Supranatural High School [ En...

By rainsy

2.6K 91 35

Mereka berpikir, aku gila. Aku selalu diasingkan. Bahkan orangtuaku sendiri pun sampai pernah mengirimku ke R... More

Teror (1)
TEROR (2)
Malam Satu Suro (1)
Malam Satu Suro (2)
Selamat Berjuang
Ujian Masuk
Pintu Rahasia
Peraturan Sekolah
Dia Telah Kembali
Topeng yang Terlepas
Kisah Lampau
Kutukan Sedarah
Gerhana Bulan
Hari yang Baru
Pelatihan
Museum yang Terabaikan (Noni Belanda)
Museum yang Terabaikan (Penjajah)
Bangkitnya Cay Lan Gong
Kesurupan Massal
Ritual
Rajah
Makanan Sesaji
Segel Pentagram
Gerbang Gaib
Gending Jawa
Dedemit
Arthur Samuel (Khodam)
Baron Bagaskara
Dylan Mahardika
Ernest Prasetyo
Ziarah
Welthok
Kelas Utara
Timur & Barat
Kelas Selatan
Helga Maheswari
Santet
Timbal Balik
Jenglot
Kuncoro
Umpan
Hira
Kuntilanak Merah
Taktik Licik
Penyelamatan
Jerat
Lolos
Membunuh atau Dibunuh
Tugu
Mata Batin

Kertas Selebaran

449 16 8
By rainsy

Yogyakarta. Adalah salah satu kota di Indonesia yang kaya akan sejarah. Karena di kota gudeg inilah, Kerajaan Mataram pernah berdiri kokoh. Seni tari dan seni musik Nusantara juga berkembang pesat di sini. Dan para seniman kerajinan tangan pun, banyak yang terlahir dari kota yang terkenal dengan Malioboro sebagai destinasi wisatanya. Di balik beragam harta yang dimilikinya, kota Yogya juga memiliki sisi lain. Sebuah sisi yang menarik mata para penganut ilmu kebatinan, untuk singgah di sana. Gunung Merapi dan pantai Selatan adalah dua tempat yang paling sering dikunjungi para penikmat hal-hal mistis. Keberadaan Nyi Roro Kidul dan pasukan makhluk halus penunggu gunung Merapi yang dipimpin oleh seorang raja bernama Eyang Merapi, menjadi magnet kuat bagi sekelompok orang yang ingin membuktikan kebenaran mitos yang melegenda itu, atau hanya ingin mengutarakan maksud tujuan pribadi mereka. Dan di tempat inilah, orang-orang yang memiliki kemampuan istimewa itu berkumpul.

©Rainsy™

Aktivitas dua kelompok siswa berbeda kelas yang tengah bersaing memperebutkan bola di tanah lapang yang gersang di sebuah SMP itu terhenti sejenak. Kala teriakan gaduh, menggema dari sebuah lorong gelap; tempat yang biasa menjadi persembunyian para murid nakal untuk membolos saat jam pelajaran berlangsung.

Perhatian para pelajar yang tengah menikmati pertandingan bola yang tersuguh di depan mata, kini tertuju pada sepasang daun pintu bercat cokelat yang berada di ujung lorong gelap itu. Rasa penasaran yang kentara di wajah mereka, seolah menyiratkan kalimat tanya. Sebenarnya apa penyebab teriakan yang mampu mengalahkan kegaduhan para murid kelas VII dan VIII yang sedang melakukan kegiatan bersama itu? Puluhan pasang mata penghuni sekolah melebar, ketika pintu yang menjadi objek pandangan mereka didobrak paksa oleh segerombol kakak kelas mereka yang keluar dari ruang aula secara bersamaan dengan wajah sumringah, dan satu tangan mereka yang mengangkat tinggi selembar kertas putih.

"HOREE!!! GUE LULUUUS!!!" seru salah seorang murid lelaki kelas IX yang dibalas rangkulan bahagia dari beberapa teman-temannya dari belakang; teman yang tampak seberuntung dirinya.

Jauh berbeda dengan uforia para teman-teman seperjuangannya yang langsung menyusun rencana untuk merayakan kelulusan mereka dengan berkonvoi keliling Yogya, mencorat-coret seragam putih-biru mereka dengan berbagai warna, juga tanda tangan atau pesan dan kesan dari teman-temannya. Seorang gadis berparas innocent, justru lebih memilih untuk duduk merenung seorang diri, di bawah sebuah pohon beringin kecil yang tumbuh di halaman belakang sekolahnya.

Sesekali, gadis remaja itu mendesah pelan. Membaca kembali secarik kertas berisi deretan huruf yang dirangkai membentuk paragraf demi paragraf di pangkuannya. Kini, pupil hitam mata gadis itu berhenti bergerak. Setelah gadis berbibir tipis itu, menemukan kata LULUS yang tak dicoret pada pertengahan isi surat tersebut.

"Kamu lulus dengan nilai yang tinggi. Tapi, kenapa kamu terlihat murung seperti itu?" suara yang berasal dari belakang tubuh gadis itu muncul bersama semilir udara dingin yang membuat tatanan rambut salah satu siswi SMP tersebut menjadi kacau.

Helga terdiam. Gadis remaja si pemilik NEM tertinggi di kelasnya itu tak merespon sapaan dari suara yang ada di belakangnya.

"Saat pulang nanti, orangtuamu pasti sangat bahagia melihat kabar menggembirakan ini. Dengan nilai sebagus itu, tentu banyak SMA Favorite yang menginginkan kamu untuk menjadi keluarga baru mereka. Kamu akan diterima dengan mudah di sekolah-sekolah ternama kota ini." Suara itu kembali terdengar dengan kalimat bangga yang disamarkannya. Jelas sekali, suara itu ingin mengajak Helga; si murid introvert, untuk mengobrol.

Setelah beberapa detik menunggu, akhirnya bibir gadis yang diajaknya bicara mulai menunjukkan pergerakan. "Aku tidak yakin orangtuaku akan memelukku setelah membaca surat kelulusan ini. Mungkin benar, aku akan didaftarkan masuk ke sebuah SMA ternama. Hanya saja ... yang menjadi pertanyaan di benakku saat ini, apakah di sana aku akan mendapat teman? Sedangkan di tempat ini saja, semua orang menjauhiku. Masa tiga tahun adalah waktu yang terlalu singkat untuk teman-teman sekelasku mau bertegur sapa dengan orang sepertiku. Aku butuh waktu lebih lama lagi untuk dapat bersosialisasi dengan mereka. Dan berpura-pura seperti mereka."

"Tapi ... masa tiga tahun yang kamu habiskan di sekolah ini, adalah waktu terlama untukmu menutup diri dengan mereka. Kamu sudah terlalu lama merasakan kesepian dan kesendirian. Jika kebanyakan orang di sekitarmu tidak dapat memahamimu dengan baik. Kenapa kamu tidak coba untuk menemukan segelintir orang yang sama istimewanya dengan dirimu, dan pasti akan mengerti kamu?"

Sembari melipat kembali surat kelulusannya, Helga berkata. "Kamu benar. Mungkin, ada baiknya jika aku ... mencari segelintir orang itu, dan tinggal bersama mereka. Daripada harus hidup dengan terus membohongi mereka yang mengucilkanku." Helga mengubah posisi duduknya menjadi tegap, meraih tas selempang yang sedari tadi gadis itu abaikan di samping tubuhnya. "Aku pulang dulu ya? Dan terima kasih, sudah bersedia menjadi satu-satunya teman ngobrolku selama tiga tahun di sekolah ini." Sambung Helga pamit. Melangkah pergi meninggalkan pohon beringin dengan sesosok makhluk berambut panjang, bergaun putih terusan yang menggantung terbalik di atas pohon. Dengan mata putih besar dan sayatan vertikal di lehernya yang mengucurkan banyak darah, penghuni pohon itu terus memandangi punggung Helga yang kian menjauh.

Ada yang perlu diluruskan di sini. Tak seperti kebanyakan hantu yang muncul di film-film horor, hantu atau jin yang sesungguhnya itu ... tidak pernah berkomunikasi dengan menggunakan mulut mereka (meski sebagian bangsanya tak memiliki mulut) untuk berbicara. Jenis apa pun makhluk halusnya, ia tidak akan menggerakan bibirnya, sama sekali. Mulut mereka terkatup, namun kita yang peka ... akan tetap mendengar suaranya.

©Rainsy™

Sepasang pengendara motor sport dengan pakaian balapnya yang lengkap, terus memacu kecepatan motornya di tengah jalanan kota yang mulai ramai. Sesekali dua orang pengendara motor yang wajahnya tertutup helm itu, mendapat umpatan dan makian dari para pengguna jalan lain yang hampir saja celaka karenanya.

Alih-alih berhenti sejenak untuk meminta maaf, dua orang pemuda pengendara Ducati Superbike 848 Evo merah dan Yamaha YZF R1 biru itu malah terkekeh, mendengar sumpah serapah dari tukang sayur yang hampir ditabrak oleh mereka.

"Bro! Kita berhenti di sana dulu ya? Gue punya firasat bagus soalnya." Remaja lelaki yang mengendarai motor biru itu setengah berteriak pada teman balapannya. Dan hanya direspon dengan suara kencang gas tangan dari si pengguna motor Ducati merah di sebelahnya.

Rupanya, sebuah warung yang berada tidak jauh dari perempatan jalan Solo-lah yang menjadi garis finish dari ajang kebut-kebutan Aiden dan Raga di siang bolong yang panas itu. Sembari meluruskan kedua kakinya di atas bangku panjang di depan warung, Aiden yang tampak kelelahan langsung meneguk habis minuman dingin yang baru diambilnya dari Showcase (lemari pendingin minuman). Sedangkan Raga, menyesap sedikit demi sedikit soda kaleng di tangannya sembari bersandar pada sebuah tiang lampu jalan.

"Udah masuk tahun pelajaran baru lagi nih, kira-kira ... kita bakal dapet ade kelas yang kayak gimana ya?" celetuk lelaki berkulit kuning langsat itu menatap lurus ke depan. Menonton aksi konvoi para anak SMP yang pakaian seragamnya, sudah tak berwarna putih-biru lagi.

Aiden yang diajak bicara oleh teman satu gengnya itu tersenyum miring, melihat tingkah begajulan anak-anak SMP yang melintasi jalanan di depannya. "Firasat lo ... sebentar lagi kayaknya bakal kejadian deh," celetuknya mengalihkan pembicaraan. "Ga, ayo! Siapin perlengkapannya," sambung pemuda berambut jabrik itu yang justru lebih tertarik dengan kejadian tragis yang diramalkan akan terjadi.

Raga yang paham dengan maksud perkataan sahabatnya itu, langsung bergerak menuju muka warung. "Lo jualan jeruk gak? Gue minta dong satu!" tanya pemuda berpipi tirus itu pada sang pemilik warung.

"Jeruk? Jeruk ini maksudnya?" sahut si pemilik warung, menyodorkan satu plastik jeruk mandarin.

"Ish! Bukan itu! Jeruk nipis atau lemon, lo punya gak?" terang Raga, memperjelas permintaannya.

"Ooh ... jeruk nipis? Ada kok, itu abang taro dalem showcase. Emang buat apaan sih jeruk nipis? Perasaan, Aden ini gak lagi batuk deh," timpal si pemilik warung dengan netra yang terus mengamati aktivitas Raga yang sedang mencari jeruk nipis di dalam lemari pendingin di luar warung.

"Bukan! Bukan buat obat batuk. Tapi, buat ngundang hantu," jawab Raga tersenyum senang, menatap sebuah jeruk nipis dalam genggamannya.

Mendengar penuturan pembelinya, si pemilik warung sempat terhenyak. Sedetik kemudian, lelaki bermata juling itu cekikikan.

"Ngundang hantu? Mana ada hantu muncul di siang bolong begini. Dan lagian, Aden ini ada-ada saja. Masa, ngundang hantu kok pake jeruk nipis? Kalo ngundangnya pake sesajen sama menyan atau pake boneka jaelangkung, saya percaya, Den. Tapi ... kalo pake jeruk nipis sih, baru tahu saya."

Raga yang merasa diremehkan, menatap pedagang itu sinis. "Abang mau bukti? Ini warung, bukanya sampe larut malem 'kan? Kalo gitu ... tepat tengah malem nanti, gue balik lagi ke sini. Dan gue bakal tunjukin sama lo, kalo jeruk nipis itu ... lebih ampuh daripada menyan buat ngundang hantu. Asal nanti, Abang jangan kabur atau pingsan aja kalo udah lihat hantunya." Kini giliran Raga yang mengulas senyum meremehkannya, disusul tawa tertahan dari Aiden yang pandangan matanya terkunci pada seorang gadis SMP yang tengah berjalan di trotoar, seorang diri.

Gadis yang tengah diperhatikan itu adalah Helga. Tepat di seberang jalan raya yang menjadi sekat antara warung yang tengah Aiden sambangi, gadis penyendiri itu tampak lesu menyusuri jalanan kecil yang memang disediakan untuk keamanan para pejalan kaki. Padahal, keadaan di sekitarnya tengah ramai kendaraan bermotor yang berlalu lalang. Namun Helga, tak pernah sekali pun mengalihkan pandangannya dari susunan batako yang berjajar rapi di bawah kakinya.

"MATI!"

Helga terkesiap kaget. Saat embusan angin yang tadi bertiup kencang ke arahnya, seolah membisikkan hal yang mengerikan. Belum sempat Helga memastikan sumber suara itu berasal dari angin atau dari hal lain, seorang pengendara motor dari arah barat yang melaju kencang, tiba-tiba saja jatuh terpelanting ke tengah jalan raya. Sejurus kemudian, sebuah truk tronton yang datang dari arah berlawanan, tanpa sengaja menggilas bagian kepala dari pengendara motor yang celaka tersebut.

CLPRAATTT!!!

Bercak merah dari kecelakaan lalu lintas yang terjadi tepat di depan mata Helga, mengotori seragam putih juga sebagian wajah gadis itu. Orang-orang yang berada di sekitar jalan itu, langsung berlari untuk melihat kondisi korban kecelakaan yang rupanya sudah terkapar tak bernyawa. Helga yang syok melihat kejadian tragis tadi, masih diam mematung di jarak dua meter dari lokasi tewasnya korban kecelakaan yang kepalanya sudah remuk tak berbentuk itu.

Entah karena tak melihat wajah pias gadis remaja yang dilewatinya, para warga yang berbondong-bondong ingin melihat lebih dekat mayat si pengendara motor yang jatuh tadi, seolah tak melihat keberadaan Helga yang berdiri di sisi trotoar. Karena mereka yang berdatangan, berjalan begitu saja menerobos bahu Helga yang kian melemah.

Cairan darah dari korban kecelakaan yang mengalir di wajah Helga, membuat bibir gadis itu bergetar hebat. Karena jijik, gadis itu cepat-cepat mengusap lelehan darah di wajahnya menggunakan punggung tangannya. Belum sempat kengerian melihat proses kematian tragis secara langsung itu lenyap, Helga sudah kembali dikejutkan dengan kemunculan sosok lain di antara para warga yang sedang berkerumun mengitari jasad pria tanpa kepala itu. Sosok menyeramkan dengan bentuk seperti leak Bali dengan lidah merahnya yang menjulur hingga menyentuh tanah beraspal, tengah sibuk meraup isi kepala jasad itu yang berceceran di jalan untuk kemudian dimakannya lahap.

Kedua lutut Helga mulai ikut gemetaran, satu tangan Helga meremas kuat ujung tas selempangnya yang juga sudah penuh dengan darah. Mata gadis itu membulat sempurna, kala makhluk berbulu hitam lebat yang memiliki telinga satu itu menyadari keberadaannya.

Salah seorang warga yang baru turun dari sebuah bus karena jalanan yang akan dilaluinya mendadak macet, tampak heran melihat mimik ketakutan di wajah Helga.

"Nduk, kamu ndak apa-apa toh?" seorang wanita paruh baya yang mengenakan sanggul itu, menepuk bahu Helga lembut.

Bukannya menjawab pertanyaan dari orang yang mengkhawatirkan keadaannya, Helga malah berteriak histeris dan langsung berlari meninggalkan lokasi kecelakaan itu.

"AAARRRGGHH!!!"

Aiden yang sejak tadi hanya memerhatikan Helga dari kejauhan, bergegas menaiki motornya dan mulai mengenakan kembali pelindung kepalanya.

"Heh, Bro?! Lo mau ke mana? Katanya mau nyoba cara dari Ki Yardan." Sergah Raga, saat pemuda berhidung mancung itu mulai menyalakan mesin motornya.

"Gue punya urusan penting sebentar. Lo praktikin aja sendiri. Nanti gue balik lagi, oke?" balas Aiden sebelum memacu Ducatinya ke arah jalan yang tadi Helga lewati.

Raga mendengus, kesal dengan kebiasaan buruk Aiden yang selalu memerintah seenaknya sendiri.

Sepeninggal Aiden, sebenarnya Raga sudah tak berselera lagi mempraktikkan salah satu ritual simpel dari guru di sekolahnya. Akan tetapi, setelah melihat mobil ambulance datang untuk membawa jasad korban kecelakaan itu, dan para warga yang berkumpul di tempat kejadian mulai menipis, rasa penasarannya untuk membuktikan keampuhan cara mengundang hantu itu kembali muncul.

Raga setengah berlari menuju tempat kejadian, berpura-pura ikut menonton kegiatan para pihak medis yang tengah mengangkut jasad tak utuh itu ke dalam mobil ambulance bersama beberapa warga. Sedangkan satu tangan yang ada di belakang punggung pemuda jangkung itu sibuk meneteskan air jeruk nipis yang diperasnya tepat di atas genangan darah korban kecelakaan tersebut.

Meneteskan air jeruk nipis di tempat yang pernah menjadi lokasi kecelakaan maut, adalah salah satu cara untuk melihat hantu. Dengan catatan, tepat malam harinya ... kamu harus berada di tempat itu. Menunggu hantu dari orang yang meninggal karena kecelakaan itu muncul, untuk mencari salah satu anggota tubuhnya yang belum dapat ditemukan.

©Rainsy™

Aiden yang masih mengendarai motor balapnya, mulai terganggu konsentrasinya. Karena pertanyaan demi pertanyaan mulai bermunculan memadati kepalanya.

"Dia ... bukan cewek sembarangan. Gue yakin dia pasti punya kelebihan yang sama dengan gue. Tapi, dia pasti lebih istimewa. Karena makhluk itu sampai langsung tertarik ngejar dia," gumam pemuda berkulit putih itu membatin.

Tidak jauh dari jalanan yang Aiden lalui, Helga tengah bersusah payah menghindar dari kejaran leak Bali bermata bulat tanpa kelopak mata yang melayang di belakangnya.

"Tidak!! Jangan dekati aku, pergi sana!!!"

Entah apa yang makhluk itu incar dari Helga, hanya saja ... mulutnya yang menganga lebar dengan gigi runcing yang berlumuran darah segar itu, semakin membuat Helga panik dan ketakutan.

Gadis ayu yang masih memiliki darah Jepang itu tak dapat berkutik lagi, ketika sebuah batu membuatnya jatuh terduduk di sebuah jalan setapak yang sepi.

"Tidak, pergi sana! JANGAN MAKAN AKU!!!" Lagi. Dengan satu kakinya yang terluka karena jatuh di atas bebatuan, Helga mencoba untuk bangkit dan kembali berlari. Belum sempat usahanya terlaksana, lidah dari makhluk yang juga mirip seperti barongsai itu sudah lebih dulu melilit kaki kanan Helga yang terluka.

"Lepaskan! Lepaskan kakiku!!" Helga mulai meronta, berusaha membebaskan kakinya dari jeratan kuat lidah makhluk halus itu. Harapannya agar dapat ditolong oleh seseorang pun pupus, ketika Helga menyadari bahwa tidak ada satu pun manusia yang melintas di jalanan itu.

Sosok leak itu berangsur mendekat, ukuran tubuhnya yang kecil kontras sekali dengan ukuran kepalanya yang besar dan berambut lebat seperti singa. Semakin dekat makhluk itu menghampiri Helga, semakin tak kuasa pula gadis itu melihat rupa menyeramkan sosok yang ada di hadapannya tersebut.

Merasa hari ini adalah hari terakhirnya hidup, Helga yang tak lagi dapat melakukan perlawanan apa pun lebih memilih untuk memejamkan matanya kuat.

"Heh! Pergi sana! Jangan coba-coba ganggu cewek ini!"

Kemunculan suara seorang lelaki yang entah berasal dari mana, membuat kerutan di dahi Helga yang masih memejamkan matanya itu berkurang.

"Lo, ngejar ini 'kan? Kalau gitu, ini ... ambillah!" Lelaki muda yang tidak lain tidak bukan adalah Aiden, datang tepat waktu. Merebut tas selempang milik Helga, kemudian melemparkan bagian kecil dari isi kepala korban kecelakaan tadi yang terselip di antara mulut tas selempang gadis itu ke arahnya.

"Sekarang lo udah dapetin apa yang lo mau. Jadi, cepat pergi dari sini! Sebelum gue kehabisan kesabaran dan bernafsu buat musnahin lo dengan cara kayak gini," sambung Aiden menggertak makhluk itu dengan serpihan batu bata yang hancur menjadi butiran pasir di dalam telapak tangannya.

Sadar bahwa manusia yang dihadapinya bukanlah manusia biasa, makhluk yang tak dapat bicara dan tidak memiliki tangan itu, memilih untuk meninggalkan Helga.

Aiden menghela napasnya lega, seiring wujud dari pesugihan yang korban kecelakaan itu pelihara demi menjadi orang yang kaya raya tersebut lenyap.

"Hei, bocah! Lo, gak apa-apa 'kan?" Aiden menoleh ke belakang, memastikan bahwa makhluk cantik yang baru ditolongnya itu tidak sampai kenapa-kenapa. Kemudian mengalungkan kembali tas selempang yang tadi direbutnya, di bahu kiri Helga.

Perlahan Helga membuka matanya. Gadis yang memiliki hidung kecil itu tampak masih syok, karena ia hanya menjawab pertanyaan Aiden dengan gelengan kepala saja.

"Sini, biar gue bantu lo berdiri." Aiden mengulurkan satu tangannya yang langsung diraih oleh jemari Helga yang masih gemetaran. "Sebenarnya, kecelakaan itu bukan kecelakaan biasa. Orang-orang yang melakukan pesugihan, memang sering mati konyol seperti itu. Pria yang mati tadi, pasti lupa memberi makan peliharaannya. Makanya, itu makhluk ... makan majikannya sendiri." Tanpa diminta, tiba-tiba saja Aiden menjawab pertanyaan yang masih tertahan di dalam pikiran Helga.

"Ta-tapi ... kenapa harus isi kepala manusia yang dia makan?" Meski ragu, pada akhirnya Helga memberanikan diri untuk menyampaikan pertanyaan yang mengganjal dalam kepalanya.

"Itu karena ... Umm, emang lo gak tau? Kalo otak manusia itu rasanya paling gurih dan lezat dibanding hewan lain di muka bumi ini? Mungkin itu juga yang nyebabin dia ketagihan otak manusia," ulas Aiden yang disambut tatapan aneh oleh Helga. "Eh! Kenapa lo, natap gue sampe segitunya? Gak percaya sama apa yang gue omongin? Ah! Ini, kebetulan di tangan gue masih ada sisa bagian otak orang tadi. Lo, mau nyoba?"

Helga meringis jijik, memerhatikan satu tangan Aiden yang mengepal kuat terjulur ke arahnya. "Ini, satu gram dari otak bagian kanan orang itu loh ... cobain deh, pasti ketagihan." Seiring Aiden memajukan tangan kanannya ke depan wajah Helga, bersamaan dengan itu pula gadis yang rambut sepunggungnya dikuncir satu itu, bergerak mundur.

Harusnya dengan melihat cengiran usil di wajah lelaki yang menolongnya, Helga sudah tahu bahwa Aiden tengah mengerjainya. Akan tetapi, entah karena dia terlalu polos atau bagaimana, Helga malah menganggap candaan Aiden itu sungguhan.

"AIDEN!!" Sebuah seruan yang dibarengi decitan rem motor yang dihentikan secara mendadak, mengalihkan perhatian pemuda bermata sipit itu untuk segera menoleh ke sumber suara.

Itu suara Raga. Anak itu memang tidak bisa berpisah lama-lama dengan sahabat yang sering membantunya dalam segala hal.

"Lo ngapain di tempat kayak gini?" tanya Raga yang baru saja melepaskan helmnya.

Sebelum menjawab pertanyaan dari Raga, Aiden lebih dulu mengamati keadaan sekeliling. Ia baru sadar, saat ini ia tengah berada di dekat gedung usang yang sudah beralih fungsi sebagai pembuangan sampah yang sangat kotor. "Gue ... gue baru nolongin cewek ini dari iblis tadi," seloroh Aiden menciptakan kernyitan bingung di dahi temannya.

"Cewek? Cewek mana? Gak ada siapa-siapa juga di deket lo!"

"Masa lo gak lihat sih? Cewek yang make seragam SMP, dia ada di be ...." Kalimat Aiden terputus, ketika dirinya sudah tak lagi menemukan siapa pun di balik punggung lebarnya. "Looh ... kok ngilang? Tadi dia ada di sini loh, suer deh!"

Melihat Aiden kalang kabut mencari keberadaan Helga yang tiba-tiba saja lenyap bak tertelan bumi, tawa Raga pun langsung pecah. "Hahaha ... lo yakin itu cewek manusia? Kakinya napak tanah gak? Jangan-jangan dia jelmaan Miss Kunti di sekolah kita yang naksir sama lo itu, lagi." Goda Raga yang langsung dihadiahi lemparan batu kerikil oleh Aiden.

"Sialan lo! Lo pikir gue sebodoh itu apa, gak bisa bedain mana manusia mana jin genit? Bisa di D.O dari Supranatural High School gue, kalo gak bisa bedain yang kayak gituan. Udah ah yuk, kita cabut!" omel Aiden melangkah menuju motornya yang terparkir tidak jauh dari sebuah gang kecil yang sempit; Sebuah gang yang rupanya menjadi tempat untuk Helga bersembunyi, sekaligus menguping semua pembicaraan Aiden dan Raga.

"Sebenernya, siapa mereka? Kenapa mereka begitu santai membahas makhluk-makhluk yang justru membuatku ketakutan? Dan ... mereka bilang apa tadi, Supranatural High School? Nama komunitas apa itu?"

DUK ... SLRAAK

Dari langit, sebuah kertas selebaran jatuh menimpa kepala Helga. Karena ringan, kertas itu kembali melayang dan jatuh untuk yang kedua kalinya tepat di bawah kaki Helga yang terbalut sepatu sekolah berwarna hitam. Karena penasaran, gadis itu langsung memungut kertas selebaran itu yang kemudian dibaca olehnya.

"Supranatural High School, membuka penerimaan siswa baru untuk para pelajar dari SLTP yang akan melanjutkan ke jenjang SLTA. Bagi para pemilik indera keenam, di tempat inilah ... kalian akan dapat mengasah kemampuan atau justru menutup mata batin kalian. Dan bagi para pemberani juga para penakut, buktikan nyalimu di dunia kami."

Bersambung

Continue Reading

You'll Also Like

22.9K 520 43
.Cerita ini berdasarkan Kisah Nyata... .berisi penggalan² kisah yg sangat menarik. Serta bnyak pelajaran yg dpt diambil dri kisah ini... .ada bgitu b...
315 29 2
BASED ON A TRUE STORY [Follow sebelum Membaca] "... ieu sanes panyawat sapertos biasana, tapi teluh bilatung tilu welas." Sari Damawanti, gadis remaj...
57.3K 6.3K 46
Bagaimana jadinya pasca kecelakaan telah merubah hidupnya. Kecelakaan yang menimpanya empat tahun lalu membuka mata batinnya untuk melihat yang tidak...
63.2K 9.6K 41
SIHIR 2 - Genre: Horor, romance. Alur sulit di tebak, banyak teka-teki, percintaan rumit. [Deskripsi] Nyi Sihir kembali menjadi iblis jahat yang ingi...