1. Time To Hunting

26.5K 1.7K 79
                                    

     Nada mengedarkan pandangan. Ruangan itu gelap, lampu gemerlapan memang membuat pandangannya lebih baik, tapi juga membuat kepalanya pusing. Bau alkohol yang tumpah dan sedang dibersihkan oleh petugas kebersihan, bercampur dengan bau asap rokok dan keringat orang-orang yang asik berjoget di lantai dansa. Pendingin ruangan tidak kuasa melawan hawa panas dari begitu banyak tubuh orang.

"Kenapa kita ke bar kelas begini? Harusnya kita ke bar elit, pasti orang-orangnya lebih beradab, dan orang beradab lebih mudah untuk diajak kerja sama." Ujar Nada tepat ditelinga Echa. Dia berusaha keras menandingi gelegar musik, yang mustahil ditandingi.

Mereka mengambil tempat duduk bersisian di sofa merah yang sudah pudar, bekas sundutan rokok di sana-sini, dan mereka berbagi kursi itu dengan beberapa pengunjung lain yang bahkan tidak mempedulikan kehadiran mereka. Semua sibuk dengan musik dan minuman di tangan masing-masing.

Echa mendekatkan bibir ke telinga Nada. "Kita mencari bule kere yang tergiur oleh sepuluh ribu dolar milikmu. Dan bule di tempat elit pasti memiliki cukup banyak uang dari pada sepuluh ribu dolar itu."

Lagi-lagi Echa benar. Jadi Nada diam, memperhatikan orang-orang. Beberapa kali dia memang pernah datang ke tempat seperti ini atas ajakan Echa yang mudah stress akibat deadline pekerjaannya sebagai seorang penulis online berbayar sekaligus novelis yang harus menyelesaikan novel-novelnya. Terkadang Nada bisa menoleransi kekacauan di sini, menikmati suasanya, tapi kadang juga dia merasa tersiksa, seperti sekarang. Moodnya sedang tidak dalam suasana pesta. Ditambah ketegangan dan kehawatiran yang belakangan tak mau pergi darinya, membuat semuanya semakin memburuk.

"Kau lihat bule dengan singlet abu-abu di lantai dansa itu?" ujar Echa di telinganya, membuat Nada mengedarkan pandangan ke arah yang ditunjuknya. "Dia tampan, dan terlihat tidak beruang."

"Tapi dia terlihat terlalu mabuk untuk diajak bicara." Langkah mengambang lelaki itu membuatnya tidak yakin lelaki itu bisa mencerna kerumitan masalahnya.

"Kita tidak tau sampai kita mencoba. Ayo!" Echa meraih dan menarik tangan Nada, dan membawanya ke lantai dansa.

Echa bergerak penuh semangat, bertolak belakang dengan Nada yang hanya menggoyangkan tubuhnya asal. Mereka bermanuver sedemikian rupa sampai mereka bisa berhadapan dengan lelaki yang menjadi incaran pertama malam ini.

"Hai!" sapa Echa pada lelaki itu, sambil terus bergoyang.

"Hai!" balas lelaki itu. Matanya sayu, senyumnya penuh makna, dan tangannya langsung meraih Echa ke dalam pelukannya.

"Hey, hey, slow down! Temanku ingin bicara denganmu." Ujar Echa dalam bahasa Inggris yang sempurna. Dia keluar dalam pelukan lelaki itu dan menunjuk ke arah Nada.

"Hai!" Mata sayu yang sama, senyum penuh makna yang sama, dan sambutan dengan pelukan yang sama, membuat Nada merinding dan langsung menghindar. Dia menarik Echa untuk pergi dari situ dengan terburu-buru. Tak mengindahkan seruan protes dari lelaki mabuk di lantai dansa.

"Aku bilang lelaki itu mabuk! Dan yang ada di pikirannya hanya bagaimana pulang dengan perempuan yang bisa ditiduri!" pekik Nada tidak sekeras yang dia harapkan ketika mereka sudah sampai di pojok ramai dengan orang-orang yang hanya mencoba mengobrol.

"Kamu benar. Ayo kita cari yang lain."

Nada meraih lengan Echa dan menatap temannya dengan khawatir. "Aku jadi semakin tidak yakin. Ini ide yang buruk!"

"Kita baru sekali mencoba dan kamu sudah menyerah? Tidak mudah memang mencari orang yang tepat, tapi bukannya tidak mungkin. Ayolah, kita coba lagi!" walau enggan, Nada mengikuti langkah kaki Echa.

Semalaman itu mereka berkeliling dengan hasil yang nihil. Ada yang menolak dengan halus, tak jarang yang memaki mereka dengan menyembut mereka penipu atau sinting. Beberapa yang bilang akan memikirkannya di beri nomer telpon oleh Echa yang langsung terlupakan oleh kemeriahan pesta.

A Prince For Rented #1stTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang