I Will be Here

By AthanPratama

16.5K 1.2K 366

My name is Leon. And I dont have a Family anymore. I have to go, but I have no where to go. Everything looks... More

I Will be Here-Introduce
LEON
AGA
Kapten, Topeng dan si Pemimpi
The Drama Queen
My mama and I
The One Who Start the Drama
Susu Coklat
Complicated
Another Sins
I Have Loved You, so Deep!
Orangtua
Broken
Big Monkey

Darkle

783 59 15
By AthanPratama





Pagi ini sangat cerah.

Karra tersenyum lebar. Sekarang dia tak perlu khawatir akan turun hujan. Sudah beberapa hari ini selalu turun hujan dan Karra harus rela berbasah-basahan ria, karena tidak mempunyai payung lipat.

"Gak perlu belajar, nilai lo mah pasti bagus, Karr!" ujar Riya sambil menutup buku B. inggris yang sedang Karra baca. Karra memicingkan matanya tajam.

"Emang gue, elo?!" sahut Karra ketus, tapi Riya tau itu cuma bercanda. Hari ini ada tiga UH. B.inggris, sejarah, dan kesenian. Walaupun nilainya di atas rata-rata, tapi dia selalu kalah dengan Aga ataupun Leon, terutama matematika, Leon selalu dapat nilai tinggi.

"Oya, kesenian kita ngapain, Karr?" tanya Riya antusias. Karra berpikir sejenak. Dia baru ingat bahwa UH kesenian adalah mementaskan sesuatu ke depan kelas. Dan tugasnya sebangku, tapi dinilai perorangan.

"Kita baca puisi duet aja kali yah? Nanti gue buat puisinya." usul Karra. Riya mengangguk setuju. Lalu Karra memandang kearah pintu masuk kelas. Seperti biasa, dia melihat Leon yang baru datang dengan gaya santainya. Saat pandangan mereka bertemu. Karra tau, mata Leon tersenyum kearahnya.

Cowok itu membanting tasnya ke meja. Lagi-lagi dia membuat Aga geram oleh kelakuannya. Semalaman Aga tidak bisa tidur dan sekarang Leon mengganggu tidur paginya. "Dicari Vania!" seru Leon.

Tanpa memedulikannya lagi, Aga langsung keluar menemui Vania. Dia tau, Vania pasti mau bahas yang semalam.

Sejujurnya dia sangat penasaran dengan sikap Vania yang tiba-tiba memberikan sesuatu padanya, maksudnya, memberikannya lewat orang lain.

"Van.."

Aga mendapati Vania yang duduk dikursi panjang di depan kelasnya. Vania berdiri dan tersenyum lebar.

"Kamu udah terima yah?" ujarnya sumringah, "Makasih.." kata-kata itu muncul ketika Vania melihat handband pemberiannya dipakai oleh Aga.

"Kenapa lo yang bilang makasih?" tanyanya heran. Vania menarik tangan Aga untuk duduk didekatnya.

Ia menatapnya serius.

"Aga, makin lama aku makin ngerasa kalo kamu risih sama sikap aku yang terlalu over ke kamu. Maaf yah.. sekarang aku gak akan kok begini-begini lagi. Harusnya aku ngerti kalo kamu gak nyaman. Aku gak boleh egois dan maksain kehendak aku. Sebenernya aku begini cuma karena gak mau dibilang 'temen' sama kamu.. menurut aku HTS lebih mulia ketimbang orang-orang bilang aku 'temen' kamu. Leon yang sebegitu deketnya sama kamu aja, kamu gak anggap dia 'temen' kamu. Apalagi aku? Aku gak mau orang nyebut aku 'gak dianggap' tapi aku seneng bisa jadi orang yang segini deketnya sama kamu.." Vania menarik nafasnya. Dia mencoba untuk tidak mengeluarkan air matanya di depan Aga.

"Van.. gak usah minta maaf, gue yang salah. Semaleman gue mikirin ini terus. Dan begonya gue baru sadar lo sebegininya sama gue. Gue gak pernah mau jadi orang jahat.. tapi semua orang anggep kayak gitu, mungkin termasuk lo hari ini. Gue gak pernah mau nyakitin siapapun, tapi nyatanya gue nyakitin lo.. seumur hidup gue gak pernah pacar-pacaran. Dan gue gak mau lakuin itu kalo cuma buat nyakitin orang. Dari dulu cuma lo yang deket sama gue kan, Van? Gue pikir cukup dengan lo butuh gue, gue ada, dan sebaliknya, tapi ternyata hubungan semacam itu malah bikin lo sedih—"

"Dari dulu sampe sekarang.. orang yang paling aku anggep baik cuma kamu dan Faiz, Ga, kamu liat sendiri aku gak punya temen cewek. Mereka semua merasa gak pantes temenan sama aku, seleranya beda lah, tempat jalannya beda lah, segala macem. Padahal aku bisa main sama siapa aja, mereka malah minder, sampai akhirnya aku ngerasa sendirian. Dan kesendirian itu bikin aku jadi ketergantungan sama kamu, karena aku gak punya teman berbagi, sampe akhirnya aku kayak menghalang-halangi hidup kamu. Entah buat naksir cewek lain, deket sama mereka atau apapun. Aku sadar, Ga, harusnya aku gak begitu.." Vania menunduk, berkali-kali ia berusaha menahan tangisnya untuk tidak pecah.

"Tapi justru lo malah ngerasa gue sakitin?"

"Engga, Aga. Justru aku yang mau tanya, sikap aku yang kayak gini apa bikin kamu jengkel selama ini?"

Aga menggeleng, walaupun sebenarnya Vania sedikit benar, sedikit. Tapi bukan karena Aga tidak suka dan Aga ingin berlenggang semaunya dengan cewek mana saja tanpa menyakiti hati Vania, bukan. Aga hanya risih bagian Vania selalu menyatakan cinta padanya secara terang-terangan dan seolah-olah sangat mengagungkan kata pacaran.

Kalau boleh jujur, Aga juga tidak pernah dekat dengan cewek manapun, tapi itu bukan karena Vania yang terus ada di sampingnya, melainkan karena Aga pikir sudah ada Vania, untuk apa dia butuh cewek lain? Bukankah cewek sama saja, lagipula apa yang kurang dari Vania? Sama sekali tidak ada alasan Aga untuk menyingkirkan Vania karena dia ingin cari perhatian ke cewek lain. Dia sudah sepakat dengan dirinya sendiri bahwa dia mau fokus belajar dan membuat ayahnya kembali percaya padanya, bukan mau pacar-pacaran.

"Van, gue gak pernah nganggap lo pengganggu atau apapun yang lo maksud tadi, jadi berenti ngomong kaya gitu. Gue mutusin buat kayak gini sama lo karena pikiran soal gue bakal selalu ada buat lo itu udah saklek banget. Dan soal keterikatan yang lo maksud, gue gak mau serius-serius begitu, Van, maaf. Apa mesti gue musuhin diri sendiri karena gue udah nyakitin lo?"

Vania menggeleng, dia menatap Aga lekat. Tadinya dia benar-benar ingin menjaga jarak dengan Aga dan pamit dengan cara ini, tapi sepertinya hatinya goyah kembali. Kalau saja dia tidak melihat Aga berpelukan malam itu dengan seseorang, dia tidak akan segalau ini. Saat itu dia hanya berpikir mungkin Aga benar-benar merasa tidak bebas karena ada Vania disisinya dan sulit untuk mengusirnya karena Vania teman baiknya sejak kecil. Vania benar-benar memikirkan itu berhari-hari walau awalnya ia marah dan ingin sekali melabrak cewek yang memeluk Aga di taman, tapi dia pikir itu hanya akan membuat Aga benci padanya, lagipula selama ini dengan sikap cueknya Aga dia sama sekali tidak menunjukkan bahwa dirinya menyayangi Vania sebagai seseorang yang spesial. Hanya saja Vania terus merasa bahwa dirinya cuma dianggap sebagai teman, sama seperti Faiz, yang sesusah apapun masalahnya pasti akan Aga bantu.

Belum lagi kemarin dia melihat dengan jelas Aga bersama cewek yang sama di UKS, ruangan yang seumur hidup gak pernah didatangi oleh Aga. Seingat Vania, seterluka apapun Aga ketika Vania mencoba membawanya ke UKS, Aga selalu menolaknya dengan alasan buang-buang waktu, tapi kemarin Vania melihat Aga di sana, juga senyumnya kearah cewek itu yang sama sekali Vania belum pernah melihatnya apalagi menerima senyum itu dari Aga.

Dan saat itu Vania merasa akan ditinggalkan.

"Tapi kamu cuma anggap aku temen kan?" Vania mencoba menatap Aga.

Aga diam. Sebenarnya dia bingung harus menjawab apa karena dibilang teman, justru Aga malah menganggap Vania lebih dari itu, tapi bagaimana bilangnya.

"Gue gak minta lo untuk ngerti apa yang gue maksud, Van. Cuma.. " Aga menarik nafas sebentar, "Cewek mana sih yang pernah deket sama gue selain lo? Yang mana sih yang sering gue gandeng-gandeng, ajak makan, nonton, jalan.. dan cewek mana yang bikin gue ngeladenin dia buat piknik-piknik gak jelas dibukit belakang sekolah, gelar-gelar tiker makan roti. Cewek mana yang berani ngajak-ngajak gue kayak begitu dan cewek mana yang gue ladenin keinginannya dengan senang hati tanpa paksaan seaneh apapun keinginannya, selain lo?"

Gantian Vania yang diam. Ya, memang selama ini Aga selalu menuruti kemauannya. Bahkan disaat Aga sedang asik tidur siang di hari minggu dan Vania menelpon untuk menjemputnya ditempat pemotretan, lalu memintanya membelikan es krim sekalian, padahal dia bisa membelinya sendiri di sana.

"Pembahasan ini gak akan pernah ada abisnya kalo lo gak bisa ngerti gue," Aga menyandarkan kepalanya ditembok, "Tapi gue juga gak minta lo ngertiin, gue cuma aneh aja sama sikap lo yang berkali-kali begini, seolah apa yang gue lakuin selama ini gak pernah cukup buat lo hanya karena kita gak ada status. Padahal berkali-kali juga gue bilang, kita itu anak SMA, bukan anak yang besok mau dikawinin sama orangtuanya sampe repot mikirin cinta-cintaan." Lanjutnya serius.

Sekarang Vania malah merasa dirinya bersalah atas sikap yang dia tunjukan pada Aga hari ini, tapi tidak bisa dibohongi, Vania benar-benar risih. Dia tidak nyaman dengan adanya cewek lain diantara dia dan Aga.

"Cewek itu siapa?" Vania menoleh serius kearah Aga. Akhirnya kata-kata itu keluar juga, walaupun jawaban atas pertanyaannya jelas membuat Vania panas dingin.

"Yang mana?" Aga menjauh dari sandarannya, ia memiringkan kepalanya menatap Vania.

"Yang meluk kamu kemarin dilapangan dan yang sama kamu di UKS.."

"Ketua kelas."

Huft.

Aga benar-benar tenang menjawabnya langsung seperti itu, dan Vania tidak pernah menyangka respon Aga atas pertanyaannya akan sesantai itu. Ekspektasinya, Aga akan memikirkannya cukup lama untuk menjawab siapa cewek itu dan di situ Vania akan menuduhnya dengan segala macam tuduhan yang sudah dia siapkan di kepalanya.

"Ada something special antara kamu sama dia?" Vania mulai posesif, hanya saja dia harus terus mengendalikan dirinya supaya tidak terlalu menjengkelkan Aga.

"Hah?"

"Y-ya... soalnya, soalnya aku liat kalian akrab banget." Vania sedikit gugup.

Aga menarik napasnya. Vania itu benar-benar lucu. Memangnya siapa Karra sampai-sampai harus ada sesuatu yang spesial diantara—

Eh? Apa Vania benar?

Aga berubah ekspresi, yang tadinya kebingungan sampai ingin menahan tawanya dihadapan Vania malah menyadari suatu hal. Dia harus banget bertanya pada dirinya sendiri, dan menyimpulkan jawaban secepatnya tanpa membuat Vania menunggu dan meluncurkan pertanyaan baru.

Apa Vania benar? Dirinya menganggap Karra spesial makanya dia menceritakan apa yang terjadi padanya malam itu, dipelukan Karra tentunya. Dan anehnya pelukannya sehangat susu coklat kesukaan dia dan senyumnya manis, juga seperti susu coklat, ya. Aga suka. Jadi apa sekarang justru dia bertanya pada dirinya sendiri?

Apa ada sesuatu yang spesial pada diri cewek itu, Aga?

"Aga?" Vania memegang lengannya dan Aga tersadar.

"Perasaan lo doang, Van."

"Aku kenal kamu belasan tahun, bahkan dari kita sama-sama belum bisa ngucap 'R' dan kamu nyembunyiin sesuatu dari aku?" mata Vania kembali berkaca-kaca, dia sepakat, apapun yang diucapkan Aga sehabis ini adalah kebohongannya. Karena Aga berpikir tadi, dia terdiam cukup lama, seolah sedang mencari-cari jawaban yang tidak akan menyakiti Vania.

"Dan gue juga penasaran sama jawabannya," tiba-tiba suara seseorang bergabung dengan ke duanya. Leon melipat tangannya di dada sambil bersandar dipintu kelas, ia menyeringai. "Ya ampun, jalang juga tuh cewek yah, dia juga meluk gue dirumahnya." Lanjutnya dengan begitu dingin, tapi Leon tersenyum.

"Dirumahnya?" tanya Aga langsung. Leon mengenyit, tapi kemudian tersenyum lebar. Dia berjalan mendekat dan berdiri di depan Aga dan Vania sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Lalu ia menunduk sedikit.

"Oh~ lo juga dibawa kerumahnya?" tanyanya balik pada Aga. Vania menatap Aga serius, dia merasa kecolongan karena waktu itu dia langsung pulang saking sakit hatinya, bukannya menunggu apa yang mereka lalukan sesudah itu.

"Kamu kerumahnya juga?"

Aga menatap Leon geram, kemudian Vania. Dia menarik nafasnya.

Sialan juga dia, maunya apa sih, batin Aga.

Leon duduk di samping Vania, menyandarkan kepalanya ditembok dan mendongak ke atas. "Sial juga yah, gue dapet pelukan ke dua. Haha." Ujarnya sambil menyeringai.

"Leon lo bisa berenti ngomong gak?" Vania menoleh kearahnya, kesal.

"Kalo gue gak ngomong lo gak bakal tau Aga dirumahnya dia.." Leon menatap Vania lekat. "Van, berenti jadi cewek menyedihkan.. kalo lo mau pergi, pergi aja. Gak usah drama minta penjelasan sana sini padahal lo udah tau jawabannya. Apa sih susahnya nerima kenyataan? Jangan bikin gue jadi pengen nangis deh.."

Leon benar-benar sakit jiwa, omongannya tidak bisa disaring dulu. Vania hampir menamparnya kalau saja airmatanya tidak menetes duluan. Ia mengepalkan tangannya dan pergi begitu saja dari ke dua cowok itu. Leon masih menyeringai. Dia tau habis ini—

Belum kelar tawanya, Aga mendorong tubuhnya hingga jatuh tersungkur ke lantai.

"Lo bisa gak, gak bersikap kayak binatang?" Aga benar-benar geram dengan kata-kata Leon barusan pada Vania. Dan sekarang Leon tidak berusaha bangun, dia malah tersenyum di bawah sana. Dia suka saat Aga menatapnya dengan gurat kebencian. Itu menandakan tidak ada ikatan diantara mereka, jadi Leon bisa melakukan apapun sesuka hatinya tanpa khawatir menyakiti teman. Karena tatapan Aga tidak pernah menunjukkan bahwa dia temannya. Apalagi sekarang.

"Gue lagi ngajarin lo gimana rasanya ditinggalin sama orang yang udah bikin lo ketergantungan. Di saat dia pergi, lo bakal ngerasa—"

"Gue gak nyuruh lo nyeramahin gue!" Aga menarik kerah bajunya sampai Leon berdiri berhadapan dengannya. "Gue cuma mau lo jawab pertanyaan gue! Kapan lo berenti bersikap kayak binatang, hah?!"

"AGA!"

Mungkin suaranya terdengar sampai ke dalam kelas. Murid-murid berhamburan keluar. Faiz langsung melerai mereka. Dan Karra berdiri diantara ke duanya sambil mengisyaratkan murid-murid kembali ke dalam kelas dan jangan ikut campur.

"Kalian apa-apaan sih?" omel Karra, yang sama sekali tidak di gubris. Aga langsung kembali ke dalam kelas sementara Leon malah pergi. "Leon!" teriak Karra padanya, dia berlari untuk menarik Leon kembali karena kelas sebentar lagi akan dimulai, sementara Faiz mengikuti Aga ke dalam.

"Leon, lo mau kemana? Sebentar lagi ma—"

"DIEM!"

Karra terkejut oleh bentakan Leon dan langkahnya terhenti. Ya ampun, gue bisa jantungan!

"Leon! Lo balik ke kelas atau point kenalakan lo bakal gue tambahin jadi angka fitnah!"

Cowok itu berbalik. Dia berdiri berjauhan dengan Karra. Gayanya tetap santai dan Karra baru tau kalau Leon sedang mengunyah permen karet.

"Gue bakal tambahin tujuh point dengan alasan lo melakukan kekerasan sama temen sekelas."

"Jadi beneran lo mau fitnah gue?" tanyanya santai. Karra mengangguk mantap.

"Ya! Gue kan bilang, kalo lo gak balik, point lo gue tambahin dengan angka fitnah, ya mungkin harusnya dengan lo bolos point kenakalan lo cuma dua, tapi gue gak bilang kalo lo bolos, melainkan lo melakukan tindak kekerasan!"

"Lo mau main-main sama gue?"

"Ya!"

Brengsek nih cewek, haha. Bisa-bisanya dia ngancem-ngancem gue dengan sikap sok begitu.

Leon berjalan mendekat sampai hanya berjarak satu langkah dari Karra. "Emang lo bisa fitnah gue?"

"Ketua kelas selalu bisa fitnah orang, apalagi kalo gak ada saksi!" Kata Karra sombong. Dia tersenyum pada Leon, lalu menarik tangannya kembali ke kelas.

"Jadi gue harus tunduk sama cewek kaya lo, yang murahan?"

Karra menghentikan langkahnya. "Apa lo bilang?"

"Murahan!"

"Siapa?"

"Lo!"

"Jaga mulut lo! Atas dasar apa lo bilang gue murahan?" kalau bisa Karra ingin menonjok muka Leon.

"Emang apa namanya selain itu buat nyebut cewek yang tebar pesona terus pelukan sama cowok-cowok asing dan main di bar?"

"Ap-apa? Pelukan sama cowok-cowok asing? Main di bar? Lo lagi mabok apa mau bales fitnah gue?"

"Gue gak fitnah, gue ngomong berdasarkan fakta, nona. Lo meluk-meluk Aga di taman terus lo bawa dia pulang kerumah, lalu, lo bawa gue kerumah dan lo meluk-meluk gue, dan sebelum semuanya terjadi. Kita pernah ketemu di bar.."

Karra membeku. Mulutnya tiba-tiba seperti terkunci. Dia tidak bisa mengatakan sesuatu untuk membela dirinya sendiri. Leon benar-benar sampah. Kenapa sih dia bahas masalah kayak begini yang kalau Karra jawab malah jadi kayak curhat colongan?

"Apa perlu gue jelasin satu-satu biar lo gak salah paham?" tanya Karra yang mencoba menutupi ke grogiannya.

"Haha.. gak usah tegang!" Leon terbahak, sikapnya membuat Karra hampir hilang kesabaran. Tapi mau bagaimana, dia tidak punya tinju yang bagus seperti Aga.

"Gue bisa gila kalo ngeladenin lo. Pantesan aja Aga hampir nonjok lo. Ternyata mulut lo rese juga yah!"

"Dan sebagai ketua kelas lo malah ngebela Aga yang mau nonjok gue? Bukan bersikap adil? Malah lo mau fitnah gue dengan ngasih gue point kekerasan padahal yang mau ngelakuin kekerasan ke gue adalah Aga..lo naksir sama cowok es dingin begitu?"

Karra mengepalkan tangannya saking kesalnya.

"Leon! Balik ke kelas sebelum gue bener-bener kasih point fitnah ke lo!"

"Gak akan!"


*********


"Leon brengsek! Gue jadi dapet masalah repot begini.."

Aga membanting ponselnya ke mejanya. Dia beberapa kali chat Vania tapi tidak ada jawaban, dibaca pun tidak.

"Gue lagi ngajarin lo gimana rasanya ditinggalin sama orang yang udah bikin lo ketergantungan.."

Kata-kata Leon terus terngiang dipikirannya. Apa dia benar-benar akan kehilangan sosok yang sudah membuatnya ketergantungan selama ini? Apa Leon secara tidak langsung sudah memintanya untuk merasakan apa yang ia rasakan pada Egla dulu? Di mana Aga hanya menganggap itu hal sepele dan Leon terlalu cengeng dengan berkali-kali memikirkan Egla yang pergi.

Tapi Egla kan pergi dengan brengseknya. Vania engga...

"Kenapa gue mikirin masalah gak penting begini sih!" Aga menaikkan kedua kakinya ke meja dan melipat tangannya di dada. Ia melirik kursi Leon yang kosong sejak jam pelajaran pertama sampai istirahat ini. Dalam hati menyesal juga.

Menyesal kenapa dia tidak menonjok mukanya lebih dulu sebelum Leon kabur.

"Gue liat Vania pulang.. lo ada apa sih sama dia?" Faiz yang baru datang sambil membawa sebungkus roti untuk Aga langsung membuatnya antusias.

"Pulang?"

"Iya, tadi bawa tas, terus dijemput sama Jero, gue sempet tanya, dia bilang gak enak badan." Faiz menjelaskan. Jero adalah supir pribadi Vania yang selalu mengantarnya kemana pun dia pergi. Aga mengenalnya dengan baik karena laki-laki yang lebih tua tujuh tahun darinya itu pernah mengajarinya gaya bertarung jalanan, bahkan sampai Aga menguasainya.

Aga menarik nafas dalam-dalam. Benar kan apa yang selalu ia hindari selama ini, kalau sudah berurusan sama hati memang jadinya rumit, yang tadinya tidak ingin menyakiti siapapun, sekarang malah orang yang paling tidak ingin dia sakiti, yang tersakiti.

"Menurut lo Vania berlebihan gak sih?"

"Apa?"

"Iya.. dia jelous gara-gara liat gue barengan cewek lain. Terus dia bilang mau ngejauhin gue supaya gue gak ngerasa dihalang-halangin disaat mau deket sama cewek lain."

"Baru ini gue denger Vania bisa begitu.. tapi mungkin yang lo maksud berlebihan bukannya sikap Vania yang mau ngejauhin lo, tapi Vania yang selalu mau punya status sama lo, sampai akhirnya dia merasa gak bisa raih itu dan ngebebasin lo dari dia."

Gotcha! Faiz memang paling mengerti bahasa kalbu Aga. Dia benar, yang berlebihan adalah sikap Vania yang terlalu menganggungkan soal status dan cinta-cintaan. Padahal Aga tidak percaya dengan cinta anak SMA, menurutnya berlebihan.

"Begitulah.."

"Yaudah, lo cukup bersikap kaya biasa aja. Entar juga dia lupa.. haha, Vania aja bisa jauh dari lo, iris kuping gue!"

Aga tersenyum kecil. Faiz benar, Vania tidak akan menjauhinya, tapi mungkin agak sedikit jaga jarak.

Dia membuka bungkus roti yang diberikan Faiz. Biasanya Vania yang membelikannya dan mengantarnya ke kelas, lalu mereka makan bersama. Itupun kalau Aga tidak sedang tidur. Dan seperti sekarang, dia sedang tidak bisa tidur.

"Leon gimana?" tanya Faiz tiba-tiba.

"Lo masih inget Egla kan?"

"Dikit..."

"Leon lagi bikin gue bernasib sama kayak dia. Biarin aja.."



**********


"Duh sial yah. Kalah mulu gue kalo main baku hantam begini.." Leon menggaruk-garuk kepala bagian belakangnya. Dia jengkel karena sedari tadi dirinya kalah terus saat sedang bermain game Anger of stick.

Sekarang Leon ada di belakang sekolah, bolos sambil makan risol kantin kesukaannya. Dia sedang menikmati kesendiriannya dengan senang hati. Biasanya memang seperti itu, tapi kali ini berbeda karena dia sedang bermasalah dengan kisah cintanya Aga.

Leon yakin Aga sudah sadar kalau dia ingin Aga merasakan hal yang sama. Karena pada waktu itu yang dikatakan Aga hanya lemah, cengeng, chicken, dan kata-kata merendahkan lainnnya padanya. Dia tidak tau saja Leon begitu kehilangan sosok Egla karena dia sama sekali tidak punya siapa-siapa disekitarnya. Dia sendiri. Dan saat itu Egla yang selalu menemaninya malah pergi.

Dan si brengsek es dingin itu malah ngatain gue ayam, sekarang rasain deh lo kepikiran.

Leon tau persis peran Vania sangat jauh berbeda dari Egla. Vania sudah melekat di diri Aga dari kecil, kehilangan Vania sama saja seperti kehilangan sebagian kisahnya sendiri untuk Aga. Beda dengan Egla pada Leon, Saat itu mereka sama-sama seorang anak yang sakit, lalu mereka saling cerita dan akhirnya dekat, lalu Leon merasa punya teman, Leon mulai hangat, dan Egla selalu memberinya sebuah senyuman, Leon mulai sering tersenyum dan Leon mulai menyukai Egla, lalu menganggapnya hero.

Eh pergi.. kan tai.

"Percaya deh Van.. lo bakal berterimakasih banget sama gue karena gue udah nyelametin lo dari Aga yang plin-plan itu."

Leon memakan risolnya lagi, dia membeli lima bungkus dan sudah habis tiga termasuk yang di dalam mulutnya. Dia belum berencana untuk masuk kelas, barangkali dia akan bolos sampai jam pelajaran berakhir.

"Lo gak nyelametin Vania dari siapapun.."

Leon menoleh, lalu tersenyum. Ah~hilang deh kesendirian gue.      







To be Continued....

Continue Reading

You'll Also Like

224K 16.7K 42
Nara, seorang gadis biasa yang begitu menyukai novel. Namun, setelah kelelahan akibat sakit yang dideritanya, Nara terbangun sebagai Daisy dalam dun...
4.2M 124K 87
WARNING ⚠ (21+) πŸ”ž π‘©π’†π’“π’„π’†π’“π’Šπ’•π’‚ π’•π’†π’π’•π’‚π’π’ˆ π’”π’†π’π’“π’‚π’π’ˆ π’˜π’‚π’π’Šπ’•π’‚ π’šπ’ˆ π’ƒπ’†π’“π’‘π’Šπ’π’…π’‚π’‰ π’Œπ’† 𝒕𝒖𝒃𝒖𝒉 π’π’“π’‚π’π’ˆ π’π’‚π’Šπ’ 𝒅𝒂𝒏 οΏ½...
477K 37.1K 17
[SEBAGIAN DI PRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU BARU BACA] Dilarang ada hubungan antara senior dan peserta OSPEK, Galen, sebagai Ketua Komisi Disiplin terpa...
475K 1.5K 9
Katya Shelomita memiliki insekuritas tinggi terhadap salah satu bagian tubuhnya sejak dia menginjak bangku SMP. Gadis manis yang mungil itu kehilang...