Forbidden Love [Kai - OC]

By heena_park

131K 7.7K 599

Patah hati. Dua kata yang berhasil membuat Ji-hyun membuat keputusan gila untuk menerima pinangan Jong-in dan... More

PROLOGUE
CHAPTER 1 - That Girl
CHAPTER 2 - Couple
CHAPTER 3 - Agreement
CHAPTER 4 - Dilemma
CHAPTER 5 - YES
CHAPTER 6 - His Boyfriend
CHAPTER 8 - Him
CHAPTER 9 - Let's Go
CHAPTER 10 - Maldives
CHAPTER 11 - Date

CHAPTER 7 - The Vow

4.8K 657 25
By heena_park




Rasanya masih terlalu awal ketika Ji-hyun memandang dirinya telah mengenakan gaun pengantin bersama dengan riasan yang membuatnya terlihat semakin cantik. Ia tidak tahu apakah keputusannya benar atau salah. Menikahi pria yang baru dikenal demi membuat Chan-yeol menyesal tanpa peduli akan konsekuensi yang mungkin telah menunggu di belakang. Tapi tunggu, pernikahan seharusnya dilandasi rasa cinta dan saling pengertian antara satu sama lain yang bahkan tidak hadir di antara mereka.

Apakah ia harus lari sekarang? Ji-hyun masih memiliki waktu selama satu jam sebelum upacara pernikahannya dengan Jong-in dimulai. Belum terlambat untuk mengakhiri kesalahan ini.

Tidak. Ia tidak boleh lari. Bagaimanapun juga, keluarga Jong-in adalah salah satu keluarga paling terpandang di Korea Selatan. Ia tidak mungkin tega mempermalukan Jong-in setelah apa yang diberikan padanya.

"Kau gugup?"

Suara lembut Nona Kwon membuyarkan lamunan Ji-hyun. Wanita yang sedari tadi merias dirinya itu kini berdiri di depan gadis itu.

"Dulu ketika aku akan menikah, aku juga merasakan apa yang kau rasakan. Gugup, takut jika nantinya aku akan menyesal menikah dengannya. Tapi aku berusaha meyakinkan diri bahwa calon suamiku adalah orang yang paling tepat untukku."

Ji-hyun menggigit lembut bibir bawahanya. "Aku tidak tahu apakah aku sudah mengambil langkah yang tepat."

Berusaha menenangkan Ji-hyun, Nona Kwon tersenyum dan membelai lembut pipi kanan gadis itu. "Jong-in adalah pria yang baik. Aku percaya dia akan membuatmu bahagia." Ia menunjukkan cincin bewarna silver yang melingkar di jari manisnya. "Lihat ini, kepercayaan membawaku dan suamiku tetap bertahan sampai sekarang. Aku bahagia menjadi istri Cha Dong Won.

Ji-hyun membuang napasnya pelan. Tentu saja Nona Kwon bahagia, ia mencintai calon suaminya kala itu, tapi Ji-hyun? Jong-in bahkan tidak memperbolehkan Ji-hyun untuk jatuh cinta padanya. Lalu bagaimana ia bisa bahagia?

"Pernikahan kalian akan segera dimulai, bagaimana kalau sekarang aku mengantarmu ke ruang tunggu pengantin? Pasti banyak yang ingin berjumpa denganmu."

Tanpa penolakan sedikitpun, Ji-hyun mengikuti kemauan Nona Kwon. Mereka berjalan bersama menuju ruang tunggu pengantin yang hanya berjarak beberapa langkah dari ruang riasnya.

Cantik dan putih. Itulah yang pertama kali hadir dalam pikiran Ji-hyun ketika sampai di ruang tunggu pengantin. Ia duduk di single sofa dan memegang sebuket bunga, sementara Nona Kwon meminta waktu untuk keluar sebentar. Ia harus menemui sang suami yang baru saja sampai. Sekitar lima menit setelah kepergian Nona Kwon, pintu ruang tunggu bergerak. Nampak Kwon So-ra dan beberapa teman satu kampusnya berdiri di ambang pintu. Senyum langsung mengembang begitu mereka mendapati Ji-hyun duduk di sofa.

"Ya Tuhan, Jung Ji-hyun kau cantik sekali," puji Kwon So-ra sambil memeluk Ji-hyun. "Aku bahagia sekarang. Aku percaya Jong-in akan menjagamu," lanjutnya dengan mata berkaca-kaca.

Ji-hyun membalas pelukan So-ra. Ia bisa merasakan kebahagiaan dalam diri sahabatnya. "Terima kasih So-ra-ya. Maaf aku tidak sempat menghubungimu beberapa hari ini. Seharusnya aku sendiri yang mengantarkan undangan itu padamu."

"Apa? Kau bercanda? Aku sangat bisa mengerti kesibukanmu Jung Ji-hyun, dan baiklah, aku benar-benar kagum pada calon suamimu. Ia bahkan mengundang mahasiswa se-angkatan kita untuk datang ke pernikahan kalian."

"Apa?" Ji-hyun menaikkan alis. Tunggu dulu, bukankah Jong-in sendiri yang bilang bahwa ia tidak ingin mengundang banyak orang? Tapi kenapa—Ah, pasti karena sang nenek.

"Ya, dia mengundang semuanya. Tapi hanya satu kelas yang diundang menghadiri upacara pemberkatan, yang lainnya nanti malam saat pesta perayaan. Kau tidak tahu?"

Mendapati pertanyaan So-ra, Ji-hyun berusaha mengatur ekspresinya kembali normal dan tertawa kecil. "Ah, tentu saja aku tahu. Aku hanya tidak menyangka dia benar-benar melakukannya." Ji-hyun mengalihkan pandangan ke kiri dan mendapati Cho Hye-jung dan Han So-yeon yang sedari tadi hanya mendengarkan ocehannya dengan So-ra. "Hye-jung, So-yeon kalian juga datang? Ya ampun, terima kasih." Ji-hyun memeluk kedua temannya bergantian.

"Tentu saja, kami tidak mungkin melewatkan pernikahanmu. Dan baiklah, kenapa kau tidak bercerita sama sekali jika menjalin hubungan dengannya? Aku merasa sakit hati," tukas So-yeon yang sedetik kemudian tertawa.

Ji-hyun ikut tertawa, ia mengerti kalau mereka mengira hubungannya dan Jong-in memang nyata. "Maafkan aku. Semua berjalan begitu cepat. Kami hanya menjalin hubungan beberapa waktu dan kemudian memutuskan untuk, ya, kau mengertikan?"

Mereka tertawa bersama. So-ra mengerti kalau Ji-hyun sedang membuat alasan logis agar kedua temannya tidak curiga dan beranggapan Ji-hyun benar-benar dimabuk cinta.

"Benar, Ji-hyun seperti sedang dimabuk cinta saat itu. Ia menceritakan hubungannya dan Jong-in padaku sambil tersenyum tidak jelas. Aku bahkan mengira dia sudah mulai gila." So-ra tertawa lagi. "Tapi sekarang aku percaya bahwa pria yang membuat Ji-hyun terlihat seperti orang gila itu akan membahagiakannya seumur hidup," tambahnya manis.

"Sepertinya aku setuju dengan So-ra." Kali ini Hye-jung menyahut. "Ketika kami menginjakkan kaki di tempat ini, senyum Jong-in kelihatan paling bersinar di antara yang lain. Dia kelihatan sangat bahagia karena bisa mendapatkanmu. Ah, aku jadi ingin segera menikah dengan Tae-woo," gumam Hye-jung berandai-andai.

"Baiklah-baiklah, bagaimana kalau sekarang kita berfoto bersama lalu segera kembali. Aku yakin pasti banyak yang ingin melihat Ji-hyun dan berfoto dengannya." So-ra memberi saran.

Mereka mengangguk setuju, kemudian bergantian mengambil gambar bersama Ji-hyun dan pamit untuk kembali ke tempat berlangsungnya upacara pemberkatan. Setelah ketiganya keluar, secara bergantian orang-orang masuk ke ruang tunggu pengantin. Bukan hanya teman satu kelasnya saja, namun juga dosen, tetangga, dan tidak lupa Mrs. Han—Ibu Lee Min-hyuk—Ia datang sambil membawa kado yang bisa dibilang paling besar di antara yang lainnya.

Wanita itu bahkan beberapa kali sempat menghapus air mata yang jatuh di pipi. Ia terlalu bahagia ketika mendapat kabar bahwa Ji-hyun akan menikah. Lee Min-hyuk sempat bercerita jika Ji-hyun tidak masuk kerja beberapa hari, dan Ji-hyun baru sadar akan hal itu. Ia terlalu sibuk bersama Jong-in hingga lupa pada pekerjaannya sendiri.

Sampai akhirnya waktu semakin menipis. Pintu ruang tunggu pengantin kembali terbuka. Seorang gadis dengan dress pink selutut berjalan menghampirinya.

Rasanya Ji-hyun pernah melihat gadis itu sebelumnya—oh benar, dia adalah gadis yang bertemu dengannya saat mencoba gaun pengantin.

"Jung Ji-hyun." Gadis itu melambaikan tangan dan tersenyum tipis. Ia duduk di samping Ji-hyun dan memberikan sebuah kado untuknya.

Ji-hyun refleks mengucapkan terima kasih dan menaruh kado tersebut ke tempatnya, namun, ketika ia berbalik menatap gadis tersebut, ekspresinya berubah. Gadis itu nampak sedikit kesal. Apakah Ji-hyun membuat suatu kesalahan?

"Aku belum sempat memperkenalkan diri waktu itu." Gadis itu kembali bersuara. Ia meraih tangan kanan Ji-hyun dan meremasnya. "Namaku Choi Ha-neul, dan calon suamiku adalah Park Chan-yeol."

Apa?

Choi Ha-neul?

Jadi gadis ini?

Tidak. Bagaimana mungkin ia bisa berakhir seperti ini? Ji-hyun memberikan undangan pernikahannya pada calon istri Chan-yeol? Tunggu dulu. Bukankah seharusnya mereka sudah menikah beberapa waktu lalu? Tapi kenapa...

"Mungkin kau bingung kenapa aku masih memperkenalkan diri sebagai calon istri Chan-yeol." Ha-neul melepaskan genggaman dari Ji-hyun dan memperbaiki posisi duduknya agar menghadap lurus ke depan. "Seharusnya kami menikah saat itu, namun Chan-yeol tiba-tiba berubah pikiran dan kabur dari pernikahan. Hal yang sangat kekanakan, bukan? Ia mempermalukan keluarga kami secara bersamaan."

Ji-hyun tidak bisa berkata-kata. Ia terlalu terkejut karena gadis yang berada di sampingnya adalah calon istri Chan-yeol. Apa gadis itu akan menamparnya sekarang? Tunggu dulu. Ji-hyun tidak memiliki kesalahan, jadi tidak mungkin gadis itu menamparnya.

"Aku sangat kecewa padanya. Jujur, saat ia menjelaskan alasannya untuk kabur dari pernikahan. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa Chan-yeol tega mempermalukan kami demi mantan kekasihnya. Dan lucunya, gadis itu memberikan undangan pernikahannya padaku saat kami tidak sengaja bertemu. Bukankah ini kebetulan yang sangat menyenangkan?" Ia berhenti sebentar dan bangkit dari tempatnya. "Tapi baiklah, aku sempat bersumpah akan menghancurkanmu, namun karena kau akan menikah dengan pria lain, aku memutuskan untuk mengurungkan niat tersebut. Kuharap kau bahagia dengan calon suamimu, dan berhentilah menjadi bayang-bayang bagi Chan-yeol. Aku hanya tidak ingin dia pergi lagi saat pernikahan kami nanti."

Gadis itu mengangkat kedua alisnya beberapa detik, sementara Ji-hyun masih terlalu shock untuk menerima kenyataan. Ini terlalu rumit, kenapa takdir seperti ingin mengucilkannya?

"Aku tidak sabar melihatmu mengucapkan janji setia dengan Jong-in. Kuharap kau tidak memiliki pikiran untuk kabur seperti Chan-yeol, karena aku tidak akan melepaskanmu jika hal itu sampai terjadi."




14 Februari—Ji-hyun berdiri di samping sang ayah. Perasaan kalut menghinggapi, mungkinkah karena ia akan segera menikah? Atau karena takut jika melihat Chan-yeol duduk di kursi undangan?

Sadarlah Jung Ji-hyun, sebentar lagi Chan-yeol juga akan melakukannya bersama Choi Ha-neul. Untuk apa ia masih memikirkan pria itu? Tidak ada untungnya.

"Kau gugup?" Pertanyaan Jung Ha-jun membuat Ji-hyun tersadar dari lamunannya. Ia sama sekali tidak sadar jika sedari tadi terus-terusan menggigiti bibir bawah dan membuang napas resah.

"Apa? Gugup? Ti—Bukan, entahlah."

Jung Ha-jun mengaitkan telapak tangan Ji-hyun ke lengannya. "Jangan melihat ke arah para tamu. Teruslah melihat ke depan, lihat calon suamimu, fokuskan pandanganmu padanya dan semua pasti akan baik-baik saja."

Ji-hyun tidak menjawab. Bagaimana mungkin ia bisa memfokuskan pandangan ke arah Jong-in? Sedangkan mereka menikah tanpa rasa cinta sedikitpun. Samuel pasti akan sangat marah jika mendapati Ji-hyun terus-terusan memandang Jong-in. Lucu memang, tapi mau bagaimana lagi?

"Sudah waktunya." Jung Ha-jun menengok ke arah Ji-hyun. Ia mengangkat wajah sang putri yang masih kalut. Memegang kedua pipi anak semata wayangnya dan mengucapkan beberapa patah kata, "Papa percaya Jong-in akan membuatmu bahagia."

Jangan...

Orang tuanya mempercayai pria yang salah...

Ji-hyun bahkan tidak percaya pada Jong-in..

"Kau sudah siap?"

Belum. "Sepertinya begitu.."

"Eratkan genggamanmu di lengan papa. Jong-in pasti sudah menanti."

Ji-hyun mengangguk. Ia mempererat genggamannya di lengan sang ayah. Setelah musik berbunyi, juga dengan terbukanya kedua pintu bersamaan, Jung Ha-jun bersama Ji-hyun terlihat di ujung ruangan.

Perlahan tapi pasti, keduanya melangkah ke arah Jong-in. Sementara Jung Ha-jun sempat tersenyum ke beberapa tamu, Ji-hyun terus saja memfokuskan pandangannya pada Jong-in. Ia tidak ingin melakukan hal yang memalukan. Tidak apa-apa jika nantinya Samuel marah, toh Ji-hyun yakin Jong-in pasti akan membelanya. Lagipula,ia melakukan ini agar segalanya berjalan lancar.

Jong-in yang merasa diperhatikan oleh Ji-hyun sedikit menaikkan alis. Ia merasa aneh pada apa yang dilakukan gadis itu. Tapi baiklah, tidak masalah, mungkin saja yang dilakukan Ji-hyun adalah bagian dari sandiwara mereka, dan sebaiknya Jong-in segera membalas tatapan Ji-hyun agar semakin sempurna.

Hingga akhirnya, mereka sampai di depan Jong-in dan sang Pendeta. Ji-hyun melepaskan genggamannya dari lengan Ha-Jun dan membiarkan sang ayah mencium pipi kanannya. Setelah itu, Ji-hyun memberikan buket bunga di tangannya pada Nona Kwon.

Jong-in meraih telapak tangan Ji-hyun dan membawa gadis itu berdiri di sampingnya—di depan Pendeta.

"Ladies and gentlemen, today, we're gathered here to witness and celebrate the union of Kim Jong-in and Jung Ji-hyun in marriage. With love and commitment, they have decided to live their lives together as husband and wife."

Ji-hyun berusaha menahan kepalanya yang mulai terasa berat. Ucapan sang Pendeta membuatnya semakin gugup. Namun, tiba-tiba tangannya menghangat. Jong-in menatapnya dalam-dalam, pria itu juga meremas tangan dingin Ji-hyun—apakah Jong-in tidak merasa gugup?

"Apa yang kau makan sebelum ini?" Jong-in mendekatkan bibirnya pada telinga Ji-hyun sambil berbisik.

"A-apa? Entahlah... kurasa sudah."

"Tapi kenapa tanganmu sangat dingin dan kau tetap gemetar?"

"Aku tidak ge—"

"Pelankan suaramu." Jong-in menimpali sebelum Ji-hyun menyelesaikan ucapannya.

Refleks, gadis itu menutup mulutnya rapat-rapat. Ia memang berbicara sedikit lebih keras tadi. "Aku tidak gugup," bisiknya sekali lagi pada Jong-in.

Keduanya kembali memusatkan perhatian pada sang Pendeta. Namun tidak bertahan lama, Jong-in kembali mendekatkan bibir pada telinga Ji-hyun.

"Kau percaya tidak? Aku gugup sekarang."

Apa...

Jong-in...

Gugup?

Bagaimana mungkin...

Ji-hyun berpikir keras. Ia berusaha mendapatkan kata yang bisa dikatakan pada Jong-in. Namun otaknya kosong. Ia benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa, terlebih lagi, setelah pria itu mengatakan rasa gugupnya.

Baiklah, tidak ada pilihan lain. Lebih baik Ji-hyun kembali memusatkan perhatiannya pada Pendeta.

"... to rest at the noon hour and meditate love's ecstasy; Then to sleep with a vision of the beloved in your heart and a song of love on your lips."

"Jung Ji-hyun..."

Kumohon. Jangan lagi Kim Jong-in. Ia sudah cukup gugup sekarang.

"Ya?"

"Sepertinya jasku mulai basah, aku berkeringat terlalu banyak."

"Ap—"

"Sekarang, jawab pertanyaan saya."

Belum selesai Ji-hyun menjawab ucapan Jong-in, sang Pendeta telah menyuruh mereka untuk mengikuti perkatannya. Tentu saja Jong-in dan Ji-hyun segera merubah posisi. Kali ini mereka saling berhadapan. Saling menggenggam tangan satu sama lain. Saling menatap mata sosok di hadapannya. Dan yang paling penting, keduanya sama-sama gugup mesti pernikahan ini hanyalah sandiwara.

Dan untuk pertama kalinya, Ji-hyun melupakan kenyataan bahwa Chan-yeol mungkin hadir di pernikahannya.

"Kalian sudah siap?" Pendeta tersebut memandang Jong-in dan Ji-hyun secara bergantian.

"Ya, kami siap."

"Baiklah... kita mulai." Beliau berhenti sebentar dan menarik napas dalam-dalam. "Kim Jong-in, apakah kau bersedia menerima Jung Ji-hyun sebagai istrimu?"

Jong-in mengangguk, ia mulai mengikuti perkataan sang Pendeta. "Ya, saya menerimanya."

Kali ini giliran Ji-hyun, ia melepaskan bibir bawahnya dari gigitan lembut dirinya sendiri dan menjawab pertanyaan yang sama. "Ya, saya bersedia menerimanya."

Kemudian, sang Pendeta meminta keduanya untuk mengucapkan janji yang telah disepakati.

"Saya, Kim Jong-in, mengambilmu, Jung Ji-hyun sebagai istriku."

"Saya, Jung Ji-hyun, mengambilmu, Kim Jong-in sebagai suamiku."

Jong-in tersenyum miring. "Saya berjanji akan menghargai dan mencintaimu lebih banyak dari hari sebelumnya."

"Mempercayai dan menghormatimu," sahut Ji-hyun.

"Tertawa dan menangis denganmu."

"Mencintai dan setia di saat baik maupun buruk."

"Melewati segalanya bersama."

"Saya akan memberikan tangan, hati..."

Jong-in meremas tangan Ji-hyun. "Jugaan cintaku..."

Mereka berhenti sebentar, sama-sama menarik napas begitu dalam dan menghembuskannya perlahan. Tidak lama kemudian, mengucapkan sebuah kalimat bersamaan.

"Sejak hari ini, nanti, dan selama kami berdua akan hidup.."

"Saya terima." Jong-in menyunggingkan senyum. Matanya masih menatap Ji-hyun, melihat bagaimana gadis itu akan menjawab.

Bibirnya sedikit lebih bergetar dari sebelumnya, namun Ji-hyun masih bisa mengontrol diri. Ia tidak perlu membuka mulutnya terlalu lebar, hanya sedikit, lalu berkata, "Saya terima."

Sontak, keduanya tersenyum bersama. Jong-in segera mengambil cincin yang dibawa oleh Kwon So-ra dan menyematkannya di jari manis Ji-hyun. Begitupula sebaliknya, Ji-hyun bergantian mengambil cincin yang lebih besar dan menyematkannya di jari manis Jong-in.

Begitu kedua cincin telah bersarang di tempatnya, Jong-in menarik Ji-hyun perlahan. Ia mencium kening juga bibir gadis, dan untuk sesaat... mereka lupa bahwa pernikahan ini terjadi hanya karena kesepakatan belaka.



"Tidak dapat dipercaya, gadis itu benar-benar picik. Setelah gagal mendapatkanmu, ia berusaha mendapatkan yang lebih kaya," omelan Kang Eun-hee terasa menusuk dada Chan-yeol yang duduk di sampingnya.

"Apa kau tidak menyesal sempat mempertahankan gadis seperti itu? Benar-benar tidak tahu diri."

Chan-yeol menggeleng. Ia tahu betul seperti apa sifat Ji-hyun. "Aku percaya pasti ada alasan lain di balik semua ini."

"Alasan lain?" Kang Eun-hee tertawa hambar. "Kau pikir apalagi selain harta dan tahta? Wanita mura—"

"Cukup, bu! Ji-hyun bahkan tidak pernah merugikanmu, kenapa kau terus-terusan membuatnya terlihat buruk?"

"Park, jaga mulutmu. Kau tidak seharusnya berkata seperti itu pada ibumu." Ha-neul yang semula diam, kini bersuara. Ia melemparkan tatapan tajam pada Chan-yeol yang hanya dibalas putaran bola mata oleh pria itu.

"Lihat itu, dia sangat berbeda dengan Ha-neul? Aku benar-benar tidak habis pikir denganmu. Kau masih saja membela wanita yang salah." Kang Eun-hee mengambil tas lengannya dan menarik Ha-neul berdiri. "Lebih baik aku dan Ha-neul pergi saja. Tempat ini dipenuhi oleh orang bodoh."

Begitu menyelesaikan ucapannya, Kang Eun-hee dan Ha-neul langsung beranjak pergi. Mereka tidak mempedulikan Chan-yeol yang sedang meremas rambutnya frustasi. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Ibunya seperti batu, selalu berpikir bahwa apapun yang dilakukannya benar. Sangat berbeda dengan sang ayah. Pria itu mau menerima kritik dengan lapang dada, bahkan ia sangat baik hati. Mirip seperti Chan-yeol dan adiknya.

Setelah duduk beberapa saat, Chan-yeol akhirnya menyerah dan berniat untuk mengejar ibu beserta calon istrinya sebelum keduanya melakukan hal yang tidak-tidak.

"Park Chan-yeol?"

Namun, baru berniat untuk keluar dari gedung, seseorang memanggilnya. Di saat itu juga Chan-yeol terpaku. Ia seperti batu yang tidak bisa bergerak. Napasnya tercekat, jantungnya secara tiba-tiba berdetak dua kali lebih kencang. Ia bisa merasakan matanya memanas dan bersiap untuk menjatuhkan bulir air mata sewaktu-waktu. Chan-yeol hafal suara itu. Suara yang sangat ia rindukan akhir-akhir ini. Suara yang membuatnya tidak bisa tidur hampir tiap malam.

Suara kekasihnya...

Jung Ji-hyun...

Continue Reading

You'll Also Like

103K 11.1K 47
FREEN G!P/FUTA • peringatan, banyak mengandung unsur dewasa (21+) harap bijak dalam memilih bacaan. Becky Armstrong, wanita berusia 23 tahun bekerja...
104K 9.9K 22
[Update: Senin-Selasa] "I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian...
70.6K 3.4K 21
[ 18+ Mature Content ] Gerald Adiswara diam diam mencintai anak dari istri barunya, Fazzala Berliano. Katherine Binerva mempunyai seorang anak manis...
536K 25.7K 35
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...