Wow! Kau sendiri tau aku tidak mempunyai pekerjaan tetap, karena suka sekali berkeliling dunia."

Lelaki itu berbohong. Nada tau dia berbohong. Tapi, jika Nada mendorongnya untuk berkata jujur, apa lelaki itu akan mencekiknya? Dengan dada yang berdebar karena takut, Nada berdiri. Dia menuju kulkas untuk membuka pintunya dan sengaja berlama-lama memilih minuman yang nyatanya tidak dia inginkan. Tangan gemetarnya meraih kaleng pocari, lantas berdiri tegak seraya menutup pintu kulkas.

Walau tidak melihatnya, Nada tau Alden memperhatikan setiap gerak-geriknya. Pinggulnya disandarkan pada konter yang menjadi tempat kompor. Nada membuka minuman kalengnya, matanya melirik ke samping kulkas, dimana rak kecil berisi peralatan masak Echa berdiri. Pisaunya ada di sana. Jika lelaki itu macam-macam, dia bisa meraih pisau dan menusuknya, walau sebenarnya dia berdo'a semoga jangan sampai dia melakukan itu.

"Jujur saja, kau terlihat seperti seorang yang tidak membutuhkan uang." Mengumpulkan keberaniannya, Nada menatap tepat di manik mata Alden. "Jeans Levi's asli, sepatu Nike limitid edition, kaos Polo Ralph Laurent, Jam tangan Rolex, iPhone keluaran paling baru. Sepuluh ribu dolar bagimu bukan apa-apa, kan?"

Alden tertawa kecil, tapi kali ini tawa itu tidak sampai ke matanya. Dia berdiri, dan dengan tegang Nada juga berdiri dengan tegak. Kaleng pocari dia taruh di konter, samping kompor. "Aku tidak tau, jika kau memikirkan segalanya seperti itu." Katanya pelan. Langkahnya pelan tapi pasti, dan setiap langkah yang dia ambil, seolah mengambil oksigen juga dari paru-paru Nada. "Tapi kenapa kau baru memikirkannya setelah kita menandatangani kontrak? Semua itu..."

"Jangan mendekat lagi!" pekik Nada memotong perkataan Alden. Dia mengacungkan pisau yang dengan cepat dia ambil sampai membuat beberapa sendok dan garpu berkelontangan di lantai.

Alden tercekat, diam di tempatnya. "Wow!" ujarnya, mengangkat kedua tangan.

"Aku tidak tau siapa kau, dan apa tujuanmu." Tenggorokan Nada sarat akan emosi, membuat matanya memanas. "Tapi harus kau tau, aku melakukan ini juga dengan terpaksa. Jadi aku mohon. Aku mohon..." Nada terlalu erat memegang gagang pisaunya, membuat buku-buku jarinya sampai memutih. Dan kedua lengannya juga bergetar, merefleksikan ketakutannya.

Alden menghela nafas seraya menurunkan kedua tangannya. "Lepas pisau itu, dan katakan, apa yang kau takutkan?"

"Kau... aku takut denganmu!"

"Lalu kenapa kau menandatangani kontrak itu?"

"Aku tidak berpikir pada saat itu!"

"Jadi sekarang kau berpikir? Katakan padaku, apa yang sedang kau pikirkan?"

"Kau... kau terlalu tampan." Sial, Nada memaki dalam hati, bisa-bisanya itu kalimat pertama yang keluar dari mulut tentang pikirannya.

"Dan masalahnya?"

"Kau nampak tidak butuh uang! Kau tampan dan tidak butuh uang! Aku tidak menemukan alasan untuk apa kau menandatangani kontrak itu, kecuali... kecuali..."

Alden mengangkat sebelah alisnya. "Kecuali?"

"Kecuali kau adalah seorang pembunuh dan membunuh untuk mengambil organ dalam korbanmu."

Untuk lima detik pertama Alden terdiam, sebelum tawanya mengisi kesunyian yang mengerikan. "Itu kah pikiranmu? Sekarang pikirkanlah, Echa sudah mengkopi semua dataku, apa kau pikir aku bisa mengambil resiko sebesar itu?"

"Data-data itu bisa saja palsu!"

"Oke... katakanlah data-data itu palsu. Sekarang, kau bilang aku tampan, bukan?" Nada enggan mengakui, tapi toh dia mengangguk. "Bukankah mudah bagiku menjerat korban dengan wajah ini? tidak perlu rumit-rumit dengan seorang wanita yang sudah kesana-kesini mencari seseorang untuk disewa. Tidak perlu rumit-rumit memalsukan semua data-data. Aku hanya perlu datang dari satu pub ke pub lain, pastilah, aku akan mendapatkan satu wanita untuk aku bawa pulang. Bukan begitu?"

Jika dipikir, semua itu memang masuk di akal. Tapi Nada tetap merasa ada yang mengganjal, saat dia tidak tau alasan apa yang membuat lelaki itu menerima kontrak ini. mustahil jika karena dia benar-benar tertarik pada Nada. Mustahil!

Alden maju dengan langkah yang sangat perlahan. "Kita bekerja sama, hal yang paling mendasar untuk membuat semua itu berjalan adalah kepercayaan. Jadi, belajarlah mempercayaiku. Seperti aku yang belajar percaya, jika kau memiliki uang sepuluh ribu dolar, walau kalau dilihat-lihat itu mustahil."

"Aku punya uang itu!"

"Tapi kalau aku memakai teorimu," Alden menatap Nada dari atas ke bawah, dari bawah ke atas, penuh penilaian. "Ripped jeans yang kau kenakan tidak bermerk, bluse mu berbahan satin biasa, bukan sutra. Tasmu, Channel KW... 3?"

Nada merasakan panas menjalar dari leher ke wajahnya.

Alden menangkap pergelangan tangan Nada dan mengambil pisau dari genggamannya sebelum melemparnya ke sudut terjauh. Dia menarik Nada untuk menempel pada tubuhnya dan menahan wanita itu dengan satu lengannya. "Lihatlah aku, lihat mataku, dan percayalah padaku. Aku adalah lelaki yang keluar dari dunia khayal, untuk mengatasi semua masalahmu."

Mata emas yang bersinar seperti mata hari itu terasa menyilaukan jika dilihat dari jarak sedekat ini. nada bahkan bisa merasakan nafas Alden membelai wajahnya. Dadanya kembali berdebar, bukan karena rasa takut kali ini, membuat nafasnya menjadi terengah. Ya Tuhan! Lelaki ini terlalu tampan untuk bisa dia atasi. Terlalu menawan. dan sudah lama ia belajar, jika lelaki yang menawan adalah sebuah masalah yang jauh lebih besar, dari sekedar seorang pembunuh berantai.

BI{e3A?��

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

1M 50.6K 47
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
200K 14.1K 27
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...
4.6M 33.7K 29
REYNA LARASATI adalah seorang gadis yang memiliki kecantikan yang di idamkan oleh banyak pria ,, dia sangat santun , baik dan juga ramah kepada siap...
5.5M 455K 63
"Allahuakbar! Cowok siapa itu tadi, Mar?!" "Abang gue itu." "Sumpah demi apa?!" "Demi puja kerang ajaib." "SIALAN KENAPA LO GAK BILANG-BILANG KALO PU...