Reconciliation

By MarsHeaven

1M 67.1K 5.2K

Trust takes years to build, seconds to break and forever to repair. Dia kembali hadir dalam hidupku dan akhir... More

5. Titik Balik
9. Re-post Keputusan
11. Pengakuan
12. Luka yang Kembali Terbuka
13. Alasan Pergi
14. Bimbang
15. Goodbye
Bagian 16 - Pulang
17. Sulit Melepaskan dan Memaafkan
18. Luapan Emosi 1
18. Luapan Emosi 2
19. Rujuk
Kuis RC
20 - Honeymoon 2
21. Pecah
22. Semak Membara - 1
22. Semak Membara 2
Pengumuman
Pengumuman Lagi
23.1 Berani Memaafkan
23.2 Berani Memaafkan
24
25
26
Q and A
Jawaban Q and A

20 - Honeymoon 1

34K 2.9K 161
By MarsHeaven

Yang di bawah umur menyingkir dulu sampai dua part ke depan.

Enjoy

"Aku pengin bikin usaha sendiri, Mba. Tapi, Bapak dan Ibu kayaknya keberatan. Penginnya aku kerja jadi PNS atau kantoran." Cerita Mada sedih.

"Mau bikin usaha apa emangnya?"

Mada terlihat malu, mukanya memerah. "Toko bunga dan tanaman."

Berbeda denganku yang suka menggambar, Mada dari dulu memang punya kesenangan dan hobi pada tumbuhan dan taman. Dia sering keluar masuk hutan atau kebun-kebun bunga hanya untuk melihat-lihat tumbuhan apa saja yang ada di dalamnya.

"Bukan hanya toko bunga dan tanaman Mba, ada jasa pelayanan nursery, landscape dan gardening juga."

"Idenya bagus." Rey yang tadi sedang memandikan Si Kembar bergabung bersama kami. "Apalagi kalau kamu membukanya di kota-kota besar. Cangkupan pasarnya juga makin luas. Kamu bisa menawarkan jasa kamu ke komplek perumahan, apartemen, hotel, perkantoran, kawasan industri, rumah sakit, lapangan golf juga bisa."

Mada yang tadi terlihat sedih, tiba-tiba berubah penuh semangat. "Iya Mas, rencanaku juga begitu. Pas aku ke Hokkaida ada beberapa jasa rental plant yang menggunakan konsep seperti itu. Orang-orang Jepang sekarang kebanyakan tinggal di apartemen atau flat, jadi konsep seperti ini berkembang sangat cepat. Aku ingin menerapkannya di sini." Jelasnya menggebu-gebu.

Rey melirikku dan tersenyum kecil, "Bersemangat dan tahu apa yang diinginkan. Bisa jadi modal yang cukup. Benar, kan?" keningku berkerut, tidak mengerti maksud ucapannya. Melihat ekspresiku dia justru mengerlingkan matanya jahil.

Adakalanya aku salah tingkah jika Rey memperlakukanku seperti ini, menggoda. Sejak memutuskan untuk memulai semuanya dari awal beberapa kali dia melakukannya. Entah dengan ciuman kecil di pipi atau kerlingan mata jahil seperti tadi.

"Siapa saja yang lihat Mas Rey dan Mba Ora seperti tadi, pasti bakalan nyangka kalau kalian baru aja nikah."

"Kenapa?" tanya Rey, masih dengan senyum kecil di bibirnya.

"Aku kan sering lihat Mas Rey diam-diam cium Mba Ora atau ngedipin mata kayak tadi."

"Nggak boleh?"

"Boleh aja... tapi kan nggak sering-sering juga kali." Mada mencebik kesal.

"Anak-anak mana?" Aku bertanya pada Rey mengabaikan keluhan Mada. Mada yang cerewet tidak akan berhenti kalau tidak ada yang menghentikannya.

