Reconciliation

MarsHeaven द्वारा

1M 67.1K 5.2K

Trust takes years to build, seconds to break and forever to repair. Dia kembali hadir dalam hidupku dan akhir... अधिक

5. Titik Balik
9. Re-post Keputusan
11. Pengakuan
12. Luka yang Kembali Terbuka
13. Alasan Pergi
14. Bimbang
15. Goodbye
Bagian 16 - Pulang
17. Sulit Melepaskan dan Memaafkan
18. Luapan Emosi 1
18. Luapan Emosi 2
19. Rujuk
Kuis RC
20 - Honeymoon 1
21. Pecah
22. Semak Membara - 1
22. Semak Membara 2
Pengumuman
Pengumuman Lagi
23.1 Berani Memaafkan
23.2 Berani Memaafkan
24
25
26
Q and A
Jawaban Q and A

20 - Honeymoon 2

32.1K 2.7K 252
MarsHeaven द्वारा

Kalau aku lagi jarang nongol di watty harap maklumin yah. Nanti diusahain tetep update. Udah mulai musim hujan dan pasti tahu kan kalau musim hujan aku kenapa? Iyes flu berkepanjangan. Jadi sabar yah.

Enjoy

Nanti.

Satu kata itu terus muncul di kepalaku beberapa menit kemudian. Katakanlah aku pengecut, karena setelah mendengar Rey mengucapkannya, aku ketakutan dan enggan bertemu dengannya lalu menyelesaikan apa yang tengah kami lakukan sebelumnya. Make out di ruang tengah.

Ketakutan yang seharusnya tidak perlu, mengingat Rey sudah pernah menyentuhku sebelumnya. Selama bertahun-tahun setuhannya selalu aku rindukan, dan saat akan merasakannya lagi, di sinilah aku, ketakutan. Karena walau sentuhannya masih aku ingat, tapi itu sudah lama sekali.

"Mereka udah tidur?" aku berjengit kaget. Rey yang tiba-tiba berada dalam satu ruangan denganku membuatku gugup.

"Ud...ah." jawabku tergagap.

Rey hanya mengangguk kecil, kemudian berjalan mendekatiku. Dia memegang tanganku dan menarikku agar berdiri.

"Rey..."

"Jangan menghindariku." Bisiknya parau.

"Aku nggak --- " ucapanku tidak pernah selesai. Rey benar aku menghindarinya.

"Aku takut." Aku mengaku. Sudut bibir Rey berkedut, aku tahu dia tengah berusaha menahan senyumnya. Melihat itu justru aku yang tak kuasa menahan diri, dengan cepat senyumku merekah. "Aku beneran takut." Lanjutku.

"Aku juga takut." Sahutnya.

"Kenapa?"

"Terakhir kita melakukannya, kamu meninggalkanku."

Nada suaranya terdengar memilukan. Hatiku terasa teriris, perih. Saat mendengar apa yang terjadi padanya setelah kepergianku, aku terus berharap seandainya dulu aku tidak meninggalkannya begitu saja, seandainya aku mengatakan sesuatu sebelumnya, seandainya aku bisa sedikit saja menahan rasa marahku, mungkin aku tidak akan menyakitinya sedalam ini.

Keegoisanku, menghancurkan kami.

Di bawah tatapannya, aku merenung. Memikirkan apa yang terjadi pada kami jika dulu aku tidak meninggalkannya. Bahagiakah kami? Atau menderita?

"Mada minjemin beberapa film, mau nonton?" Kali ini Rey tersenyum.

"Asal jangan horor aku mau."

"Masih sama seperti dulu, nggak suka horor." Dia menyibak rambutku lembut, "Aku senang semua hal tentang dirimu tidak berubah sejak dulu. Membuatku masih sangat mengenalmu."

"Kamu juga nggak banyak berubah. Masih sama seperti Rey yang aku kenal dulu. Hanya saja, Rey yang dulu lebih sering tersenyum." Aku meraih tangannya dan mengajaknya keluar kamar karena tidak mau Si Kembar bangun karena pembicaraan kami. "Dulu kamu memang sering mengabaikanku, tapi walaupun diam-diam kamu masih sering tersenyum atau menertawakan entah apa."

Rey menghentikan langkahnya, lalu berkata "Ada satu rahasia."

"Apa?"

"Kamu pasti kaget kalau dengar." Aku mengernyit, penasaran rahasia apa yang dia simpan. "Dulu aku selalu nggak sabar untuk pulang, karena ingin dengar suara dan tawamu. Kita memang nggak bicara langsung, kamu lebih sering bicara dan tertawa sendiri di depan TV. Tapi, diam-diam aku membiarkan pintu ruang kerjaku terbuka agar bisa mendengar suaramu."

Alisku terangkat tidak percaya ucapannya.

"Mau dengar rahasia lain?"

Aku mengangguk.

"Setiap pagi, begitu kamu bangun tidur, aku tahu kamu sering memandangi wajahku."

"Bohong!"

"Nggak, beneran. Aku tahu, setiap kali bangun tidur, kamu akan mengubah posisi tidurmu menyamping dan memandangi wajahku. Kadang sesekali kamu juga bicara sendiri. Seperti, iri sama bulu mataku yang lebat, hidungku yang mancung atau kulit wajahku yang bersih."

Aku tertawa canggung, malu karena memang itulah yang sering aku lakukan dulu. "Aku nggak begitu. Lagian darimana kamu tahu, aku yakin aku selalu bangun lebih dulu daripada kamu."

Rey tertawa nyaring, "Aku yang selalu bangun lebih dulu.

"Bohong." Pekikku panik. Jika benar Rey melakukan semua itu, berarti Rey mendengar semua yang aku ucapkan dulu.

"Beberapa kali aku tergoda untuk membuka mata dan memergoki apa yang kamu lakukan. Tapi aku menahan diri. Kamu tahu kenapa?"

Lagi-lagi aku hanya bisa menggeleng, menundukkan wajahku makin dalam.

"Karena hanya saat itu, kamu bisa jujur dan mengungkapkan isi hatimu."

Rey memutar tubuhku agar menghadapnya. Kepalaku menunduk, terlalu malu mengetahui semuanya. Berarti Rey tahu isi hatiku, Rey tahu aku mencintainya.

"Aku juga mencintaimu." Rey mengangkat kepalaku "Aku mencintaimu, tidak tahu sejak kapan. Yang aku tahu, sejak pertama kali kita bertemu, kamu selalu ada dalam pikiranku. Sejak itu aku selalu gelisah jika tidak melihatmu. Aku tidak bisa tidur, saat tahu kamu tidak ada di sampingku." Rey menarik nafas panjang. "Dulu, aku tidak sempat mengatakannya. Sekarang, biarkan aku mengatakannya. Aku mencintaimu, Kejora. Sejak dulu."

Ungkapan cinta yang begitu tiba-tiba dan tak terduga membuatku hanya bisa mematung dengan airmata yang dengan cepat meluncur membasahi pipi. Rey memilih waktu ini di antara banyaknya waktu yang kami miliki. Pengakuan cinta yang aku tunggu sejak dulu, meluncur dari bibirnya dan menghantam hatiku begitu kuat.

Aku selalu mencintainya, rasa itu tidak pernah hilang. Walau kemarahanku menutupinya dan jarak memisahkan kami.

Rey menangkup wajahku dengan kedua tangannya, kemudian menempelkan kening kami. "Aku mencintaimu, Kejora. Sangat mencintaimu."

Saat kecil aku pernah punya satu mimpi. Seperti anak-anak yang lain, aku berharap kisah cintaku seperti cerita dongeng. Mimpiku sederhana, hanya mimpi kecil yang aku simpan untuk diriku sendiri. Yaitu, jika suatu saat aku menikah, aku berharap suamiku mencintaiku, cinta yang lebih besar daripada cintaku, cinta yang kadang berimbang, kadang timpang tapi tidak pernah kikis. Kami akan sering bertengkar, kami melewati banyak hal yang menyakitkan dan menggembirakan bersama, tapi itu semua akan menguatkan cinta kami. Dan akhirnya kami akan tetap bersama dan hidup bahagia selamanya.

Cinta Rey mungkin tidak lebih besar dari cintaku, cintanya mungkin suatu saat akan hilang, mengikis dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu. Tapi, itu tak penting, selama aku mencintainya dan kami bahagia, itu cukup. Yang terjadi nanti biarlah terjadi, saat ini Rey ada di sampingku mengulurkan tangannya untuk aku genggam, menyerahkan hatinya untuk aku miliki. Dan aku memilih menerima semua itu. Melupakan kemarahanku dan berani menerima cinta yang sejak dulu aku harapkan.

Dengan mata terus mengunci matanya, berganti tanganku yang menangkup wajahnya, merasakan bulu-bulu halus yang mulai tumbuh memenuhi rahangnya sebelum kemudian mendekatkan bibir kami dan menciumnya lembut. Dalam ciuman itu airmataku meluncur makin deras, dialah lelaki yang aku inginkan, lelaki yang sekian lama aku cintai.

Rey tertawa, kemudian menarikku makin mendekat. Memelukku kencang hingga membuatku meronta karena sesak nafas. Kami larut dalam ciuman yang penuh kehangatan dan kerinduan. Ciuman yang bukan hanya menyatukan bibir kami tapi juga hati kami. Rey mencintaiku.

Butuh beberapa menit saat akhirnya kami kembali ke ruang tengah, Rey duduk di sofa, menarikku bersamanya dan mendudukanku di pangkuannya.

"Kita melakukannya di sini?" godaku.

"Hmm..."

"Serius?"

"Aku ingin mengulangi hal yang sama seperti dulu. Walau sofa ini tidak berwarna putih seperti sofa rumahmu, anggaplah kita sedang duduk di sofa yang sama."

"Aku tidak mau mengulangi kesalahan yang sama seperti dulu."

"Kali ini tidak ada kesalahan, kita sudah menikah, sekarang sedang honeymoon dan aku mencintaimu." Tawaku meluncur, caranya mencairkan suasana walaupun konyol tetap saja membuatku terhibur.

"Seingatku, begitu duduk dipangkuanmu, kamu mencium keningku." gumamku.

"Seperti ini." Rey memejamkan mata kemudian mencium keningku lembut.

"Hidung." Ucapku geli, permainan ini benar-benar konyol "Eh bukan, mata dulu." Rey tertawa, bibirnya lalu mencium mataku bergantian.

"Hidung." Lanjutnya "pipi," matanya mengerling jahil "telinga."

"Aww..." aku menjerit, karena bukannya mencium telingaku, Rey justru menggigitnya. "Sakit!" dia hanya tertawa kecil, sebelum kemudian mengunci bibirku dan tersenyum menggoda. "Terakhir bibir."

*****

Di bawah cahaya lampu yang bersinar temaram, aku menyandarkan kepalaku di dada bidangnya, meringkuk nyaman dalam dekapannya. Jarum jam di nakas menunjukkan pukul dua pagi, kami belum tidur dan masih menghabiskan waktu dengan saling menyentuh satu sama lain dan membicarakan hal-hal ringan.

Suasana ini mengingatkanku akan kenangan kami dulu. Beberapa minggu sebelum kepergianku hubungan kami membaik. Saat itu kami lebih terbuka dan sering menghabiskan waktu bersama.

Rey menyingkirkan sejumput rambut yang menjuntai di pipiku, mendekapku makin kencang sebelum kemudian mencium keningku lembut.

"Apa yang membuatmu berubah pikiran?"

"Tentang?"

"Tentang kita. Aku tahu kamu ingin menunggu, entah untuk alasan apa. Jadi selama beberapa hari ini aku menahan diri dan menunggu kamu siap. Aku ingin tahu kenapa sekarang kamu mengizinkanku menyentuhmu?"

"Apa jawabanku penting?"

"Penting buatku," Rey menyentuh daguku, mendongakkannya agar tatapan kami bertemu. "Aku tahu kamu belum sepenuhnya mempercayaiku." Ucapnya getir. "Sex memang membuat hubungan kita menjadi lebih baik, tapi tidak menyelesaikan masalah Kejora. Kita masih di tempat yang sama, kamu masih belum percaya padaku."

Aku menggigit bibir, ragu-ragu dan gugup untuk mengatakan apa yang ada di kepalaku. Tapi, aku harus mengatakannya dan Rey harus tahu. "Kamu bilang kamu mencintaiku." aku menghela nafas pelan. "Dan aku mencintaimu."

"Aku tahu." Rey tersenyum geli.

"Nggak, kamu nggak tahu Rey." Aku memotong ucapannnya sebelum dia mengatakan hal lain. Tanganku menyentuh keningnya, "Sejak dulu, aku tahu aku mencintaimu. Tapi, aku tidak tahu perasaanmu padaku, aku tidak tahu seberapa besar rasa cinta yang kamu miliki untukku."

"Inikah alasan kamu pergi? Karena tidak yakin akan perasaanku?"

"Bagimu perasaanku mungkin hanya sebagai ucapan tanpa arti. Tapi aku sungguh-sungguh dan butuh keberanian besar untuk mengatakannya. Kamu tahu betapa kecewanya aku dulu, saat aku mengatakan kalau aku mencintaimu dan kamu hanya membalasnya dengan memberikan senyuman kecil yang canggung dan getir."

"Saat itu aku gugup. Kamu tiba-tiba bilang cinta saat kita berada di tempat umum dan aku sedang tidak fokus. Dulu aku selalu berpikir kamu membenciku." Rey tertawa, " Setelah apa yang aku lakukan, aku memang pantas mendapatkannya. Menghamilimu, lalu menyuruhmu menggugurkannya. Begitu menikah, aku mengabaikanmu. Melihat sejarah perlakuanku wajar kalau kamu membenciku. Benarkan?"

"Aku tidak pernah membencimu. Aku hanya marah." Balasku. Lalu membenamkan wajahku di lekukan lehernya. Rey mengerang, kemudian tertawa senang.

"Jangan lagi, kita harus tidur. Sudah pagi." Ujarnya serak.

Keningku berkerut, bingung mendengar ucapannya.

"Besok lagi." Rey melumat bibirku, keras dan menuntut. "Kamu bisa kecapean kalau kita melakukannya lagi."

"Ohh..." Mengerti maksudnya, membuatku tersipu malu.

Setelah sekian lama kami baru begitu dekat, aku bisa menyentuhnya sesuka hati. Dan Rey yang ada di depanku kini, sama seperti yang dulu ada dalam ingatanku. Tampan dan menggoda. Dengan bersandar pada lengan aku mengangkat tubuhku, memperhatikan setiap sisi wajahnya. Jemariku bermain, menyentuh perutnya yang terbentuk sempurna. Liat dan kencang.

"Dulu aku memang sering melakukannya, melihatmu diam-diam." Pengakuanku membuat Rey tertawa menang Aku berbalik dan mengambil dompetku yang berada di atas nakas. Membukanya dengan tidak sabar dan mengeluarkan selembar foto yang selama ini aku sembunyikan. Mata Rey terbelalak saat aku memberikan foto itu padanya. "Foto pernikahan kita." Ujarku. "Aku selalu membawanya kemanapun dan mengeluarkannya saat aku merindukanmu. Selama hamil Si Kembar, aku baru bisa tidur setelah memandanginya. Nggak heran wajah mereka mirip banget sama kamu."

"Kejora..."

"Aku mencintaimu Rey, sejak dulu."

*****

Setelah apa yang kami lakukan semalaman begitu bangun tubuhku remuk dan menjerit kesakitan. Dan seperti dulu aku kembali melakukan kebiasaanku, memandangi wajahnya. Mengagumi setiap lekukannya yang terbentuk sempurna.

"Kebiasaanmu nggak pernah hilang." Ucap Rey masih dengan mata tertutup dan bibir yang tersenyum kecil.

"Kamu sudah bangun?" aku berdeham pelan, terlalu malu hingga suaraku terdengar gugup.

"Sejak tadi." Rey menarikku makin kencang dalam pelukannya. Lalu menciumi rambut dan keningku bergantian.

"Udah siang, anak-anak pasti udah bangun." Aku menggeliat, mencoba melepaskan diri dari pelukannya.

"Mereka sudah bangun dari tadi. Ada Mada sama Ibu di luar."

"Ibu sama Mada datang?" tanyaku kaget.

"Hmm..."

"Aduh, bangun Rey ibu bisa marah kalau kita bangun siang." Aku menyentak lengan Rey yang melingkari pinggangku cepat.

"Kita baru tidur habis shubuh tadi, ibu pasti ngerti kalau kita bangun siang."

"Iya, tapi-" aku tidak menyelesaikan ucapanku. Bibir Rey membungkamku cepat. Begitu ciuman kami terlepas berganti tubuhnya yang menindihku, senyumnya tersungging mengoda. Dalam hitungan detik Rey menutup tubuhku, membuaiku dalam ciuman yang memabukkan.

Setelah menghabiskan waktu selama beberapa menit bergumul, Rey akhirnya melepaskanku. Lepas darinya aku langsung ke kamar mandi, dan menemukan wajahku yang merona merah. Bahagia dan malu menyelimutiku bersamaan. Entah darimana seluruh kekuatan Rey berasal, kami melakukannya berkali-kali hingga shubuh. Aku bahkan baru tidur pukul enam pagi.

"Mau sarapan apa?" bisikku di telinganya. Rey hanya membuka satu matanya kemudian kembali menenggelamkan wajahnya di bantal.

"Belum lapar."

"Yakin?" godaku.

"Lapar kamu, iya."

"Apaan sih." Tanganku langsung mencubit pinggangnya gemas. "Bangun mandi, ada ibu nggak enak."

"Mandiin..." rajuknya dengan muka memelas. "Harusnya tadi kita mandi bareng. Kamu sih udah aku ajakin nggak mau."

"Kamu yah." Aku berdiri seraya menggelengkan kepala tak percaya. Bisa-bisanya Rey berpikir buat mandi bareng. "Bangun mandi, terus sarapan. Matahari udah tinggi, kata ibu nggak baik bujang mandi siang-siang."

Rey tertawa, "Aku udah nggak bujang dari bertahun-tahun lalu." Kekehnya geli.

"Bangun terus mandi aku bikinin sarapan sama kopi." Ucapku seraya membelai kepalanya lembut. Mengabaikan candaannya.

"Hmm..."

Setelah sukses membujuk Rey mandi, aku keluar kamar dan langsung menuju dapur. Baru beberapa langkah aku mendengar suara Si Kembar yang sedang bercanda di ruang tamu. Aku menghampiri mereka, dan melihat mereka tengah asyik bercanda dengan Bapak dan Mada. Dengan riang mereka menyapaku.

"Ibu datang jam berapa?' tanyaku saat ibu melewatiku dan berjalan menuju meja makan.

"Jam tujuh. Rey mana, belum bangun?" Ibu melihatku penuh arti dan senyum menggoda.

"Lagi mandi, Bu." Jawabku pelan, malu karena dilihat dengan cara seperti itu. Jelas Ibu tahu apa yang kami lakukan semalam.

"Sarapan apa, Sayang." Sepasang tangan besar memelukku dari belakang dan memberikan ciuman kecil di leherku.

"Rey, ada ibu."

"Kenapa emangnya?"

"Mas sama Mba malu-maluin." Mada bergabung bersama kami, melihatku dan Rey bergantian dengan tatapan mata sinis.

"Mada..." ibu menegurnya lembut. Sedang aku hanya menatap ibu dan Mada bingung, saat mencoba bertanya pada Rey, dia hanya mengangkat bahunya.

"Ibu... Mas Rey sama Mba Ora beneran malu-maluin kok, bikin sebal." Decaknya kesal. "Kalau habis make out," ucapannya tajam dan menusuk "jangan lupa hilangin bukti-buktinya. Pagi-pagi aku, Bapak dan Ibu datang disambut ruang tengah berantakan sama baju berserakan di mana-mana."

Aku langsung menunduk malu, berbeda dengan Rey yang justru tertawa terbahak-bahak.

"Baru selesai diberesin, aku mesti dengar Live suara yang---" Mada menggeleng kesal "Bapak sama Ibu sampai harus bawa Si Kembar pergi karena takut mereka nanya macam-macam. Mba tahu nggak mereka bilang apa?" Aku hanya bisa menggeleng malu. "Mbah, mama kenapa kok jerit-jerit begitu?"

Rey lagi-lagi tertawa. Dia tertawa terbahak-bahak sampai airmatanya keluar. Aku sampai harus mencubit pinggangnya agar dia berhenti tertawa.

"Mada!" kali ini ibu menghardiknya.

"Apa sih ibu Mada Mada mlulu, aku lagi kesal nih."

Rey menepuk bahu Mada lembut, lalu berkata "Nggak usah kesal, nanti kamu tahu rasanya kalau sudah ngalamin sendiri." Matanya mengedip, "Kalau udah nggak sabar, ajakin Dipta aja dulu. Dia pasti tahu caranya."

"Mas apaan sih! Ighhh ngeselin deh." Mada berbalik dan buru-buru pergi meninggalkan kami.

"Kamu tuh suka banget godain dia."

"Enak godaiin Mada suka marah-marah, kalau godain kamu yang ada aku dicubit."

"Kayak gini." Aku langsung mencubit pinggangnya dan memelintirnya kuat-kuat. Rey langsung menjerit dan meminta ampun.

*****

Aku bahagia. Aku tersenyum melihat keluargaku yang duduk bersama-sama di halaman depan dengan Rey dan Si Kembar. Aku tidak pernah berani memimpikan hal ini akan terjadi. Sejak memutuskan menikah dan hidup bersama dengan Rey rasanya pemandangan di depanku ini mustahil. Tapi, di sinilah aku sekarang. Duduk santai dikelilingi keluarga yang mencintaiku begitu besar.

"Wajah kamu cerah banget. Apa kamu begitu bahagia?" tanya ibu begitu duduk di sampingku. Dia memberiku secangkir teh hangat.

"Hmm... aku bahagia, Bu."

"Senyum." Aku menoleh, "Cara mudah untuk bahagia, banyak-banyaklah tersenyum. Semua orang punya masalah Ra, kadang ada yang menganggap masalahnya terlalu besar hingga berpikir tidak sanggup menghadapinya lagi. Cara mereka menyelesaikannya biasanya dengan mengabaikan atau mungkin meninggalkannya. Padahal masalah itu harus diselesaikan bukan dihindari."

Aku menunduk, ucapan ibu menohokku begitu dalam.

Ibu membelai kepalaku lembut, "Ibu masih nggak nyangka kamu ada di sini. Tiap kali Rey datang berkali-kali ibu ingin minta agar dia membawa ibu juga untuk melihatmu. Tapi Ibu sungkan. Ibu menyesal, coba kalau kemarin-kemarin ibu nggak sungkan. Pasti ibu nggak harus menahan rindu bertahun-tahun. Iya kan?"

"Iya."

"Berkali-kali Rey bilang sama Ibu, kalau dia menyesal membiarkanmu menjauh dari keluarga. Sekarang kamu ada di sini, dia pasti juga sangat bahagia sama seperti Ibu." Ibu menarik tanganku dalam genggamannya. "Ibu tahu pernikahan kamu tidak mudah, oleh karena itu Ibu tidak pernah bisa berhenti mengkhawatirkanmu. Ibu senang kalian bahagia dan itu buat Ibu tenang."

"Bu.."

Ibu mendesah pelan, "Ibu jadi sedih gini, sana bilangin sama Rey jangan makan terus, bisa gemuk nanti dia. Ibu perhatiin dari tadi dia makan nggak berhenti, heran perutnya nggak penuh-penuh." Ibu menggeleng-geleng heran.

"Itu karena masakan ibu enak."

"Masakan kamu juga enak, ibu nggak nyangka kamu sekarang bisa masak. Padahal dulu kalau masuk dapur pasti ada aja yang rusak."

"Jora buka toko kue Bu, terus belajar masak juga."

"Toko kue? Kok nggak pernah cerita, di mana?"

"Di Lombok."

"Lho kok di Lombok kirain Ibu di London. Hmm... Ada orang yang jagain di Lombok maksudnya?"

"I..ya, Bu." Jawabku terbata-bata.

"Kapan-kapan ibu mauu nyobain kue bikinan kamu."

"Iya."

Aku tersenyum pada Ibu kemudian berjalan menghampiri Rey. Dia sedang berebut pisang goreng dengan Si Kembar dan Mada. Benar kata Ibu, sejak tadi memang dia nggak berhenti makan.

"Papa bagi satu lagi."

"Nggak boleh, Papa kan udah aku kasih satu tadi."

"Yah tapi Papa pengin lagi"

"Nggak boleh Papa." Sahut keduanya kompak.

Aku tertawa, lalu langsung memeluknya dari belakang. Rey berjengit kaget, menolehkan kepalanya cepat dan tersenyum lebar saat tahu akulah yang memeluknya.

"Tumben manja gini, biasanya kalau aku peluk suka nggak mau." Godanya penuh senyum.

"Terima kasih."

"Buat apa?"

"Buat nggak pernah pergi."

Senyumnya langsung hilang. Rey terdiam dan terus menatapku. Dia berbalik dan menarikku ke dalam dekapannya. Menciumi kepalaku lembut.

"Mas Rey sama Mba Ora mulai lagi deh." Celetuk Mada kesal. Aku menunggu Rey membalas ucapannya. Namun, dia tidak mengatakan apapun. Lengannya justru mendekapku makin kencang. Bibirnya masih menciumi kepalaku.

"Terima kasih karena mau kembali." Bisiknya lembut.

*****

Setelah makan siang Si Kembar dibawa Bapak dan Ibu mengunjungi beberapa keluarga besar kami. Bapak bilang ingin membawa Si Kembar ke tempat keluarga Lingga dulu baru ke tempat keluarga kami yang lain. Lingga dan keluarganya tinggal di pusat kota Tegal. Butuh waktu sekitar empat puluh lima menit dengan mobil untuk sampai sana. Selesai mengunjungi semuanya, Bapak berencana membawa Si Kembar berkeliling Guci. Bapak ingin mengajak mereka outbound dan melihat kebun strawberry.

Dari Villa Lingga ke objek wisata Guci dibutuhkan waktu sekitar satu jam jika berjalan kaki. Kami harus menuruni bukit terlebih dahulu dan melewati sebuah desa kecil. Hampir semua rumah di desa yang kami lewati menanam sayuran di halaman depannya atau berjualan makan-makanan kecil seperti jagung bakar atau rujak. Mada penggila rujak khas daerah Tegal dan Brebes ini, aku ingat dulu tiap kali kami pulang kampung rujak ini selalu menjadi menu favoritnya. Rasa rujaknya berbeda dengan rujak sayuran khas Bogor atau Jakarta. Bumbunya begitu pekat dan berteksture sedikit kasar karena memang tidak diulek dengan halus, aroma terasinya sangat berasa. Jika favoritku rujak ulek, Mada lebih suka rujak kangkung.

"Mas Rey mau sekalian nggak Mba?"

"Lho emangnya dia suka?"

"Nggak. Aku pernah nawarin dia sekali, terus dia bilang nggak suka sama bau terasinya. Tapi coba Mba tawarin siapa tahu Mas Reynya mau. Mumpung kita belum jalan nih."

"Oke." Jawabku, lalu masuk ke dalam rumah dan mencari Rey.

Dia tidak ada di ruang tengah maupun di dapur, jadi dia pasti ada di kamar. Aku langsung menuju kesana, pintunya terbuka. Tanpa mengetuknya aku langsung masuk ke dalam. Aku akan menyapanya, namun sapaan itu tidak pernah keluar saat aku mendengar apa yang dia ucapkan.

"Belum tahu aku pulang kapan, nanti begitu sampai Jakarta aku langsung kabarin kamu."

"...."

"Iya aku juga merindukanmu. Salam buat Om dan Tante, Laura."
______________________________________

Pemenang kuis RC aku sampaian sekarang yah. Bukunya sudah di packing inshaAllah hari Rabu dikirim. Udah ngasih tahu pemenangnya via DM :)

Pertama widiadid dan yang kedua tyasdanas.

Lalu kemarin aku ada ngadain kuis di fB pemenangnya cahya widiastutik dapat voucher belanjan 50rb. Nanti Dm aku buat prosedur pengambilannya yah. Thanks.

Mars, 9 September 2016
XOXO

tuheRofiah

पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

1.5M 135K 48
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
338K 26.5K 57
Elviro, sering di sapa dengan sebutan El oleh teman-temannya, merupakan pemuda pecicilan yang sama sekali tak tahu aturan, bahkan kedua orang tuanya...
363K 19.5K 28
Mature Content ❗❗❗ Lima tahun seorang Kaia habiskan hidupnya sebagai pekerja malam di Las Vegas. Bukan tanpa alasan, ayahnya sendiri menjualnya kepad...
17M 753K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...