3. Adaptasi

19.4K 1.6K 38
                                    


     Kampungnya bukanlah sebuah desa yang masih asri. Petakan-petakan sawah sudah hilang dari desa ini bertahun-tahin lalu. Sulit bahkan menemukan sebidang tanah yang cukup luas untuk anak-anak bermain kasti, permaian lempar bola dengan beberapa pos yang sering Nada mainkan waktu kecil. Lagi pula, anak-anak jaman sekarang mana mengenal permainan-permainan macam itu? Mereka sudah terlalu terbawa perkembangan jaman, permainan merekapun hanya berupa layar tablet.

Rumah-rumah di sini sudah berdempetan, bahkan mobil sudah tidak bisa masuk ke dalam gang menuju rumah, jadi Nada terpaksa menyeret kopernya sejauh kurang lebih 300 meter menuju rumahnya. Kampungnya juga tidak memiliki suku yang pasti, karena pertemuan antara Jakarta dan Bogor, membuat kotanya di sebut sebagai Betawi Pinggiran, atau Sunda Ora yang mencampur semua bahasa Betawi, Sunda, dan Jawa.

Nada menoleh ke samping. Lelaki itu mencangklong tasnya di pundak, kaca mata co-pilot Ray-Ban warna coklat bertengger di hidung tingginya. Sejak malam itu, Nada memang masih belumtau apa motif Alden menerima kontrak kerja sama ini, tapi Nada berusaha mempercayainya, dan semua terasa lebih mudah. Kecanggungan ketika berada di dekat lelaki berangsur memudar.

"Why you look at me like that?" tanyanya, ada nada sebal yang membuat Nada tersenyum. Di belakang mereka, anak-anak mengekori sambil berseru; "Ada bule! Ada bule!"

"Kau kesal?"

"Aku kan bukan alien! Mereka menatapku seolah aku baru turun dari piring terbang."

Nada semakin tersenyum geli. Dari pintu-pintu rumah yang terbuka, ibu-ibu menatap sembunyi-sembunyi sambil menggendong anaknya. "Maklum lah, jarang ada bule yang jalan di kampung kayak gini." Nada membalas senyum tetangga-tetangganya.

"Pulang, Neng Nada?" sapa salah seorang tetangganya.

"Iya, Mak Ijah!"

"Itu calon suami?"

"Iya, do'ain aja ya. Yuk, Mak!"

"Apa itu "bule"?" tanya Alden bingung.

"Sebutan untuk orang-orang western."

"Tapi aku kan bukan orang Western."

"Di mata kami, semuanya sama!"

"Gak adil!"

"Nada!" Bapak, berteriak dari ujung jalan, di tikungan terakhir menuju rumahnya. Kaos oblong putihnya ada bolongan di beberapa tempat, berpadu dengan kain sarung dan kakinya telanjangnya yang mulai berlairi. "Ya Alloh, Neng, lu pulang!" teriaknya heboh, semakin menarik perhatian tetangga. "Ini calon laki lu?" lanjutnya dengan logat betawi yang khas.

Alden mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Bapak. Lelaki tua itu dengan bangga menepuk-nepuk lengan atas Alden. "Buset, Neng, ganteng banget, ya!" Alden yang tidak mengerti hanya tersenyum canggung, berusaha menarik tangannya dari genggaman Bapak.

"Udah, Pak, di rumah aja, yuk! Malu lah sama tetangga!"

"Biarin, Neng, biar pada tau! Anak gadis Bapak bukannya ngga laku! Ini nih, calonnya. Belada!"

"Udah ah, ayo!" Nada menarik bapaknya yang terus berceloteh tentang kecakepan calon menantunya.

Di rumahnya, Ibu sudah menyambut di pintu, dan langsung memeluk Nada sambil mencoba menahan tangis haru. Maklum, selama dua tahun Nada Cuma pulang beberapa hari ketika hari raya. "Sehat, Neng?"

"Alhamdulillah, Bu. Kenalin, ini Alden. Ngomongnya pake bahasa Inggris ya, Bu, kan Ibu jago." Ibunya tertawa sambil menyusut air mata dengan ujung kerudungnya.

Alden yang mengerti, langsung mengulurkan tangan, yang disambut Ibu dengan hangat. "Ya ampun, tinggi banget ya, Neng! Bewoknya gak nahan!"

Nada tertawa, "Ibu genit banget, ih!"

A Prince For Rented #1stTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang