2. Too Handsome Too Handle

21.7K 1.8K 55
                                    


     Nada menatap surat perjanjian yang telah ditandatangani dalam genggamannya. Lalu menoleh ke samping, Pada lelaki yang tanda tangannya juga sudah terbubuh pada secarik kertas bermaterai yang sesaat lalu dia pandang. Benarkah semuadah ini?

Dengan linglung, Nada kembali menolehkan pandangan, ke atas meja kali ini. Paspor dan tanda pengenal lain yang berbasis UEA milik lelaki itu masih berserakan di sana. Beberapa saat lalu Echa memeriksanya demi ke amanan. Lelaki ini bukannya tidak punya uang, dilihat dari halaman paspornya yang penuh dengan cap dari berbagai negara, serta penampilannya yang jauh lebih baik dari saat dia melihatnya di restoran cepat saji, lelaki ini bukan gembel seperti yang Nada cari. Tapi, mengapa dengan mudahnya lelaki itu menyetujui perjanjian ini? ditambah lagi lelaki itu terlalu tampan, terlalu sempurna.

"Cha, semua ini gak bener!" katanya dengan bahasa indonesia agar Alden, lelaki itu, tidak mengerti.

Echa yang sedang ngobrol obrolan basa-basi, menoleh dengan bingung. "Apanya yang gak bener?"

"Ayo kita ke toilet dan bicara!"

Echa menghela nafas sebal, sebelum bicara pada Alden untuk meminta ijin. "Sorry if we leave you for a while. Indonesian ladies never go to the toilet alone."

"Oh ya, nope." Lelaki itu tersenyum sebelum menoleh pada Nada, yang dibalas Nada dengan canggung.

Dia dan Echa berdiri, lalu langkah mereka berderap menuju toilet wanita yang tersedia di caffee tempat mereka bertemu dengan Mr. Tampan.

"Kenapa lagi sih, Nad?" tanya Echa langsung, sesaat setelah mereka masuk ke dalam toilet. Hanya ada seorang wanita yang sedang mencuci tangan di sana.

"Kamu gak ngerasa ini terlalu mudah? Cha, dia itu ganteng pake banget! Liat isi paspornya, penuh sama cap dari berbagai negara. Belum lagi penampilannya, kamu liat logo kaosnya kan? Tau harga kaos dengan logo itu harganya berapa?" terdengar suara dengungan pengering, sebelum wanita yang tadi di dalam bersama mereka keluar, meninggalakan Nada dan Echa berdua saja.

"Emang sih agak aneh. Tapi kenapa kamu baru ngerasa curiga setelah tanda tangan kontrak? Lagi pula kaos itu bisa aja palsu."

"Kamu yang nyuruh aku, Cha! Ya aku mah nurut aja! Yakin kaosnya plasu?"

"Aku sih yakin itu asli. Tapi kalau aku suruh kamu cium si Alden, bakalan kamu cium gitu?"

"Echa!"

"Udahlah, Nad, gak usah hawatir. Justru penampilannya yang dandy jadi nilai plus. Kayaknya dia emang gemar deh keliling dunia. Sepuluh ribu dolar kan lumayan buat dia pake berpelesir kenegara-negara tetangga kita. Sampe mabok malah. Lagi pula, untung lah dia, selama sebulan kamu yang tanggung hidupnya. Dia bisa dateng dan nyoba hidup di daerah kecil di satu negara. Itu akan jadi pengalaman menarik buatnya."

"Itu kan persepsimu."

"Hey, hey, aku ini penulis, sedikit banyak aku bisa tau karakter orang saat ngobrol sama orang itu."

"Tapi tetap, Cha, aku takut. Sesuatu yang terlalu mudah di dapatkan, akan mudah hilang juga."

"Hello, Nada! Semakin mudah suami bo'ongan kamu ilang, akan semakin baik. Emangnya kita susah-susah buat cari suami sewaan untuk apa? Bukan untuk selamanya kamu nikah sama dia, Nad!"

Kenapa omongan Echa selalu benar? Dan kenapa, untuk kebenaran omongannya kali ini membuat Nada merasakah sesuatu yang sangat tidak nyaman. 28 tahun, dan Nada harus membayar untuk mendapatkan seorang lelaki yang mau mengucapkan ijab kabul. Tidakkah itu terdengar menyedihkan?

Setelah kembali duduk bersama Alden, Echa dan lelaki itu terlibat obrolan menyenangkan. Beberapa kali Echa ataupun Alden memancing Nada untuk turut dalam obrolan mereka, tapi karena canggung dan gugup, Nada tak pernah bisa masuk dalam setiap obrolan mereka. Dia lebih baik jadi pendengar, yang ikut tersenyum ketika mereka tertawa. Atau ikut menganggukan kepala ketika salah satu dari mereka membicarakan sesuatu yang butuh persetujuan.

A Prince For Rented #1stTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang