You're MINE!

By teh_iis

58.2K 731 70

Hanya cerita biasa. Cinta, rindu dan benci yang begitu dekat, menyatu dan kompak bersarang di hati saat menja... More

Prolog
PENGUMUMAN
Chapt. 4 - Hujan
Chapt. 15 - Terluka
Chapt. 24 - Lebih Dekat
Chapt. 36 - Kejutan Sialan
Chapt. 38 - Kehidupan Baru
INFO - KABAR GEMBIRA
Pengumuman Unpublish

Chapt. 25 - Menyelesaikan yang harus diselesaikan

1.9K 73 6
By teh_iis


Author's POV

Cuaca kota udang siang ini sangat terik, sama seperti biasanya. Matahari tanpa malu-malu tebar pesona di atas langit biru nan indah. Jalanan padat merayap ramai sekali. Sedangkan asap kendaraan dan debu jalanan beterbangan mengotori udara sehingga membuat pepohonan penghias jalanan seperti dibedaki debu berwarna cokelat.

Perlahan Yori menatap mata gadis yang duduk dihadapannya. Yori sedang berada di kediaman pejabat tinggi TNI AD, Jenderal TNI Mulyono. Sesekali dia menatap ke arah Amelia yang sejak tadi menyeka air matanya. Amelia menangis karenanya, hal yang sangat Yori sesalkan. Dia tidak menyangka jika pada akhirnya menjadi seperti ini.

"Saya minta maaf Mel. Demi Allah dari awal saya tidak berniat untuk menyakitimu. Kamu sudah saya anggap adik sendiri. Saya tidak munafik, kamu cantik dan pintar, laki-laki mana yang tidak ingin menikah denganmu, tapi disini saya sudah mempunyai pilihan saya sendiri. Wanita yang selama 3 tahun ini menguasai hati saya. Dari awal memang saya salah karena seperti memberi harapan untukmu, saat itu saya hanya sedang berfikir bagaimana menjelaskannya padamu dan Komandan. Sedangkan Komandan Mulyono sendiri seakan tidak memberikanku kesempatan untuk memutuskan dan menjelaskannya. Saya minta maaf."

"Aku malu mas, aku malu sama kamu. Selama ini aku mengira Mas Yori menerima perjodohan ini. Nyatanya aku yang salah karena menyalah artikan kebaikan dan sikap Mas Yori padaku yang ternyata hanya menganggapku adik." Jujur Amelia ditengah isakannya.

Sejujurnya dia bukan marah hanya merasa malu karena cintanya bertepuk sebelah tangan. Dan baru mengetahui kebodohannya begitu menyadari bahwa hati mereka saling berseberangan.

Amelia menautkan jarinya. "Aku sadar sepertinya cintaku bertepuk sebelah tangan. Dan itu... memang menyakitkan."

Walau berat Amelia tetap menyelesaikan kata-kata nelangsa itu. Yori meringis melihat isakan Amelia yang terdengar miris.

"Saya yakin kamu akan mendapat laki-laki yang lebih baik dari saya Mel. Saya berharap kamu dapat membuka hatimu untuk pria lain, jangan tutup dirimu hanya karena saya. Mungkin kita memang tidak berjodoh dan kamu harus yakin kalau Allah telah menuliskan skenario yang lebih indah suatu hari nanti untukmu." Ucap Yori yang membuat tetesan air mata Amelia semakin jatuh ditangan.

Perlahan dia mengangguk menyetujui, ini pasti bisa dilaluinya. Amelia menerawang pada dimensi beberapa tahun lalu, apakah ini semacam karma untuknya?

Bukankah beberapa tahun lalu ia juga telah menyakiti seorang pria dengan penolakannya? Seperti inikah rasanya ditolak? sangat menyakitkan sekali

Amelia mendongak, dia mengelap bulir-bulir air matanya yang membanjiri pipi sambil tersenyum nanar.

"Nggak apa-apa. Mungkin aku yang terlalu berlebihan, mencintai bukan berarti harus memiliki kan?"

"Sekali lagi maafkan saya Mel.. Saya berharap setelah ini hubungan silaturahmi kita tidak putus."

Setelah semua ini bisakah silaturahmi tetap terjaga? Yori berharap tetap, karena bagaimanapun keluarga Pak Mulyono sudah sangat baik terhadapnya.

"Sudah aku maafkan, aku juga minta maaf karena sempat membuat kacau hubungan Mas Yori. Baiklah, nanti aku akan mencoba membicarakan ini dengan Bapak dan keluarga. Apa Mas Yori sudah bertemu Bapak?" Tanya Amelia. Yori menggeleng.

"Belum, mungkin besok jika Komandan sudah pulang."

"Aku akan membicarakan lebih dulu dengan Bapak, aku berharap Bapak juga bisa menerima. Amel akan bantu bujuk Bapak. Mas Yori tenang saja." Ucap Amelia yang membuat Yori bernafas lega.

"Terimakasih"

Amelia menghela nafas dan menghembuskannya perlahan mencoba memberikan ketegaran untuk dirinya sendiri. "Jadi siapa gadis yang beruntung itu?" Tanya Amelia pada Yori. Yori terkesima dengan topik kali ini.

"Dia Vitha, Vitha Maharani dia gadis sederhana yang menguasai hati saya selama ini."

Amelia mengulas senyumnya. "Dia pasti wanita hebat."

"Tentu saja." Kata Yori, dia tersenyum bangga. Vitha memang perempuan hebat untuknya, selain Ibunya, Vitha adalah perempuan yang dapat menenangkan segala kerisauannya. Rasanya hanya Vitha yang mampu menguasai dirinya.

***

"Jadi apa mau mu sekarang, Yor?"

Tanya Komandan Mulyono sambil menopangkan dagu ditangannya di atas meja. Mulyono sudah tahu perihal pembatalan atau lebih tepatnya penolakan Yori tiga hari yang lalu dan Yori baru bisa bertemu dengan Mulyono setelah kesibukan yang menjeratnya.

Amelia berhasil memberikan pengertian kepada Mulyono bahwa cinta memang tidak bisa dipaksakan, lagipula Amelia tidak ingin memaksa jika nantinya akan saling menyakiti banyak hati. Baik dirinya, Yori maupun Vitha. Sungguh Amelia ingin hidup tenang dan bahagia dalam rumah tangganya kelak.

Dengan lapang dada Mulyono menerima semua keputusan bersama ini, Ia memang sosok Bapak yang bijaksana, begitu yang Yori akui.

Yori mengambil nafas dan dengan berani menatap Komandannya itu. "Siap, saya ingin meminta restu, saya akan menikahi perempuan pilihan saya, Dan." Tegas Yori.

"Kau ini Yor, Yor.. Kenapa kau tidak bicara sejak awal kalau kau sudah mempunyai kekasih?" Ujar Mulyono menatap anggotanya yang sudah dianggap anak ini.

"Tidak jadilah kau menjadi menantuku?" Tanya Mulyono yang dijawab senyuman oleh Yori.

"Maaf Pak.. saya tidak bermaksud mengecewakan Bapak, Bapak sudah saya anggap ayah saya sendiri, Bapak tahu itu." Mulyono mengangguk-anggukan kepalanya.

"Ya sudah, urus berkas-berkas pengajuan nikahmu. Dan kenalkan aku dengan gadis itu jika kau menganggapku sebagai ayah." Mata Yori melebar, ia merasa tidak percaya dengan apa yang dikatakan Mulyono.

"Siap Dan!"

Yori merasa lega, setidaknya satu bebannya hilang dan masalah yang membelutnya sudah terselesaikan.

***

Di tempat yang berbeda. Vitha meletakkan tasnya sembarangan dan mengambil posisi duduk di ranjang Queen size miliknya. Vitha baru saja pulang dari acara pesta pernikahan teman kampusnya.

Gadis itu mendesah lantas menelungkupkan kepalanya di bantal. Ia merindukan kekasihnya. Sudah seminggu berlalu tetapi kabar terakhir yang diterima Vitha hanya sebuah pesan singkat yang dikirim Yori beberapa hari lalu.

Begitu sibuknya kah dia sampai untuk menelpon saja tidak sempat? Vitha berdecak kesal.

Ia bangun dari duduknya dan perlahan menuju ke arah pintu kaca yang menghubungkan kamar dengan balkon kamar lalu menyingkapkan gorden yang menutupi pintu kaca tersebut dengan pemandangan langit malam yang memamerkan kemegahan langit gelap di luar sana.


Ia membuka pintu lalu berjalan menuju balkon yang menjadi saksi tempat dimana lembar-lembar kesedihan dan kebahagiaan Vitha yang berhubungan dengan Yori ia tumpahkan entah hanya sekedar bercerita pada Senja ataupun angin yang berhembus menerbangkan kerinduannya selama ini.

Saat jarak tercipta, disanalah Vitha tersadar, menunggu sudah seperti makanan pokoknya selama menjalin hubungan dengan Yori yang berprofesi sebagai Abdi Negara. Vitha sadar kalau Negara akan menjadi prioritas utama kekasihnya dan ini sudah menjadi resiko yang harus ia terima. Bagaimanapun Vitha bertemu dengan Yori yang sudah menjadi Prajurit TNI, dan Vitha tentu saja tidak bisa membantah itu.

"Sayang..." Suara bariton yang sangat Vitha rindukan itu membuyarkan lamunannya.

Secepat kilat Vitha menoleh dan mendapati pria paruh baya yang masih terlihat gagah bersandar di ambang pintu bersama wanita cantik yang wajahnya seperti copy-an dirinya tersebut kompak menyunggingkan senyumnya. Vitha mengulas senyum ceria.

"Papi, Mami? Kapan pulang?" Tanya Vitha yang langsung berhambur ke dalam pelukan Maminya, Arita.

"Tadi sore.. Kamu baru pulang sayang?" Tanya Ibunya. Vitha mengangguk.

"Mami kangen deh." Ucap Arita seraya semakin mengeratkan pelukannya.

"Tata juga.."

Mereka bertiga duduk di kursi rotan yang tersedia di balkon dengan pemandangan langit gelap. Sepoi-sepoi angin malam berhembus seolah mengantarkan kehangatan keluarga kecil ini.

"Betah banget sih Mi di Palembang. Gimana keadaan Oma sekarang?"

"Alhamdulillah Oma sudah baikan. Oma nanyain cucu-cucunya tuh. Kamu sama Doni tuh sibuk sama dunia kalian sendiri, Oma perintahin minggu depan kalian jenguk Oma!" Vitha terkekeh, dia tahu betul bagaimana Omanya itu.

"Siip... " Vitha mengancungkan jempolnya.

"Udah makan kamu?" Tanya Nugraha.

"Udah Pih.."

"Ciyee yang diajak main ke rumah calon mertua. Gimana Ta, cerita dong." Goda Arita yang membuat pipi Vitha bersemu merah. Vitha nyengir.

"Hehe.. Mereka nerima aku dengan baik, aku ngerasa nyaman ada ditengah keluarga Mas Yori, kayak punya saudara perempuan. Seru.." Cerita Vitha dengan antusias.

"Alhamdulillah kalau gitu. Nanti pas syukuran Wedding Anniversary Mami Papi kamu undang mereka ya" Usul Arita yang diangguki Vitha.

Nugraha terus mengamati wajah cantik Putri semata wayangnya itu dalam pelukan istrinya. Tangan besar Nugraha terulur mengelus kepala Vitha dengan sayang. Putrinya benar-benar miniatur sang istri.

"Papi nggak nyangka kamu sudah sebesar ini, Ta."

"She has grown up so fast, Pih." Bisik Arita menambahi. Nugraha mengangguk.

Mata Arita sudah berkaca-kaca. Satu tetes bulir air mata jatuh ke wajah Vitha. Dengan cepat Vitha mendongak menyadari Ibunya menangis.

Vitha berdecak. "Tuh kan Mami mah kayak gitu aja nangis!" Tegur Vitha.

Arita menggeleng pelan sambil menghapus air matanya. "Mami nggak nangis." Elak Arita.

Sejujurnya saat ini hatinya bergejolak menahan keharuan bahwa putri kecilnya kini sudah menjelma menjadi gadis dewasa. Rasanya baru kemarin ia masih menuntun Vitha belajar jalan. Waktu berjalan sangat cepat.

"Kamu tahu, Mami terharu, Mami nggak menyangka putri kecil Mami ini sudah besar. Tapi buat Mami, Tata tetap putri kecil Mami."

Malam ini angin bersemilir menyejukkan hati-hati yang sepi, menerbangkan dedaunan, menyapu wajah dengan lembut sehingga beberapa helaian rambut melambai ringan tersapu angin. Vitha diam sambil terus menatap wajah perempuan paruh baya berusia empat puluh tiga tahun dihadapannya kini sudah berlinangan air mata.

"I'll always be your little daughter, Mami." Bisik Vitha, ia mengecup pipi sang Mami. Arita membalas mencium kening putri kesayangannya, tangannya terangkat menyelipkan helaian rambut kebelakang telinga Vitha.

***

Sudah tiga minggu berlalu, dan keadaan malam ini entah kenapa berubah sendu, mata Yori tertuju pada figura yang terpampang jelas di meja kerjanya.

Yori tersenyum melihat dua foto wanita cantik yang terpajang didalamnya.

Foto kanan menampilkan wajah wanita paruh baya berkerudung putih yang selama ini menjadi penyemangat hidupnya dan foto kiri menampilkan wajah wanita yang sudah menguasai hatinya. Kedua wanita yang hangatnya menembus relung jiwa hingga mengantarkan ribuan rasa nyaman berada didekatnya.

Ibunya, Miranti Dermawan dan kekasihnya, Vitha Maharani.

Jam menunjukkan pukul 10 Malam... Malam ini Yori kembali lembur untuk menyelesaikan tugas-tugas yang harus dikerjakannya, belum lagi agenda-agenda dan kegiatan lainnya.

Bukan tanpa alasan jika Yori tidak mengabari Vitha, Yori tipe orang yang disiplin dalam mengemban tugas. Dia tidak akan hidup tenang sebelum tugas diselesaikannya.

Kini, badan dan pikrannya sangat penat. Dia butuh penyemangat. Ia butuh bertemu kekasihnya. Selama tiga pekan ini, komunikasi yang dilakukan mereka hanya sekedar pesan singkat, telepon dan sesekali video call.

Yori mengusap wajahnya lalu membuka laci meja dan mengambil ponsel dari dalam sana. Tangannya mencari sebuah nama dalam kontak ponsel miliknya tersebut.

Tuutt... Tutt... Tutt.., Panggilan pertama tidak ada jawaban. Yori kembali menekan speed dial.

Tuutt... Tutt... Tuttt.., Panggilan kedua masih tidak ada jawaban.

Tuutt... Tutt.., Panggilan ketiga tetap tidak ada jawaban.

Yori menghela nafas gusar. Mungkin kekasihnya sudah tidur. Baiklah, bukankah tubuhnya juga membutuhkan istirahat?

***

Ting tong...

Bel rumah berbunyi, tanda ada orang diluar sana. Perempuan berusia lima puluh tahun berjalan terpogoh-pogoh menuju pintu dan membukanya. Perempuan itu tersenyum lalu mempersilahkan sang tamu masuk.

"Assalamualaikum.."

"Waalaikumsalam.., Eh Mas Yori."

"Bapak sama Ibu ada di rumah, Bi?" Bi Tinah mengangguk.

"Eh pagi-pagi rumah Tante udah disambangi cowok ganteng." Sapa Arita yang tiba-tiba sudah berada dibelakang Bi Tinah.

Yori tersenyum kepada perempuan yang mempunyai garis wajah mirip sang kekasih.

"Pagi, Tante."

"Pagi juga..." Sambut Arita, Yori mencium punggung tangan wanita dihadapannya tersebut.

"Mau ketemu Tata ya? Dia belum bangun, Yor. Biasa deh weekend-an." Tanya Arita. Yori menggeleng.

"Mau ketemu Om Nugraha, Tante." Jawab Yori. Arita mengerutkan keningnyaa namun detik berikutnya ia mengulas senyumnya.

"Ada perlu sama Om dan Tante." Kata Yori yang bisa membaca ekspresi bingung Arita.

"Oh, hmm ya udah yuk Tante antar ketemu Om! Kebetulan Om lagi santai diruang tengah." Ajak Arita yang diangguki Yori. Yori mengikuti Arita ke ruang tengah.

"Papi.. Ada tamu nyariin nih." Suara lembut istrinya bisa langsung didengar lelaki tua yang sedang duduk sambil memainkan ponselnya.

Mata Nugraha langsung menangkap kehadiran Yori ketika ia sudah sampai diruang tengah.

"Eh, Yor.. Apa kabar kamu?"

"Baik Om. Om sendiri bagaimana?" Tanya Yori sambil menyalami Nugraha. Nugraha memberi isyarat untuk mempersilahkan Yori duduk. Yori mengangguk lalu duduk didepannya sedangkan Arita duduk disebelah suaminya.

"Alhamdulillah baik juga. Kemarin saya lewat kawasan YonKav-4 ramai sekali, ada acara apa ya?" Tanya Nugraha.

"Besok HUT Kodam Siliwangi, ini juga lagi ngawal. Makanya ini nyempetin mampir.' Jawab Yori, Nugraha mengangguk.

"Maaf pesanmu baru Saya balas tadi pagi. Semalam Saya baru sampai Bandung. Jadi, bagaimana kelanjutannya, Yor?"

Yori menghembuskan nafas berusaha menghilangkan kegugupan lalu menatap yakin dua orang dihadapannya. Ditengah kesibukan yang menjeratnya Yori harus menyelesaikan sesuatu yang kemarin sempat ia diskusikan dengan Nugraha lewat saluran telepon. Mereka banyak bertukar pikiran sampai pada topik yang memang menjadi tujuan utama Yori saat ini.

"Seperti yang sudah di bicarakan kemarin, kedatangan saya kesini bermaksud melamar Vitha Maharani putri Om dan Tante untuk menjadi Istri saya." Nugraha memasang wajah yang sulit terbaca, ia hanya mengangguk-anggukan kepala, berbeda dengan Arita yang memasang wajah terkejut.

"Heh?" Cicit Arita.

"Begini Mih, beberapa hari yang lalu Yori telepon Papi, dan dia meminta restu untuk meminang putri kita." Kata Nugraha memberi penjelasan kepada sang istri.

"Iya Tante, dan kedatangan saya kesini ingin menegaskan kembali perihal niatan saya ini."

"Kok dadakan ya?"

"Maaf Tante, sebenarnya saya sudah punya niatan ini jauh-jauh hari. Lebih tepatnya sejak saya bertemu kembali dengan Vitha. Hanya saja saya menunggu waktu yang tepat."

"Jadi begini Yor. Selama ini Tata sudah cerita banyak tentang kamu. Jauh sebelum kalian akhirnya bertemu kembali setelah tiga tahun itu. Sebelumnya Om sangat mengapresiasi niatan baik kamu, tetapi ada banyak hal yang harus kamu ketahui dan pahami mengenai anak saya dan mungkin ini akan menjadi bahan pertimbangan kamu." Nugraha terdiam sejenak. Lalu kembali bersuara.

"Kamu tahu? Dari kecil anak saya itu anak yang ceria dan aktif, tapi dia bakal nangis kalau melihat cicak atau kodok. Dia paling suka outbond, walau kadang dia suka ceroboh, dia sering terjatuh saat naik-naik ke pohon lalu menangis sebentar tapi setelah itu kembali menaiki pohon itu lagi."

Yori ikut tertawa saat Nugraha menceritakan masa kecil putrinya

"Kami merawatnya penuh dengan kasih sayang dan segala fasilitas yang dibutuhkannya. Dia sangat dimanjakan Maminya dan dia suka protes karena sebenarnya dia anak yang tegar dan mandiri, saya tahu itu. Sampai akhirnya dia menjadi gadis cantik yang lembut tutur katanya. Gadis cantik yang sangat kami banggakan."

Yori tersenyum seraya terus mendengarkan penuturan calon mertuanya dengan seksama.

"Kami selalu berusaha membuatnya tidak kesepian, beruntung dia punya kakak sepupu yang juga selalu menemaninya. Kami tidak pernah sekalipun membentaknya atau melabuhkan pukulan, karena saya tahu dibalik keceriaan dan kemandiriannya, seorang anak akan rapuh, hatinya mudah hancur jika mendapat bentakan apalagi kekerasan. Jadi saya mohon jangan pernah sakiti dia. Wanita diciptakan dari tulang rusuk kita yang harus kita jaga dan jangan sampai membuatnya patah. Bisa kamu Yor?"

"InsyaAllah bisa Om. Saya Janji."
Memang berat. Namun itu janji Yori, antara dua orang pria. Bukan sekedar omong kosong, apalagi bualan. Itu sebuah tanggung jawab seorang pria untuk wanita yang ia cintai dan mencintainya.

"Yang perlu kamu tahu juga, Tata adalah anak kami satu-satunya, dari awal merintis perusahaan Tata lah yang menjadi alasan saya terus berjuang sampai berada dititik sekarang. Saya bekerja siang malam untuk kebahagiaannya, untuk masa depan putri kecil kami yang sangat kami sayangi. Jadi suatu saat nanti perusahaan kami tentu saja akan diteruskan oleh Tata. Saya berharap jika kamu menikah dengan Tata nanti, ijinkan dia mengurus perusahaan kami, karena kalau bukan Tata yang pegang, siapa lagi?"