"Sama Eyang, lagi diajarin main dakon di belakang." Jawabnya, lalu kembali mengalihkan perhatiannya pada Mada, "Menurut Mas ide kamu bisa dijalankan kok Mada, pangsa pasarnya masih luas, belum banyak orang yang menawarkan konsep seperti itu."

"Iya, tapi Bapak nggak setuju. Usaha seperti ini modalnya nggak kecil Mas, butuh dana besar. Belum lahannya, harus luas. Kata Bapak masa depannya nggak ada."

Rey menggangguk setuju, "Kamu bisa buat proposal untuk konsepnya nggak? Nggak perlu terlalu detail, kasarnya aja juga nggak pa-pa. Mas cuma pengin tahu gimana konsep kamu berjalan."

"Aku udah buat!" ucap Mada makin bersemangat, " Sebenarnya kemarin pas aku ke Hokkaido, aku udah buat proposalnya. Kak Dipta yang bantuin. Ada salah satu perusahaan di sana yang berminat dengan konsep yang aku susun. Tadinya aku berniat mengajak mereka bekerja sama, tapi ternyata banyak sekali kendalanya."

"Bagus kalau begitu, nanti Mas lihat." Rey melirikku sekilas. "Ada yang mau Mas omongin sama Mba kamu,"

"Aku harus pergi dulu?" potong Mada cepat.

"Tepat!"

"Hih... dasar. Ya udah aku main sama Si Kembar aja."

Rey menolehkan kepalanya begitu Mada pergi, tersenyum lebar. Beberapa hari ini aku sering melihatnya tersenyum. Dia terlihat begitu bahagia. Senyumnya selalu merekah.

"Aku ingin pergi bulan madu." Ucapnya tiba-tiba.

"Pergi apa?" tanyaku kaget.

"Honeymoon. Kita belum pernah melakukannya. "

Lalu apa aku sekarang ingin melakukannya? entahlah, aku tidak tahu. Tapi, ajakan Rey terus terang membuatku bahagia.

"Berdua?"

Rey mengangguk.

"Anak-anak?"

"Eyang mau menjaga mereka, Bapak dan Ibu juga. Ada Mada juga."

"Aku nggak pernah ninggalin mereka. Mereka juga sama, nggak pernah aku tinggal lama. Takut rewel." Tolakku.

"Hanya dua hari." Ucapnya lembut, "Kita berangkat siang ini, pulang lusa. Mau ya?" bujuknya lembut,

Sejak kemarin, beberapa kali Rey membuatku terpana. Kadang aku bahkan tidak bisa mengatakan apapun dan hanya diam menatapnya. Seperti sekarang.

"Kenapa? Nggak mau?" nada kecewa dari suaranya terdengar jelas.

Aku menggeleng, "Kamu memang sedang mencoba memperbaiki semuanya. Biasanya kamu tidak pernah bertanya, kamu selalu memutuskan semuanya sendiri." Ucapku lirih.

"Aku sudah janji mau berubah."

"Susah?"

"Hmmm..." gumamnya, "Tadi sebenarnya aku mau lansung menarikmu pergi, tapi kamu pasti akan marah jadi aku menahan diri."

Aku tertawa.

"Rasanya sudah lama sekali nggak melihatmu tertawa lepas seperti ini." Rey memainkan ujung rambutku. "Jadi, kita pergi?"

"Kita bawa anak-anak aja Rey. Aku nggak bisa ninggalin mereka." Rey terlihat kecewa, namun dia memaksakan diri untuk tersenyum. "Kalau perginya nggak jauh, asal kita bisa ketemu mereka dalam hitungan menit nggak pa-pa kita pergi." Tambahku.

Wajah Rey seketika langsung sumringah, dia tersenyum lebar.

"Beneran?"

"Hmm... kalau dekat tempatnya, saat mereka rewel kita bisa langsung pulang ketemu mereka."

"Sebenarnya aku juga nggak ngajak kamu pergi jauh, hanya setengah jam naik mobil." Dia tersenyum jahil. "Lingga minjemin villanya di Guci, aku mau ajak kamu kesana."

Lagi-lagi aku tertawa, "Kasian benar aku, diajak honeymoon cuma ke Guci."

"Kamu mau kemana? Paris, Maldives, Hawai atau Sintra? Terserah kamu mau kemana." Ujarnya antusias.

Lagi-lagi aku terpana, dia benar-benar berubah. Biasanya jangankan mau berdiskusi, bertanya saja dia tidak pernah. "Ke Guci cukup." Aku meraih tangan Rey, memainkan jari-jarinya. Rey tersenyum senang, dia menarik tanganku ke bibirnya dan mengecupnya lembut.

"Terima kasih." Ucapnya.

Aku tersenyum simpul, mungkin kembali padanya adalah keputusan yang tepat.

*****

Persis seperti yang kuduga Si Kembar tidak mau ditinggal, mereka membujukku dengan segala upaya agar tidak pergi.

"Nanti kita tidurnya gimana, Ma?" bujuk Luce, menggunakan alasan rajukan yang sama seperti sebelumnya.

"Lho kan jagoan mama udah lama bisa tidur sendiri."

"Tapi, kan mesti baca cerita dulu. Nanti siapa yang bacain cerita?" Luys ikut menimpali.

"Tante bisa bacain." Mada membalas ucapan mereka.

"Nggak mau, maunya sama mama aja." Jawab keduanya.

Rey yang sejak tadi hanya menjadi penonton berjongkok di depan mereka, menatap mereka bergantian.

"Kenapa nggak mau ditinggal?" tanyanya lembut.

"Nanti nggak bisa tidur."

"Nggak bisa tidur kalau nggak ada mama."

Jawab keduanya bergantian.

"Kemarin bisa tidur sama Oma dan Opa."

Mereka memberengut, kesal akan ucapan Rey.

"Papa pinjam mamanya sebentar, dua hari aja, nanti Papa balikin lagi. Janji."

"Nggak boleh, kalau pinjemnya sebentar nggak pa-pa. Kalau lama jangan, aku nggak mau." Tolak Luce lirih, mata keduanya mulai berkaca-kaca. Sebentar lagi mereka pasti menangis. Tak mau melihat mereka sedih, aku ikut berjongkok bersama Rey dan membelai kepala mereka lembut.

"Kita pergi bareng-bareng aja, Mama juga nggak bisa pergi kalau kalian nggak ikut." aku menoleh pada Rey, menatapnya penuh maaf. Dia terlihat kecewa, namun senyum kecil tetap tersungging di bibirnya.

"Maaf," ucapku lirih padanya.

Rey mendekat, lalu mengacak rambutku gemas. "Mau bagaimana lagi."

Rey menarik Si Kembar dan mengangkat mereka bersamaan di masing-masing tangannya. "Lain kali, Papa boleh pinjam mama?"

Keduanya masih memberikan jawaban yang sama, menggelengkan kepala kencang. Rey membujuk mereka dengan memasang wajah sedih, namun Si Kembar tetap pada jawabannya.

*****

"Tempatnya sejuk," Rey berkata saat kami mengantar Lingga sampai halaman depan. Lingga hanya sebentar menemani kami karena ada urusan. Mbah Danu dan Mba Dilah penjaga villa yang akhirnya menemani kami.

Dulu aku sering datang ke sini, setiap kali libur sekolah aku selalu menghabiskan waktuku di sini bersama sepupu-sepupuku yang lain. Tempat ini masih sama seperti dulu, tak banyak yang berubah. Gelonggongan kayu jati dengan ujung datar yang sengaja Pakde Rahim letakkan tepat di tengah halaman masih di tempatnya. Batu-batu yang dipahat datarpun masih mengelilingi meja itu. Pohon pinus yang berjejer rapi mengelilingi rumah sekarang tumbuh makin tinggi.

"Rumahnya juga bagus." Rey berdiri di tengah-tengah halaman dan mengedarkan pandangannya ke segala penjuru.