"Saya mencari menantu yang bisa membimbing Tata menuju surga Allah, pria berakhlak sholeh yang takut akan Rabb-nya. Sehingga dia tidak akan pernah menyakiti anak saya. Banyak yang datang dan melamar anak saya, dari anak pejabat sampai anak dari kolega-kolega saya, namun tidak ada satupun yang saya terima. Saya tidak pernah mengijinkan anak saya pacaran. Selama ini belum ada satu pria pun yang menggetarkan hati saya saat mereka meminta anak saya, namun sejak pertama saya bertemu dengan kamu, hati saya merasa tenang ketika melihat Tata pergi bersamamu, Yor."

"Karena saya yakin, kamu lelaki yang mempunyai prinsip. Kamu bisa menjaga anak saya dan tidak akan merusaknya. Maka dari itu saya ijinkan Tata menjalin hubungan denganmu."

Hati Nugraha terasa teriris menahan haru. Inilah kenyataanya, perasaan berat ketika seorang ayah akan melepas putrinya menikah dengan lelaki pilihan putrinya. Seorang ayah harus merelakan putri kesayangannya memilih lelaki lain untuk melindungi dan menjaganya. Perasaan sedih karena putrinya memang harus memilih, ada laki-laki lain yang akan mengganti tugasnya. Tetapi, seorang ayah akan bertekad bahwa doa akan terus teriring bersamaan dengan langkah putrinya.

"Saya tidak bisa memberikan janji-janji manis kepada Om dan Tante. Apalagi dengan profesi saya yang mempunyai kewajiban mengemban tugas untuk Negara. Namun ijinkan saya membahagiakan Vitha seperti Om dan Tante membahagiakan Vitha. Ijinkan saya menjaga dan melindungi Vitha dengan segenap jiwa raga saya. Saya akan berusaha menjadi suami yang baik untuk Vitha. Saat saya meminta Vitha menjadi istri saya, artinya saya sanggup memberinya nafkah lahir bathin, walau mungkin gaji saya tidak sebesar yang Om berikan ke Vitha.

Sebagai suami saya tetap punya kewajiban menafkahi istri saya, bahkan jika dia tetap bekerja. Hanya saja, saya punya prinsip, istri saya kelak harus tahu batas dan kodratnya, bahwa keluarga adalah yang utama. Saya tidak melarang Vitha bekerja atau mengurus perusahaan, tapi dia harus tahu kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu untuk anak-anak kami.

Dan insyaAllah, dengan niat karena Allah saya bisa membimbing Vitha. Tegur saya jika saya membuat kesalahan. Karena saya juga masih harus banyak belajar." Ucap Yori dengan mantap. Nugraha tersenyum, ia merasa puas dengan jawaban yang diberikan lelaki pilihan putrinya sedangkan Arita meneteskan air mata menahan keharuan.

"Baiklah, kalau begitu saya tunggu lamaran resminya."
Alhamdulillah, mudahkan dan lancarkan niat baik kami ya Allah. Batin Yori mengucap syukur.

***

Ya ampuuuunnnn kok aku beneran baper sendiri nulis part ini. Entah karena aku yang terlalu masuk ke dunia imajinasiku atau memang lebay ya? Hahaha

Aku cuma sedih aja, Membayangkan kesedihan Papaku juga nanti kalau ada yg ngelamar aku. Pasti sedih, haru dan bahagia banget perasaan seorang ayah...

Aku paling ga nahan haru kalau berurusan sama orang tua, ijin buat ikut sidang skripsi aja aku nangis apalagi ijin untuk menikah nanti ya, huaaa pasti banjir air mata, aku nggak bakal bisa nahan tangis, aku takut make up ku luntur sebelum ijab qobul

Eh loh kok make up nya sih yg dipikirin hahahhaha....

Well, jangan lupa vote commentnya yaa....

Ciyee.... Mas Yori direstui

Continue Reading

You'll Also Like

724K 67.5K 50
{Rilis in :1 February 2021} [Fantasy Vampire series] Ivylina terjebak di sebuah Museum kuno di negara Rumania dan terkunci di kamar yang penuh dengan...
5M 921K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.❞▫not an au Started on August 19th 2017 #4 1...
9.8M 183K 41
[15+] Making Dirty Scandal Vanesa seorang aktris berbakat yang tengah mencapai puncak kejayaannya tiba-tiba diterpa berita tentang skandalnya yang f...
3.5M 27K 47
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...