"Pakde yang ngerancang bangunannya sendiri."

"Tradisional banget."

"Tunggu sampai kamu masuk ke dalam."

Villa keluarga Lingga ini memang sangat tradisional. Hampir sembilan puluh persen bangunannya terbuat dari kayu jati. Jendela dan pintunya penuh ukiran rumit. Atapnya meruncing tinggi ke atas.

"Kamu sering ke sini?"

"Dulu setiap kali libur sekolah, biasanya selama beberapa hari aku dan Mada nginap di sini. Kalau kita turun melewati jalan curam yang ke kiri, ada pemandian air panas. Aku dan Mada tiap sore selalu mandi di sana."

"Si Kembar pasti suka di sini." Ucap Rey penuh senyum. Diam-diam aku meliriknya. Matanya selalu berbinar saat membicarakan Si Kembar.

"Pastinya, lihat aja mereka sekarang."

Rey mengikuti arah tatapanku, lalu tertawa nyaring saat menemukan Si Kembar sedang berebut ayunan.

"Mau nemenin tour sebentar?" Rey mengulurkan tangannya.

"Anak-anak?"

"Guys! Panggil Rey semangat, "Papa sama Mama mau ke bawah sebentar beli sayuran, ikut?"

"Nggak, Pa."

"Beneran?"

"Iy a, beneran." Jawab mereka kompak.

"Mereka nggak mau ikut, jadi kita pergi berdua."

"Masa mereka ditinggal sendiri?"

"Nggak mungkin aku biarin mereka sendiri, sebentar aku panggil, siapa tadi namanya Mbah Dellah?"

"Dillah, Mbah Dillah."

"Oke, tunggu sebentar." Rey berjalan ke halaman samping tempat Mbah Dillah dan Mbah Danu terakhir terlihat. Tak lama Rey datang dengan Mbah Dillah, dengan sopan dia meminta tolong agar Mbah Dillah menjaga Si Kembar. Lagi-lagi sisi lain Rey yang baru aku lihat sekarang membuatku terkejut. Tak ada lagi Rey yang arogan seperti dulu.

Dia berubah, banyak berubah.

"Titip anak-anak yah Mbah."

"Iya, Mba Rara." Aku tersenyum senang, Mbah Dillah adalah satu dari sedikit orang yang masih memanggilku dengan nama kecil.

"Ayo," ajak Rey. Dia meraih tanganku dalam genggamannya, membawaku berjalan tepat di sampingnya. "Kita kemana dulu?"

"Katanya mau beli sayuran?" tanyaku bingung, ingat itu alasan yang dia berikan saat mengajak Si Kembar tadi.

Dengan sudut matanya, Rey melirikku kesal, "Aku bilang begitu biar anak-anak nggak ikut. Mereka nggak suka sayuran."

Aku hanya tertawa mendengar alasan konyolnya. Tawaku terhenti saat Rey menghentikan langkah kakinya, dia merapikan rambutku ke belakang telinga, Menatapku lama, hingga aku terkunci pada kedalaman matanya. "Tawamu masih sama seperti dulu, sangat mempengaruhiku. Dulu saat pertama kali kamu tertawa padaku, jantungku langsung berdetak hebat, seperti sekarang."

"Rey..."

"Kamu tidak akan percaya kalau aku mengatakannya. Tawamu,"

"Tawaku kenapa?"

"Tawamu, sejak pertama kali aku melihat dan mendengarnya aku tidak pernah bisa melupakannya. Kamu yang duduk di sofa putih, dengan rambut tergerai dan menertawakan ucapanku, saat itu terlihat begitu cantik. Aku begitu terbuai hingga akhirnya membuatku melakukan---"

"Dosa besar." Potongku. Rey terbelalak mendengar apa yang aku ucapkan tanpa menyadari senyum kecil yang muncul di bibirku.

"Dosa besar." Sahutnya menyetujui. "Kamu menyesal?"

"Hmm... aku mengecewakan Bapak dan Ibu, menghancurkan kepercayaan mereka. Jika bisa memperbaikinya, aku ingin memperbaikinya."

Rey kembali menarik tanganku, agar ikut berjalan bersamanya. Matanya menatap lurus ke depan. Terlihat kalut dan memikirkan banyak hal.

"Kamu tahu kata apa yang paling banyak aku gunakan sejak bertemu denganmu?"

Aku menggeleng.

"Jika atau seandainya. Sejak kamu meninggalkanku, aku banyak berandai-andai. Seandainya aku memperlakukanmu lebih baik, seandainya aku bisa lebih menjagamu, seandainya aku bisa membuatmu lebih bahagia. Banyak sekali seandainya yang aku gunakan agar kamu tidak meninggalkanku." Genggaman tangannya makin erat, Rey bahkan meremas tanganku pelan.

"Bapak dan Ibu, membesarkanku dengan baik. Membekaliku dengan ilmu agama yang cukup. Apa yang terjadi padaku, membuat mereka merasa gagal sebagai orangtua. Wajah kecewa mereka saat aku mengatakan kehamilanku masih bisa aku ingat dengan jelas. Ibu menangis, bapak membisu, langkahnya tertatih dan lemah saat meninggalkanku. Sejak hari itu selama bertahun-tahun, aku berharap agar aku tidak pernah bertemu denganmu."

Rey terus berjalan, kali ini langkah kakinya melambat. "Tentu saja aku mensyukuri kehadiran Si Kembar. Mereka anugerah terbaik, hanya saja aku berharap kehadiran mereka tidak dengan cara seperti itu. Mereka hadir, karena rasa kecewaku." Aku berhenti, saat sadar hampir saja mengatakan alasan yang membuatku pergi darinya.

"Rasa kecewa karena pengabaianku." Rey berhenti berjalan, dia membalikkan tubuhku agar kami saling berhadapan. Dia menarikku lembut, kemudian memelukku. "Terima kasih mau memberikanku kesempatan untuk memperbaiki segalanya." Bisiknya tepat di telingaku.

*****

Saat Rey mengatakan ingin pergi bulan madu, yang langsung terlintas di kepalaku adalah keintiman yang akan kami bagi. Rey menegaskan keinginannya terang-terangan, matanya terus mengikuti gerak-gerikku dengan sangat intense, mengharap dan intim. Aku tahu apa yang dia pikirkan, sama seperti aku tahu apa yang ada dalam pikiranku.

Sejak kembali dari berkeliling sekitar villa, Rey menyampaikan maksudnya dengan lebih agresif, berkali-kali dia mendekatiku. Tiba-tiba memelukku atau mencium sekitar wajah dan leherku. Aku harus memelototkan mataku berkali-kali karena dia melakukannya tepat di depan anak-anak.

"Rey berhenti!" hardikku lirih, saat lagi-lagi dia mencium leherku. Sesekali dia bahkan menggigitnya pelan. "Ada anak-anak," aku menggeliat saat bukannya menuruti keinginanku dia malah terkekeh. "Rey!"

"Hmm..."

"Jangan, ada anak-anak." Lirikkanku jatuh pada Si Kembar yang tengah asyik bermain robot-robotan tepat di bawah kami.

"Kalau nggak ada anak-anak, kamu mau?"

"Apaan sih!"

Rey tertawa kencang, hingga membuat Si Kembar yang tadi sangat sibuk mengalihkan perhatiannya pada kami.

"Udah malam, nggak ngantuk?" Rey turun mendekati mereka, saat tawanya sudah berhenti.

"Belum jam Sembilan." Luys cemberut saat menjawabnya. "Papa cium-cium Mama terus dari tadi." Aku membelalak , tak percaya mereka menyadari apa yang kami lakukan.

"Nggak boleh tahu, Pa." celetuk Luce, "Kemarin kan Mbah Utik bilang sama kita kalau Om Dipta, cium-cium tante Mada harus dilarang. Nggak boleh katanya."

Sekuat tenaga aku menahan tawa, Rey menatap mereka dengan takjub dan mulut terbuka.

"Mbah Utik larang karena Om Dipta sama Tante Mada belum menikah. Beda sama Papa dan Mama." Rey menjawabnya sambil melirikku, meminta bantuan.

"Kenapa nggak boleh? Om Dipta sama Tante Mada kan pacaran kok nggak boleh cium-cium. Emang kalau cium-cium itu dosa, Ma?" tiba-tiba ditanya membuatku gelagapan.

"Nggak do..sa.." jawabku terbata-bata.

"Terus kenapa nggak boleh?"

"Kalau nggak dosa nggak pa-pa dong?"

Cerca keduanya.

"Seperti yang Papa bilang, karena belum menikah makanya nggak boleh." Kali ini berganti aku yang melirik Rey.

"Dulu Papa sama Mama ciumannya pas belum nikah apa udah nikah?"

Aduh.

"Belum nikah." Jawab Rey cepat, tersenyum lebar. "Di bibir." Lanjutnya puas. Sebelum kemudian berteriak, "Aduh! Sakit." aku memukul punggungnya kencang.

"Jangan ngomong sembarangan." Desisku kesal. Dengan wajah penuh senyum aku mendekati Si Kembar, duduk berjongok tepat di depan mereka "Udah malam, tidur yuk. Mainannya dirapihin dulu," walaupun enggan Si Kembar mengikuti ucapanku. "Cuci kaki sama tangannya dulu, baru boleh naik ke tempat tidur. Bentar lagi mama nyusul." Mereka mengangguk patuh.

Saat Si Kembar sudah pergi, aku mendelik pada Rey. "Udah tahu anaknya suka ingin tahu, malah ngomong sembarangan. Kalau mereka tanya aneh-aneh, susah nanti jawabnya."

Rey menarikku kencang hingga aku jatuh di pangkuannya. Bibirnya tersenyum, lalu dengan cepat menempel di bibirku, mengunci dan menjelajahinya dengan kerakusan yang tidak ditahan.

"Rey..." panggilku terengah-engah. Tidak terbiasa dengan ciumannya yang membabi buta. Kalau aku tidak melepaskan ciuman kami, bisa-bisa aku kehabisan nafas.

"Hmm..." gumamnya. Lalu kembali menarik kepalaku dan kembali mencium bibirku.

"Anak-anak,"

"Sudah pergi." Jawabnya, kemudian memindahkan ciumannya di lekukan leherku.

"Mereka bisa ---" ucapanku tidak pernah selesai karena bibirnya kembali mengunci bibirku. Dalam sekejap aku terlena dan melupakan segalanya kecuali dia dan kelembutan yang dia bagi. Ciumannya tak lagi seperti tadi, kali ini perlahan dan begitu halus. Begitu memabukkan.

"Ma... baju tidurnya mana?" teriakan Si Kembar membuatku berjengit kaget. Kalau aku tidak berada di pangkuan Rey dengan tangannya menahanku pasti aku sudah jatuh.

"Se..ben..tar sayang, Mama ambilkan." Teriakku dengan terbata-bata, nafasku berkejaran. Kondisi Rey pun sama denganku. Dia terengah-engah, mukanya memerah dan mengeras di beberapa bagian.

"Nanti," gumamnya penuh janji.

_______________________

Thanks for read, Vote and comment.

Mars, 21Agustus 2016
XOXO

tuheRofiah

Continue Reading

You'll Also Like

2.2M 33.1K 47
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
1.4M 130K 49
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
2.7M 27.4K 27
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
426K 26.9K 55
Masalah besar menimpa Helena, ia yang sangat membenci bodyguard Ayahnya bernama Jason malah tak sengaja tidur dengan duda empat puluh empat tahun itu...